Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

Meski semuanya telah berubah, masa lalu tetap akan seperti itu.

***AQUA WORLD***

Jikalau logikaku tergerak untuk memikirkan kenyataan ini sebelum kejadian ini berlangsung, mungkin hal yang kupikirkan adalah...

Bodoh, jumlah air di bumi tidak sebanyak itu. Bahkan jika seluruh es di kutub mencair menjadi air. Tidak akan mungkin bisa menenggelamkan seluruh dataran yang ada di bumi ini.

Tapi, kenyataan begitu pahit.

Air menenggelamkan seluruh kota, seluruhnya. Bahkan aku yang berada di lantai 70 sekalipun. Air sudah mulai naik menggenangi atap apartemen, masih semata kakiku, dan akan terus naik. Aku memprediksikan waktu sekitar 30 detik sebelum tempat ini tenggelam sepenuhnya.

Mungkin aku bisa mengapung untuk sementara waktu, tapi aku tahu..., akan ada masanya dimana aku kelelahan dan tenggelam.

Tidak ada apapun yang kulihat dari atas atap apartemen selain lautan yang membentang tanpa ujung, refleksi awan-awan yang bergumpalan dari atas dan sebagian bangunan tinggi yang tenggelam di bawah sana (hanya terlihat sedikit karena jernih, dan tidak terlihat karena matahari ditutup oleh awan). Memang, apartemen yang kami tinggali adalah bangunan tertinggi di kota ini.

Tidak ada lagi tempat perlarian, tidak ada lagi tempat untuk bertahan.

Aku harus melakukan sesuatu.

Aku harus...melakukan sesuatu.

Aku merongoh sakuku, mencari-cari benda yang mungkin bisa kugunakan.

Pemantik, pil kenyang... hanya itu?

Gelisah melihat air yang sudah naik hingga betisku, pandanganku menelusuri atap. Semoga saja ada kayu atau apapun yang berguna di sini.

Aku memekik bahagia saat mengeluarkan kantong kecil berwarna kuning yang diikat tambang, mengapung terombang-ambing di tengah atap. Kantong itu lebih besar dari smartphone zaman dulu (pernah menjadi topik heboh karena munculnya issue geniousphone-sebuah situs mempopulerkan istilah ini untuk candaan belaka).

Kantong itu adalah Rescue Rubber Boat, yang jika dibuka, maka kantong akan menarik udara di sekitarnya dan membuatnya menjadi sampan karet darurat. Satu-satunya hal yang membuat ukuran kantong itu besar adalah tambang sepanjang 1,5 meter yang diikat diluar kantong. Hanya perlu melepaskan tambang itu untuk membuatnya bekerja.

Aku langsung membukanya begitu mengingat bagaimana cara membuka alat itu. Butuh waktu 10 hingga 15 detik agar udara benar-benar terisi penuh. Setidaknya waktuku cukup sebelum bangunan apartemen berlantai 70 ini benar-benar tenggelam sepenuhnya.

Takut sampan karet itu terhempas air, aku buru-buru memegangi tali tambang (yang biasanya digunakan untuk diikat di parkiran atau diikat di kuda nil, juga tambang yang tadi kulepaskan agar alat ini bekerja). Saat air sudah sampai seperut, aku buru-buru naik di atas sampan.

Air naik dan semakin naik, aku bisa merasakan itu ketika naik di atas sampan. Aku memperhatikan semuanya, bagaimana air itu menenggelamkan bangunan terakhir yang terlihat di kota.

Tidak ada apapun yang terlihat, selain bentangan laut yang luas di depanku.

Aku terus mengamati dasar 'laut baru' yang ada di bawah sana. Aku bisa melihat dasar meskipun samar-samar. Apalagi batu putih yang tersusun memanjang di bawah sana yang biasanya menjadi tempat penanda bahwa jalan akan mulai menurun.

Aku bisa melihat bagaimana pohon buatan itu tenggelam (sebenarnya mengapung, tapi ditahan oleh ikatan tali) oksigen-oksigen dilepaskan di dalam air dan membuatnya bergelembung, bagaimana semua kendaraan yang diikat, mengapung tenang di bawah sana.

Pesawat tadi mungkin adalah pesawat terakhir yang pergi meninggalkan kota ini, sebab tidak ada lagi pesawat lain yang lewat setelah itu.

Aku menghela nafas lega. Siapapun yang menaruh kantong darurat itu ke sana, aku benar-benar harus berterima kasih.

Aku memperhatikan sekelilingku dengan rasa sesak yang mengelilingi diriku.

Di permukaan air, tidak ada apapun selain sampan karet ini, dan aku.

***AQUA World***

Mataku terbuka perlahan saat kurasakan setetes air mengenai pipiku. Sedetik kemudian di kakiku, lalu di leherku, disusul tanganku. Aku baru menyadari bahwa saat ini gerimis datang, yang mana halnya menganggu tidurku, karena aku tidak mungkin tidur dalam keadaan hujan meskipun ada mantel pendek yang bisa kugunakan untuk memayungiku.

Meskipun mantel dan seluruh pakaianku anti serap, aku tidak memayungi diriku. Hal yang kutakutkan saat ini bukanlah kedinginan di atas sampan ini.

Aku lebih takut tenggelam meskipun aku tahu, kalaupun sampan terendam air, aku tetap bisa selamat, karena kenyataannya sampan karet ini berisi udara.

Hujan mulai deras dan aku mulai menimba air dengan kedua telapak tanganku. Tak kupedulikan hujan yang menguyur tubuhku, asal aku merasa nyaman saja tanpa air di dalam sampan karetku ini. Meskipun aku mulai mengigil kedinginan, aku tetap saja melanjutkan aktivitasku.

Selang beberapa saat kemudian, hujan reda. Aku tidak berhenti membuang air yang masuk dalam sampan ke laut. Aku bisa melihat tanganku yang masih gemetaran hebat.

Dingin sekali airnya!

Cahaya matahari mulai muncul usai hujan. Aku, dari dalam sampan bisa melihat sekitar 3 busur pelangi dari arah yang berbeda-beda. Cahaya matahari yang mengenai kulitku membuatku merasa begitu hangat.

Dengan ketenangan yang ada, barulah aku sadar bahwa air sudah tidak naik lagi. Entah sejak kapan air sudah berhenti naik.

Dasar terlihat berkat cahaya matahari, namun terlihat jelas juga bahwa jarakku dan dasar sana sudah sangat jauh. Selain karena ukuran mereka yang sangat kecil, tiang tower di bawah sana bahkan terlihat amat jauh dari jangkauanku.

Kotaku... kota kecil dimana aku dibesarkan, kota yang familiar diingatanku itu membuatku ingin menjerit melihat keadaannya saat ini.

Aku ingat pernah berfoto ria dengan Thalia dan Cheryl di tower itu, memorinya masih ada di ponsel yang baru saja patah itu. Tower setinggi 100 meter yang menjadi kebanggaan di kota kami, sudah tenggelam.

Kupandangi langit di atasku, aku baru bisa tiduran dengan tenang di sampanku barusan. Aku sudah tidak mengantuk lagi karena terlalu panik tadi. Aku memejamkan mataku, menarik nafas dan berpikir keras sebelum melepaskannya.

Air terus naik dan dasar makin dalam.

Tapi mengapa jarakku dengan langit tetap begitu jauh?

.

.

.

Malam,

Hal kedua yang kutakutkan selain sampan karet tenggelam saat ini.

Aku tidak punya sejarah memiliki phobia terhadap gelap, aku tidak pernah meminta Ibuku menemani tidurku saat malam, dan aku juga belum pernah takut dengan kedatangan malam. Malah biasanya, aku antusias menunggu malam, karena jika malam, aku bisa tidur sepuasnya sampai pagi.

Tapi kasus ini berbeda!

Aku belum pernah membayangkan malam seperti ini. Tidur di atas sampan karet sendirian, di tengah-tengah lautan-mungkin aku boleh menyebutnya samudera-gelap, dan pastinya sudah melewati batas teritorial.

Ah, bodoh sekali. Saat kota tenggelam tadi, semua tempat otomatis menjadi kawasan bahaya.

Aku memeluk diriku sendiri, kupakaikan mantel pendek itu di tubuhku-setidaknya bisa menutupi sebagian besar tubuhku yang kedinginan.

Pikiranku meliar, penuh dengan imajinasi gila karena sedang ketakutan saat ini.

Bagaimana kalau... tepat di bawahku, ada monster laut berwujud gurita dan berukuran raksasa yang sedang menungguku tidur? Lalu dia akan mulai bergerak perlahan, membuat ombak kecil yang tak janggal agar bisa menangkapku hidup-hidup? Atau parahnya lagi, rupanya dia ada sekarang ada di belakangku?!

Kalau harus mencium katak untuk merubahnya menjadi teman, aku bersedia! Aku bersedia! Asalkan jangan monster laut berwujud gurita itu!

Aku segera berbalik ke belakang, dan menemukan kegelapan.

Gelap. Sangat gelap.

Aku takuuuttt!!

Pemantik dalam sakuku pun kukeluarkan. Untungnya semua pemantik tahan air (kalau ada yang tidak tahan air tapi lebih murah, kupastikan aku sudah membelinya), kalau tidak aku akan kedinginan disini.

Aku pun tahu keadaan bahwa aku tidak mungkin bergantung pada satu pemantik. Bagaimana hidupku besok malam? Lusa malam? Lusanya lagi? Lusanya lagi dan lusanya lagi?!

Bagaimana nasib hidupku selanjutnya?

Aku mungkin bisa mencari daratan yang lebih tinggi. Tapi aku terlalu banyak berharap. Letak Himalaya saja, aku tidak tahu dimana. Baiklah, letaknya mungkin aku tahu kalau dengan melihat peta kosong. Tapi aku bahkan tidak tahu dimana aku sekarang! Ombak membawaku ke utara, timur, selatan atau barat saja, aku tidak tahu.

Yang kutahu, aku tidak mungkin bisa mencapai pegunungan tinggi itu dalam sehari atau dua hari, apalagi dalam keadaan hanya terseret ombak begini!

Aku menyesal karena tidak belajar berenang sebaik mungkin.

Aku menyesal tak mempelajari geologi sebaik-baiknya.

Aku menyesal karena tidak menghafal nama gunung dan nama puncak yang tersisa.

Aku menyesal karena tak memperhatikan guru saat mereka mengajari cara menentukan arah mata angin hanya dengan tahu darimana keberadaan angin berhembus.

Dan hal yang paling kusesali dan tak akan bisa membuatku tenang saat ini adalah, karena aku tidak benar-benar serius belajar meskipun aku masuk dalam club Survivalife.

Lalu aku menyesal, mengapa manusia tidak berevolusi dan memiliki sayap saja, sih?!

Ahhh, bagaimana lanjutan hidupku selanjutnyaaa? Aku takuuttt!

Kalau saja Thalia melihatku panik dan hampir menangis disini, aku yakin dia akan menertawakanku dan berkata, "Wah, dimana Skye yang tangguh dan pemberani itu?' atau mungkin, "Wah, padahal masuk Survivalife, kok malah nggak bisa, sih?" dan disaat itu aku tidak akan segan-segan melemparinya ke air.

Bulan terlihat sangat besar dari sini, bayangannya pun terlihat di air. Aku tidak tahu mengapa ukuran bulan bisa terlihat lebih besar, mungkin karena jarakku dan bulan sudah tambah dekat?

Dan lagi-lagi aku mengumpat sial saat awan tebal dan hitam menutupi penerangan satu-satunya. Bintang yang sejak tadi tak tampak pun makin tak tampak. Aku lebih suka menyebut keadaan ini, kutukan.

Aku memutuskan untuk tiduran di sampan karet dalam keadaan menyamping. Aku tarik semua kata-kataku saat aku mengatakan bahwa aku tak membutuhkan ponsel. Kalau itu bisa mengembalikan ponselku padaku, aku pasti akan melakukannya.

Pejamkan matamu, Skye. Malam akan berlalu dengan cepat seperti biasa.

Cukup pejamkan mata, Skye!

Kenyataannya, meskipun mataku terpejam sekalipun, aku masih tidak bisa melupakan hal besar yang terjadi hari ini. Aku kerap mengingat bahwa aku berada di atas sampan karet, di tengah samudera luas yang bahkan aku tak tahu ada lagi tempat untuk berlabuh atau tidak. Tinggi air bahkan melebihi apartemen lantai 70, ingat?

Aku berharap ada sebuah cahaya yang datang dari atas, suara bising pesawat yang biasanya membuat seluruh penghuni apartemen tidak nyaman. Tangga dari tali diturunkan dari sana dan aku bisa ikut mereka ke Mars.

Aku sungguh berharap itu bisa terwujud.

Tapi sialnya, aku tertohok kembali dengan kenyataan ini. Sampan karet gelap, laut gelap, langit gelap dan semuanya gelap. Tidak mungkin mereka bisa menemukanku-itupun kalau mereka kembali untuk mencariku malam ini.

Dan itu mustahil! Jarak Bumi ke Mars tak sependek jarak di stasiun kereta.

Beberapa saat setelah memejamkan mata dan kesadaranku mulai diambil alih oleh heningnya malam, tiba-tiba saja sampan karetku bergerak janggal, diikuti suara gemercik air yang jelas tertangkap di indra pendengaranku. Sontak aku membuka mataku lebar-lebar, dan memeluk diriku seerat mungkin.

Aku takut.

Aku mencoba tak peduli dengan suara itu, aku kembali memejamkan mataku, pura-pura tidur sampai suara itu tak lagi terdengar. Kuharap itu hanya suara ombak-meski aku tahu itu positif bukan suara ombak. Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan monster laut! Wujud gurita, cumi-cumi, kepiting atau apapun itu! Aku tidak mau!

Aku mulai tenang saat aku tak lagi mendengarkan suara gemercik air yang janggal itu. Aku benar-benar lega.

Baru saja hendak melanjutkan tidurku kembali, aku mendengarkan dengan jelas suara maskulin berbisik pelan di telingaku,

"Aku tahu kau hanya berpura-pura tidur."

***TBC***

3 Februari 2017, Jumat

[A/N]

Kayaknya saya bisa masuk di nominasi author terkampret dan tergantung, soalnya Aqua World kena beginian udah 3x berturut-turut (Saya tahu saya mulai geser, tapi tolong jangan iyakan ini).

Baiklah, halo, semua! Ketemu lagi sama saya /peyuk.

Apa ya? Skye itu sebenarnya calm banget nda sih, anaknya? Soalnya pas baca ulang chapter awal, dia kayak kalem gitu, eh rupanya heboh banget /yaiya, siapa yang gaheboh diposisi Skye?

DAN YEAY! UDAH MUNCUL CIYE, SI ITU UDAH MUNCUL /slap. AKU TAHU KALIAN JUGA MIKIRIN HAL YANG SAMA KAYAK SAYA, KALAU ENGGAK, YAUDAH, TUNGGU NEXT CHAPTER :p

Sebenarnya kemarin saya mikirin alur ini pendek banget lho, banyak scene di atas sampan yang bakal bikin kalian bosan. Saya juga ngerasa ada yang kurang di topik ini, sayang aja latarnya langka gini malah dianuin doang. Lalu iseng-iseng saya maksain ide, eh, rupanya bisa dipake. Yaudah, kita serang, kita pakai nanti.

Saya udah pernah cerita di sini belum sih, kalau pas saya ngetik Aqua World scene awal, saya datengin kolam berenang di komplek rumah saya, seminggu sekali/duakali selama dua bulan. Gatau deh, saya udah bayar berapa buat ngebikin Aqua. Tapi saya seneng kookkkk, bisa berenang sekaligus nyari ide di sana.

Kemarin saya berenang lagi, tapi lebih sering berenang di dasar kolam karena *SPOILER*, jadi gitu deh, ide deres. Jadi, saya sesuaiin cara berenang saya sama Skye aja ya, soalnya saya males nih, belajar teori seputar renang di internet. lol. Saya rada susah di pernafasan, jadi saya ga bisa cuma sekali masuk tanpa ambil nafas.

Ih, kok ini curhat makin panjang ya? WKWKWK.

Oke, sekiaaan /obok air

Cindyana

🐳

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro