08. Dihajar
Seorang gadis berambut ikal panjang tergerai menghampiri cowok yang terkenal akan keramahan dan kepintarannya. Cowok itu sedang duduk mengobrol bersama sahabatnya, siapa lagi kalau bukan Hansel dan sahabatnya, Miko. Dua sahabat ini selalu lengket bak perangko dan amplop.
Sebatang cokelat dihiasi pita merah muda mendatanginya. Kedua cowok itu terkejut sehingga berdiri menatap gadis manis itu.
“Ada apa, Dek?” tanya Hansel yang kini telah berdiri sejajar dengan gadis kelasnya yang bernama Selly.
“Ini buat Kakak,” ucapnya, lalu menyodorkan kembali cokelat batang itu. “Kak Hansel. Aku tuh suka sama Kakak. Kakak tuh cowok paling baik yang pernah aku temui. Maukah Kakak jadi pacarku?” Tanpa gugup sedikit pun ia lontarkan isi hatinya dan berharap cowok di depannya menerima cintanya.
Ini bukan pertama kalinya kelas begitu ramai. Anak-anak di dalam kelas, maupun di luar--mengintip di ambang pintu dan jendela--pada heboh menyaksikan adegan tersebut. Kebanyakan dari siswi pada ilfil dan berharap Hansel menolak Selly. Sudah tak terhitung berapa gadis yang melakukan hal ini dan tidak satu pun yang diterima cowok itu.
“Maaf, Dek. Bukan maksudku untuk menolak dan membuatmu patah hati. Aku hanya berkomitmen untuk saat ini tidak menjalin hubungan dengan perempuan. Aku tidak mau pacaran. Fokusku sebagai siswa hanya belajar agar orang tuaku tak kecewa nantinya.” Hansel memegang bahu gadis itu. “Sekali lagi aku minta maaf, Selly. Kamu mau kan maafin aku,” tuturnya lembut.
Selly menggenggam cokelat batangnya cukup erat. Bahkan ia salah tingkah saat Hansel menatap matanya dan juga memegang bahunya. Terasa tersihir oleh kelembutan dan pesona Hansel sehingga ia yang harusnya sedih dan patah hati, justru jantungnya malah berdebar. Ia menerima alasan cowok itu.
“Kakak nggak salah apa-apa. Kakak cowok paling keren yang pernah aku temui. Kakak menomor satukan belajar. Aku suka itu.” Selly menyodorkan lagi cokelat batangnya. “Walaupun, Kakak udah nolak aku, setidaknya terimalah cokelat ini.” Ia tersenyum.
Hansel menerima cokelat itu dan tersenyum, “Terima kasih, ya, Dek. Jika kita memang berjodoh, pasti suatu saat bisa bersama.”
“Amin. Semoga kita berjodoh, Kak” Pipi Selly memerah bak kepiting rebus, Hansel sungguh manis di matanya.
Beberapa siswi yang mengitip di luar sana bersorak gembira karena mereka masih punya kesempatan untuk mengambil hati cowok ramah itu. Saat Selly membalikkan badannya untuk keluar dari kelas itu, para pengintip pun bubar.
***
Geng Ucup CS berkumpul di belakang kelas kosong—bisa dikatakan gudang karena di dalamnya terdapat perkakas sekolah rusak, seperti: meja, kursi, dan lain sebagainya—bersama seorang siswi bertubuh sangat pendek. Siswi itu tampak ketakutan dibawa paksa ke tempat sepi itu. Akbar mendekatkan tubuhnya dengan tubuh gadis itu, ia juga sedikit menunduk dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang Akbar bisikkan sehingga membuat matanya membulat.
“Jangan, Bang. Baiklah, aku akan mengikuti apa yang kalian mau,” ucapnya pasrah.
“Ha, ha ...!” Ke-empatnya tertawa, hanya Sidik yang diam dengan raut wajah datar.
Ucup mendorong kepala bagian samping siswi itu dengan dua jarinya. “Gitu, dong. Jadi anak bontot itu harus nurut ama kita-kita.” Kemudian ia memalingkan wajahnya ke teman-temannya, “Bener nggak, Gengs?” tanyanya dengan senyum cerah yang amat mematikan.
“Betul banget, Bos,” Jawab ke-empatnya serentak.
Siswi itu hampir menangis. Matanya berkaca-kaca, sungguh ia takut bercampur kesal. Tapi, apalah daya, ia tidak bisa melakukan apa-apa mengingat ancaman yang dibisikkan Akbar tadi--akan menyakiti adiknya yang cacat, jika ia tidak mau tunduk dengan mereka.
“Hus, pergi sana. Jangan lupa bawa tujuh roti, empat rasa cokelat, dua keju, dan satu rasa anggur. Sama minumannya juga, lima botol N* Green Tea, dua rasa madu, sisanya original. Kau antar ke kelas aku, XI IPS 5. Paham!” perintah Gretel melotot.
Siswi itu mengangguk, “Baiklah, Kak. Ica pergi beli pesanan Abang-abang, Kakak-kakak.” Siswi bernama Ica itu pun pergi dengan terbirit-birit.
Karena rasa takutnya belum hilang, Ica tidak memperhatikan ada siswa yang juga berjalan berlawan arah dengannya, sehingga ia menabrak siswa itu.
“Maaf, Mail. Ica nggak sengaja,” ucapnya yang menambrak bahu Mail.
“Iya, Ca. Aku maafin, kok. BTW, wajah kamu kok seperti orang ketakutan gitu? Kamu habis liat hantukah di belakang situ?”
“Nggak kok. Aku baik-baik aja, nggak ada hantu. He-he ....” Ica berpura-pura tertawa agar Mail tidak menaruh curiga kepadanya.
Tidak sengaja netra cowok itu beralih ke seberang sana. Matanya membulat seketika, pikiran buruk mendatanginya.
“Ya udah kalo nggak ada apa-apa. Aku pergi dulu ya.”
Mail melihat Gretel dan teman-temannya keluar dari balik gudang. Ia pun pergi mengikuti kelimanya secara diam-diam. Sepanjang jalan ia menguping obrolan mereka. Dari situ dia tau bahwa mereka meminta Ica dibelikan makanan. Ini bukan pertama kalinya mereka membuat ulah, hingga membuat geram.
***
Saat Mail hendak balik ke kelasnya, ia melihat Ica membawa dua kantong kresek, sepertinya mau naik tangga. Ia langsung menghampiri gadis itu, alih-alih menawarkan bantuan.
“Sini aku bantuin, Ca,” tawar Mail hendak mengambil kantong kresek bening itu.
“Nggak usah, Mail. Aku bisa kok bawa sendiri.”
Walaupun, gadis itu menolak tawarannya, Mail tetap gigih mengambil paksa kantong kresek di tangan kiri Ica. “Nggak pa-pa aku bantuin.” Ia tersenyum. “ Ini berat juga, lho. BTW, minuman sebanyak ini untuk siapa?” tanyanya penasaran.
“Emm ... buat Bang Yusuf,” jawabnya lirih, sedikit takut.
Mail tersenyum lagi. “Yuk, kita antar ini!” ia gelengkan kepala sedikit ke arah tangga, kemudian melangkah menaiki tangga diikuti Ica di belakangnya.
***
Mail dan Ica telah tiba depan kelasnya XI IPS 5. Mail berdiri di ambang pintu, melihat Gretel berbincang dengan ke empat temannya. Ia langsung saja menghampiri mereka.
Bruk!
Kantong kresek berisikan minuman-minuman itu di taruhnya di atas meja Gretel dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi. Gretel dan teman-temannya tersontak kaget melihat tatapan tajam dari si mata sipit itu.
“Apa-apan, kau?!” Bentak Ucup bangun dari duduknya.
Ica menghampiri Mail dan berdiri di belakang tubuh cowok itu. “Mail, kamu kok gini?” tanyanya lirih.
“Aku muak liat kelakuan mereka.”
Mendengar perkataan Mail, Akbar langsung menonjok pipi tembem cowok itu.
Aksi tersebut membuat kelas heboh dan anak kelas sebelah juga berkerumbunan menyaksikannya.
Mail tumbang, ia terduduk di lantai dan memegang pipinya yang sakit terkena pukulan itu. Gretel berdiri di tengah-tengah dua cowok itu untuk mencegah perkelahian.
“Cukup, Akbar!” Teriak Gretel, lalu membisikan sesuatu ke telinga Akbar.
Entah apa yang cewek itu bisikan hingga mampu menghentikan keributan. “Ok, juga idemu.”
“Bubar-bubar!” Gretel meminta kerumbunan itu untuk pergi. “Kalian juga pergi!” usirnya melotot.
Ica menaruh kantong kresek berisikan roti-roti ke atas meja Gretel, kemudian ia dan Mail pergi dari sana.
Jangan lupa vote dan komen
Terima kasih udah mampir😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro