2: Secret
× 2 ×
Baby Short Legs : Secret
---
“Gue terlalu sibuk untuk ngurusin perasaan teman lo itu. Apa jawaban itu udah cukup? Lagi pula, kenapa lo yang repot?”
Kalimat itu masih tidak bisa Isa lupakan sekalipun nyaris belasan tahun kalimat itu dilemparkan ke gendang telinga. Tapi kalau sudah begini, mana bisa Isa melupakan itu. Pelakunya saja kini ada di dekatnya, menyetir dengan muka datarnya.
Nggak pernah berubah, ya?
Ekspresi datar yang Ethan pasang ini sudah Isa kenal sejak dia pertama kali tahu soal Ethan, tepat di semester pertama kuliah. Saat masa ospek, dia mengenal Ethan sebagai wakil ketua pelaksana dan memegang sektor Isa. Saat open recruitment untuk himpunan fakultas, Isa dikejutkan lagi dengan Ethan yang ternyata ketua dari organisasi tersebut.
Dengan kepintaran dan segala prestasi yang dibangga-banggakan kampus, Ethan sebenarnya pantas menjadi teladan, terlebih untuk Isa yang notabene merupakan adik tingkatnya. Dan, sebenarnya Isa cukup mengidolakan Ethan, tapi itu sebelum dunia api menyerang dengan segala bentuk kejahatan dan hal-hal menyebalkan dari Ethan.
Dan dari semua kejadian di masa lalu, Isa tidak pernah menyangka dia akan berakhir begini, dengan Ethan yang jadi bosnya, dan berada di dalam mobil Ethan.
Tidak banyak percakapan yang terjadi begitu mobil melaju—atau bahkan, tidak ada sama sekali. Percakapan baru dimulai begitu sudah melewati Jalan Diponegoro.
“Ngekos sendiri?” tanya Ethan. Ajaib memang rasanya karena justru pria ini yang lebih dulu memulai percakapan.
Isa mengangguk pelan. “Sendiri.”
“Kenapa ngekos?”
“Nggak mungkin juga kan saya tiap hari bolak balik dari Bandung ke Jakarta.”
“Memang nggak ada rumah saudara di sini?” tanya Ethan lagi, sama sekali tidak menoleh, pandangan tetap fokus pada jalanan.
Bibir Isa sedikit mencebik. Apa ini? Sesi interview untuk jabatan baru?
Antara tidak suka dan bingung, pada akhirnya Isa memilih untuk tetap menjawab, “Saya nggak suka kalau tinggal dan harus ngikut aturan orang lain.”
“Oh.”
Respons singkat, yang tentu saja membuat Isa keki sendiri. Percakapan keduanya hanya berlangsung selama beberapa detik, kemudian hening lagi. Sekitar 6 menit mobil kembali melaju, berbelok ke kanan hingga akhirnya Isa mengeluarkan suara.
“Di sini aja, Pak.”
Perlahan Ethan meminggirkan mobilnya. “Kosan kamu di mana memang?”
Tangan Isa bergerak untuk menunjuk rumah berwarna cokelat dengan tiga lantai yang ada di seberang jalan. “Saya ngekos di sini.”
Ethan hanya memberikan anggukan kepala pelan sebagai balasan. Awalnya Isa ingin langsung pamit dan berterima kasih untuk paksaan pulang yang Ethan berikan padanya. Tapi yang ada Ethan justru turun lebih dulu dari mobil. Isa buru-buru melakukan hal yang sama, menutup pintu mobil dan menghampiri Ethan.
“Lho, Bapak ngapain—”
“Ayo nyebrang.” Tanpa memberi aba-aba, di tengah kebodohan dan kebingungannya, Isa hanya bisa ikut berjalan sementara Ethan langsung menarik tangannya, menyeberang dengan satu tangan yang mengarah ke jalan raya hingga sampai ke seberang.
Begitu sampai di depan gerbang kosan, Ethan langsung melepaskan tangan Isa. “Nah, sudah.”
Isa sendiri masih bingung, tapi setidaknya dia tahu apa yang harus diucapkan. “Makasih, Pak.”
“Kalau gitu saya pulang dulu,” kata Ethan. Isa masih mencoba memikirkan apa yang baru saja Ethan lakukan, tapi nampaknya si pelaku justru tidak peduli dengan itu, dengan santainya melangkah menjauh dan siap menyeberang begitu pamit. “Jangan sampai telat ke kantor besok.”
Atau mungkin itu bukan ucapan pamit, tapi ancaman.
Ethan kembali menyeberang, sama sekali tidak menoleh ke belakang sementara Isa terus memerhatikan punggung pria itu berjalan ke seberang jalan hingga masuk ke dalam mobil, dan mobil kembali melaju.
Setelah beberapa menit, baru Isa sadar akan sesuatu.
Rumah dia di mana emangnya, deh?
Begitu masuk ke dalam kosan, satu senyuman jahil menyapanya. Satu pria lain sudah menunggu, bersandar di depan pintu. Tangan bergerak menyibak hoodie yang dikenakan, membuat rambut hitamnya sedikit berantakan.
“Siang tadi ngomel, eh malamnya pulang bareng.” Noah menyilangkan tangan dengan plastik hitam tergantung di pergelangan, posisinya masih tetap bersandar di pintu kosan.
Memangnya kelihatan ya? Bibir Isa mencebik kemudian mendengus. “Siapa juga yang mau pulang bareng dia?”
“Lah tadi tuh bareng.”
“Dia bukan ngajak pulang bareng, tapi maksa pulang bareng. Beda ya,” ujar Isa tak mau kalah. Dia kemudian mengambil kunci dari dalam tas, membuka pintu kosannya. “Ya udah yuk masuk. Itu lo beli nasi goreng Pak Mahmud kan, No?”
Dan hanya dengan nasi goreng juga kehadiran Noah, pertanyaan dan pemikiran Isa mengenai Ethan hilang begitu saja.
*
Menjelang penggantian bulan, pekerja-pekerja dalam bidang data seolah mendapat beban lebih banyak. Selain untuk mengolah dan melaporkan data sebelum pergantian bulan, selalu ada persiapan dan laporan analisis tahap lanjut untuk data di bulan berikutnya. Di akhir bulan juga, banyak departemen yang akan menghubungi kelompok Isa untuk meminta penyusunan dan analisis data per departemen. Begitulah pekerjaan Isa, susah di awal, susah di akhir, repot di tengah.
Beberapa hari menjelang pergantian bulan, departemen project development menyerahkan rencana mereka untuk bulan April: White Day.
Dengan pengajuan dan persetujuan dari bagian marketing dan atasan, persiapan White Day pun dimulai. Tugas yang harus Isa kerjakan sekarang adalah mengalisis pengguna internet selama beberapa bulan ke belakang dengan kisaran pengguna dikerucutkan pada generasi muda.
Mungkin di Indonesia, White Day bukan hal yang populer, tapi di luar, White Day cukup populer. Seperti saat Isa berkuliah dulu, teman-temannya begitu antusias menunggu cokelat atau hadiah lainnya dari orang terdekat, terutama pria.
“Of course we wait for it, Sa. This is the time when our beloved one reply our work on Valentine Day.” Itu penjelasan yang Isa dapatkan dari teman sekamarnya saat dia bertanya soal itu.
Sebenarnya fakultasnya dulu pernah membuat acara yang berhubungan dengan White Day. Isa pernah mengikutinya sekali saat masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat pertama, tapi bukannya merayakan, dia justru sibuk beradu mulut dengan si ketua himpunan. Yah, siapa lagi kalau bukan Ethan.
Intinya, White Day bukan sesuatu yang ingin Isa kenang.
Tapi bagi sebagian orang, White Day mungkin indah. Dan bagian prodep* menganggap itu sebagai peluang baik untuk perusahaan.
(*Project Development)
Isa masih mengerjakan laporan, monitor memunculkan tampilan dari Microsoft Edge dan MATLAB secara bergantian. Tangannya masih sibuk dengan keyboard ketika Ethan menghampiri kubikelnya, berdiri tepat di belakang Isa.
“Gimana, Sa?”
Isa berbalik ke belakang, memandangi Ethan dengan tangan yang menyilang, memperlihatkan kedua sikunya karena lengan kemeja hitam fit-nya yang digulung. Ada satu hal yang Isa sadari. Kali ini Ethan memakai kacamatanya di luar ruangan sendiri.
Harus Isa akui, Ethan memang keren. Di hari pertama dia masuk saja, banyak karyawan dari berbagai lantai yang membicarakannya, bahkan bukan satu atau dua kali Isa ditanyai soal bos barunya, padahal Isa sendiri belum tahu siapa.
Tapi Isa sendiri tahu kalau serigala berbulu domba itu benar adanya. Tidak secara harfiah, tapi Ethan menjadi bukti hidup untuk hal itu.
Berusaha untuk menyingkirkan pikiran kurang penting itu, Isa menarik diri ke masanya sekarang, kemudian menjawab, “Lagi kostum data ke grafik untuk presentasi prodep, Pak.”
“Untuk White Day itu, ya?”
“Iya.”
Ethan tidak langsung menjawab. Pria itu justru mencondongkan tubuhnya ke monitor Isa, membuat Isa sedikit bergeser agar tidak terlalu dekat. “Buat kisaran remaja angkanya naik, ya?”
“Selalu naik, Pak,” jelas Isa. “Ya, wajar sih. Sekarang bukan hanya remaja yang sudah dikasih gadget untuk akses internet, bahkan sampai balita juga sekarang mainannya bisa iPad.”
Kepala Ethan mengangguk, kali ini tanganny bergerak menekan keyboard untuk membaca data lebih lanjut. “Menurut kamu Proyek White Day ini bisa bikin pembelian meningkat?”
Isa sempat terkejut. Wow. Ini Ethan nanya ke aku nih? Nanya pendapatku?
“Kalau dari statistik data sih, kemungkinan besar bisa. Paket yang ditawarkan juga lumayan, meskipun terkesan banyak dan murah, sebenarnya persyaratannya justru ngasih pemasukan lebih besar ketimbang pembelian paket data yang standar.”
“Untung sedikit tapi banyak pembelian memang lebih unggul daripada untung banyak tapi pembelian sedikit, ya?”
Isa hanya bisa mengangguk canggung. Karena ketimbang membalas, ucapan Ethan barusan lebih kedengaran seperti gumaman untuk diri sendiri.
Tumben kelihatan anteng gini, pikir Isa. Did something good happen?
“Buat sosialisasi ini, apa sudah dilakukan?” tanya Ethan lagi.
“Belum, Pak. Rencananya sekitar akhir bulan baru mau sosialisasi.”
“Program yang goes to school-nya jadi?”
“Jadi.”
“Good.” Ethan menjauhkan diri dari monitor, punggungnya bergerak lurus. “Seharusnya rencana saya di acc dari lama, dikirain saya cuman ngusulin buat main-main ke sekolahan apa.”
Kali ini Isa dua kali diam, sama sekali tidak bicara karena bingung apakah sebaiknya dia merespon, atau Ethan hanya tengah bergumam sendiri. Tapi apapun itu, yang kali ini kekesalan tergambar jelas di wajah Ethan.
“Isabella.”
“Ya?” Isa memasang posisi siap, jaga-jaga kalau dia akan disembur lagi oleh Ethan. Kalau sudah begini, Isa harus melapisi telinga dengan perisai iman dan takwa.
“Lanjutin kerjaannya,” lanjut Ethan. Ada kelegaan sendiri begitu mendengar bukan ceramah yang Ethan lemparkan sekarang. Isa baru saja mau mengangguk, tapi suara Ethan kembali terdengar, “Sama rapihin lagi laporannya. Kurang sistematik. Apa kamu nggak bisa ngebedain laporan yang rapi sama yang nggak?”
Nampaknya Isa terlalu berharap akan hal positif. Sesantai apapun Ethan, tentu saja, tidak akan ada kebaikan yang keluar dari mulut pria ini.
Isa memilih untuk tidak membalas, langsung memeriksa laporan yang dia kerjakan di Excel. Sudah ada beberapa tabulasi yang diberi warna kuning oleh Ethan, tapi rasanya Isa tidak menyadari bahwa itu yang Ethan lakukan sejak tadi.
Baru saja beberapa detik berkutat dengan keyboard, Ethan tiba-tiba meletakkan sesuatu di mejanya, membuat Isa langsung menoleh. Tanpa banyak basa-basi, Ethan langsung pergi begitu saja.
“Pak Ethan, ini cokelat untuk apa?” tanya Isa, setengah berteriak. Untungnya tidak ada siapa-siapa di kantor.
Tanpa menoleh ke belakang, Ethan mengangkat tangan sementara satu tangannya lagi menempelkan ponselnya ke dekat telinga. “Saya kurang suka cokelat batang. Buat kamu saja.”
*
“So, how’s your day, Bro?”
“I’m good. Dan gue udah ketemu dia lagi.”
“Baby short legs-nya elo udah ketemu? Serius?”
“Congratulate me but keep the secret. Jangan sampai Bu Karenina tahu.” []
*
Tadinya mau dibuat simple aja. Tapi gambaran Ethan sama Isa di kepala aku jauh dari kata simple. So, yah, welcome to tulisan Arata versi drama. Mau nebak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro