Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10: Planning Plan

Eak, lanjut lagi. Beberapa bab menuju akhir sebelum aku lanjut di Dreame. Masih ada pertanyaan yang nganu ya? 🌚

-

Yoora butuh hampir satu jam untuk memercayai bahwa dirinya dikelilingi kemewahan. Melihat rumah-rumah besar sudah biasa untuknya, tapi baru kali ini dia bisa masuk dan melihat langsung seperti apa definisi mewah itu sendiri.

Hingga saat ini pun Yoora masih curiga. Pasalnya, apa yang terjadi rasanya terlalu baik, dan Yoora tahu mengharapkan kebaikan sama seperti menyebut permintaan kematian secara tak langsung. Dia masih belum bisa percaya pada Seokjin, namun paling tidak dia tahu semua yang tengah terjadi saat ini nyata, bukan sihir apalagi halusinasi.

Sebelumnya Yoora ditawari untuk makan daging. Pelayan di rumah itu pun sudah sampai membawakannya ke meja makan. Sayangnya Jungkook menolak, dan dalam mode waspada, Yoora yakin mengikuti Jungkook merupakan pilihan bijak.

Tapi dengan perutnya yang mulai berulah, Yoora agak menyesali keputusannya.

"Sebaiknya kau makan, Nona." Yoora tersentak sekaligus malu ketika suara Seokjin di belakang terdengar. Yoora menoleh, berusaha memasang raut wajah tak suka, tetapi laki-laki itu tersenyum. "Aku akan mengobrol dengan Jungkook lebih dulu. Setelahnya susul saja kami di taman belakang."

Yoora memicing ragu. Sekalipun lapar, dia tidak akan sebodoh itu percaya pada permintaan mencurigakan seperti ini.

"Kau menusuk pundakku, dan itu membuat kekuatanku tak bisa dikeluarkan maksimal," tutur Seokjin, masih mengulas senyum. "Kurasa Jungkook juga sepakat, kekuatannya sudah pulih. Lagi pula aku masih manusia biasa, bukan makhluk super."

"Makan saja sana," kata Jungkook.

Alis Yoora terangkat selagi pandangannya terarah pada si Sorceré. Harus dia akui, yang Seokjin katakan nampaknya benar. Jungkook kelihatan lebih siap bertarung ketimbang sebelumnya. Jalannya lebih tegak. "Lalu kau?"

"Nanti saja, aku harus urus dia dulu." Jungkook menunjuk Seokjin, sementara yang ditunjuk hanya mengedik ringan. "Sudah, sana."

Yoora masih ragu setulnya, tapi karena perutnya meradang meminta perhatian, akhirnya Yoora berbalik, kembali lagi ke ruang makan. Dia akan menyusul secepat mungkin. Tak peduli seenak apa pun makanan yang terhidang—dan mungkin akan jadi makanan paling enak yang pernah Yoora makan selama 20 tahun hidupnya—dia tidak mau terlalu terlena.

Namun Yoora tahu, prinsip begitu bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, karena godaannya ternyata kuat. Tangannya mengepal tatkala makanan dihidangkan, menyapa penghidu dan berubah menjadi bisikan-bisikan yang memancing.

Kau lapar. Kau butuh aku.

Butuh pengendalian diri lebih untuk membuat Yoora tetap berdiri di tempat, membiarkan hidangan ditata oleh dua pelayan yang datang. Lapar boleh, tapi harga dirimu penting di tempat seperti ini. Begitu dia mengingatkan diri, berusaha tak gegabah. Menjadi pencuri tidak akan membuatnya mengais-ngais meja.

"Memangnya ini tidak terlalu banyak?" Tanpa sempat berpikir lebih jauh, pertanyaan itu meluncur dari bibir Yoora. Terkejut, namun gadis itu berhasil mempertahankan ekspresinya.

Salah satu pelayan mengangguk, bahkan bertanya, "Apa ada lagi yang kau butuhkan?"

"Kalau ada yang lain akan kusampaikan," balas Yoora. Dia tahu makanannya banyak, tapi lapar bukan sesuatu yang bisa dia ukur. Lagi pula, dia rasa perjalanan ke depan masih banyak, dan makanan merupakan komponen yang tak sebaiknya disia-siakan.

Para pelayan beranjak, dan Yoora terpikir untuk mengisi tas-tas kecilnya dengan buah-buahan yang ada. Pandangannya beredar ke sudut-sudut ruangan, merasakan dorongan-dorongan kecil untuk mengambil sesuatu yang bisa dia manfaatkan. Dia harap senjata atau sejenisnya.

Namun pandangannya menemukan sesuatu yang lain. Bukan senjata dan sama sekali tak tajam. Tatapannya tertuju ke cermin besar dengan pigura mengilat—mirip emas yang ditaburi serbuk perak, tapi warnanya agak ganjil—dengan sesuatu yang terukir di bingkai bawahnya. Yoora lantas mendekat, berusaha membaca tulisan itu.

Sesuatu terasa aneh, sangat. Hanya saja kepalanya dengan begitu saja menerjemahkan.

Homin te esse meto*. Ingat siapa dirimu.

Beberapa kali Yoora mengedip, memandangi pantulan dirinya. Tak ada yang berbeda, dia mengenali siapa yang dia lihat—hampir sama, kecuali satu. Ada garis hitam di bagian wajah kanannya, seakan menggores dahi hingga rahangnya, namun garis itu sama sekali tak menyentuh area matanya.

Dengan cara yang tak dapat dia pahami, sesuatu dalam dadanya bergetar, telinganya berdegung. Sesaat Yoora memejam kuat-kuat, merasakan begitu banyak sensasi mengganjal yang dirasakan tubuhnya.

"Apa kau butuh cermin, Nona?"

Yoora lantas berbalik, memandangi satu pelayan yang kembali dengan guci berwarna putih gading. Dia memandangi Yoora heran.

"Kaca itu hanya koleksi aneh Tuan Seokjin yang lain," kata pelayan itu lagi karena Yoora tak berkomentar. "Tidak ada pantulan yang terlihat, kan? Aku juga tidak mengerti fungsinya, tapi mungkin keanehan itu yang membuat tuan kami menyimpannya." Si pelayan meletakkan bawaannya di meja sebelum kembali memandangi Yoora, telunjuknya menunjuk pigura lonjong di sudut ruangan. "Kau bisa menggunakan cermin yang itu."

"Baiklah."

Hanya itu yang bisa Yoora katakan sementara pelayan itu kembali pergi, meninggalkannya sendiri. Alih-alih beranjak, Yoora bergeming di tempat, kulit meremang menyadari kata-kata sang pelayan. Bukan cermin, hanya pajangan aneh. Tidak bisa melihat apa-apa. Tapi Yoora yakin betul tadi itu ....

Ketika dia kembali melihat cermin itu, gambaran dirinya masih ada. Tapi hanya dia seorang yang terlihat di tengah kekosongan.

*

"Jangan mengira aku bisa membuang kecurigaanku begitu saja, Kim Seokjin."

Suara Jungkook pelan, namun penekanan di tiap kata membuat siapa pun tahu itu lebih dari sekadar kalimat. Itu ancaman.

Seokjin menanggapinya dengan kekehan selagi mendekati pot di tengah taman, jemarinya menyentuh bunga merah besar yang mekar di tengahnya.

"Aku sama sekali tidak berekspektasi seorang Sorceré akan mengucapkan terima kasih padaku, apalagi dirimu," balas Seokjin santai. "Tapi aku tidak akan menolak. Akan kuanggap itu sebagai momen istimewa dalam hidup."

Jungkook sama sekali tidak bercanda, tetapi Seokjin bertindak seakan semua yang ada di hadapannya tak lebih dari lelucon. Sikapnya memang ramah, sayangnya itu tak akan cukup untuk membuat Jungkook menurunkan kewaspadaan. Jika ada yang menurun, sudah pasti kepercayaannya pada Seokjin. Menerima ajakan pria itu sudah menjadi keputusan yang kelihataannya tak harus Jungkook ambil. Terlalu banyak hal ganjil di sini. Meski begitu, dia tahu bahwa mereka butuh pemberhentian. Dan sekalipun Jungkook tak bisa memercayai Seokjin, ada sebuah kebenaran yang ingin disampaikan—sesuatu yang tak bisa begitu saja Jungkook lewatkan.

"Langsung saja," kata Jungkook cepat, ketidaksabarannya tergambar jelas. "Apa yang mau kau bicarakan soal Ratu Jihwan?"

Melihat gerakan bibir Seokjin, Jungkook sempat berpikir pria itu akan menyeringai, membuat tangannya mengepal, bersiap untuk melancarkan serangan. Beberapa mantra bahkan melayang dalam kepala. Tetapi yang Seokjin lakukan justru menghela napas gusar, seakan-akan ada kegetiran yang ingin dia sampaikan.

"Ada sesuatu yang salah dengan Jihwan," kata Seokjin sembari menjauh dari pot besar di tengah taman, berpindah ke pot yang lain.

"Asal tahu saja, sejak awal eksistensinya sudah salah," balas Jungkook gemas. Tentu saja itu fakta. Semenjak Jihwan dan Taehyung mengambil alih Merveil, banyak hal jadi berantakan. Kaum Jungkook memang langka, namun di tangan sepasang kembar itu, kelangkaan berubah menjadi kemusnahan. Satu-satunya harapan Jungkook akan Sorceré saat ini hanyalah perkamen yang ingin dia cari—berharap masih ada yang tersisa untuk kelangsungan kaumnya.

Jungkook yakin Seokjin pun tahu kenyataan yang ada, kendati begitu sang pria menggeleng, tubuhnya memutar untuk berhadapan dengan Jungkook, bersidekap. Selama beberapa saat, Seokjin terlihat bukan sebagai pengikut Jihwan, melainkan sosok pemimpin yang cemas untuk mengambil langkah selanjutnya. Caranya menatap Jungkook bukan hanya sekadar sebuah pertimbangan, tapi menyiratkan kegelisahan.

Seokjin lantas menggeleng. "Maksudku bukan begitu."

"Lalu apa?"

"Belakangan ini kerajaan pusat jadi tidak stabil. Kekuatan Ratu seperti mengalami siklus fluktuatif." Nampaknya Seokjin sadar penjelasan itu tak membantu, sehingga dia menambahkan, "Kau pasti tahu setiap kediaman orang-orang kepercayaan Jihwan memiliki sihir keamanan tinggi, bukan?"

Jungkook mengangguk. Itu sebabnya Jungkook harus berhati-hati setiap kali mengeksekusi rencananya. Dan itu juga yang membuatnya tak bisa tenang memasuki kediaman Seokjin—walikota Nord, salah satu dari beberapa orang yang mendapat kekuatan khusus dari Jihwan. Bersikap ramah sama sekali bukan opsi.

"Kudengar kau menyelinap ke kediaman Tuan Shim dan sukses," ujar Seokjin. "Seharusnya kau tahu apa maksudku."

"Sihir Jihwan melemah?" Pertanyaan itu terucap spontan, Jungkook bahkan sedikit kaget. Meski begitu Seokjin menanggapinya tak lebih dari anggukan kecil. "Tapi waktu itu bukan aku yang menyelinap. Sihir Jihwan memang punya pengaruh besar untuk Sorceré, tidak untuk manusia."

Seokjin mengerjap heran. "Bukan kau yang mengambil perkamen?"

Jungkook menggeleng, membuat alis Seokjin bertaut dengan tatapannya yang penuh tanda tanya. "Aku mengambilnya, tapi Yoora yang menyelinap."

"Gadis itu?" Ada keraguan juga keterkejutan dalam nada bicaranya. "Tunggu dulu. Dia manusia biasa?"

Awalnya Jungkook ingin langsung mengiyakan, sayangnya dengan kejadian yang terjadi malam sebelumnya, dia bahkan tak yakin jika itu jawaban yang tepat. Manusia biasa jelas tak akan punya mata merah dan reaksi aneh terhadap darah. Dan jangan lupa soal gigitan Yoora di pundak Jungkook.

"Dia cukup membantu." Paling tidak itu bukan jawaban yang sepenuhnya bohong.

Seokjin nampaknya tak begitu puas, namun topik pembicaraan soal Yoora berlalu begitu saja, kembali ke bahasan mereka sebelumnya. "Siapa pun yang masuk, harusnya kau tahu pertahanan tak bisa dimasuki begitu saja. Kehadiran kalian juga tidak terdeteksi sebelumnya. Aku hanya mengandalkan firasatku."

Entah itu harus disyukuri, atau Jungkok harus lebih awas karena pergerakan mereka bisa diketahui Seokjin hanya berdasarkan firasat. Tetapi dia tak berkomentar.

"Kemarin aku mengunjungi Jihwan, dan auranya melemah," tutur Seokjin lagi. "Kuharap itu bisa jadi kesempatan bagus."

"Kesempatan bagus?" tanya Jungkook, dan Seokjin mengangguk.

"Aku bisa mengatur sedikit rencana untuk mengalihkan Jihwan selagi kau melanjutkan perjalanan. Perkamen yang kupegang berisi bahasa sihir lama, aku tidak begitu paham. Tapi dari yang aku tangkap, perkamennya seperti peta, dan mungkin itu akan membawamu ke tempat lain. Jihwan bilang ini perkamen penting. Firasatku bilang dia terancam dengan isi perkamen ini. Karena tidak bisa dimusnahkan, dia menggunakan cara lain."

Jungkook belum melihat perkamennya sama sekali, hanya saja mendengar penjelasan Seokjin membuatnya makin bertanya-tanya. Bukan soal isi perkamennya, melainkan perlakuan Seokjin ini.

"Perangkap apa yang kau siapkan, Kim Seokjin?"

Kali ini pria itu tersenyum, melangkah mendekat dan berdiri di hadapan Jungkook. Gerak-geriknya terkesan santai, dan itu membuat Jungkook mengambil langkah mundur, matanya memicing curiga.

"Oh, Jeon. Tenanglah. Kali ini aku hanya menawarkan jalan keluar," kata Seokjin. "Perangkap atau bukan, semuanya tergantung caramu menyikapinya sekarang."

"Apa maksudmu?" tanya Jungkook, alisnya terangkat. "Jangan harap bisa menipu, Seokjin. Kupastikan kau akan mati."

"Dengarkan aku dulu," kata Seokjin, tanannya terangkat sebagai gestur mengalah. "Ambil dua hari untuk kabur secepatnya dari sini. Pergi sejauh mungkin, ikuti perkamennya. Dengan keadaan Jihwan yang seperti ini, Jihwan mungkin bisa digeser. Taehyung juga jarang hadir dan berurusan dengan kepentingan kerajaan."

"Lalu bagaimana denganmu?" Jungkook kembali bertanya. Dia cukup paham akan perjelasan Seokjin, tapi dia tidak melihat bagian anehnya. Belum.

"Aku bilang dua hari, Jeon Jungkook," ulang Seokjin, kini tatapannya terlihat lebih serius. "Dan jika kau berhasil, Jihwan tidak akan menemukanmu. Kau aman, sekalipun aku bilang apa yang kau lakukan dan melaporkannya pada Jihwan."

Jungkook terbelalak, jelas sekali tak menyangka rencana yang satu ini. Hanya saja dia ketika dia mempertimbangkan, tawaran itu memang tak semestinya dilewatkan. Jika Seokjin benar-benar akan melakukannya—sekalipun dia tak bisa sepenuhinya memercayai hal itu—tawaran ini lebih baik daripada bertarung tanpa ada jaminan pasti dia akan baik-baik saja setelah terluka semalam.

Karena itu, sekali lagi Jungkook menatap Seokjin lebih teliti, selagi menimang dia mengganti pertanyaanya.

"Apa yang membuatmu melakukan ini, Kim Seokjin? Apa yang kau harapkan?"

Kendati langsung menjawab, pria itu tersenyum—sebuah senyum penuh arti namun tak bisa Jungkook pahami, kemudian menjawab, "Aku bukan berpihak pada yang kuat, Jeon. Di dunia kejam, kekuatan memang penting. Namun kuat tak selalu berarti menang."

Keadaan berubah hening. Jungkook diam, mengedip barang sekali pun tidak. Matanya seakan mencoba meraba tiap inci kejujuran dari Seokjin. Tak pernah dia mengasosiakan pria ini dengan kebajikan, tetapi ucapannya terasa benar. Memang benar.

"Ada hidup yang kupertaruhkan di sini," kata Seokjin lagi. "Dan aku bertanggung jawab atas itu. Aku bukan memilih jalan terbaik, tapi jalan yang bisa mempertahankan hidup banyak orang."

Rasanya Jungkook ingin merespons, mengatakan apa saja. Sayangnya, sebelum bibirnya sempat mengucapkan apa-apa, sesuatu terdengar dari dalam rumah. Sesuatu yang pecah, kemudian diikuti dengan teriakan yang anehnya begitu familiar.

"TOLONG BERTAHANLAH! AKU AKAN CARI BANTUAN!"

Suara Yoora. []

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro