Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12: Leaving Life

Counting down nih wkwk bentar lagi abis~

P.s: bab ini uda aku aplot duluan di Dreame, siapa tau udah ada yang baca duluan di sana.

---

Bangunlah. Lepaskan saja. Keluarkan semuanya.

Suara itu bergema dalam kepala Yoora, seakan memanggil dari jauh. Tapi semua yang dia lihat hanyalah kehampaan berwarna merah. Tak ada apa pun di sini. Seluruh tubuhnya berdenyut, mengalirkan sesuatu yang sialnya ikut mengantarkan rasa sakit. Jantungnya berdenyut lebih cepat, dengungan aneh terus ditangkap telinganya. Rasanya Yoora ingin berteriak, berharap kekosongan yang ada dapat diganti dengan sesuatu yang lain.

Kepala Yoora semakin lama semakin penuh suara seorang wanita yang mengulang kalimat yang sama, membuat sesuatu dalam dirinya hendak meletup, padahal tak ada apa pun di dalamnya.

Atau setidaknya begitu menurut sang gadis mengenai dirinya.

Dia selalu percaya bahwa sekalipun mencuri, meski terlalu banyak kekurangan dan ketidakberdayaan yang dia miliki, setidaknya dia selalu mengenal siapa dia, dan apa tujuannya. Yang dia butuhkan hanyalah diri sendiri. Tapi sejak awal, apa dia betul-betul mengenal dirinya—mengetahui siapa Choi Yoora?

Dia pencuri sebatang kara.

Dia gadis yang harus berjuang untuk tetap berhadap hidup.

Dia manusia.

Namun sekarang, Yoora tak tahu apa lagi yang harus diyakini. Identitasnya seakan membaur bersama udara dan hilang begitu saja.

Kalau begitu aku siapa?

Warna merah yang mengelilinginya semakin pekat dan gelap. Aroma manis dan amis bercampur menjadi satu, memberi pukulan di perut yang membuatnya mual, tetapi di saat yang sama membuat air liurnya melimpah. Dua perasaan bertolakbelakang itu melimpungkannya, dan Yoora merasa dia akan menghilang—dirinya akan lepas kendali.

"Yoora! Yoora! Sadarlah!"

Suara Jungkook.

Berada cukup lama di sekitar laki-laki membuat Yoora terbiasa, bahkan mengenali aroma, suara, hingga keberadaannya. Sama seperti saat ini, ketika dia yakin semuanya kosong, namun kehadiran Jungkook terasa.

Jungkook! Yoora berteriak, tapi suaranya sama sekali tak keluar. Jungkook! Kau ada di mana?

"Yoora!"

Aku di sini!

Demi dewa, lihat aku, Jeon Jungkook! Bantu aku!

Terangi aku—

"Yoora! Hentikan!"

Sekejap, semuanya mendadak terang. Warna merah yang Yoora lihat sebelumnya berhamburan bagai kaca yang dipukul. Cahaya menyilaukan mengelilinginya, membuat matanya spontan terpejam kuat. Di saat itulah tubuh Yoora ditarik ke belakang, punggungnya menempel ke lantai begitu saja. Dia terperanjat. Hanya saja sebelum sempat bereaksi, Jungkook sudah berada di atasnya, kedua lengan laki-laki itu mengunci sisi tubuhnya, sementara dari kepalan tangannya menjalar cahaya menyerupai tali yang mengikat Yoora pada posisinya.

"Ada apa denganmu?" tanya Jungkook, matanya melebar dengan tatapan menuntut. "Kenapa tiba-tiba menyerang Seokjin?"

"Menyerang... siapa?" Yoora balik bertanya, suaranya terengah.

Seakan menjawab pertanyaan Jungkook, dari belakang pria itu muncul Seokjin, jubah dan rambutnya berantakan. Pria itu mengerjap, tapi Yoora mengenali sorot mata yang tengah dia lemparkan—sebuah keterkejutan bercampur rasa takut.

Meski tergambar jelas, sulit bagi Yoora untuk mengasosiakan hal itu pada Seokjin. Pria itu eksentrik, lebih cocok tersenyum pongah daripada terlihat takut.

Aku benar-benar menyerangnya?

Yoora ingin bertanya, namun ketika mulutnya terbuka, dadanya justru terasa sesak. Pandangannya mengabur. Semuanya terasa berat dan melelahkan, membuatnya bukan hanya berpikir ingin tidur, tapi ingin selamanya tidur.

Setitik kewarasan yang tersisa seketika menyadarkannya. Tidak. Tentu saja dia tak bisa mati di sini, atau di mana pun. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mati, atau sekadar memikirkannya.

Namun tenaga dalam tubuh ini terkuras habis, sementara dirinya bertanya-tanya apa yang persisnya dia lakukan.

Lantas, dengan napas terengah dan tenaga yang tersisa Yoora berkata, "Aku tidak tahu apa-apa, Jeon. Sungguh."

"Tidak tahu? Kau serius?"

Yoora bisa saja mengira itu sebuah sarkasme lain yang Jungkook lontarkan, namun ekspresinya hanya menunjukan satu hal. Ketidakpercayaan. Dan dia tak bisa menyalahkan laki-laki itu, karena Yoora sendiri pun tidak tahu apa lagi yang harus dipercaya sekarang.

Tapi apa itu berarti Jungkook akan menahannya terus seperti sekarang?

Jadi aku harus apa—

Ikatan cahaya Jungkook terlepas begitu saja, berubah menjadi asap berukuran pendek yang menjelma menjadi sesuatu yang berujung tajam. Yoora mengira laki-laki itu akan membunuhnya, tapi sisi tajam itu malah Jungkook arahkan pada lengan kirinya. Kulit putih pucatnya seketika dialiri warna merah pekat yang membuat jantung Yoora berdetak kuat.

Darah.

Sensasi itu kembali terasa—di mana mual dan lapar menyatu, menghantam seluruh tubuhnya. Yoora masih diam

"Jika dugaanku benar, kau membunuhkan ini," kata Jungkook sembari membungkuk, mendekatkan tangannya pada Yoora. Tetes demi tetes darah lantas jatuh ke pipinya. "Waktu itu kau menggigit pundakku dan setelahnya kau membaik. Tidak masalah kalau darahnya dari tangan, kan?"

Entah apa yang Jungkook maksud, tak satu pun Yoora pahami. Tindakan laki-laki ini pun membuahkan tanda tanya untuknya. Tetapi di saat yang sama, darah itu memanggil Yoora, seolah berbisik bahwa itulah yang dia butuhkan saat ini.

Dan tanpa berkata-kata lagi, Yoora mengerahkan kekuatannya untuk memegang lengan Jungkook, mendekatkannya ke wajah, sebelum mulutnya terbuka untuk menghisap darah itu. Matanya terpejam, merasa sesuatu mengaliri dirinya. Seperti keyakinan, kekuatan—keajaiban.

Semua ini mengherankan, aneh, salah.

Namun ketika lidahnya mencecap darah itu, secara ajaib, semua terasa benar.



*

Seokjin jadi tak banyak bicara dibanding biasanya, tapi bisa dipastikan begitu banyak pertanyaan yang berkelebat dalam pikiran pria itu sekarang. Jungkook bisa melihat itu tergambar jelas.

Mungkin dia terkejut. Dan sebenarnya dia tak sendirian. Siapa juga yang bisa menyikapi seorang gadis yang baru saja menggila hanya dengan, "Oh, gadis itu aneh. Ya sudah."

Jungkook bisa saja bicara begitu, memasang ekspresi tak acuh dan bersikap seolah tak ada hal aneh yang terjadi. Namun kepalanya tak merespons dengan cara yang sama. Dia bukan hanya heran dan penasaran, tapi takut.

Sulit mengakuinya, tapi begitulah adanya. Terlebih lagi Jungkook-lah yang memberi Yoora darah. Dia memang mengajukan diri, hanya saja dia tak bisa berhenti berpikir bahwa keputusannya hari ini bisa membuatnya celaka. Begitu banyak asumsi yang diciptakan kepalanya karena ketidaktahuannya akan Yoora.

Karena matahari sudah terbenam, Jungkook memutuskan untuk mengemasi perlengkapannya beserta perkamen dari Seokjin. Pria itu bilang dua hari, dan berdasarkan peta yang ada, pergi lebih cepat akan lebih baik, mengingat Jihwan bisa tahu kapan saja. Yah, ini juga bisa jadi ucapan terima kasih agar Seokjin tidak direpotkan lebih jauh.

Lagi pula, dia ragu jika si walikota ingin mereka tinggal lebih lama, apa lagi dengan apa yang terjadi soal Yoora.

Satu tas punggung dari karung kini berada di punggung Jungkook sementara Yoora membawa tas selempang berisi persediaan makanan dan air juga gulungan peta besar. Terlepas dari ketakutan Seokjin, dia ternyata memberikan peta itu juga untuk mereka bawa.

"Mungkin lebih berguna untuk kalian," kata Seokjin. Sebenarnya Jungkook merasa itu dia lakukan karena takut—Seokjin juga awalnya menawarkan mereka untuk membawa cermin itu, yang kemudian Jungkook tolak karena tak membutuhkan beban lebih dari ini—tapi semua pemberian yang berguna tak akan disia-siakan begitu saja.

"Waktunya dua hari, kan?" tanya Jungkook memastikan. "Kau jamin dalam waktu itu Jihwan tak akan mengejar kami?"

"Aku hanya berharap tidak ada kejutan setelah ini," balas Seokjin. "Pergi saja sejauh mungkin, Ratu tak akan tahu tujuan kalian. Jangan tinggalkan jejak."

"Kuharap begitu."

Sebelumnya Jungkook memang mencurigai Seokjin, berpikir pria ini punya skema sendiri di belakang dan sengaja menjebak mereka sebelum memanggil Jihwan. Tapi pikirannya terlalu dangkal. Hingga saat ini dia memang belum mengerti maksud Seokjin, tapi sesuatu terlihat dari sorot matanya—sepercik harapan juga keinginan untuk melindungi orang lain.

Seharusnya kau saja yang menempati tahta, Kim Seokjin.

"Kau tahu, Jeon ...." Suara Seokjin lebih terdengar, namun kali ini dia mendekat, tatapannya tertuju ke arah Yoora yang sejak tadi berada di dekat phon terluar hutan. "Aku memang tak tahu apa-apa soal gadis itu, tapi mungkin dia akan berguna bagimu nanti."

Pandangan Jungkook ikut terlempar ke arah yang sama, memerhatikan Yoora yang membelakangi mereka, menunduk dengan tangan yang menganyunkan gulungan map besar pemberian Seokjin. Dalam hati, dia mengaminkan ucapan pria itu. Tak bisa dipungkiri, gadis itu cukup membantunya. Jungkook hanya berharap apa pun kebenaran di balik Yoora tak akan berubah menjadi batu yang mempersulitkan langkahnya ke depan.

Dan, sesuatu dalam dirinya seakan setuju dengan Seokjin—mengatakan sesuatu yang nampak terasa seperti fakta, tapi suaranya terlalu redup untuk bisa Jungkook dengar.

Jungkook menunduk, memandangi lengan yang berbalut perban. Ketika Yoora menghisap darahnya, dia merasakan sesuatu dalam kepalanya tersentil, gambaran kecil yang sempat dia lihat ketika pundaknya digigit tempo hari, suara demi suara bergema.

Sekumpulan orang. Penyihir. Perjanjian. Kudeta.

Semua itu bagaikan kepingan-kepingan acak yang harus disusun, namun dirinya sendiri tidak tahu apa persisnya yang akan dia susun.

"Aku berharap yang terbaik, Nak."

Suara dan tepukan Seokjin di pundak membuyarkan lamunannya, membuat Jungkook kontan mengerjap. Menjaga ketenangan diri, dia hanya mengangguk, membenarkan posisi, memandangi pria yang lebih tua darinya itu dengan dagu terangkat. Untuk beberapa saat, di mata Jungkook yang ada di hadapannya ini hanyalah sosok walikota yang menyayangi rakyat dan berharap akan keajaiban.

Dia butuh keajaiban untuk mencari jalan untuk menemukan kaumnya. Dan jika keajaiban itu ada, dia ingin membagikannya.

"Jika kau memegang janjimu, aku akan melakukan hal ini sebaik mungkin," balas Jungkook. "Dan kuharap apa yang kucari bisa membantu orang-orangmu hidup lebih baik."

"Semoga begitu." Seokjin mengulas senyum simpul. "Sekarang pergilah. Kuharap kau dan gadismu itu selamat."

Dengan satu anggukan mantap, Jungkook pun pamit tanpa kata, melangkah mendekati ke arah Yoora.

"Kau siap?" tanyanya, membuat gadis itu menoleh ke arahnya.

Jungkook tahu dia tak begitu mengenal Yoora—dia hanyalah pencuri yang ingin kabur dari Merveil, sama sepertinya. Tapi dalam waktu yang singkat pula, Jungkook merasa begitu banyak perubahan yang dia lihat dari gadis ini, termasuk saat ini, dengan sorot mata garang yang berganti penuh keraguan.

Nampaknya bukan hanya Jungkook dan Seokjin yang bingung di sini. Yoora juga begitu, dan mungkin, ada beban lain yang dia pikul. Ketika Yoora memanggut pelan, Jungkook menghela napas.

"Kau akan baik-baik saja Jangan terlalu cemas," ujar Jungkook sembari menggamit tangan Yoora, lantas melanjutkan perjalanan mereka dan masuk ke dalam hutan.

Waktu terus berjalan, dan tak ada waktu untuk ragu dan takut. Tidak bagi Jungkook, dan tidak juga bagi Yoora. []

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro