Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18

Saya tydac berniat menypu, Wattpad error wkwkwk.

[Before you read this chapter, please kindly drop a word to describe your mood right now! <3]

Aku tidak bisa menjadi matahari,
Yang berbagi cahaya juga kepada planet lain.
Aku menganggapmu seperti bulan pada bumi,
Kau cukup tahu itu, Skye.


Dinding putih itu memantulkan refleksi air yang terkena cahaya matahari yang terik. Bercak putih yang terang dan indah terbentuk, bergelombang mengikuti bentuk permukaan air.

Aku menunduk memperhatikan keramik putih bersih yang tengah kupijak, lalu melangkah mendekati jendela untuk memperhatikan keadaan di bawah sana.

Air jernih yang biru menyapaku begitu kepala mengintip. Keberadaanku di lantai yang tinggi, aku mungkin bisa melihat refleksi kepalaku sendiri, andai aku punya mata yang jernih.

Banyak perahu yang mengapung, papan selancar yang berselancar, pemilik yang membawa kuda nilnya, parkiran sampan yang terombang-ambing diikat oleh tali. Beberapa orang menawarkan sepatu boots tinggi agar kaki tidak terendam air.

Beberapa orang menunggu di halte, menunggu kapal kecil untuk mengantar mereka.

Aku ada di Kota Waterfloeus, kampung halamanku. 

"Skye."

Aku menoleh ke sumber suara dan menemukan Ibu di sana. Entah karena alasan apa, aku sangat merindukannya, dan juga merindukan semua aktivitas di kota ini. Entah apa yang terjadi kepadaku dan entahlah apa yang kupikirkan, aku tidak mengerti. Rasanya ingin menangis begitu saja, tanpa alasan yang pasti.

Kuhampiri Ibu dan memeluknya selama beberapa saat. Namun Ibu tidak membalas pelukanku, yang membuatku segera melepaskan pelukanku terhadapnya.

"Skye ...," panggilnya.

"Iya, Bu?"

Ibu menatapku dalam, lalu mengatakan, "Kau tahu kan, kalau hanya kau yang Ibu miliki di Bumi ini?"

Kata-kata itu bukanlah kiasan, tetapi kenyataannya. Sudah berulang kali Ibu mempertanyakan hal ini kepadaku, dan setiap Ibu melakukannya, aku pasti  ingin menangis.

Kuanggukan kepalaku sekali, "Aku tahu."

Ibu mengelus kepalaku, "Kalau begitu, jangan membuat Ibu khawatir, ya?"

"Iya."

Ibu mengelus kepalaku.

"Skye, kalau kau diberi salah satu kekuatan untuk bisa bernapas dalam air atau untuk bisa terbang, kekuatan apa yang akan kau pilih?" tanya Ibu.

"Aku ingin bisa bernapas dalam air," jawabku langsung, yang membuat Ibu tersenyum.

Aku ikut tersenyum, sampai akhirnya senyuman Ibu memudar sepenuhnya, menciptakan goresan ekspresi baru yang membuat ekspresiku ikut berubah. Kali ini Ibu menatapku dengan tatapan tajam, lebih mengerikan daripada saat Ibu mengetahui bahwa aku diam-diam bermain di zona teritorial.

"Ibu tahu kau sangat mencintai Bumi, tapi tempat kita bukan di sini."

"Maksud Ibu...?"

PRANG!

Jendela di depan kami pecah dan sebuah tentakel berwarna hitam legam menargetkan leherku. Jeritanku tertahan di tenggorokan. Kutatap Ibu yang kini menatapku dengan tatapan datar, sedangkan aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

"I-Ibu!"

Air tiba-tiba saja sudah sampai selutut Ibu. Mendadak, aku membisu, suaraku lenyap entah ke mana. Aku panik, batinku menjerit ingin meminta Ibu pergi menyelamatkan diri. Belum cukup sampai di sana hal terburuknya, karena tentakel itu menarikku menjauh dan membawaku keluar dari ruangan itu.

Pelan-pelan, wajah Ibu pun semakin jauh. Aku juga ikut menjauh dari jendela yang ternyata adalah jendela apartemen kami. Kota mulai dipenuhi oleh air lagi dan menguasai semua bangunan tinggi dalam sekejap. Semuanya berlangsung sangat cepat, hanya dalam sekali pandang saja.

Leherku masih terlilit oleh tentakel itu. Aku terseret cukup jauh, sejauh-jauhnya dari kota Waterfloeus yang telah tenggelam itu.

Aku ingin menjerit dan meminta siapapun yang melakukan ini, untuk berhenti.

.

.

.

"Skye! Skye! Kau tidak apa-apa?"

Suara yang pertama kali kudengar adalah suara Yyil. Pelan-pelan membuka mataku, hal yang kulihat adalah puluhan kepala yang mengelilingi penglihatanku, mengerubungiku untuk memastikan keadaanku.

"Aku—" Terbatuklah diriku selama beberapa kali karena tenggorokanku terasa sangat gatal. Setelah berhenti, aku melanjutkan, "Aku baik-baik saja."

"Syukurlah," ucap Yyil sambil menghela napas lega.

Yang barusan itu ... mimpi?

Syukurlah.

Itu mimpi yang sangat buruk. Melihat Ibu masih di dalam apartemen dengan air yang naik lebih menyeramkan daripada situasi apapun yang ada di muka bumi ini.

Tubuhku melemas, tetapi aku masih sanggup melihat kepala-kepala yang mengerubungiku. Seberapa keras pun aku mencoba, aku tetap tidak bisa menemukan orang yang kucari.

"Dillon mana?"

Yyil saling berpandangan dengan beberapa orang yang ada di sana, sebelum menjelaskan, "Dillon belum kembali."

Mataku terbelalak, tetapi aku tidak bisa menggerakkan tubuhku untuk membuat diriku dalam posisi duduk saat ini, tubuhku terlalu lemas untuk melakukan itu.

"Sejak tadi?" Aku mengerjapkan mata. "Sudah berapa lama?"

"Sudah hampir sepuluh menit," jawab salah satu warga.

Salah satu anggota tim pemburu ikut menjawab pertanyaanku untuk mengurangi rasa penasaranku, "Dillon menyadari bahwa hanya kau yang ditarik di menit pertama, jadi dia langsung menolongmu. Sebagai gantinya, dia yang dibawa pergi."

Semua perjuanganku hanyalah semenit. Aku tidak pernah tahu bahwa semenit bisa terjadi selama itu. Kupikir aku sudah melewati rekor tertinggiku, nyatanya aku salah besar.

"Ini aneh. Padahal kalian sama-sama ditandai, tapi hanya kau yang ditarik. Padahal ada banyak makhluk air kan, tadi?" tanya Bryon. "Mereka benar-benar tidak mau melepaskanmu."

"Maaf? Tapi tanda-tandai apa yang sedang kalian perdebatkan di sini?" tanya Yyil sambil mengerutkan kening.

"Tidak ada," balas mereka semua dengan kompak.

"Kalian tidak bisa berbohong." Terdengar suara Zuo dari belakang Yyil. Selanjutnya, Zuo menatap ke arahku, "Kau pasti tahu sesuatu, kan, Skye?"

Aku melirik semuanya. Ekspresi mereka memintaku untuk menjelaskan saja daripada harus mereka yang menjelaskan. Aku juga sangat mengerti bahwa Zuo telah bersabar memintaku menjelaskan rahasiaku sejak awal.

"Zuo, jangan memaksa Skye," cegah Yyil sebelum aku sempat membuka mulut. Sempat terpikir olehku bahwa Yyil adalah penyelamatku, walau memang hanya untuk sementara waktu. "Nanti saja, kalau Skye sudah sembuh," lanjutnya.

"Iya, nanti saja," sambung Nael. Aku hanya mampu mendengar suaranya, entahlah di mana kepala Nael berada.

"Kami akan membawamu beristirahat di tempat yang layak," ucap beberapa gadis tim pemburu dengan nada bersalah.

"Lalu Dillon?" tanyaku sembari menoleh menatap lautan yang gelap.

Tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan kembali.

"Tenang saja, Dillon sudah terbiasa," ujar Bryon menghiburku. "Nanti kalau sudah kembali, aku akan menyuruhnya menjengukmu."

Mereka bersama-sama membawaku berbaring di atas tandu dari bahan seadanya, yang telah mereka siapkan. Yyil juga ikut membantu. Di tengah perjalananku untuk sampai di 'Tempat Peristirahatan Layak' yang mereka maksud, dia mengajakku mengobrol dengan mengatakan bahwa aku sangat kuat. Kuat karena jika dibandingkan dengan dirinya kemarin malam yang tidak berdaya walaupun belum masuk ke air berbeda dengan keadaanku yang sudah sangat parah.

Aku sendiri juga merasa begitu. Apakah karena aku sudah terlalu mempasrahkan semuanya sejak awal? Sampai-sampai rasanya aku tidak sekaget Yyil?

Mengapa aku masih sanggup membuka mataku dan berbaring seperti ini, di atas tandu dan menyaksikan bulan mengikutiku?

*

Seperti kata Bryon kemarin malam, Dillon benar-benar telah kembali. Katanya, Dillon sudah terbiasa diseret oleh makhluk air, tetapi sedalam apapun mereka berusaha untuk menarik Dillon, dia akan kembali ke Kota Apung dan tidak akan pernah membahas apapun tentang makhluk air yang menyeretnya.

Dillon adalah manusia di Kota Apung yang mampu bertahan paling lama di dalam air. Kata mereka, itu adalah bakatnya dan mungkin juga karena Dillon memang sudah terbiasa dengan semua itu.

Kedatangan Dillon di tempat peristirahatan cukup melegakan untukku. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika seandainya Dillon mati tenggelam karena mencoba menyelamatkanku.

Aku menemukan sesuatu yang aneh tentang Dillon.

"Wajahmu kenapa?" tanyaku sambil menunjuk pipi.

Sebelah pipinya lebam, aku tidak yakin itu muncul tiba-tiba karena dia menyelam terlalu lama.

Dillon menyentuh sebelah pipinya, sebelum akhirnya menghela napas, "Tidak ada. Ini hukumanku karena mengajakmu melakukan hal yang berbahaya."

Aku tidak menyahut, hanya membiarkan Dillon duduk agak jauh dariku. Ekspresinya jelas kelihatan bersalah, aku bisa membacanya. Namun aku tidak menginginkan permintaan maaf, karena dia jugalah yang telah menyelamatkanku kemarin.

"Skye, berdiri," pintanya.

Aku menaikkan sebelah alis, menatapnya heran, "Hei, kau tidak bisa memintaku melakukan hal aneh. Aku pasien di sini," protesku.

Tanpa disangka-sangka, Dillon membantuku berdiri dan membiarkanku bersandar pada dinding tenda di belakangku. Kupikir tenda itu akan roboh menjatuhkanku, tetapi kenyataanya aku malah bersandar tanpa terjatuh ke belakang. Sepertinya mereka memang benar, ini tempat peristirahatan paling layak.

Kemarin, Yyil juga beristirahat di sini. Aku jadi merasa bersalah karena kedatangan kami yang hanya baru dua hari ini sudah menciptakan dua korban yang nyaris tenggelam dalam dua malam.

"Kau kenapa?" tanyaku saat melihat Dillon mundur beberapa langkah setelah membuatku berdiri dan bersandar pada tenda.

Tiba-tiba saja, dia menjatuhkan dirinya dalam posisi berlutut. Jangan tanpa seberapa kagetnya aku saat melihat seorang Dillon tiba-tiba berlutut di depanku, seolah dialah manusia yang paling berdosa atas semua kejadian yang menimpaku.

"Maafkan aku," gumamnya sambil menunduk. "Aku hampir membuatmu kehilangan nyawa."

"Eh ... T-tunggu sebentar." Aku mencoba menghentikannya karena masih belum bisa mencerna ini.

Dillon yang arogan baru saja meminta maaf!

"Maafkan aku juga karena aku terlambat menyadari bahwa kau sudah ditarik," ucapnya lagi.

"Berhenti—"

"Aku tidak akan pernah lagi melibatkanmu menjadi umpan walaupun kau manusia terakhir yang harus melakukannya. Maafkan aku."

"Dillon, berhenti meminta maaf! Aku masih hidup!" seruku.

Tepat setelah aku membentaknya, tubuhku terjatuh di atas lantai karena tidak kuat menopang berat badanku sendiri. Ini benar-benar memalukan, karena Dillon harus membantuku lagi.

"Kau ... minta maaf seolah aku sudah mati," ucapku pelan.

Dillon mendekat dan kembali membantuku berbaring, "Maaf."

Aku menghela napas frustrasi. Tiba-tiba pandanganku terhadap Dillon soal dirinya yang arogan berubah begitu saja. Dillon benar-benar merasa bersalah dan dia hanya mengekspresikannya secara langsung, bukan dengan kata-kata.

Tirai tenda tersibak tiba-tiba, membuat kami berdua menoleh. Ada Yyil, Nael, Zuo dan Bryon di sana.

"Apa kau mau satu lagi dari Nael?" tanya Zuo sambil mengepalkan tangannya ke atas.

Di sana, aku baru mengetahui fakta bahwa Nael-lah yang melakukan itu kepada Dillon, entah karena alasan apa. Lalu, aku teringat dengan kata-kata Dillon yang mengatakan bahwa lebaman itu adalah hukumannya karena membuatku terikat bahaya. Seketika, aku langsung mengerti.

Nael melakukan itu kepada Dillon karena telah membuatku berada dalam posisi yang berbahaya.

"Aku sudah minta maaf kepada Skye, dan dimaafkan," balas Dillon kembali memperlihatkan wajah angkuhnya.

Dillon lalu mengambil sebuah gelas yang entah sejak kapan disiapkannya di sisi tempat aku tidur. Aromanya tercium seperti endapan kuda laut yang dicampur dengn berbagai jenis reptil dan cangkang kura-kura, ya, aku mengingatnya sampai sedetail itu.

Minuman itu kembali disuguhkan Dillon kepadaku.

"Oh, itu minuman yang kemarin kuminum," ucap Yyil sambil tersenyum ke arahku. "Walaupun memiliki aroma yang aneh, tapi manjur sekali, lho. Skye coba, deh. Biar cepat pulih."

Kami semua menatap ke arah Yyil yang polos tak mengerti minuman apa yang diminumnya kemarin, dan kupikir lebih baik dia tidak mengetahuinya. Di antara semua orang yang meminum ini, aku yang paling sial karena harus meminumnya dua kali.

"T-terima kasih," jawabku apa adanya.

Dan terpaksalah aku menjadi karnivor sekali lagi.

Setelah menengak habis minuman itu, semua tenagaku terasa kembali lagi. Tubuhku terasa menghangat dan aku bahkan bisa langsung berdiri setelah merasakan semua cairan coklat itu sudah melewati tenggorokanku.

"Tiduran dulu lima belas menit," ucap Dillon sambil menarik tanganku untuk duduk kembali.

Nael mendekat, kali ini duduk di samping Dillon.

"Kau tidak apa-apa?"

Aku mengendikkan bahu, "Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat."

Selanjutnya, Zuo dan Yyil juga ikut mendekat.

"Kami dengar, kau bertemu dengan makhluk air sebelum sampai di Kota Apung. Yang mana halnya, sebelum kau sampai di pegunungan itu. Apa itu benar?" tanya Zuo.

Jantungku terasa berdetak sangat keras sekali. Kupikir semua orang yang ada di sana juga sepertinya mendengarnya.

Bryon yang daritadi memperhatikan dari pintu tenda pun melangkah mendekat, lalu menimpali, "Ceritakan saja apa yang terjadi."

"I-iya," ucapku dengan berat hati.

Mereka berlima menatapku dalam, menungguku bercerita. Entah mengapa aku tetap belum siap. Semua ini terlalu tiba-tiba, apalagi ini masih pagi setelah aku terbangun dari bencana yang menimpaku.

"Aku memang bertemu dengan salah satu makhluk air sebelum sampai di pegunungan ...."

Aku menjeda selama beberapa saat, lalu menatap Dillon, memberikan tanda bahwa aku butuh bantuannya untuk menghentikan ceritaku. Dillon menatapku seolah mengerti, tetapi kelihatannya dia tidak berniat untuk membantuku.

Atau mungkin, karena dia juga tertarik dengan ceritaku.

"Hanya aku yang tertinggal di kota saat itu. Semua pesawatnya sudah pergi," jelasku dengan berat hati.

Zuo menyambung, "Lalu?"

Sudah kuduga aku belum siap.

"Lalu saat malam, di dalam sampan, aku—"

Aku langsung memegang perutku dan mengadu kesakitan, "Aduh!"

Nael yang paling duluan tersentak, "Skye, kenapa? Perutmu sakit?"

Aku mengangguk cepat, aku tiduran kembali sambil mengelus perutku.

Dillon mengerutkan kening, lalu mendekatkan telapak tangannya di keningku. "Bryon, ambilkan cairan untuk demam, sakit perut, penambah tenaga, dan untuk memperlancar pernapasan."

Bryon langsung berdiri. Nael, Zuo dan Yyil juga langsung melangkah keluar untuk membantu Bryon mengangkat per cangkirnya dari tenda obat. 

Selanjutnya, Dillon memindahkan gelasnya, lalu duduk dan menyentuh keningku sekali lagi.

"Kau bukan aktor yang baik," komentar Dillon sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sedangkan aku, berhenti mengusap perutku begitu Dillon mengatakan hal itu.

"Pokoknya, nanti kau harus habiskan semuanya, ya," ucapnya.

Dillon ikut keluar setelahnya, meninggalkanku di dalam tenda seorang diri dengan tatapan pucat, antara pucat karena aktingku ketahuan dan karena harus menghabiskan banyak obat dengan bahan ajaib di dalam setiap jenis minumannya.

*

Sore hari, keadaanku sudah sangat membaik. Hanya lidahku yang masih merasakan kepahitan yang luar biasa, pelajaran untuk diriku sendiri karena telah berbohong demi menutupi rahasia yang cepat atau lambat akan segera mereka ketahui.

Seperti sore-sore sebelumnya, mereka bersiap-siap untuk makan senja lagi. Kali ini mereka tidak lagi mengajak kami—tim makan pil—untuk bergabung. Kupikir aku juga tidak akan mengajak orang yang telah menolak ajakanku dua hari berturut-turut.

Mereka mulai menyalakan api dan memanggang ikan. Kegiatan yang mereka lakukan setiap hari nyaris selalu sama. Membuat jebakan untuk ikan, lalu memanggangnya. Monoton. Namun dengan cara inilah mereka bertahan hidup.

Tadi, ada orang tua yang mengeluh bahwa tangkapan mereka hari ini hampir tidak ada dikarenakan ikan-ikan berenang di bawah sana. Mereka harus membuat jebakan yang lebih panjang tanpa ada jaminan mereka akan tertangkap.

Kami berempat juga berjanji akan membantu kalau kami sanggup, termasuk untuk membawa Dillon menaruh umpan di tali tambang seperti sebelumnya.

"Selamat makan!"

Dalam situasi makan keadaan melingkar begini adalah kondisi yang paling mudah untuk membuat topik baru dalam perbincangan. Canggung yang teramat sangat terasa di atmosfir kami.

Aku curiga bahwa mereka bertiga juga tahu bahwa aku berbohong soal perutku yang sakit untuk menghindari topik pembicaraan (mengingat bahwa mereka sangat ahli membaca bahasa tubuh). Tapi, hei, aku sudah menerima akibatnya. Aku meminum semua cairan itu tanpa sisa, padahal aku nyaris muntah saat mencium obatnya, bahkan aku meminumnya. Keempatnya memiliki rasa yang berbeda dan sangat ajaib, sanggup untuk membuat lidahku menari-nari dan berputus asa.

"Ngomong-ngomong ..."

Aku langsung menoleh waspada ke arah Nael yang memulai pembicaraan kami dengan perkataan semacam itu. Zuo dan Yyil juga langsung menoleh ke arah Nael.

"Apakah kita akan tetap di sini atau bagaimana?"

Napas beratku terbuang sekali. Ini topik yang berat.

"Entahlah, Nael, aku merasa serba salah," jawab Yyil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kita tidak punya tujuan. Di sini memang bukan pilihan terbaik, tetapi di sini kita beramai-ramai."

"Lagipula mereka bersedia menampung kita," kilah Zuo.

"Aku juga bingung," ungkap Nael. "Kalau kita tetap di sini, bukankah itu berarti kita termasuk bagian yang menentang pemerintah?"

Masuk akal. Aku ingat sekali saat kemarin Dillon menjelaskan tentang kota Apung yang berdiri karena Tetuah mereka menentang keinginan pemerintah untuk ke Mars. Pemerintah melakukan blacklist agar dia tidak dapat diterima di kota mana pun di bumi, yang membuat dirinya akhirnya berinisiatif membangun kota baru di atas air.

Banyak tim pro dan kontra dalam kasus perekrutan orang-orang di Mars. Mereka memilih orang-orang dengan daya tahan tubuh yang kuat, juga berdasarkan kecerdasan. Ayah Thalia dulu tidak direkrut karena sempat sakit keras, tetapi akhirnya sembuh. Terkadang, aku iri melihat mereka sekeluarga berkumpul bersama di Bumi.

Dan bicara soal Thalia, aku teringat Cheryl. Kira-kira bagaimana perasaan anak itu saat hari ulang tahunnya akan menjadi hari bersejarah?

Dari kemarin aku tidak sempat memikirkannya karena terlalu peduli dengan keberlangsungan hidupku.

Mereka melanjutkan topik berat mereka.

"Kita bukan menentang pemerintah, tapi kita tidak punya pilihan," ucap Zuo.

Suara mereka semakin lama semakin pelan, karena pembahasan ini snagatlah sensitif untuk didengar oleh pihak lain.

"Tapi kalau kita meninggalkan kota ini, kita seperti anak kota yang tak tahu terima kasih," ucap Nael lagi. "Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan?"

"Menurutku kita harus tetap di sini," ucap Yyil. "Terombang-ambing di lautan tanpa tujuan itu sangat menyedihkan. Kalau kita di sini, setidaknya kita bertemu dengan sesama manusia yang sudah lebih ahli tinggal di laut dan bisa bertahan hidup tanpa subsidi pil pemerintah."

"Itu sama saja dengan meminta kita menjadi karnivor, kan?" tanya Nael lagi.

"Cepat atau lambat, ketika pil kita habis, kita akan menjadi karnivor," imbuh Yyil.

Aku jelas tidak mengerti apa yang mereka perdebatkan, tetapi bukankah kami semua sudah termasuk karnivor setelah meminum obat dari mereka? Oh, dan tentu saja terutama aku yang sudah meminumnya berulang kali dan berbagai jenis pula.

"Menurutku, lebih baik menunggu pesawat pemerintah lewat. Dalam situasi genting seperti ini, tidak mungkin mereka juga mau bertahan di perairan dalam. Mereka pasti akan berpikir panjang dengan apa yang akan mereka dapatkan selanjutnya jika sudah berada dalam keadaan darurat. Mungkin saja mereka akhirnya memutuskan untuk tunduk pada pemerintah?"

"Stt, Zuo, kecilkan suaramu," sergah Yyil.

"Bagaimana menurutmu, Skye?" tanya Nael.

"Erm, menurutku lebih baik kita tetap di sini," komentarku. "Yyil benar. Terombang-ambing di lautan tanpa tujuan itu hanya membuat kita berputus asa dan ingin semuanya berakhir saja. Kemarin aku mengalaminya, setiap detik rasanya sangat sia-sia."

Mereka terdiam selama beberapa saat, seolah aku mengucapkan kata-kata yang hebat.

"Tapi kalau kita mulai sekarang, kita mungkin bisa sampai di pegunungan lain yang lebih tinggi. Kalau kita memulainya agak lama, mungkin makanan kita tidak akan cukup."

"Lalu bagaimana kalau pil kita habis sebelum kita menemukan pegunungan?" tanya Zuo.

"Pil kita masih banyak, kita baru membuka sedus yang kita bawa dari helikopter tadi pagi, ingat?" tanya Nael balik."Kita masih bisa bertahan setidaknya tiga bulan."

"Kupikir lebih baik kita tidak memperdebatkan ini dulu, bisa-bisa mereka mendengarnya," ucapku sambil mengintip keberadaan mereka yang masih menyantap makan senja mereka.

"Baiklah, dengan sandi."

Mereka bertiga mulai menggerak-gerakan tubuh mereka dan yang kulakukan masih sama sejak awal, hanya menyimak.

"Jadi, kita pergi atau tetap di sini?" Sandi Nael mempertanyakan hal itu.

"Di sini." Dengan kompaknya sandi Yyil dan Zuo memperlihatkan hal yang sama.

"Kalau Sky?"

Nael menunjuk langit, yang membuatku teringat bahwa dulu teman-temanku memberikan sandi untuk namaku dengan menunjuk langit. Sky, langit. Nael jelas tidak tahu soal ini, mungkin dia juga terpikirkan dengan hal itu.

"Aku juga tetap di sini." Aku melakukan sandi itu, yang membuat mereka semua tertawa bersamaan.

"Ada apa?" tanyaku pada akhirnya.

"Kau benar-benar bisa bahasa sandi, ya. Kau benar-benar hebat," puji Nael.

Aku menaikkan sebelah alis, "Kalau tidak bisa bahasa sandi, aku tidak akan bisa masuk klub pertahanan hidup."

Memang, itulah kenyataannya.

"Menjadikanmu salah satu partner dalam petualangan ini memang tidak salah. Kau keren." Kali ini Yyil yang memuji, sementara Zuo mengiyakan.

Aku tidak merasa seperti itu ....

"Kurasa aku akan kembali ke tempat peristirahatan sekarang," ucapku sembari berdiri dari dudukku.

"Perutmu sakit lagi?" tanya Nael. "Mau kuantarkan?"

Aku tidak bisa menolak atau mengiyakan, jadi kubiarkan saja dia mengantarku. Setelah mendapatkan izin dari Yyil, Zuo, Dillon, Bryon dan semua orang yang ada di sana, aku dan Nael melangkah ke tenda peristirahatan yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana.

"Perutmu tidak apa-apa? Perlu kuambilkan obatnya?" tawar Nael. "Aku bisa minta izin kepada Dillon untuk mengambil secangkir lagi buatmu."

"Tidak perlu," jawabku sembari menggelengkan kepala.

"Baiklah, kalau begitu," ucapnya patuh.

Aku melangkah sembari tersenyum menatap ke arahnya, "Nael, mengapa kau baik sekali?"

"Baik bagaimana, maksudmu?" tanya Nael kebingungan.

"Tidak, bukan apa-apa. Aku merasa kau sangat baik, walaupun dengan orang asing yang tidak kau kenal."

Nael menggosok tengkuknya, menjawab dengan kebingungan, "Karena sesama manusia harus saling menolong?"

"Begitu ya?"

Kami melanjutkan jalan kami. Latar senja di langit juga ikut mencemari sementara warna air di laut. Aku suka langit biru, tetapi langit jingga tidaklah seburuk itu.

"Tapi aku memperlakukanmu berbeda dengan yang lain," ucapnya.

Kutolehkan kepalaku, menatapnya bingung, "Berbeda bagaimana, maksudmu?" tanyaku lagi.

"Aku merasa kalau aku—"

Pergelangan tanganku tertahan oleh sesuatu, yang membuatku langsung berhenti melangkah.

Aku menatap ke arah Nael yang tampak kehabisan kata-kata. Dia mengerjap, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ditahannya dengan sekuat tenaga. Nael tak bisa mengungkapkannya, dan aku juga tidak bisa membaca pikirannya.

Lalu, di saat yang sama, aku menyadari bahwa kedua tangan Nael masih berada di dalam saku.

Lalu yang menahanku ini ...

Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Manik mataku langsung bertemu dengan seorang pemuda yang kukenal.

Pemuda berkulit putih, bersuara merdu, dan bermata biru tosca.

"Skye?" panggilnya.

Para warga benar, mereka memang punya suara yang merdu. Aku pernah mendengar suara ini sebelumnya, tetapi aku sama sekali tidak menyadarinya.

Mendadak, seluruh bulu kudukku merinding. Selanjutnya, jantungku berdebar sama cepatnya seperti saat pertama kali kami bertemu beberapa malam yang lalu.

Aku benar-benar tidak menduga bahwa kami akan dipertemukan kembali di Kota Apung, karena kupikir kami tidak akan lagi berjumpa selamanya.

Kusadari pula pegangannya dingin, membuat semua tubuhku ikut menjadi dingin. Semuanya bermula dari tanganku, menjalar ke seluruh tubuh.

Dengan agak berat dan penuh ketidakpastian, aku mengeluarkan suara, memanggilnya.

Makhluk air yang menyelamatkanku.

"A-Ath...?"

***TBC***

9 Juli 2018, Senin.

[A/N]

AKHIRNYA SETELAH SEPULUH CHAPTER, 16 BULAN DAN SATU TAHUN EMPAT BULAN, MEREKA BERDUA DIPERTEMUKAN KEMBALI.

Nggak tahu ngefeel atau engga, yang jelas aku heboh sendiri pas ngetik ini.

Kalo kurang ngefeel, nanti mungkin pas tamat bakal aku revisi lagi wkwkwkwk ((lagi malas, udah baca 3 kali tapi udah sreg)).

Problematika hidup Skye berat banget kayaknya, aku nulisnya sampai kehabisan kata-kata buat ditulis. Keadaan menekan dirinya untuk berjuang, bukan keinginannya. Kasian.

[Drop a word to describe your mood, after you read this. Hehe].

MANA YANG DARI KEMARIN NGE-ATH-ATH MULU DI SETIAP KOMENTAR? INI YA!

Eh, sudah sampai sejauh ini, kira-kira ada yang tahu nggak apa yang akan terjadi selanjutnya? I'll waiting for your opinions in comment.

Mata 335k
Bintang 46.1k

BTW Cerita ini akan kuikutkan dalam Wattys 2018.

Aku mau minta izin buat ganti blurbnya. Nggak perlu jauh-jauh, aku bakalan pakai PROLOG sebagai blurbnya, karena menurut keterangan dari teman-temanku yang juga sesama penulis, Prolog Aqua ini rasa blurb. Wwkwkwk. Jadi ada kemungkinan besar Prolog akan aku ganti, mungkin setelah revisi nanti.

Berhubung Epilog nanti juga sudah dipastikan adalah cerita, aku akan mengusahakan cerita yang bagus di Prolog (amin). Tapi aku belum tahu mau menceritakan apa di prolog, jadi bagi kalian yang punya ide, mohon bantuannya.

Apakah aku harus menulis tentang Pre-Aqua (cerita sebelum era-aqua) atau aku harus menulis tentang hal lain?

Mohon doanya ya, semoga aku segera mendapat pencerahannya <3


Cindyana

[Ikon Paus]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro