Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[5] Lima

Cinta bisa datang ketika kita mau berusaha,bukan melalui kata melainkan melalui komitmen dan rasa percaya percayaan.

"Ampun, Pa! Ampun ... sakittt!"

"Dasar anak sialan! Berani-beraninya kamu melawanku, hah?"

"Aku janji enggak ngelawan Papa lagi, ampun, Pa."

Perempuan itu menangis tersedu-sedu sambil memegang tangannya yang tadi dipukul papanya. Pria berdarah Italia itu terus memukulinya setiap hari, membuat Liara kesakitan saat menerimanya.

"Kamu apakan anak kita, Marco? Berhenti!"

Suara Maura yang melengking membuat Marco menghentikan pukulannya pada Liara. Ia menatap bengis pada istrinya, tangan kanannya langsung menampar Maura dengan keras, nyaris membuat Maura terjengkang.

"Anak sialan ini sudah membuat ulah di sekolahnya. Gurunya meneleponku, dia berkelahi dengan teman perempuannya. Kamu memang tidak becus menjaga Liara, Maura! Kamu memang perempuan enggak tahu diri."

Napas Maura tersekat saat mendengar Marco kembali menyebut Liara sebagai anak sialan. Demi Tuhan, Marco memang benar-benar tidak waras.

"Sialan. Brengsek, apa yang kamu lakukan pada adikku, hah?"

Lio yang baru pulang sekolah datang dengan seragam leceknya. Ia membuang tasnya dan langsung mendorong Marco. Cowok kelas dua SMP itu lalu menghampiri Liara yang tengah menangis. Ia menggendong adiknya di belakang punggung, membawa pergi adiknya.

"Sialan, kamu Lionel. Mau kamu bawa ke mana anak kurang ajar itu, hah?"

Lio menulikan telinganya. Ia membawa Liara ke kamarnya, menutup kamarnya dengan keras lalu menguncinya dari dalam. Hatinya sakit melihat adiknya seperti ini.

"Hhhhhahhhh ...."

Liara terbangun dengan peluh yang membanjiri tubuhnya. Napasnya memburu, mimpi itu datang lagi, membuat kesedihannya terkuak lagi. Liara mencengkeram erat tubuhnya, kuku-kuku panjangnya mencakar kulitnya. Bayangan papanya yang memukuli dirinya membuat Liara lupa rasa sakit itu, membuat Liara terbiasa dengan rasa sakit di tubuhnya. Sehingga ketika ia menyakiti dirinya seperti saat ini, Liara tak lagi merasakan sakit. Cakaran kuku-kukunya yang menembus kulit dan membuat kulitnya memerah tidak membuatnya mengerang kesakitan. Ia justru berteriak karena rasa sakit di pikirannya.

"Ampunnn ... Papaaa, ampunnnn ... aku takut, Pa ...."

Ia berteriak di tengah keheningan malam, meringkuk di atas kasur dengan air mata yang memburai. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, menutup telinganya manakala ponselnya berbunyi nyaring. Benda itu berkedip-kedip. Beberapa pesan masuk secara beruntun, dapat terlihat di notifikasi ponselnya, pesan dari Marco memenuhi layar iPhone milik Liara.

Jangan harap dengan perceraian papa dan mama kamu akan hidup bahagia, papa tidak akan membiarkanmu bahagia tanpa papa.

"Enggak! Enggakkkkkk ...."

***

"Liara ke mana Nur?"

Nur yang berdiri di depan pintu melongo menatap Arsyad, ia lalu tersenyum lebar. Wajah Arsyad itu tidak boleh dilewatkan. Wajah gantengnya sayang kalau tidak dinikmati dengan baik oleh Nur.

"Di kamar, Mas."

"Dia kuliah enggak tadi?"

Nur menggeleng. Liara tak pernah keluar kamar sejak semalam. Sebenarnya membuat Nur khawatir, tapi ia juga tak ingin mengganggu Liara yang sedang beristirahat.

"Gue ke kamarnya, ya."

"Iya, Mas. Saya buatkan minum?" tawar Nur, Arsyad menggeleng. Meninggalkan Nur, menuju kamar Liara di lantai dua.

Begitu tiba di depan kamar Liara, Arsyad memanggil perempuan itu.

"Raaa ... ini gue. Lo enggak pa-pa, kan?"

Merasa tidak menemukan jawaban setelah beberapa kali memanggil perempuan itu, Arsyad memutuskan untuk membuka kamar Liara yang ternyata tidak terkunci. Kamar Liara tampak gelap, lampu tidak dinyalakan dan gorden tidak disingkap. Semenjak ajakan menikah kemarin, Liara belum menghubunginya sama sekali. Arsyad tahu Liara butuh waktu untuk berpikir, terlebih ia mengajak menikah seperti mengajak Liara untuk nongkrong di mal.

Arsyad membuka gorden di kamar Liara, ia menemukan Liara tengah terlelap dengan kondisi bersandar pada kepala ranjang. Wajahnya tampak kusut, kamarnya lumayan berantakan, ada bekas goresan merah di sepanjang tangan Liara saat Arsyad memperhatikan perempuan itu. Hatinya mencelus, perasaan tidak enak mendadak muncul.

Tiba-tiba ponsel Liara berkedip-kedip, tanpa ragu Arsyad mengambil ponsel itu. Nama Papa tertera di sana. Arsyad memang mengetahui sandi ponsel Liara. Laki-laki itu meneliti semua pesan di sana, dari Marco—papa Liara, yang hampir semuanya berisi ancaman. Arsyad geram dengan semua hal yang ia baca di sana, tangannya mengepal, wajahnya kaku.

"Sialan!" desisnya sambil menghapus semua pesan papa Liara.

Berpikir sejenak, ia memang seharusnya segera ke Jakarta, menceritakan segalanya pada Lionel lalu meminta izin laki-laki itu untuk menikahi Liara. Jika dibiarkan, mungkin Liara bisa benar-benar gila atau bunuh diri. Arsyad beranjak dari kasur ia turun dari kamar Liara, mencari keberadaan Nur.

"Nur, gue minta tolong siapkan air dingin dan handuk sama obat memar, terus buatin Liara makan, gue tunggu di atas," kata Arsyad begitu ia menemukan Nur sedang membersihkan ruang tamu.

"Mbak Liara kenapa?"

"Enggak pa-pa. Tolong, ya, Nur?"

Nur mengangguk, ia segera bergegas ke dapur.

***

Setelah memesan tiket pesawat ke Jakarta besok pagi, Arsyad membersihkan luka di tangan Liara dengan handuk basah. Perempuan itu yang merasa tidurnya terganggu lalu menggeliat, ia menyadari Arsyad ada di depannya dengan wajah serius. Membuat Liara terkejut, ia bangkit dari tidurnya, menatap horor pada Arsyad.

"Lo ngapain di kamar gue?"

"Menurut lo?" tanya Arsyad. Ia kembali meraih tangan Liara yang tadi ditarik perempuan itu.

"Syad! Gue serius, lo ngapain di kamar gue?"

"Diem!"

Liara mendengus, ia menoleh ke arah tangannya. Sepertinya, ia baru sadar kalau sejak tadi Arsyad mengobati luka di tangannya.

"Aishhh, pelan-pelan, Bego. Sakit!"

"Makanya kalau sakit enggak usah sok ngelakuin diri lo sendiri."

Liara terdiam, ia lalu membiarkan Arsyad mengobati lukanya. Perempuan itu membuang tatapannya, tak mampu melihat ke arah Arsyad, begitu mengingat lamaran Arsyad kemarin.

"Gue enggak bakal tanya kenapa lo bisa kayak gini. Gue mau pulang ke Jakarta besok, selama gue pergi, jaga diri lo baik-baik. Pas gue pulang ke Surabaya, lo harus tetap hidup."

Arsyad mengoleskan salep untuk memar ke kulit Liara. Mereka dibungkam keheningan. "Gue serius sama yang kemarin, Ra. Pikirkan baik-baik."

Liara menelan ludahnya susah payah, ia tak mengatakan apa pun pada Arsyad. Membiarkan Arsyad menyelesaikan kegiatannya.

"Sekarang lo makan, lalu istirahat. Gue harus kerja," kata Arsyad, Liara menoleh sekilas. Ia masih tetap bungkam sampai akhirnya Arsyad pergi dari kamarnya, baru Liara bisa bernapas lega.

***

Arsyad bukannya pulang ke rumahnya di daerah Menteng, laki-laki itu justru ke rumah abangnya yang baru saja menikah. Ia tidak ingin membuat mamanya terkejut dengan kepulangannya yang tiba-tiba. Rumah milik abangnya lumayan besar, mungkin abangnya berpikir untuk menyiapkan rumah besar agar bisa menampung beberapa anak di dalamnya nanti.

Arsyad mengetuk pintu rumah Zello beberapa kali. Jam segini, pasti abangnya masih ada di kantor, ia berharap Aluna ada di rumah.

"Loh, Syad?" tanya Aluna terkejut, begitu ia mendapati adik iparnya berdiri dengan sebuah ransel biru tua di punggungnya.

"Mbak, gue boleh nginep di sini, kan? Dua hari," kata Arsyad, Aluna mengernyitkan dahinya.

"Boleh. Ayo, masuk."

Arsyad mengangguk lantas mengikuti Aluna ke ruang tamu. Ia menyenderkan punggungnya ke bahu sofa dan meletakkan tasnya di samping.

"Mau minum apa?"

"Enggak usah, Mbak. Entar kalau haus ambil sendiri."

Aluna mengangguk, ia memperhatikan Arsyad dengan saksama. Adik iparnya itu tak pernah sekusut ini, tak pernah sebegininya, sekalipun ada masalah pelik.

"Kenapa, Syad? Mau cerita sama Mbak?"

Arsyad menghela napasnya. "Entar, deh, nunggu Bang Zello pulang, biar enggak cerita double," kata Arsyad yang dibalas anggukan oleh Aluna.

"Oh, ya, Mbak. Bang Lio pernah main ke sini?"

Aluna merasa aneh saat Arsyad tiba-tiba menanyakan Lionel—sahabat Zello. "Sering. Kenapa?"

"Berarti dia di Jakarta. Bagus, deh. Kerja di mana Bang Lio?"

"Lio kerja di DnK."

Arsyad mengangguk-anggukan kepalanya. Lio ternyata bekerja di perusahaan yang bergerak dalam jasa periklanan dan memilih untuk tidak bekerja di perusahaan papanya yang setahu Arsyad mengelola beberapa hotel di daerah Jakarta, Bali dan Malang. Baiklah, mungkin nanti selepas maghrib ia bisa menemui Lio.

"Istirahat dulu, Syad. Abangmu pulang jam lima nanti."

"Oke, deh, Mbak. Kamarnya di mana?"

Aluna menunjuk salah satu kamar yang ada di lantai bawah, membuat Arsyad mengerti, setelah itu ia pamit pada Aluna untuk istirahat.

***

Arsyad baru saja selesai mandi saat Zello tiba di rumah. Ia segera keluar begitu mendengar suara mobil Zello memasuki garasi rumah, kebetulan letak garasi dan kamar yang ia tempati bersebelahan.

Ia melihat Aluna membuka pintu rumah dengan wajah semringah, kakak iparnya itu lalu mencium punggung tangan abangnya dan membawa tas kerja abangnya. Pemandangan yang sama yang selama bertahun-tahun ia lihat di rumahnya, papa dan mamanya juga seperti itu. Kira-kira kalau ia menikah dengan Liara, apakah akan diperlakukan sehangat itu? Membayangkannya membuat Arsyad tersenyum lebar.

"Lo ngapain?" tanya Zello pada adiknya.

"Numpang nginep, mau ganggu panganten baru, biar proses bikin ponakannya tertunda."

Zello mendengus, adiknya itu memang kurang ajar. "Sialan. Gue laporin Mama lo."

"Anak Mama," cibir Arsyad.

Aluna melotot ke arah Zello. Ia tak suka saat Zello ribut dengan Arsyad, setiap bertemu dua orang itu tidak pernah bisa benar-benar akur.

"Ck, lo ngapain, sih?"

"Mau ketemu Bang Lio," jawab Arsyad. Zello melihat ke arah Arsyad dengan tatapan tak mengerti.

"Gue mau ngelamar Liara," ucap Arsyad enteng, membuat kedua pasang mata di depannya membulat dengan sempurna.

"Ngelamar Liara? Lo waras, kan?" tanya Zello. Arsyad membuang napasnya.

"Entar gue ceritain, gue laper mau makan dulu. Mbak minta makan, dong." Arsyad melihat melas ke arah Aluna.

"Sialan, ngapain minta makan sama istri gue?"

"Pelit lo, Bang. Gue laper. Diem, deh, lo."

Zello membuang napasnya, ia berjalan ke arah Arsyad merangkul adik sablengnya itu dan membawa sang adik ke meja makan. Arsyad ini selalu doyan makan, daripada ia terus mengoceh karena tak diberi makan, lebih baik Zello merelakan satu piring makanan lezat Aluna untuk Arsyad.

***

"Alhamdulillah, ya, Allah! Hamba kenyang. Masakannya Mbak Luna emang juara. Lo pasti bentar lagi jadi gendut, Bang," kata Arsyad dramatis.

"Udah kenyang? Cerita sekarang!" ucap Zello.

Arsyad menepuk-nepuk perutnya, sementara Aluna membereskan piring-piring kotor di atas meja makan.

"Ke ruang tamu, deh, Bang. Ya, kali, cerita di meja makan."

Zello mengangguk, ia berdiri lalu melangkah ke ruang tamu, diikuti oleh Arsyad di belakang.

"Jadi?"

Arsyad melihat ke arah abangnya. Ia mengumpulkan beberapa kalimat yang akan ia susun.

"Ya, gue mau nikahin Liara."

"Gue tahu, Bego. Maksudnya kenapa lo mau nikahin Liara? Lo enggak ngehamilin dia, kan?"

"Pikiran lo negatif terus, sih, Bang. Ya, enggaklah."

"Oke, tunda dulu cerita lo. Lio mau ke sini."

"Apa? Lo serius, Bang? Yah ... gue, kan, belum siap-siap," ucap Arsyad, Zello tersenyum miring.

"Tuh Lio dateng," kata Zello saat deru mesin mobil terdengar di telinganya. Tak berapa lama kemudian sosok jangkung bermata mirip Liara hadir di tengah-tengah kakak beradik itu.

"Kenapa lo nyuruh gue ke sini?" tanya Lionel langsung.

Aluna datang dengan tiga cangkir kopi di atas nampan. Satu cangkir kopi susu untuk Zello dan dua kopi hitam untuk Arsyad dan Lionel.

"Adek sableng gue mau ngomong. Gue ke kamar dulu, deh, mau mandi. Ayo, Sayang."

Zello menggandeng tangan Aluna menaiki tangga menuju kamar utama mereka di atas. Arsyad tahu abangnya pasti sengaja. Ingatkan Arsyad untuk benar-benar mengganggu tidur Zello nanti malam.

Arsyad menelan ludahnya susah payah, sumpah demi pipi mulusnya Irene Red Velvet yang menjadi wallpaper di ponsel Dannie, Arsyad sangat gugup sekarang.

"Eh, Bang Lio. Hehe ... apa kabar, Bang?"

"Baik. Lo ada urusan apa sama gue?"

Arsyad menggaruk kepalanya pelan. Ia nyengir ke arah Lio, lalu mengambil napas. "Gue mau minta izin buat nikahin Liara, Bang," kata Arsyad mantab. Ia menatap lurus sosok Lionel yang masih mengenakan kemeja dan celana kain berwarna hitam.

Mata Lionel melebar, melihat tak percaya ke arah Arsyad. "Lo, bocah ingusan mau nikahin adik gue? Punya modal apa lo?"

"Gue punya modal ganteng, tanggung jawab, gue udah kerja, kok, gue peduli sama Liara dan gue setia," kelakar Arsyad.

"Setia?" tanya Lio sangsi. Mengingat Arsyad sering gonta-ganti pacar.

"Gue emang sering gonta ganti pacar, Bang. Tapi, itu, kan, dulu pas SMA. Sekarang gue udah gede, udah kuliah, enggak mikir lagi buat main-main. Lagian, mantan gue enggak sebanyak Abang gue. Abang punya enam mantan, gue cuma lima, deh, kayaknya." Arsyad nyengir lagi.

"Enggak, gue enggak bisa, Syad. Liara adek gue satu-satunya, gue enggak mau dia jatuh ke tangan sembarangan orang."

"Gue bukan orang sembarangan, lo kenal gue, kenal keluarga gue, gue kenal lo, kenal Tante Maura."

"Enggak, Syad."

Arsyad menghela napasnya. Ia tahu ini tidak akan mudah, laki-laki itu mengeluarkan ponselnya, memberikan kepada Lio setelah ia membuka foto Liara.

"Itu Liara kemarin. Lo lihat Luka-luka di tangannya? Itu cuma sebagian, gue enggak tahu dia ngelukain dirinya di mana aja. Liara sakit, Bang. Sakit psikisnya, karena tekanan keadaan keluarga kalian, dia kesepian, dia sedih, kecewa sendirian. Lo enggak tahu, kan? Karena selama ini lo sibuk sama dendam lo buat Om Marco, bahkan lo juga enggak tahu kalau selama ini Om Marco selalu neror Liara lewat pesan. Liara butuh orang yang peduli sama dia buat sembuh, Bang. Lo enggak mau, kan, kehilangan Liara?" ucap Arsyad dengan tegas.

Ia menatap Lio menunduk, laki-laki itu mengusap wajahnya kasar. Kenyataan tentang Liara yang baru dilemparkan kepadanya membuatnya terkejut sekaligus sakit di saat yang bersamaan. Bagaimana bisa ia tidak tahu Liara sekacau itu selama ini? Bagaimana bisa ia gagal menjadi kakak dan tidak mengetahuinya?

"Sejak kapan? Sejak kapan Liara begini?"

"Udah lama, Bang. Gue cuma enggak mau kehilangan dia. Gue mau jagain dia, karena gue tahu lo enggak bakal bisa jagain dia, lo harus jaga Tante Maura di sini."

Napas Lio tersekat. Ia dihantam sesuatu yang sulit diterimanya.

"Lo cinta sama adek gue?"

"Gue enggak tahu. Lihat dia sakit gue sakit."

Lio melihat kesungguhan di mata Arsyad. Ucapan Arsyad memang ada benarnya, ia tidak bisa menjaga Liara di sana karena kehidupannya ada di sini, dan mengajak Liara kembali ke Jakarta lebih tidak mungkin, adiknya akan menolak mentah-mentah.

"Lo yakin bisa jagain dia?"

"Pasti, lo tenang aja, gue udah ada kerjaan, bisalah buat ngehidupin Liara. Gue bakal ngelakuin apa pun buat dia," jawab Arsyad mantap. "Tapi, masalahnya ada pada Om Marco, buat jadi wali nikah."

"Gue belum bilang setuju," kata Lionel menatap serius pada Arsyad.

"Lo memang punya opsi lain?"

"Tapi enggak harus nikah!"

"Harus, dia perlu gue jaga dua puluh empat jam. Gue enggak tahu kapan dia ngelakuin hal itu lagi. Dengan jadi suaminya, gue bisa bebas jagain dia tanpa harus pusing mikirin apa kata tetangga."

Lionel menghela napasnya. Ia bersandar pada bahu sofa. Kepalanya mendadak pusing. "Papa non islam. Dia enggak bisa jadi wali nikah Liara."

"Lo serius, Bang?"

"Papa dan Mama menikah di luar negeri karena beda agama, dalam hukum Islam, kami anak di luar pernikahan yang sah. Kalau Liara mau nikah, mending pakai wali hakim."

Arsyad tercengang dengan penuturan Lionel. Ia baru mengetahui fakta itu hari ini.

"Gue dapat kabar dari Mama kalau Papa nikah lagi tanpa sepengetahuan Liara. Gue sama Mama yang tahu, kami nyembunyiin hal ini dari Liara, enggak mau Liara lebih tertekan. Lo pikir kenapa proses cerai papa dan Mama lama? Ya, karena mereka nikahnya enggak di sini."

Arsyad tidak bisa berkata-kata, ia nyaris menolak untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh Lionel. Hidup keluarga Liara benar-benar rumit. Lebih dari apa yang ia tahu selama ini.

"Liara berhak bahagia. Kalau lo ngerasa mampu jaga dia, tolong tepatin ucapan lo."

Saat itu Arsyad tahu, Lio sudah memberikan restu padanya. Arsyad tersenyum singkat, ia bertekad untuk menjaga Liara. Sebisa mungkin tidak menyakitinya, walau manusia tidak bisa meramal apa yang terjadi di sama depan, tapi sebuah pernikahan akan bertahan lama karena usaha dari kedua belah pihak, dan Arsyad akan membuat Liara berusaha juga untuk menerima dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro