Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[2] Dua

Seseorang merentangkan tangan, menawarkan cinta, menyediakan obat penyembuh luka melalui kata, tapi seseorang itu lupa, tidak semua luka bisa sembuh dengan dekapan hangat dan ucapan cinta.

"Ra ...."

Arsyad menepuk bahu perempuan itu membuat Liara berhenti dari acara makannya. Liara menaikkan sebelah alisnya, mulutnya masih sibuk mengunyah sate dengan bumbu kacang yang ada di piringnya.

"Apaan?"

"Enggak kerasa, ya, kita udah umur dua puluh satu, udah otw semester tua juga, perasaan baru kemarin Ospek."

"Yah, dunia, kan, emang makin cepet aja muternya," jawab Liara asal.

"Lo pernah mikir enggak, sih? Kita sama-sama kayak jomlo ngenes. Masa dateng ke nikahan Abang gue barengan. Gue berasa, kita bener-bener mengenaskan."

Arsyad mengeluh, ia menatap Liara yang tampak tak peduli. Hari ini, adalah hari pernikahan Zello dan Aluna—kakaknya. Dan, pernikahan digelar di Jakarta, sehingga mau tak mau keduanya harus balik ke Jakarta, membolos selama tiga hari demi pernikahan Zello dan Aluna. Memanfaatkan jatah bolos yang ada.

"Lo aja kali yang ngenes, gue mah jomlo bahagia. Lagian, ngapain putus sama Kara?" tanya Liara sambil meletakkan piring satenya di salah satu meja yang tersedia. Ia teringat pada pacar terakhir Arsyad yang bernama Kara, karena setelahnya Arsyad hanya sibuk modusin anak orang tanpa mengajak mereka pacaran.

Arsyad menatap perempuan yang sedang mengenakan kebaya berwarna baby pink yang saat ini sibuk dengan sup buah di tangannya. Liara memang tidak pernah jaim soal makanan. Ia memakan apa yang ingin ia makan.

"Yaelah, Ra. Dia enggak bisa diajak LDR. Ngapain dipertahanin kalau dia udah nolak? Lagian gue bisa cari lagi, kayak enggak ada cewek lain, lagian lo tahu populasi cowok itu lebih dikit dari populasi cewek. Jadi, ya ...."

"Jadi, yaaa ... lo jadi brengsek dengan modusin anak orang, kan? Gitu maksud lo," maki Liara, ia lalu tertawa.

"Kata lo kemarin gue bangsat. Kok, sekarang brengsek?"

"Yaelah, lagi sama aja, sama-sama cocok buat lo," kata Liara sambil tergelak. "Gue mau cari Kakak gue dulu. Sana lo cari cewek, jangan gangguin gue mulu."

Arsyad mendengus, ia melihat Liara yang beranjak, mencari keberadaan Lio—kakaknya. Pandangan Arsyad jatuh pada abangnya yang ada di pelaminan, tampak di sana abangnya sedang tersenyum semringah menyalami para tamu undangan yang hadir. Melihat perjuangan abangnya untuk bisa menikah dengan Aluna, Arsyad maklum kalau hari ini abangnya menjadi lebih sering tersenyum. Semua pasangan pengantin baru yang saling mencintai pasti akan terlihat bahagia di hari pernikahannya.

"Syad ...."

"Eh, Ma. Kenapa?"

"Liara mana?"

"Nyari Bang Lio tadi."

"Oh ... kamu sama Liara pacaran?"

Arsyad terdiam untuk sejenak, ia melihat mamanya yang tampak menunggu jawaban. Wanita yang melahirkannya itu terlihat cantik dengan kebaya berwarna senada dengan Liara, rambutnya disanggul tinggi, khas ibu-ibu saat ini.

"Heh? Enggaklah, Ma. Kenapa emang?"

"Ya, enggak pa-pa, kalian ke mana-mana barengan, Mama kira pacaran."

Arsyad tergelak, pacaran dengan Liara? Sepertinya belum ada di daftar hidupnya. Memang, sih, Arsyad sayang dengan Liara, tapi sekadar sebagai saudara.

"Mama denger kemarin kamu mau buka usaha? Jadi?"

"Jadi. Mau buka kafe sama temen di sana."

"Emang sudah ngomong sama Papa?"

Arsyad menggaruk belakang kepalanya. Ia nyengir pada mamanya. "Belum, Ma."

"Terus modalnya?"

"Ya, dari tabunganku."

"Nanti kamu omongin sama Papa. Ya, sudah ... Mama ke sana dulu. Nanti papamu nyariin," kata Keya, ia lalu pergi meninggalkan anaknya.

Arsyad bernapas lega, mamanya hanya tidak tahu kalau di Surabaya, ia bekerja sambilan sebagai sopir taksi online, kalau sampai mamanya tahu, mamanya itu akan mengomel karena khawatir. Ia akan bekerja sepulang kuliah atau saat libur. Semenjak dibelikan mobil oleh papanya setahun lalu, Arsyad memang sudah merencanakan untuk bekerja sambilan. Ia hanya tidak mau terlalu merepotkan papanya. Lagian, tidak ada salahnya ia belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri, Arsyad hanya memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh orang tuanya.

"Syad, anterin gue pulang, dong," ucap Liara yang tiba-tiba ada di dekatnya.

"Loh, kenapa, Ra? Lo sakit?"

Liara menggeleng, tampak gugup. "Anterin gue pulang, ya? Sekarang, please."

Menghela napasnya, Arsyad akhirnya berdiri dari duduknya. Ia menarik tangan Liara tanpa suara, lalu membawa perempuan itu keluar gedung tempat resepsi pernikahan Aluna dan Zello. Liara terlihat aneh dan Arsyad bukannya tidak tahu akan situasi seperti ini.

***

Keesokan paginya, Arsyad dan Liara mengambil penerbangan pagi ke Surabaya. Mereka tidak bisa terlalu lama di Jakarta, karena masih hari efektif untuk kuliah. Arsyad melirik ke arah Liara yang hari ini tak banyak bicara, semenjak semalam saat meminta diantarkan pulang, perempuan itu lebih banyak diam, bahkan sejak tadi ia tak berbicara sama sekali dengan Arsyad, Liara memilih menyumpal telinganya dengan earphone dan memutar lagu dengan volume cukup kencang.

"Tangan lo kenapa?"

"Hah?"

Arsyad yang tak sengaja melihat bekas sayatan kemerahan di tangan Liara yang memakai kaus berlengan pendek, laki-laki itu merasa penasaran dengan bekas sayatan itu. Liara membuka matanya, melihat Arsyad dengan sedikit gugup.

"Eh, apaan? Ini?" Ia menunjuk tangannya. Arsyad mengangguk.

"Kegores paku kemarin, enggak sengaja gitu pas di kamar mandi ada paku nyantol."

Mata Arsyad menyipit menatap curiga pada Liara. "Lo serius?"

"Iyalah, enggak percayaan amat?"

"Yakin?"

"Iya, Raka. Udah gue mau tidur."

Arsyad menghela napasnya. Belakangan ini, ia memang sedikit curiga dengan Liara. Satu lagi, Liara hanya akan memanggilnya Raka di saat ia benar-benar butuh atau merasa sebal dengannya.

"Lo tetep tinggal di rumahnya Mbak Aluna?"

"Ehmmm, Mbak Luna, sih, nyuruh gue tinggal di sana, tadinya gue mau pindah. Tapi, Mbak Aluna enggak ngebolehin ... ya, udah. Dia malah nitipin kafenya juga sama gue."

"Abang juga enggak bakal bolehin lo pindah dari sana. Itung-itung sambil jagain rumah Mbak Aluna."

Liara diam sejenak, ia mencari lagu yang sesuai di playlist ponselnya. Pilihannya jatuh pada lagu milik Lia Marrie Johnson - DNA.

I won't be

No I won't be like you

Fighting back

I'm fighting back the truth

Eyes like yours can't look away

But you can't stop DNA

No you can't stop DNA

"Orang bilang ini era emansipasi wanita, tapi kenapa perempuan harus selalu nurut sama laki-laki?"

"Ya, kan, emang udah adatnya gitu. Gimana, sih, lo? Ya, harus nurutlah. Dalam agama juga diajarkan gitu."

"Termasuk, kalau disiksa sama suaminya? Harus nurut aja gitu?"

Arsyad menelan ludahnya susah payah. Ia melihat Liara dengan tatapan serba salah. Sepertinya ia sudah salah bicara. Liara dan segala masalah dalam hidupnya, membuatnya tampak rapuh di balik topeng baik-baik saja. Liara memang tidak pernah benar-benar menceritakan masalahnya, tapi Arsyad tahu perempuan itu jelas memiliki masalah yang besar.

"Ya, jangan nurut kalau disiksa. Baik hati maupun fisik lo, mending pergi. Hidup cuma sekali, lo enggak boleh mendewakan laki-laki atau lo bisa lawan dengan cara apa pun."

Liara tersenyum sumbang. "Mama gue mendewakan papa gue sampai lupa caranya bahagia. Ya, walaupun akhirnya mereka harus berpisah, setelah semua hal yang terjadi."

Arsyad menatap serba salah lagi ke arah Liara. Ia kehilangan kalimatnya detik itu juga. Ia tumbuh dalam keluarga penuh cinta dan harmonis, membuatnya tak bisa memahami banyak tentang Liara dan hidupnya.

***

Liara menatap tangan kirinya yang memerah, membentuk beberapa sayatan yang melintang di tangan kirinya. Setiap tetes darah yang mengalir membuatnya merasakan lega, sayatan demi sayatan yang menghiasi tangan dan pahanya, beberapa tampak sudah mengering dan beberapa lagi masih terlihat baru. Ia memegang silet yang sempat diletakannya, menyayat lagi tangan kirinya, darah kembali menetes membuatnya merasakan kebebasan setelah rasa sakit itu menghantam dirinya. Liara nyaris mati rasa, sakit itu hanya berlalu dan membuatnya candu. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat, menangis tanpa suara di kamarnya. Ia tahu ini salah, tapi saat ini, melakukan kesalahan itulah satu-satunya cara yang bisa membuatnya merasa lega dan melupakan sejenak tentang masalahnya.

"Kenapa Tuhannn ... kenapa?"

Ia berteriak di dalam kamarnya, setiap mengingat sang papa hatinya hancur, dadanya mendadak sesak. Semenjak perceraian kedua orang tuanya, papanya menghilang. Ia memang tak lagi mendapat siksaan dari sang papa, namun rasa sakit itu tetap tinggal, tak bergerak seinci pun. Justru semakin menjadi, karena rasa rindu yang ada untuk papanya, sebesar apa pun papa menyakitinya.

Perempuan itu melihat ke arah ponselnya lagi. Nama papa tertera di sana, setengah jam yang lalu papanya mengiriminya pesan yang menanyakan bagaimana kabarnya, Liara tak bisa memercayai hal itu begitu saja. Dari dulu, ia beranggapan papanya mulai gila dengan segala tekanan hidup yang diembannya, dan kegilaan papanya itu membuat keluarga mereka hancur, mungkin saja menular padanya saat ini.

"Gue enggak mau kayak Papa, enggak! Gue bukan Papa!" teriaknya histeris. Ia lalu bangun dari duduknya, mengusap darah di tangannya, lalu membersihkan luka itu dengan tisu. Liara mencari-cari kaus panjang di lemari lalu mengenakannya.

Ia bercermin, di dalam sana tampak seorang perempuan berambut cokelat bergelombang dengan mata beriris hazel green dan berkulit pucat miliknya, rambut panjang berwarna cokelat. Ia tersenyum miris, lalu mengambil gel mata dan mengusapkannya di sekitar mata, agar tampak lebih segar dan tak ada satu pun orang yang mencurigai kekacauannya hari ini.

Beranjak dari kamarnya, perempuan itu meninggalkan rumah Aluna menuju kampus. Ia ada jam kuliah siang ini. Satu-satunya yang tersisa dari segala kehancuran di dalam keluarganya adalah pendidikan, ia masih bisa memperjuangkan mimpinya.

***

"Raaaa ... udah ngerjain tugasnya Bu Kikan belum?" Tita bertanya dengan semangat. Tita dan Rissa mungkin menjadi dua mahasiswi yang paling dekat dengan Liara. Perempuan itu memang ramah, namun tak memiliki banyak teman dekat, seperti menciptakan sekat tak kasat mata.

"Belum, kamu udah?"

Tita menggelang sambil nyengir.

"Entar ngerjain bareng, yuk. Di kafe dekat kampus sebelah."

"Boleh. Tapi, aku mau ke jurusan dulu. Ngurus beasiswa."

"Oke, deh. Eh, Ra ...."

"Apa?"

"Itu Mas Irza nyariin kamu terus. Aku jawab gimana?"

"Bilang aja aku udah ada cowok."

Liara menjawab acuh tak acuh, sejak menjadi maba dulu, Irza memang gencar mendekatinya, meski sudah Liara tolak, laki-laki itu terus maju untuk mendekati Liara, membuat Liara muak, padahal rata-rata keinginan maba adalah mendapat gebetan atau pacar seorang senior, namun berbeda dengan Liara, ia sedang tak ingin memikirkan apa pun tentang laki-laki di dalam hidupnya. Rissa yang tadi sibuk membereskan proyektor LCD menghampiri dua temannya itu.

"Emang kamu udah ada cowok?" tanya Rissa sambil mencentang absen mahasiswa. Ia PJ mata kuliah hari ini.

"Kepo kalian. Haha ...."

"Raaa ... serius!"

Liara melambaikan tangannya, ia memilih kabur dari dalam kelas dan segera menuruni tangga menuju ruang dosen untuk menemui kemahasiswaan di jurusannya. Menghela napasnya, Liara memilih untuk masuk ke dalam. Pak Zeddi terlihat sibuk dengan laptop di depannya, sebentar lagi akan diadakan akreditasi jurusan oleh BAN PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) dan Pak Zeddi sebagai kemahasiswaan menjadi salah satu yang paling sibuk. Liara mendekat dengan sedikit takut, namun harus tetap ia lakukan mengingat waktunya sudah mepet.

"Pak, permisi. Maaf saya mengganggu."

Pak Zeddi mendongak, ia menghentikan pekerjaannya. "Kenapa, Liara?"

"Saya mau tanya tentang beasiswa dari bank kemarin, Pak. Apa masih ada kuotanya?"

Pak Zeddi melepas kacamata miliknya, lalu mempersilakan Liara untuk duduk. "Sudah ada berkasnya?"

"Sudah, Pak. Ini saya bawa."

"IP kamu sudah di atas 3,5?"

"Sudah Pak, rata-ratanya 3,78."

Pak Zeddi menganggukkan kepalanya. "Kamu sudah jadi WNI, kan? Karena syaratnya harus WNI juga."

"Saya WNI, kok, Pak. Saya sudah ada KTP," jelas Liara, ia sempat memiliki dua kewarganegaraan, Italia dan Indonesia, namun mamanya sudah mengurus permohonan untuk menjadikan Liara dan Lionel menjadi warga negara Indonesia seutuhnya.

"Baiklah. Kamu bisa menumpuk berkasmu sekarang. Akan saya kabari lagi nanti."

"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi, terima kasih."

Pak Zeddi mengangguk, lalu kembali sibuk dengan laptopnya.

***

Liara dan dua temannya ada di sebuah kafe yang banyak dikunjungi mahasiswa kampus sebelah. Kafe tersebut menjual makanan yang disajikan di atas platter panas. Suasana kafe cukup ramai, banyak mahasiswa yang datang ke sana, sekadar makan atau hanya memesan minum.

Mereka duduk di dekat tembok dengan tiga piring besar berisi makanan. Liara sendiri memilih memesan chicken cheese crispy dengan telur setengah matang di atasnya.

"Di sini enak, ya, bisa cuci mata lihat anak kampus sebelah. Busetlah ganteng-ganteng, bening gitu. Aduh sayang ada anjing penjaganya semua," celoteh Rissa sambil terkikik, perempuan itu memperhatikan seorang mahasiswa beralmamater hijau tua yang sedang duduk dengan teman perempuannya dua meja dari tempat mereka duduk.

"Cowok ganteng mah udah ada penjaganya semua, gigit jarilah kita," ucap Tita lalu mengunyah telur setengah matangnya.

"Ganteng kalau brengsek, ya, percuma, sih."

"Ih Raaaaa ... enggak boleh gitu tahu, enggak semua cowok ganteng itu brengsek, kamu enggak boleh memukul rata semua cowok kalau cowok ganteng itu brengsek, masih banyak yang setia, kok."

Liara mengangkat kedua bahunya saat mendengar ucapan Rissa. Sudah terlanjur tertanam di otaknya kalau cowok ganteng itu brengsek, ya, kecuali Zello dan Lio—kakaknya. Arsyad pun brengsek untuk urusan perempuan, sahabatnya itu sudah berkali-kali pacaran dan mematahkan hati banyak perempuan, belakangan ini saja Arsyad agak taubat, mungkin karena mulai sibuk dengan kegiatan kuliah dan pekerjaannya.

"Selama kita masih jadi mahasiswi, nikmatin, deh, peran kita. Ngalor ngidul aja jalan-jalan, cari cogan kampus sebelah, entar pas udah lulus terus kerja mana bisa kayak gini?"

"Kamu mah mikirin cogan mulu, Ta. Otak kamu mulai gesrek kayaknya," cibir Liara. Tita tertawa.

"Ngomong-ngomong tentang cogan. Coba tebak, aku kemarin ketemu siapa di UKM Fotografi?"

Liara mengangkat kedua bahunya tak peduli sementara Tita menatap Rissa penasaran.

"Aku ketemu Arsyad, anak fakultas sebelah. Yang ganteng itu, loh, yang unyuuu kayak oppa Korea, anak MPM," kata Rissa sambil terkikik.

"Temennya Liara itu, kan?"

Liara mendengus, Arsyad memang cukup terkenal di kampus karena ia aktif di beberapa UKM seperti fotografi dan Himapala juga pengurus MPM.

"Enggak usah, deh, kagum sama tu anak. Rugi kalian entar."

"Kamu cemburu, Ra?" tanya Rissa jahil.

"Iuh, males banget." Liara mengibaskan tangannya, ia mulai menelan makanannya lagi sebelum mereka mulai mengerjakan tugas, sampai ponselnya berdering, sebuah pesan dari Arsyad masuk.

Bangsat: Ntar malem nonton yok. Gue traktir deh orderan lagi rame hari ini.

"Woi, Ra ... kamu ngelamun mulu?" sentak Rissa, Liara nyengir segera membalas pesan Arsyad sebelum men-silent ponselnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro