07. Kakak yang Baik
Prasetyo memarahi putrinya. Lagi-lagi dengan kesalahan yang sama, telat pulang ke rumah. Kali ini Gretel mengambek, ia malas mendengar ocehan panjang lebar yang menyudutkan dirinya. Yang pastinya akan memintanya untuk menjadi seperti saudara kembarnya.
“Gretel, Papa sedang menasehatimu. Kamu nggak boleh main pergi gitu aja. Gretel!” teriak Prasetyo menyaksikan kepergian putrinya dan memilih berdiam di tempat, tanpa mengikutinya. Ia memijat pelipis kanannya, sungguh pusing dengan kelakuan anaknya yang satu itu.
Di dalam kamar, Gretel sedikit terisak. Ini memang kesalahannya, tapi ia sungguh tidak terima yang selalu dimarahi. Kadang terlintas dibenaknya. Apa mungkin aku bukan anak kandung orang tuaku? Tapi, ia ragu. Wajahnya sangat mirip dengan Papanya, walaupun tidak terlalu mirip dengan Hansel, karena saudaranya itu mirip mamanya. Ia tidak boleh berpikir yang bukan-bukan. Ia mengalihkan pikirannya dengan nonton film anime di laptopnya.
***
Sebuah kamar bercat ungu lembut dengan ranjang yang sangat rapi beralaskan seprai berwarna merah bergambar lambang club sepak bola,MU. Dindingnya tidak banyak terdapat pajangan, hanya gambar tokoh ilmuan terkenal, Albert Eistain dan papan kecil di samping meja belajarnya—isinya banyak terdapat tempelan sticky note. Yang paling menarik di kamar itu terdapat rak buku tinggi yang isinya penuh berbagai macam jenis buku. Dari yang terlihat bisa disimpulkan bahwa sang pemilik kamar itu seseorang yang rajin membaca dan cerdas. Dia adalah Hansel, cowok berprestasi di sekolahnya.
Ia sangat menikmati rutinitasnya sebagai siswa. Tidak pernah sekalipun mengeluh karena ia sangat menyukai belajar. Hansel bercita-cita ingin menjadi seorang dosen menyalurkan ilmu yang dimilikinya kepada mahasiswanya, kelak. Ia ingin menjadi orang yang berwawasan luas dan paling ia impikan yaitu berkuliah di luar negeri.
Kini Hansel sudah selesai mengerjakan PR-nya. Dibersekannya buku-buku dan juga perlaralatan tulis yang berserakan di atas meja belajarnya, lalu menyimpannya. Ia teringat adik kembarnya yang sejak ia pulang tidak terlihat sama sekali. Tadi sebelum belajar, ia bertanya kepada mamanya. Mama bilang Gretel belum pulang sehingga membuatnya cemas.
Ia pun melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya, lalu pergi menuju kamar adiknya. Saat menuruni tangga ia melihat papanya yang sepertinya dari dapur. Ia bergegas mendekati Prasetyo.
“Pa, Gretel udah pulang?”
“Udah, Sel. Dia merajuk, berkurung di kamarnya,” jawab Prasetyo. “ Papa heran liat adik kamu, makin hari, makin menjadi-jadi. Nggak mau dengerin nasehat Papa. Padahal Papa mau dia menjadi anak yang baik.”
“Hansel yakin Gretel akan berubah. Hansel akan berusaha untuk menjadikan Gretel menjadi seperti apa yang papa harapkan.” Hansel meyakinkan Prasetyo berharap rasa kesal papanya hilang.
“Papa percaya sama kamu. Papa ke kamar dulu, ya.” Prasetyo menepuk bahu putranya, halus.
Hansel mengangguk. Prasetyo pergi dan ia juga melanjutkan langkahnya menuju kamar adik kembarnya.
Setiba di depan pintu kamar Gretel, ia mengetuk pintu bercat putih itu.
“Gretel. Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya khawatir.
Gretel yang mendengar ketukan pintu sekaligus suara saudaranya yang sungguh menyebalkan memilih untuk mengabaikan dan ia tidak beranjak dari meja belajaranya, tetap melanjutkan menonton film.
“Gretel dijawab, dong! Aku tuh khawatir sama kamu.”
Tidak ada jawaban, Hansel pun mengetuk keras pintu di depannya itu. “Gretel kamu dengar nggak, sih!” Kali ini ia emosi.
Tontonannya terganggu dengan suara ketukan pintu dan teriakan Hansel. Sungguh menyebalkan.
“Berisik, tau. Pergi sana!” jawabnya berteriak dengan kasar.
Cowok itu sedikit lega mendengar suara di dalam sana. Setidaknya adik kembarnya itu masih mengeluarkan suara, walaupun seperti biasa sangat tidak enak di dengar.
“Kamu udah makan, Tel?”
“Jangan sok peduli. Pergi sana.” Kali ini Gretel melemparkan kotak pensil berbahan plastik ke pintu, sehingga mengeluarkan suara bantingan yang kuat.
“Baiklah.” Hansel pun pergi, ia tidak langsung balik ke kamarnya, melainkan ke dapur.
Seperti biasa Santi selalu menyisihkan lauk untuk putrinya. Jika nanti Gretel lapar, putrinya bisa makan. Dan kini Hansel menyiapkan makan malam untuk adik kembar tersayangnya. Serasa sudah cukup, ia pun kembali ke kamar Gretel dengan nampan ditangannya.
Tak ada meja untuk meletakkan mapan, Hansel pun menaruhnya di lantai—di depan pintu kamar Gretel. Hansel mengetuk pintu itu kembali. “Gretel, aku bawain kamu nasi. Jangan lupa dimakan, ya. Aku tarok depan pintu,” ucapnya, lalu pergi begitu saja.
“Apaan sih, berisik banget,” lirihnya. Gretel mencerna yang barusan saudaranya katakan. Nasi? Hansel bawa nasi. Ia pun bangkit dan membuka pintu untuk memastikan ia tidak salah dengar.
Dibukanya pintu, lalu netranya mengarah ke lantai. Mulutnya sedikit terbuka melihat nampan berisikan nasi dan juga sebotol air. Ia pun melirik kiri-kanan seperti maling yang mau mengambil barang curian. Dipastikan tidak ada orang yang melihatnya, ia bergegas mengangkat nampan itu dan membawanya masuk ke kamarnya.
Seseorang keluar dari persembunyiannya. Ia tersenyum melihat nampan yang dibawanya tidak ada di lantai. Ia pun bernapas lega pergi ke kamarnya dengan tenang.
Tak dipungkiri kakak kembarnya itu sangat baik dan perhatian padanya. Hanya ego selalu menang melawan hati nuraninya sehingga tak tersentuh dengan kabaikan yang Hansel berikan. Kebencian telah membutakannya. Yang ada hanya iri, iri, dan iri.
Tadi sore Gretel memang sudah makan spageti bersama kekasihnya. Karena sekarang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh yang pastinya spageti tadi tidak mampu menganjal perutnya. Ia lapar, tapi malas untuk keluar kamar. Beruntung sekali Hansel membawa makanan untuknya sehingga ia tidak keroncongan hingga pagi.
Lauk di piringnya ayam bumbu. Itu adalah lauk kesukaan kakak kembarnya. Kenangan lalu muncul. Saat itu ia merengek minta dibuatkan makanan kesukaanya kepada Mama.
“Ma, Gretel kepingin rendang. Buatin, dong!” pintanya memegang lengan Santi yang sedang cuci piring.
“Buat rendang itu ribet. Tunggu lebaran aja. Nggak nyampe tiga bulan lagi, kok. Kamu puasin makan rendang di rumah Oma,” jawab Santi yang masih sibuk cuci piring tanpa menatap lawan biacaranya.
“Lama banget. Gretel pinginnya sekarang, Ma.”
Mendengar rengekan putrinya, ia pun berhenti cuci piring, mengeringakan tangannya dengan lap yang tergantung di dekat wastafel cuci piring, lalu merogoh saku dasternya, mengeluarkan uang lima puluh ribu dan disodorkannya kepada Gretel.
“Ini uang buat beli rendang. Mama nggak bisa masakin buat kamu. Kamu beli saja di rumah makan Padang depan sana.”
Sungguh dengan sikap Santi membuat Gretel sedih. Ia juga kesal karena mamanya tak mau masakin lauk kesukaanya. Berbeda sekali dengan saudara kembarnya. Hansel minta ini-itu pasti dibuatin mama. Sungguh ini tidak adil.
Malam ini ia harus menyingkirkan pikiran itu. Perutnya lapar, ia harus makan. Gretel makan sambil nonton. Keasyikan nonton sehingga ia lupa bahwa waktu terus berjalan dan kini sudah tengah malam tepatnya pukul dua belas lewat. Ia yang juga merasa ngantuk memilih tidur dan berharap hari esok akan datang kebahagian menghampiri dan orang tuanya menyayanginya.
Happy birthday Hansel dunia nyata🎂🎉🎉
Walaupun telat yang penting ucapin😅
Namanya Heeseung, ultahnya tanggal 15 Oktober kemaren
Karena lahir tahun 2001, umurnya sekarang udah 19 tahun
Ku menantikan debutnya bersama anak-anak Enhypen lainnya
Menunggu performance dan nyanyian mereka
.
.
.
Jangan lupa vote dan komennya
Terima kasih udah mampir
😄
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro