34. Dibalik Salah Persepsi
Waktu berlalu bergitu cepat hingga tidak terasa sudah sebulan Hansel pergi selama-lamanya meninggalkan keluarga dan orang-orang yang mengenalnya. Keluarga Hansel yang mulanya hangat kini menyibukkan diri dengan urusan masing-masing. Santi yang sok sibuk dengan urusan rumah dan masih belum bisa akrab dengan gadis yang merenggut nyawa anak kandungnya. Kalau bukan demi Hansel, ia tak sudi melihat gadis itu lagi. Kebenciannya masih tertanam di dalam hatinya. Entah kapan rasa benci itu luntur, tak ada satu pun yang tau.
Prasetyo juga sibuk dengan urusan kantor. Di hari libur pun juga sibuk bergelud dengan laptopnya menyelesaikan berkas-berkas kantor. Kebetulan ia naik jabatan beberapa hari yang lalu. Semakin sibuklah kepala rumah tangga itu.
Gretel menerima nasipnya dengan pasrah. Walau sering tak dianggap di rumah ini, ia masih berusaha merubah sikapnya. Walau ia tidak bisa membantu mamanya membereskan rumah karena wanita itu melarangnya, ia mencoba cara lain dengan berusaha menaikkan nilai akademiknya. Sudah dua minggu ia mengikuti bimbel. Walau sulit, ia tak menyerah. Setidaknya dengan nilai akedemiknya naik, orang tua angkatnya tidak malu menerimanya sebagai anak mereka lagi.
Kali ini Gretel pulang agak malam karena sepulang sekolah ia mengikuti dua tempat bimbel sekaligus. Ketika melewati kamar orang tua angkatnya, kebetulan Prasetyo lewat dan menyapanya.
"Pulang dari les, Gretel?" tanya Prasetyo ramah.
"Iya, Pa. Papa baru pulang juga? Papa udah makan malan?"
"Papa pulangnya dari tadi sore. Papa udah makan. Kamu pasti belom mandi, ya? Setelah mandi, kamu langsung makan, setelah itu temui papa di ruang tengah. Papa mau bicara hal penting."
"Baiklah, Pa. Gretel ke kamar dulu, ya."
***
Gretel telah selesai mandi dan mengisi perutnya. Ia penasaran hal penting apa yang akan dibicarakan papanya. Ia berharap itu bukan hal yang buruk.
Di ruang tengah hanya ada papanya. Mamanya tidak ada di sana, mungkin sudah tidur asumsi Gretel menebak. Gretel mendatangi papanya yang sedang bergelut dengan laptop kesayangannya. Gadis itu duduk di sofa satunya lagi.
"Papa mau ngomong hal penting apa sama Gretel?" tanya Gretel penasaran.
Prasetyo melirik putrinya, lalu meletakkan laptopnya di atas meja. Mengentikan sejenak pekerjaannya dan menatap putrinya lekat-lekat.
"Papa mau tanya sesuatu sama kamu. Ini mengenai kamu dan mendiang saudaramu. Mungkin sedikit terlambat. Gretel nggak keberatan kan?"
Mendengar ucapan papanya, membuat Gretel berpikir yang bukan-bukan. Moga aja dia baik-baik saja setelah ini.
"Nggak, Pa," jawab Gretel singkat.
"Begini. Papa ingin tau kebenaran rumor mendiang Hansel dari kamu. Kamu saudara mendiang, pasti kamu yang lebih tau dari orang-orang."
Sudah diduga, pasti membicarakan hal ini. Gretel ragu untuk menceritakan kejadian sebenarnya. Masalahnya hal ini sangat berkaitan dengannya. Dia yang membuatnya. Namun, bukan dia yang menyebarkan. Dari mana dia harus bercerita, apa perlu dijelaskan semua. Siap-siap setelah ini mungkin ia akan diusir dari rumah ini.
Gretel menduk, ia termenung menatap karpet hingga Prasetyo membawanya kembali ke alam sadar.
"Gretel? Kamu ngelamun? Tolong jawab pertanyaan papa. Papa cuma ingin tau kebenarannya."
"Maafin Gretel, Pa. Gretel yang menjepret foto itu. Awalnya Gretel cuma iseng aja. Gretel nggak berniat buat nyebarin aib sadara sendiri. Gretel yang motret, tapi bukan Gretel yang sebarin ke orang-orang." Gretel menjelaskan dengan sedikit kebohongan. Ia memotret Hansel dan Miko bukan karena iseng, melainkan sebagai bahan ancaman agar ia bisa membalaskan rasa irinya pada saudaranya yang telah tiada itu.
"Tega kamu, Gretel. Papa nggak nyangka kamu berbuat iseng hingga merugikan saudara kamu sendiri. Terus siapa yang nyebar foto itu dan bagaimana caranya dia bisa mengambil foto itu dari kamu?"
Terpaksalah Gretel berbohong lagi. Bisa saja ia jujur tetangganya Mela yang menyalin foto itu dari komputernya. Namun, ia tidak mau masalah ini semakin panjang. Biarlah dia yang disalahkan sendirian.
"Nggak tau, Pa. Mungkin seseorang mencurinya dari hp Gretel. Maafin Gretel, Pa. Gretel ceroboh."
Nasi telah menjadi bubur. Waktu nggak bisa diputar kembali. Yang telah terjadi tidak bisa diperbaiki lagi. Ingin rasanya Prasetyo memarahi putrinya. Namun, ia sadar itu tak ada gunanya. Yang ada justru menambah luka keduanya.
"Karena kamu merasa bersalah pada mendiang, kamu pergi dari rumah?"
"Bukan cuma masalah itu saja. Ada hal lain yang meyakinkan Gretel untuk meninggalkan rumah ini."
"Apa itu?"
Tak henti-hentinya jantung Gretel berdegub kencang. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk berterus terang.
"Gretel mendengar percakapan mama sama seseorang di kamar. Suaranya seperti perempuan, dan dia membahas mengenai aku yang dipungut mama, papa. Aku sedih dan setelah itu aku mengintrospeksi diri. Aku banyak melakukan kesalahan pada keluarga ini. Aku anak pungut yang nggak tau diri. Aku nggak pantas di sini, sering nyusahin kalian. Karena itu Gretel memutuskan untuk pergi dari rumah ini," jelasnya terisak-isak kecil dan bulir asin telah membasahi pipinya.
"Astagfirullah, ternyata kamu sudah tau. Maaf papa, mama belum ceritakan kebenaran ini sama kamu. Papa dan mama cuma nggak mau kamu salah paham. Gretel itu bukan anak pungut. Gretel bagian dari keluarga ini. Gretel anak kandung papa, hanya berbeda mama."
"Berbeda mama? Kok bisa? Umur Gretel kan sama dengan umur Hansel. Terus mama kandung Gretel siapa, Pa?" tanya Gretel yang sulit memahami ucapan papanya.
"Mama kamu tante Rosa Lina. Kamu ingatkankan tante Rosa. Dia dulu sering main ke rumah dan sayang banget sama kamu. Dia dulunya teman kantor papa dan teman mama kamu juga. Karena kesalahan papa dan mama kamu hingga mama kamu mengandung dan melahirkan kamu, Gretel. Rosa nggak mampu merawat kamu sendirian, karena itu kami sepakat untuk membawamu ke rumah dengan meletakkan kamu di depan pintu luar. Dibuat seolah-olah kamu dibuang agar mama nggak curiga. Maafin papa, ya. Papa jahat. Tapi akhirnya mama kamu tau setelah Rosa meninggal. Awalnya dia nggak bisa menerima kamu, papa terus memohon hingga mamamu bisa terima. Mengingat semua itu membuat hati papa luka, kejahatan yang papa lakukan sama Rosa dan Santi tidak bisa ditebus dengan kata maaf. Sampai sekarang luka dihati papa masih perih. Lebih perih lagi luka mamamu, Gretel."
Gretel terdiam, mematung. Rupanya ia anak dari sebuah kesalahan. Papanya memang jahat. Namun, semua telah terjadi. Ia harus menerimanya. Setidaknya ia sedikit bersyukur karena masih ada tali darah antara ia dan papanya serta mendiang Hansel.
Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan air mata yang tak hentinya mengalir, ia bangkit dari sofa, pergi menuju kamarnya. Menenangkan diri mungkin cara terbaik untuk saat ini.
Tbc ...
.
.
.
Chapter selanjutnya ending, lho
Cerita ini bakal tamat, lho
Ikutin terus, ya😊
Jangan lupa vote dan komennya
Terima kasih pada mau mampir😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro