11: Apostrophe
Mau say goodbye dulu. 👋
.
.
.
.
.
Eh nggak tau deh. Masih ada sedikit bab sebelum betulan abis di Wattpad. Di Dreame namanya ganti (Jungkook jadi Jonathan, Taehyung jadi Theo, dan Seokjin jadi Seo). Belum ada bab yang berbayar, dan mungkin nggak ada sampai betulan komplit. Jadi kalau mau main ke sana, monggo~ ;)
*
Berlari bukanlah hal yang baru bagi Yoora. Itulah tepatnya yang dia lakukan sepanjang hidupnya. Hanya saja, baru kali ini Yoora merasa jantungnya berdetak begitu kuat, seolah organ dalamnya ingin keluar dari rusuknya, sekalipun Yoora hanya berlari dari ruang makan ke taman, mencari Jungkook.
Mungkin ini bukan karena berlari, tapi karena kepanikan tak terduga. Dan tubuh seorang pelayan yang terbakar, terkapar begitu saja. Satu-satunya yang Yoora syukuri saat ini hanyalah gadis itu masih bernapas meski kulitnya merah-merah. Dia tahu sihir Seokjin membantu—faktanya, pria itu menguasai sihir air—dan Yoora seharusnya takut, namun kengeriannya tetap berfokus pada si pelayan.
Padahal sebelumnya tak terjadi apa-apa. Dia hanya menyadari bahwa cermin itu tak menunjukkan pantulan si pelayan, dan Yoora hanya membaca ulang kalimat yang tertulis di bawah pigura tersebut. Kemudian, semua terjadi begitu saja, Sang pelayan terjatuh, berteriak sesaat sebelum suaranya redup ketika api menyelimutinya begitu saja. Spontan Yoora mengambil minuman yang ada di meja, berusaha memadamkan api, sayangnya itu sama sekali tak membantu, dan malah menghasilkan teriakan lainnya.
Kemudian Yoora sadar dirinyalah yang berteriak.
Sembari bersandar di dinding, gadis itu bersidekap, membiarkan tangannya mengusap lengan dan berharap dia tak kelihatan seperti kucing ketakutan sekarang. Melihat Jungkook mendekat, Yoora memasang ekspresi sedatar yang dia bisa, berharap kekuatan Jungkook bukan semacam penerawangan yang bisa membuat laki-laki itu menertawainya.
Tapi ketakutan itu wajar, kan? Yoora jelas harus mempertanyakan kewarasan diri jika dia tertawa sementara orang nyaris mati terbakar.
"Kau baik-baik saja?"
Spontan Yoora menoleh, terbelalak karena suara Jungkook barusan. Tidak, ini bukan karena suaranya, tapi karena pertanyaan yang dia ajukan. Sama sekali bukan ejekan.
"Kurasa begitu," balas Yoora ragu. Jungkook hanya membalas dengan anggukan sebelum ikut bersandar di samping Yoora, tak lagi bicara. Tatapannya tertuju pada Seokjin yang masih sibuk mengendalikan air di sekelilingnya selagi pelayan yang lain datang, memapah tubuh rekannya keluar dari ruang makan. Yoora tidak bisa menilai apa Jungkook peduli dengan apa yang baru saja terjadi, tetapi dia jelas meneliti semua yang ada.
"Jangan bilang pelayanmu juga punya kekuatan," kata Jungkook, kali ini ucapannya terarah pada Seokjin. Berbeda sekali dengan Jungkook, Seokjin sama sekali tak menutupi kegetirannya. Ketika Yoora berlari untuk mencari mereka, Seokjin yang pertama bereaksi. Seandainya Yoora tidak tahu status gadis itu, mungkin dia akan berpikir dia teman Seokjin ketimbang pelayan.
Seokjin berjalan mendekat, menggeleng. "Kalau dia punya kekuatan, dia tak akan kujadikan pelayan," katanya. Sambil memijat kening, pandangan Seokjin beralih pada Yoora. "Apa kau merasakan sesuatu yang janggal?"
"Semuanya baik-baik—"
Mungkin tidak.
Suara Yoora berhenti ketika matanya menemukan pigura besar itu lagi, lantas menunjuk ke sana. "Sebenarnya itu apa?"
Transisi pembicaraannya memang terlalu mendadak, tapi Seokjin tetap menjawab, "Hiasan. Awalnya kupikir itu cermin, tapi tak ada pantulan yang terlihat."
"Lalu kenapa kau simpan?" Jungkook menimpali. "Kelihatannya tidak berguna."
"Tapi unik, kan?" balas Seokjin. Ada nada bersahabat dalam jawabannya, tapi sekarang bukan momen yang tepat untuk tertawa. "Aku menemukannya di Pasar Kelam."
"Dan kau membelinya?" Jungkook memandangi Seokjin dengan sebelah alis yang terangkat. "Untuk barang tidak berguna itu?"
Dia menggeleng. "Seorang penjual memberikannya padaku, bonus karena aku membeli banyak kayu mahoni. Lagi pula, ukiran di bawahnya lumayan menarik. Obyek aneh yang memukau."
"Itu tulisan, kan?" tanya Yoora, matanya memandangi deretan tulisan di bawah itu, mengingat lagi artinya.
"Tulisan apa?" Seokjin justru balik bertanya, dan Yoora langsung menunjuk ukiran di bawah pigura tersebut. Terlalu fokus dengan kaca itu membuatnya tak sadar bahwa dua orang sudah memandanginya.
"Memang tulisannya apa?" Jungkook ikut bertanya.
"Homin te esse meto."
Yoora mengucapkan kalimat itu begitu saja, spontan. Namun tanpa diduga, kaca tersebut tiba-tiba berubah jadi hitam, sementara sebuah lingkaran merah menyala di tengahnya dengan garis melengkung di bawah, membuat lingkaran itu mirip tanda baca. Apostrof.
Fokus Yoora seketika buyar, begitu juga dengan Jungkook dan Seokjin. Suara Yoora bergetar ketika dia bertanya, "Apa itu? Kenapa jadi—"
"Yoora!"
Bertepatan dengan teriakan Jungkook, Yoora merasa pandangannya dipenuhi warna merah, sesuatu seperti menyerap dirinya ke dalam kaca hitam itu. Hanya saja ketika dia bergerak, Jungkook sudah lebih dulu menahan dan membalikkan tubuhnya agar mereka berhadapan. Sosoknya masih terlihat, tapi warna merah itu tak kunjung hilang, tak peduli berapa kali Yoora mengedip atau menggeleng.
"Jungkook, kenapa semua terlihat merah?"
Kepanikan tersirat jelas dalam suaranya. Dia mencengkeram tangan Jungkook, mendadak merasa udara direnggut dari dalam pernapasan, mengantarkan rasa sesak yang ganjil. Matanya terasa perih, dan Yoora merasa mendidih.
Sesuatu seakan mengambil alih diri Yoora secara perlahan, namun dia menentang. Yoora berusaha meraup udara sebanyak yang dia bisa, berpegangan pada Jungkook supaya tubuhnya tak terantuk ke belakang.
"Kalian berdua ...." Suara Seokjin terdengar. Di mata Yoora, sosok Seokjin tak beda merahnya dengan yang lain, hanya dia bisa membayangkan bagaimana raut pria itu ketika berkata, "Sebaiknya kita ke perpustakaanku. Kau membuatku mengingat ilustrasi aneh di beberapa buku."
Yoora mengangguk lemah, mencoba menegakkan tubuh sementara Seokjin sudah berjalan lebih dulu. Dia baru saja mau mengikuti langkah pria itu ketika Jungkook tiba-tiba berjongkok di hadapannya.
"Naiklah," kata Jungkook. "Tapi pastikan kau tidak menggigit leherku lagi."
Dia mau menggendongku?
Yoora tadinya ingin menolak, tapi tak bisa. Untuk pertama kalinya, Yoora merasa tubuhnya bahkan berteriak bahwa dia tidak mampu berdiri. Karenanya, dengan kekuatan yang tersisa, Yoora memasrahkan diri, membiarkan Jungkook menggendongnya selagi dia memejamkan mata.
Letih membuatnya tidur.
Setidaknya begitu asumsi awal Yoora karena dalam beberapa detik berikutnya dia bermimpi akan peperangan di hutan dengan sosok Jungkook yang menusuk seorang perempuan dengan pedang.
*
Sejak awal masuk ke ruangan yang lebih besar dari ruang makan, Jungkook tak bisa berhenti berpikir bahwa perpustakaan pribadi Seokjin jelas lebih besar daripada perpustakaan kota—yang sebenarnya tak layak disebut begitu karena koleksinya yang sedikit dan tidak terurus. Rak-rak tinggi seolah menggantikan tembok, buku-bukunya terawat. Ada beberapa lukisan terpajang berbarengan dengan pahatan gedung, pedang, bahkan sosok bersayap yang menghiasi sudut ruangan. Sulit dipercaya bahwa tempat seperti ini ada di Merveil yang kelam.
Jungkook sama sekali bukan tipikal orang yang suka membaca. Jangankan membaca literatur, membaca perkamen sihir pun jarang. Meski begitu, tak ada pilihan lain sekarang kecuali membaca tumpukan buku yang sudah Seokjin bawa. Sebenarnya Yoora yang lebih memerlukan hal ini, mengingat semua ini dibutuhkan untuk mencari lebih lanjut perihal identitas gadis itu, dan Jungkook ragu jika ini punya hubungan khusus dengan dirinya.
Namun Jungkook tak bisa memungkiri rasa penasarannya. Lagi pula, sah-sah saja kelihatannya mengetahui hal ini, terlebih setelah apa yang sudah terjadi. Refleks, Jungkook menyentuh pundaknya. Memang sudah tidak sakit, sayangnya apa yang sudah terjadi masih membuatnya ngilu. Kemampuan penyembuhan otomatis miliknya memang membantu, tapi Jungkook tak yakin manusia biasa bisa bertahan hidup. Gigitan yang Yoora lebih mirip binatang ketimbang bentuk candaan.
Lagi pula, orang mana yang bercanda dengan mengigit orang lain?
"Yakin tidak mau membangunkan dia?" tanya Seokjin sembari membawa gulungan perkamen besar, meletakkannya di atas meja.
Tanpa menoleh, Jungkook menjawab dengan gumaman, tatapannya tetap berfokus pada buku di hadapannya. Dia sendiri tahu maksud Seokjin—Yoora. Sejak Jungkook menggendongnya, dia terus tertidur. Karenanya Jungkook membiarkan Yoora tidur di sofa panjang yang ada di perpustakaan. Entah apa yang terjadi, tapi gadis itu kelihatan lemah sekali. Dia bilang semuanya terlihat merah, tapi tidak ada apa pun yang berganti warna kecuali matanya. Merah gelap seperti darah, namun punya cahaya tersendiri.
"Biarkan saja dulu," balas Jungkook begitu selesai membaca satu buku, menutup dan menggesernya ke sisi kanan sebelum mengambil buku yang baru.
Seokjin tak protes, ikut duduk di samping Jungkook seusai membuka perkamen besar tadi. Dua laki-laki itu lantas memperhatikan gambar yang ada di sana. Sebuah map, keterangannya ditulis dalam bahasa sihir kuno, sementara beberapa catatan lebih mirip ukiran ketimbang huruf. Dibanding semua itu, ada satu yang mencuri perhatian Jungkook; simbol mirip tanda baca apostrof di pojok atas perkamen, berukuran besar dengan warna merah, persis seperti warna mata Yoora.
"Ini lambang yang ada di cermin itu, kan?" tanya Jungkook, telunjuknya mengarah pada simbol tersebut.
"Kalau begitu aku lega." Seokjin menghela napas, membuat Jungkook mengernyit heran. Pria itu masih santai, tapi melanjutkan, "Aku pikir hanya aku yang melihat keanehan itu."
"Cerminnya memang begitu? Kau bilang itu hanya kaca—"
"Aku jujur sepenuhnya untuk hal itu," imbuh Seokjin langsung. Jawabannya ganjil, namun harus Jungkook akui tak ada yang Seokjin tutupi, meski hal itu justru membawanya semakin curiga pada pria di sampingnya ini.
"Jadi ini apa?"
"Aku tidak tahu pasti, tapi perkamen ini sudah ada sejak aku mengambil alih Nord. Semacam dokumen peninggalan dari walikota sebelumnya." Seokjin menjelaskan sambil mengelus perkamen dengan tangan kanannya, mulutnya bergumam kecil. "Awalnya kupikir itu semacam pelengkap literatur atau sekadar karya fiksi. Aku sama sekali tidak menduga bahwa sesuatu yang berkaitan dengan hal ini akan muncul." Tiba-tiba dia menggeleng. "Mungkin terlalu cepat untuk menyimpulkan keterkaitan perkamen ini dengan gadismu, namun paling tidak ini bisa dijadikan sesuatu."
Telinga Jungkook menangkap jelas penggunaan kata yang salah dari kalimat Seokjin, namun alih-alih mengoreksi, dia justru bertanya, "Kau tahu sesuatu yang lain soal tanda itu?"
"Kalau tahu, aku tak akan terkejut dengan apa yang terjadi, kan?"
Benar juga, pikir Jungkook. Kelihatannya tak satu pun dari mereka tahu apa-apa di sini.
"Tapi ...." Seokjin kembali melanjutkan sembari berdiri dari kursinya, mengambil salah satu buku dari tumpukan, buku dengan sampul paling tebal, kelihatan paling kuno dari yang lain. Begitu halaman tengah terbuka, terbuka satu cerita pendek dengan beberapa deret mantra sihir. "Ada beberapa bahasa yang tidak bisa kubaca. Tapi kau mengerti, kan?"
Jungkook mengangguk tanpa lanjut bicara, fokus membaca. Dia memang paham apa isinya. Yang tertulis di buku lebih mirip cerita legenda pendek tentang Sorceré. Namun berbeda dari cerita yang lain, kali ini kaumnya digambarkan bekerjasama dengan satu kaum. Tidak ada namanya, tetapi deskripsinya cukup rinci: mata merah, ahli sihir, dan ....
"Pembayaran darah?" tanya Jungkook. "Apa maksudnya ini?"
Seokjin menggeleng, menandakan jawaban jelas. "Memangnya kau tidak menyadari keanehan darinya? Sesuatu yang mungkin berhubungan dengan keterangan itu. Kau mempekerjakannya, kan?"
"Dia manusia biasanya," jawab Jungkook, namun nada bicaranya menggantung, "setidaknya begitu perkiraan awalku."
Tak Jungkook sangka Seokjin akan terkejut—tapi pria itu menganga, ketidakpercayaan tergambar gelas di wajahnya. "Untuk apa kau melibatkan manusia? Kukira kau tahu—"
"Tidak ada keanehan apa pun padanya kecuali sihirku yang tidak bekerja," tukas Jungkook. Menyebutkan kegagalannya memang menyebalkan, tapi fakta itu membawanya pada hal lain—sesuatu soal Yoora. Wajar jika sihir Jungkook tidak bekerja, namun itu belum cukup untuk menjelaskan apa pastinya identitas gadis itu. Musuhkah? Teman? Atau sesuatu yang sebaiknya tidak dilibatkan lebih jauh dalam rencananya?
"Sorceré seringnya diceritakan sebagai kaum yang independen, bahkan diandalkan manusia sebelum mereka dimusnahkan si kembar pengemban tahta. Tapi dari semua literatur yang ada di sini, satu kelompok disebut sebagai—"
Brak!
Jungkook dan Seokjin langsung berbalik, menghadap ke arah suara yang jatuh. Sayangnya baru saja memutar kepala, Seokjin langsung jatuh, dan dengan kecepatan kilat, entah bagaimana Yoora sudah berada di atas pria itu, mengunci pergerakannya. Sofa yang dia tempati bahkan sudah terbalik.
Tubuh Jungkook sedikit terhempas ke belakang, namun dia tak merasa sakit. Meski begitu, dia tetap saja terkejut, terlebih melihat keadaan Yoora. Yang ada di hadapannya ini pasti gadis yang sama, hanya saja rambut Yoora berubah putih, aura merah seakan mengelilinginya satu kata sementara terucap dari mulutnya.
Suara yang penuh dengan ancaman.
"Enyah." []
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro