Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Berteman lagi


Tidak mau dihantui rasa penasaran, Hansel pun langsung menjemput Gretel ke kelasnya setelah bel pulang berbunyi.

Gretel kaget melihat saudara kembarnya sudah menunggunya di ambang pintu kelas.

“Tumben kamu langsung jemput aku sampai ke sini, Sel? Kamu kan biasanya nunggu di parkiran,” ucap Gretel.

Mereka masih  berdiri di ambang pintu sehingga menyulitkan murid-murid keluar, termasuk Akbar yang mau keluar dari kelasnya.

“Minggir!” ucap Akbar yang sengaja menyenggol punggung Hansel, tanpa melirik dan langsung pergi begitu saja.

Hansel sadar ia berdiri di posisi yang tidak tepat. Ia pun menggandeng tangan adik kembarnya membawanya ke tepi, di dekat dinding.

“Aku mau mau tanya. Kenapa Miko jauhin aku?”

Gretel mengembus napasnya, “kok tanyainnya ke aku? Mana aku tau. Yang berteman kan kamu, bukan aku,” ucapnya berbohong. Jelas-jelas itu ulahnya tadi siang, hanya saja ia tidak mau terus terang untuk saat ini.

“Tapi kata Miko aku harus tanyain ke kamu. Sebenarnya ada apa?. Jangan buat aku pusing, Gretel,” ucapnya mulai emosi, tapi ia tahan agar tidak meledak di luar.

Gretel tersenyum miring. Ia senang melihat Hansel pusing karena pertemanannya putus. “Udah ah, pulang yuk. Besok tanyain aja lagi ke Mikonya,” ajaknya mengalihkan pertanyaan.

***

Malamnya Gretel menemui Hansel di kamarnya. Hansel tadinya sedang bergelut dengan buku pelajarannya, membaca materi untuk besok dan mempelajarinya. Namun, ia hentikan sejenak rutinitasnya untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan adik kembarnya.

“Kamu lagi belajar. Sorry, ya, aku ganggu sebentar,” ucap Gretel basa-basi. Sungguh ini bukan gayanya bersikap manis pada saudara yang dibencinya.

“Nggak pa-pa, Gretel. Santai aja,” ucap Hansel tersenyum. “Tumben nih kamu ke kamar aku. Ada apa?”

Sungguh Gretel bingung mau mulai dari mana. Haruskah ia membuat pembukaan dulu agar Hansel tidak langsung syok, atau langsung to the point saja. Bergelut dengan pikiran sehingga Hansel membangunkannya dari lamunan.

“Gretel?” panggil Hansel.

“Eh, iya, Sel. Aku ada sesuatu untuk kamu, bentar, ya?” Gretel  mengeluarkan ponsel dari saku celana pendeknya. Kemudian, mengirimkan foto dan juga chat pada saudara kembarnya.

Ponsel yang tergeletak di atas meja belajar Hansel bergetar disertai dering pesan masuk. Tangan cowok itu bergerak membuka chat itu. Seketika matanya membulat besar. Oh, Tuhan apa ini? Kenapa hal memalukan ini bisa diketahui saudara kembarnya.

“Kamu dapat ini dari mana?” tanya Hansel sembari mengangkat ponselnya.

“Dari kamu sendirilah. Siapa suruh ciuman nggak tutup pintu dulu,” jawab Gretel santai.

“Apa yang kamu liat nggak seperti apa yang kamu bayangkan. Aku tuh Cuma taruhan dengan Miko. Aku masih normal, Gretel.”

“Aku nggak butuh alasan kamu, Sel. Justru karena ini aku diuntungkan,” ucap Gretel tersenyum miring.

“Maksudnya?”

“Aku mau kamu lakuin apa yang aku mau. Kamu ikutin perintahku. Selama itu aku jamin orang-orang tidak akan tau kelakuan bejatmu,” ancamnya terus terang.

“Apa?” Hansel terkejut mendengar ancaman adik kembarnya.

“Aku nggak mau mengulangi kata-kataku. Pokoknya mulai saat ini kamu harus tunduk padaku, atau foto itu aku sebarin ke anak-anak sekolah kita.”

Bagaimana bisa saudara kandungnya sendiri setega itu padanya. Terpaksa ia menuruti keinginan kembarannya itu. Ia tak mau orang-orang berpikir tentang dirinya yang bukan-bukan. Mungkin ini alasan Miko menjauhinya.

“Iya,” jawabnya lirih sembari mengangguk. Wajahnya lesu, pikirannya tak karuan. Andai saja ia tidak menyetujui taruhan Miko, pasti hal ini takkan terjadi. Penyesalan kini menyelimutinya.

***

Pagi ini senyum gadis bersurai panjang yang baru saja turun dari motor sungguh cerah mengalahkan sinar mentari pagi. Senyum itu bukan untuk alasan yang baik, melainkan sebaliknya karena ia tak sabar untuk melakukan aksinya yang sudah sepekan tidak dilakukannya. Berbeda dengan cowok di sampingnya yang tampak murung seperti banyak pikiran. Sejak malam kemarin ia tidak tenang, semua itu karena gadis yang ia boncengi itu. Saudara kembarnya yang sangat kejam terhadapnya.

Gretel masih duduk di samping Evelin. Hanya saja sekarang mereka tidak seakrab dulu. Namun, Gretel akan mencoba memperbaiki hubungan itu kembali, berteman dengan para sahabat yang ia sayangi.

Gadis—berambut ikal tidak terlalu panjang, dikuncir kuda dengan jepit rambut berbentuk pita merah—sedang bercermin memandang wajah cantiknya. Teman yang duduk di sebelahnya terus memperhatikannya hingga membuatnya risih.

“Kenapa liat-liat?” ketus Evelin yang tidak suka diperhatikan mantan temannya itu.

“Biasa aja kali. Nggak usah ketus gitu. Ngaca seribu tahun pun, tetap aja kamu kalah cantik dari aku,” sindir Gretel bercanda.

“Jangan sok. Tau situ cantik,” jawab Evelin yang kini sudah meletakkan cerminnya di atas meja. Sangat kesal dengan ucapan teman semejanya itu.

Akbar dan Ucup baru saja datang dan duduk di belakang Evelin dan Gretel.

“Lin, kamu temenan ama dia?” tanya Akbar yang tadi saat masuk kelas melihat mereka seperti mengobrol.

“Kagak,” ucap Evelin sembari menggeleng.

Gretel memandangi temannya satu-satu. Sungguh ia ingin kembali berteman dengan Evelin, Ucup, dan Akbar. Namun, ia bingung ingin memulai dari mana. Mau bicara langsung, masih gengsi. Kini ia terus diam dan berpikir sampai bel berbunyi—jam pelajaran pertama dimulai.

Hingga bel istirahat pun Gretel masih diam. Dia harus berani ngomong duluan, kalau tidak, kondisi akan terus seperti ini. Teman-temannya akan membencinya selamanya. Dia tidak mau hal itu terus seperti itu.

Saat Ucup dan dua temannya beranjak dari kursi mereka, Gretel juga ikut bergerak dan membuka suara. “Kalian jangan pergi dulu. Ada yang mau aku bahas,” ucapnya sedikit gugup, berdiri berhadapan meja Akbar dan Ucup.

“Nggak ada yang perlu dibahas. Ayok, kita pergi, Teman-teman!” ucap Akbar yang tidak mau berurusan lagi dengan Gretel karena sakit hatinya belum hilang.

Please, kasih aku waktu sebentar aja. Nggak lama-lama kok. Semenit,” pinta Gretel sembari mengangkat telunjukknya.

“Dengerin aja dulu dia,” ucap Ucup lirih pada dua temannya.

“Tapi, Bos?” keluh Akbar.

“Udah, kasih aja dia bicara. Mana tau hal penting,” ucap Ucup yang mengajak teman-temannya untuk memberi kesempatan Gretel berbicara.

“Cepetan. Langsung aja ke intinya,” ucap Evelin berdiri di samping Gretel sambil bersedekap.

Gretel tersenyum penuh harapan. “Maafin aku, Ucup, Akbar, Evelin. Bukan kemauanku meninggalkankan kalian. Aku terpaksa atas kemauan orang tuaku. Dan sekarang aku mau kalian menerimaku lagi untuk kembali menjadi teman kalian.”

“Ogah!” jawab Akbar langsung.

“Kamu beneran mau temenan ama kami lagi. Terus bagaimana dengan orang tua kamu, Gretel? Kalau kamu deket-deket ama kami, ‘ntar pasti Hansel ngaduin, dan kamu ninggalin kami lagi. Kami nggak mau digituin,” ucap Ucup.

“Tenang aja. Orang tuaku nggak bakal tau kalian berteman lagi denganku. Aku pastikan kembaranku nggak bakal ngadu karena aku punya kartu as-nya dia.”

“Maksudnya?” tanya Evelin yang bingung dengan maksud kartu as-nya Hansel.

“Intinya selama kita berteman di sekolah, Hansel nggak bakal bisa ngadu atau apa-apain kita. Percayalah padaku. Kalian mau kan menerimaku kembali?”

Ucup, Evelin, dan Akbar berdiskusi sebentar di belakang sana. Setelah penuh pertimbangan mereka mau berteman lagi dengan Gretel. Mereka kembali ngumpul, walaupun tanpa Sidik bersama mereka.

Di tempat lain, cowok berkulit putih sedang menunggu temannya di kantin—di kursi panjang yang sering ia dan temannya duduki. Tidak biasanya gadis itu telat sehingga membuatnya sedikit cemas.

Mail merogoh saku celana abu-abunya, mengambil ponselnya untuk menelpon Gretel. Sudah ketiga kali gadis itu tidak kunjung mengangkat panggilannya. Sehingga ia mengirimkan sebuah chat.

Mail:
Kakak, di mana?
Aku udah nungguin Kakak di kantin nih

Chat itu dibaca, tapi tidak dibalas. Tidak tahan menunggu karena cacing diperutnya meronta minta asupan, Mail pun memesan duluan dan makan sendiri selagi menunggu Gretel datang. Sudah semangkuk bakso dan segelas es jeruk ia habiskan. Namun, gadis yang ia tunggu tidak kunjung datang. Diceknya kembali ponselnya dan belum ada balasan dari Gretel. Takut terjadi apa-apa dengan teman barunya itu, ia pergi ke kelas XI IPS 5 yang berada di lantai dua gedung IPS.

Setiba di sana, ia melihat pemandangan tidak menyenangkan. Gadis yang ia tunggu-tunggu itu tampak ngumpul dan tertawa bersama teman-teman lamanya.

Apa yang terjadi? Kenapa Kakak balik berteman dengan mereka?” ucap Mail dalam hatinya. Kemudian, ia pergi dengan hati yang sangat kecewa.


Udah tau kan aib si Hansel😈
.
.
.

Jangan lupa vote dan komennya
Terima kasih sudah mampir😄

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro