8: Memory in Red Bite
Aloha!
Monmaap baru bisa apdet, cerita pada nggak update dulu karena aku ngejar nyelesaiin MILE (dan sebetulnya aku juga mager ngetik so it's like a battle with myself wkwk). Tapi moga nggak bosen ya. Here's new chapter!
Catatan: Buat yang nanya kemarin itu bahasa apa, itu bahasa fiktif yang aku jadiin bahasa sihir kuno di universe ini. Bahasanya terinspirasi dari French dengan sedikit perubahan dalam proses kreatif, karena setting-nya bukan France, tapi Merveil. 👌
--
Jungkook betul-betul terjaga selama 6 jam penuh.
Setelah kejadian aneh dengan orang aneh yang berbicara dalam bahasa sihir kuno, Jungkook harus berusaha untuk memapah tubuh Yoora dengan keadaannya yang terluka. Kejadiannya betul-betul heboh, dan dia lebih dari yakin penghuni rumah atau pengunjung rumah-rumah minum di dekat situ menyaksikan apa yang terjadi.
Dan dari semua hal yang dibutuhkan, perhatian orang-orang menjadi hal terakhir yang dia inginkan. Karena itu, sekuat tenaga Jungkook berusaha membawa semua barang-barang yang tercecer, mengabaikan lukanya dan membawa Yoora menjauh dari tempat kejadian. Beruntungnya tak jauh dari sana ada pemukiman kumuh yang sepi. Melihat ada gubuk kecil yang tak terisi, Jungkook pun menggunakannya menjadi tempat pemberhentian, membaringkan Yoora selagi memeriksa keadaannya sendiri.
Jungkook berpikir dia butuh mengobati diri sendiri. Namun begitu diperiksa, lukanya sudah mulai mengecil, yang Jungkook perlukan hanyalah mengeluarkan peluru yang menyumbat lukanya. Bahkan sebetulnya peluru itu sendiri seperti sudah mengeluarkan diri dari luka, Jungkook hanya tinggal mengambilnya.
Aneh. Ajaib. Entah mana yang tepat untuk Jungkook gunakan. Hanya saja lebih daripada keadaan dirinya, apa yang terjadi pada Yoora lebih patut untuk dipertanyakan.
Sebenarnya dia ini manusia, bukan? Jungkook meragu.
Jungkook berani bersumpah bahwa garis di tangan Yoora sudah menghilang, namun begitu dia kembali memeriksa, lebih banyak garis hitam yang dia temui di tangan Yoora, satu di sepanjang jari tangan kanannya hingga berkumpul menjadi satu di lengannya dan menjalar naik ke atas sampai Jungkook tak bisa lagi melihatnya karena baju yang menutupi lengan bagian atasnya.
Gadis itu masih bernapas. Setidaknya itu yang perlu Jungkook syukuri saat ini. Tapi Jungkook perlu mencari tahu lebih lanjut tentang Yoora. Apa yang terjadi padanya? Apa sebenarnya dia? Pasalnya, tak sedikit pun Jungkook mengendus bau sihir dari Yoora, dan jika dia bisa menggunakan sihir, seharusnya dia mengetahuinya dari awal.
Dia tidak bisa diam dengan pertanyaan sebanyak ini, hanya saja dia harus puas dengan keadaan sekarang. Paling tidak mereka tidak mati.
Dalam-dalam Jungkook menghela napas, merobek jubahnya untuk menekan lukanya yang tersisa sebelum menanggalkan jubahnya untuk menutupi Yoora yang terbaring kaku. Jungkook duduk di pinggiran gubuk, membelakangi Yoora. Dengan bajunya yang sudah tak berbentuk dan penuh darah, Jungkook memutuskan untuk menanggalkannya, menjatuhkannya ke tanah dan membiarkan lukanya lebih terpampang.
Semakin lama, lukanya secara ajaib semakin mengecil. Rasa perihnya memang masih terasa, tapi jelas jauh lebih ringan ketimbang saat Jungkook merasa peluru itu pertama kali masuk ke dalam kulitnya.
Jungkook tak bisa memikirkan nama lain kecuali Jihwan. Bisa jadi makhluk itu memang benar-benar dikirim untuk membuatnya mati dan menyajikan mayatnya pada sang ratu. Kekejaman seperti itu tidak akan membuat Jungkook terkejut.
Hanya saja, sihir yang Jungkook rasakan berbeda. Dia hafal bagaimana aura sihir Jihwan, dan dia sama sekali tidak merasakannya sebelumnya. Aura itu tersembunyi, tetapi begitu dirasakan terasa dingin dan gelap. Yang semua Jungkook rasakan hanyalah aura yang tak lebih dari manusia biasanya yang tiba-tiba hilang, digantikan sesuatu yang berbau layaknya embun juga tanah yang terbakar.
Atau itu sihir perasuk? Jungkook berusaha mempertimbangkan beberapa kemungkinan. Tapi bagaimana cara Jihwan melakukannya? Jihwan bahkan tak tahu soal bahasa sihir kuno. Lebih tepatnya, harusnya hanya Sorceré yang bisa. Jika laki-laki tadi Sorceré, maka Jungkook akan jauh lebih bingung atas tindakan penyerangannya.
Lagi pula dia ragu jika ada Sorceré yang lain. Setidaknya, tidak di tanah hina Merveil ini.
Merasa pegal untuk memegang luka, Jungkook lantas ikut membuang sobekan kain, berniat untuk ikut berbaring. Dia butuh istirahat sejenak. Setidaknya sebelum matahari muncul lagi dan mereka harus angkat kaki sebelum mencuri perhatian siapa pun yang mungkin lewat di sekiataran gubuk. Namun baru saja Jungkook mau berbalik, sudah ada tubuh lain di belakangnya, dua telapak tangan yang menahan punggungnya, memberi sensasi dingin pada kulitnya yang tak tertutup apa pun. Tanpa diduga Yoora ternyata sudah ada di belakang, napasnya tersenggal, dan kedua matanya berubah merah.
"Berikan darahmu, Jeon Jungkook."
Tentu saja Jungkook kaget bukan main. Dia berusaha berbalik untuk menyingkirkan Yoora dari belakangnya, namun kedua lengan itu sudah lebih dulu melingkar di pinggangnya, mengunci pergerakan Jungkook dengan cara yang ganjal.
"Tolong. Buat perjanjian denganku."
Suaranya terdengar memelas, nyaris putus asa. Jungkook masih sedikit menoleh, berusaha memandangi Yoora. Mata merah itu sama persis dengan apa yang dia lihat sebelumnya. Mata merah yang kelihatan menyala di tengah kegelapan.
"Aku tidak tahu apa maksudmu, tapi—"
Tanpa sempat melanjutkan kata-katanya, pundak Jungkook digigit, sesuatu yang tajam terasa menusuk kulitnya, membuat Jungkook meringis sekaligus mengepalkan tangan.
Yang anehnya, membawa Jungkook ke dalam sebuah gambaran aneh, seakan dia tengah melintasi kepingan masa lalu seseorang. Suara demi suara berdengung di dalam kepalanya.
"Kita harus menyingkirkan penyihir itu. Tak akan ada satu pun yang selamat."
"Apa ini artinya kudeta? Bagaimana caranya?"
"Gunakan kami. Jadikan klan kami senjatamu."
Entah siapa yang berbicara, Jungkook betul-betul tidak tahu. Semuanya benar-benar memusingkan, apa yang dia lihat berubah menjadi layar yang berombak, hingga dia melihat sosoknya sendiri sebelum gambaran itu menghilang, dan gigitan Yoora lepas dari pundaknya dan ambruk di belakangnya, sekali lagi tak sadarkan diri.
*
Jihwan beranjak dari tempat tidurnya gelisah, buru-buru mengambil air minum di meja dan menenggaknya hingga habis. Untuk alasan yang tak bisa dijelaskan, kepalanya seharian ini seperti dihantam begitu kuat, tapi sejak tadi malam dia merasa isi perutnya siap keluar, sementara energinya terkuras.
Meski menyebalkan untuk diakui, Jihwan merasa tubuhnya melemah. Padahal dia tidak banyak menggunakan sihirnya hari ini.
"Butuh bantuan, Ratu?"
Agak mengejutkan, namun dari suara itu saja Jihwan sudah bisa menebak siapa yang datang. Angin meniup pelan gorden yang membatasi kamar dan balkon, memunculkan seorang pria yang berdiri di sana sambil tersenyum manis. Kim Seokjin, salah satu walikota bagian Utara Merveil.
Sadar dengan keadaannya dan tak ingin membuat tenaganya lebih terkuras, Jihwan memutuskan untukt tak berbasa-basi apalagi mengomel panjang lebar. "Kuharap kau bawa kabar baik soal Jeon Jungkook."
"Jika perkiraanku tepat, dia akan datang mencuri perkamenku hari ini. Mungkin malam," jawab Seokjin. "Tapi mungkin perhitunganku agak meleset."
Mata Jihwan menyipit. "Meleset?"
"Kemarin malam ada hal aneh di daerah Noira. Bisa jadi perjalanan mereka terhambat. Mereka harus lewat sana untuk
"Hal aneh bagaimana?"
Kekehan Seokjin membuat Jihwan dongkol. Dari semua walikota juga suruhannya, laki-laki ini yang paling berani—Taehyung juga bisa dihitung, tapi setidaknya kembarannya itu raja. Jihwan ingin mencoba mendorong Seokjin dari balkon lantai lima ini, tapi dia menahan diri dan membiarkan Seokjin bicara. "Ada yang mati dan membuat kerusuhan. Warga sekitar bilang ada yang tertembak, tapi yang ditemukan petugas hanya satu mayat. Jung Hoseok, banyak yang mengenalnya sebagai pedagang barang antik."
"Menurutmu yang tertembak siapa?"
"Entahlah," Seokjin bergumam sebentar, "bisa jadi Sorceré-mu itu."
"Dia tidak akan mati semudah itu," balas Jihwan. "Dia lebih dari—"
"Tentu saja, Ratuku. Sekadar tertembak tidak akan membuat kekasihmu mati," Seokjin langsung memotong sambil tersenyum dengan kedua alisnya yang terangkat. Jihwan langsung melotot, membuat tawa Seokjin makin besar. "Baiklah, aku pikir keterlauan. Maafkan aku."
Jihwan memutar matanya malas. Dia yakin betul Seokjin melakukan itu karena di percaya bahwa tak akan ada yang bisa menjadi walikota bagian Utara selain dirinya, dan sialnya itu benar. Sekalipun menyebalkan, harus Jihwan akui Seokjin yang paling kompeten sebagai walikota, sekaligus sebagai bidaknya.
Paling tidak sampai Jungkook bisa dia tangkap, akan Jihwan biarkan Seokjin berlaku sebebasnya.
"Kalau begitu lakukan tugasmu dengan benar," kata Jihwan, nada bicaranya yang dingin sama sekali tak menggambarkan kelelahan yang dirasakan tubuhnya. "Bawakan aku kabar baik. Bawa Sorceré itu padaku."
Kim Seokjin lantas tersenyum sambil menunduk sebagai tanda pamitnya. "Kuharap kau tidak keberatan jika nanti aku bermain-main sedikit dengan Sorceré kesayanganmu itu, Ratu." []
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro