Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Untukmu, Malaikatku

Penghargaan. Sejujurnya aku tidak tahu harus bercerita mulai dari mana, tapi sepertinya mulai dari awal bukan pilihan yang buruk, terutama setelah semua yang terjadi.

Anak haram. Orang-orang mulai memberikanku julukan seperti itu semenjak seorang pemulung menemukanku berada di dalam tas ransel butut dengan darah yang masih menempel di tubuhku. Bahkan ketika sepasang suami istri berhati malaikat mengangkatku sebagai anak mereka, orang-orang masih menyebutku anak haram alih-alih menggantinya menjadi anak pungut. Ya, anak apa lagi yang dibuang di dalam tas bahkan sebelum sempat dibersihkan atau dipotong ari-arinya kalau bukan anak haram.

Awalnya aku tidak terlalu mengerti apa maksud panggilan itu. Maklum, aku masih terlalu kecil untuk mengerti hal itu. Satu hal yang aku tahu, para orang tua melarang anak-anak mereka bermain denganku. Tak jarang mereka mengejekku, mendorong-dorong dan menjahiliku. Masa kecilku menyedihkan, aku takut bermain dengan orang lain sejak itu, menjadikanku sosok yang tertutup, introvert.

“Tidak apa-apa. Kalau tidak ada yang mau bermain dengan Reina, masih ada Ayah dan Bunda yang mau bermain dengan Reina.”

Panggilan anak haram mulai berubah saat aku beranjak dewasa. Ah, tidak. Menurutku usia 8 tahun belum bisa dikatakan beranjak dewasa. Remaja saja belum. Beberapa bulan setelah ulang tahunku yang ditetapkan di hari ketika aku ditemukan, Bunda mengeluh sakit di bagian perutnya, berlanjut dengan demam tinggi dan mual-mual. Hal yang paling menonjol adalah perut Bunda menjadi buncit, bahkan hingga panggulnya, tapi Bunda menolak dibawa ke rumah sakit dan hanya berobat di bidan dekat rumah. Ayah akhirnya membawa Bunda ke rumah sakit saat Bunda tiba-tiba jatuh pingsan di kamar mandi.

“Hasil pemeriksaan, tes darah, CT Scan, USG dan MRI mengindikasikan adanya tumor di rahim Ibu. Itu juga yang menyebabkan ibu tidak bisa memiliki keturunan,” terang dokter saat itu yang jelas tidak bisa kumengerti, hanya bisa kudengarkan sambil menggenggam tangan Ayah. Aku melihat Ayah menangis keras saat itu, begitu juga dengan Bunda yang berbaring di brankar tidak jauh dari tempat kami duduk.

“Bunda jangan nangis,” kataku saat itu sambil menggenggam tangan Bunda yang justru membuat Bunda semakin keras menangis sambil memeluk tubuhku erat. Selanjutnya yang aku tahu, kita bertiga menjadi sangat sering berada di rumah sakit.

Segala jenis pengobatan dilakukan untuk kesembuhan Bunda. Ayah sampai harus melakukan peminjaman di kantor tempatnya bekerja meskipun sudah mendapatkan keringanan dengan menggunakan BPJS. Perjuangan Bunda berakhir dua tahun setelahnya. Aku berusia 10 tahun saat itu. Cukup untuk mengerti bahwa aku tidak akan lagi merasakan pelukan hangat Bunda atau masakan-masakannya yang luarbiasa.

“Tuhan pengen ngobrol sama Bunda, pengen Bunda nemenin Tuhan di atas sana. Makanya Bunda harus ke sana. Tuhan kangen pengen meluk Bunda.” Ayah menjelaskan dengan nada bergetar bahkan tanpa aku bertanya. Aku tahu pasti Bunda tidak akan pernah kembali lagi di tengah-tengah kami.

“Kalo Reina kangen sama Bunda gimana Yah?” tanyaku saat itu yang justru membuat Ayah memelukku erat-erat. Aku merasakan tubuh Ayah bergetar, tapi aku tidak mendengarnya terisak atau merasakan basah di tubuhku. Mungkin Ayah menahan tangisnya.

“Reina gak boleh nangis. Nanti Bunda ikut nangis kalo Reina nangis.” Kata-kata Ayah itu yang membuatku tidak meneteskan air mata sedikitpun saat peti mati yang berisi tubuh Bunda mulai masuk ke dalam tanah. Diiringi lagu-lagu menenangkan yang justru menyayat hati. Aku menahan air mataku hingga merasakan rasa sesak di dada. Tapi aku sudah berjanji tidak menangis dan aku menepatinya.

Tepat 2 bulan kepergian Bunda, Ayah tidak lagi bekerja di perusahaan. Ayah bilang mereka sudah cukup dengan tenaga Ayah dan sekarang sudah tidak membutuhkannya lagi. Ayah mulai menghabiskan waktu luangnya di gereja, mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan. Semenjak saat itu, panggilan anak haram yang tersemat di diriku berubah menjadi pembawa sial.

Bahkan setelah Ayah membuka sekolah musik dan mengajar musik di beberapa sekolah negeri di dekat rumah, orang-orang masih menyebutku pembawa sial. Anak-anak mereka semakin gencar mengejek dan menjahiliku dan entah bagaimana guru-guru di sekolah juga memandangku dengan cara yang sama. Aku hanya diam saat mereka mengatakan hal itu dan memperlakukanku seperti itu, mereka pikir aku tidak mengerti karena aku masih kecil, masih 12 tahun. Namun tetap saja, aku sakit hati. Hal itu menjadikanku lebih tertutup lagi. Aku sama sekali tidak mau keluar rumah, bahkan tidak berani ke sekolah.

“Reina kenapa gak mau sekolah?” tanya Ayah pagi itu. tepat di pagi ke dua aku tidak ingin berangkat ke sekolahku. Aku menatap Ayah, sorot matanya terlihat kecewa, tapi dia berusaha menyembunyikan nada suaranya, berusaha sesabar mungkin menghadapiku.

“Mereka menyebut Reina pembawa sial. Anak-anak menjahili Reina, tidak ada satu pun yang mau bermain dengan Reina. Bahkan guru-guru di sekolah juga begitu,” ucapku jujur. Ayah tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya.

“Maaf, maafin Ayah, harusnya Ayah bisa lebih mengerti. Maaf Ayah tidak tahu sama sekali apa yang sudah Reina lalui selama ini. Maafin Ayah ya?” Aku menggeleng pelan, bukan karena tidak ingin memaafkan Ayah, tapi ini jelas bukan kesalahan Ayah. Ini kesalahanku yang terlahir di dunia saat tidak ada seorang pun yang menginginkanku. Andai aku tidak ada di dunia ini, semua ini tidak akan terjadi. Mendadak aku percaya dengan sebutan pembawa sial itu.

Hari ke 10 sejak aku meninggalkan sekolah, Ayah mulai mengajakku bermain piano bersama. Alat musik kesukaan Ayah dan Bunda. Kami menghabiskan banyak waktu menekan tuts-tuts piano itu. setiap bunyi yang dikeluarkan oleh piano itu membawa rasa hangat di dalam hatiku. Aku baru sadar, aku menyukainya, aku suka bermain piano.

“Ayah pindahin Reina ke sekolah yang gak ada tetangga kita. Agak jauh dari rumah, tapi di sana gak akan ada yang jahilin Reina lagi. Reina mau lanjut sekolah?” Aku ingin menolak. Tapi melihat pengharapan di wajah Ayah dan nada memohon dari pertanyaannya, aku tidak punya nyali untuk menggeleng. Akhirnya aku bersekolah di sekolah yang cukup jauh, hampir 30 kilo dari rumah dan setiap hari Ayah mengantar dan menjemputku dengan sepeda motor yang dipinjamkan oleh salah satu Jemaat gereja.

“Ayah, aku bisa naik angkot ke sekolah, Ayah tidak perlu mengantar dan menjemputku. Jarak sekolahku dengan sekolah Ayah sangat jauh,” kataku suatu hari saat melihat wajah kelelahan milik Ayah.

Bagaimana tidak kelelahan kalau Ayah harus bangun pagi buta untuk menyiapkan sarapan kami berdua, mengantarkanku ke sekolah dan berbalik ke sekolahnya dengan jarak setengah dari sekolahku ke rumah, kemudian menjemputku. Belum lagi jadwal kelas musik di sore dan malam hari, kemudian mengajariku pelajaran sekolah. Bahkan saat aku terlelap, Ayah masih bangun untuk mempersiapkan bahan ajarnya keesokan hari.

Tebak bagaimana jawaban Ayah?

“Kalau Ayah mempercayakanmu pada laki-laki lain untuk mengantarkan Reina sekolah, apa fungsinya Ayah sebagai pelindung Reina? Jangan khawatir, ini sudah tugas Ayah.”

Suatu hari aku tengah bermain piano dengan lagu Sonata no.14, “Moonlight” dan Ayah duduk tepat di sampingku, mendengarkan permainan pianoku sambil bertugas membalik halaman partitur di hadapanku saat tiba-tiba Ayah mengusulkan hal yang akhirnya merubah hidupku hingga detik ini.

“Ras, Ayah lihat permainan piano klasik kamu makin bagus loh. Mau coba ikut lomba gak? Mumpung ada, coba-coba aja sih. Sayang kalo punya bakat tapi gak dimaksimalkan. Tuhan menciptakan bakat bukan untuk disia-siakan loh Ras.” Aku bimbang. Aku memang suka bermain piano, sangat suka malah. Tapi aku tidak bisa berada di tengah-tengah banyak orang. Tampil di perlombaan dengan ditonton banyak orang akan sangat menyesakkan untukku.

“Jangan takut. Orang-orang itu gak kenal Reina. Reina paling cuma ketemu mereka sekali, habis itu gak ketemu lagi. lagi pula ada Ayah kan?” Aku akhirnya mengiyakan tawaran Ayah untuk mengikuti lomba.

Bagiku menang bukan sesuatu yang luarbiasa. Tapi entah bagaimana wajah Ayah bisa sangat berseri-seri saat melihatku berdiri di sana dengan membawa piala dan bunga di tanganku. Wajahnya terlihat sangat bangga saat pembawa acara menyebut namaku menjadi pemenangnya. Sejak saat itu, memenangkan perlombaan piano di tingkat yang lebih tinggi menjadi mimpiku. Tidak peduli dengan banyaknya orang yang menghujatku, menyebutku pembawa sial, menyisihkanku di antara kerumunan. Aku benar-benar tidak peduli. Aku hanya ingin melihat Ayah tersenyum lebar seperti saat itu, dengan wajah bangga dan bahagianya.

“Awas loh Pak Tio, sekarang musimnya bom-bom gitu, yang diserang gereja-gereja. Siapa tahu Pak Tio kena sialnya juga gara-gara Reina,” kata beberapa tetangga saat marak kejadian bom bunuh diri di Surabaya, cukup dekat dengan tempat kita tinggal.

“Itu musibah Bu, kalau memang harus mati, kenapa tidak, toh mati dalam keadaan beribadah kepada Tuhan, melayani Tuhan dan itu jelas bukan salah Reina.” Entah kenapa Ayah menanggapi ibu-ibu itu, padahal biasanya Ayah tidak pernah menanggapinya. Dia menggandeng tanganku erat sambil berjalan masuk ke dalam gereja.

“Ayah tidak mau Reina mendengarkan mereka. Mereka salah. Reina bukan pembawa sial. Reina anugerah dalam hidup Ayah dan Bunda. Reina datang melengkapi keluarga kecil Ayah dan Bunda, menjadikan alasan Ayah dan Bunda berjuang bahkan hingga detik terakhir. Reina membuat Ayah mendekat pada Tuhan. Reina jelas bukan pembawa sial. Apapun yang mereka katakan, bagi Ayah dan Bunda di Surga, Reina adalah anugerah dan Reina harus tahu itu.”

Aku menangis haru mendengar kata-kata Ayah. Aku baru menyadari, Ayah memang tidak pernah mengatakan suka citanya memilikiku dalam kehidupannya, namun Ayah menunjukkan dengan tindakannya. Selama ini, segala cinta, kasih, sayang, pengorbanan dan perjuangannya. Ayah membuktikan tidak perlu darah untuk membuat seseorang menyayangi dan mengasihi orang dengan tulus.

Penghargaanku, kuberikan setinggi-tingginya untuk malaikat luarbiasa yang Tuhan berikan dalam hidupku. Untuk Bunda yang berada dalam dekapan Tuhan, dan untuk laki-laki yang kini duduk di sampingku, menemaniku menulis sambil sesekali mengusap pelan punggungku. Terima kasih untuk segalanya, cinta, kasih, sayang, pengorbanan dan perjuangannya. Terima kasih telah memilih dan menerimaku menjadi anak, memberikan segala yang aku butuhkan. Terima kasih telah bertahan hingga detik ini dan berjuang bersamaku. Ayah, Bunda, Reina sayang kalian. Ah, kata itu sebenarnya tidak cukup untuk mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku. Andai ada kata yang lebih dari terima kasih dan sayang, kata itu untuk kalian, malaikatku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro