29. Kebenaran yang Tersembunyi
Setelah keluar dari ruang BK, ibu dan anak terus diam. Tiba di rumah pun keduanya enggan membuka suara. Kehangatan yang biasa ada, sekarang pergi seperti tertiup angin. Hilang dan tak tau kemana perginya.
Santi tidak habis pikir anak kesayangannya, kebanggannya telah mengecewakannya. Dia pikir cuma Gretel yang bermasalah, justru Hansel yang terparah. Bagaimana bisa putranya itu penyuka sesama jenis. Memikirkan saja tidak pernah. Apa ada yang salah dengan pola asuhnya selama ini? Apa ia kurang memperhatikan putranya? Justru ia lebih memperhatikan Hansel daripada Gretel. Lebih menyayangi Hansel daripada Gretel. Mungkin ini hukuman untuknya karena tidak berlaku adil.
Melihat wajah putranya saat ini membuatnya hampir meneteskan air mata. Tak sanggup menahan luka, ia pun langsung pergi ke dapur untuk menenangkan diri. Hansel yang peka meneteskan air mata setelah ibunya pergi. Putranya itu langsung ke kamar, mengurung diri.
Tiba di kamar ia duduk di tepi ranjang. Menangis sejadi-jadinya. Terus meminta maaf pada diri sendiri dan menyesal.
“Maafkan Hansel, Ma. Maafkan Hansel,” lirihnya tersengut-sengut.
“Ma-maafkan Hansel udah bu-buat Mama kecewa. Maafkan Hansel sa-salah jalan. Maafkan Hansel,” sambungnya. “Hansel me-menyesal. Hansel akan coba berubah.”
Harusnya ia langsung mengatakan itu pada mamanya. Namun, ia tak sanggup. Tak sanggup melihat air mata wanita yang melahirkannya itu tumpah karenanya. Sungguh ia menyesal. Tapi apalah daya nasi telah menjadi bubur. Waktu tak bisa diputar. Semua telah terjadi dan ia harus menerima semua ini.
***
Seteleh menuangkan semua isi hatinya pada juniornya itu membuat beban di dalam hati Gretel sedikit berkurang. Hanya untuk curhat Gretel dan Mail membolos pelajaran selanjutnya. Ini pertama kalinya Mail membolos. Semua itu demi sahabatnya. Kakak kelasnya yang diam-diam ia suka.
Jalan satu-satunya untuk keluar dari sekolah ini yaitu menaiki pohon yang berada di belakang sekolah tepatnya di dekat gudang. Dulu sewaktu Gretel masih berteman dengan Ucup dan gengnya, celana training tidak pernah ketinggalan. Namun kali ini ia sudah berubah. Tidak ada celana training, yang ada hanya rok yang ia kenakan.
"Mail, kamu manjat dulu. Nanti aku nyusul," pinta Gretel. Ia sengaja meminta juniornya itu duluan agar tidak melihat pemandangan gratis nantinya.
"Kaka cewek. Harusnya Kakak yang duluan," jawab Mail tak peka.
Gretel mengembus napas kasar. "Kamu nggak liat aku pake apaan," ucapnya ketus sembari melirik roknya.
"Oh, iya. Ngomong dong dari tadi, Kak. Kakak emangnya bisa manjat pake rok?"
"Semoga bisa. Udah buruan manjat, ntar ada yang ke mari bisa brabe."
Mail pun menaiki pohon yang lumayan tinggi. Setelah itu disusuli Gretel yang kesulitan naik. Walau begitu gadis itu berhasil melaluinya dan mereka langsung pergi ke warung yang tak jauh dari tembok tinggi itu. Di situlah Gretel menuangkan isi hatinya. Mail sebagai pendengar juga memberi nasehat dan Gretel menerimanya.
***
Gretel sengaja balik ke rumah dua jam sebelum jam pulang, sedangkan Mail balik lagi ke dalam dan mengikuti pelajaran terakhir. Sebenarnya ia ingin langsung pulang. Namun, motornya masih terparkir di parkiran sekolah.
Gadis berkuncir kuda itu telah menyiapkan alasannya pulang cepat pada mamanya. Gretel yakin akan disemprot berbagai macam pertanyaan mengenai masalah kembarannya. Ketakutan masih ada dalam dirinya. Berharap sesuatu yang buruk tidak menimpanya, walau akar masalah bersumber padanya.
Pria berjaket hijau telah mengantarkannya ke depan rumahnya. Setelah turun tidak lupa Gretel memberi uang dengan jumlah yang sama dengan yang tertera di aplikasi. Setelah tukang ojek online itu pergi, barulah ia memasuki rumahnya. Karena sudah terbiasa, Gretel tidak mengucapkan salam ketika masuk ke rumah. Hingga kehadirannya tidak diketahui orang yang ada di dalam.
Ketika melewati kamar orang tuanya. Ia mendengar percakapan dua wanita. Salah satunya diyakini suara Santi. Awalnya tidak ingin menguping. Namun, karena namanya disebut dalam perbincangan itu, membuatnya penasaran hingga berdirilah ia di dekat pintu kamar. Pintu bercat putih itu sedikit terbuka, karena itulah percakapan mereka bisa terdengar di luar.
"Biasanya Gretel yang sering buat ulah. Sekarang Hansel juga ikut-ikutan. Anak itu bawa pengaruh buruk ke anak kamu, Ti."
"Kamu jangan ngomong gitu. Namanya juga remaja, pasti sesekali berbuat salah."
"Kamu dan Bang Prasetyo itu kok baik banget, sih. Kalian sabar dan mau aja nampung anak yang suka bikin masalah itu. Gretel tuh harusnya tau diri sebagi anak angkat kalian. Harus bersikap baik. Ini malah sering nyusahin. Heran aku."
"Gretel sudah kami anggap seperti anak kandung kami. Lagi pula Gretel sekarang nggak nakal lagi, dia sudah berubah."
Mendengar percakapan barusan membuat Gretel syok. Pertahanannya runtuh, dunianya hancur.
"Aku anak pungut? Lalu orang tuaku siapa?" ucapnya bertanya dalam hati.
Bulir asin membasahi pipinya. Kakinya spontan mengiringnya menjauh dari kamar itu, membawanya hingga keluar dari rumah.
Gretel terus berjalan sendiri masih dengan seragam sekolah tak tentu arah. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sedih, bercampur kecewa menyelimuti raganya. Pernah terpikir di benaknya, dia bukan anak orang tuanya. Ternyata hal itu menjadi kenyataan. Kenyataan pahit yang sulit diterimanya. Ia menyesal telah bersikap seenaknya selama ini. Membuat keributan hanya untuk mendapat perhatian. Harusnya ia bersyukur di asuh oleh Santi dan Prasetyo. Namun, nyatanya sering membuat mereka marah dan kecewa.
Tbc...
.
.
.
Ada nggak yang mikir pas awal baca ini kalo Gretel anak angkat?
Jangan lupa votmennya
Maacih udah mampir😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro