Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. Bersama Justin

Seorang cowok tinggi bak model—memakai kemeja kotak-kotak hitam-putih, melepaskan seluruh kancingnya sehingga menampakkan kaos abu-abu—yang sangat tampan berdiri, bersandar di mobil ber-merk Ho*** J**z berwarna biru. Kebanyakan siswi yang melewatinya pangling melihat paras tampannya. Namun, cowok itu tetap bersikap cuek dan irisnya terus mengarah ke gerbang, menantikan orang yang ia tunggu.

Tak perlu menunggu lama, gadis yang ditunggu pun menampakkan batang hidungnya. Cowok itu tersenyum, lalu melambaikan tangannya. Gadis itu mempercepat langkahnya menghampiri cowok itu.

“Udah lama nunggunya, Bang?” tanya Gretel menatap Justin yang berhadapan dengannya.

“Nggak pa-pa aku nunggu lama, asalkan yang aku tunggu itu kamu,” jawabnya sembari mencolek halus hidung mancung kekasihnya itu.

“Bisa aja, Bang.” Gretel tersipu malu dengan pipi yang seketika merona.

Cowok tampan itu mengusap lembut rambut panjang kekasihnya, tersenyum lepas penuh arti. Si pemilik rambut pun tidak kalah bahagia. Ia sungguh merindukan kekasihnya itu.

Gretel adalah kekasih Justin. Mereka telah pacaran setahun lebih lamanya. Dulu Justin bersekolah di sekolah itu—SMA Nusa Bangsa. Namun, kini ia telah lulus dan berkuliah di UNRI—masih satu kota dengan kekasihnya dan rumah orang tuanya. Walaupun tidak menjalinkan hubungan jarak jauh, keduanya jarang bertemu dengan alasan kesibukan kuliah Justin.

Justin membukakan pintu mobil untuk kekasihnya, lalu Gretel pun di telan mobil biru itu. Justin mengendarai mobil dengan hati berbunga-bunga. Setelah mobil itu hilang dari SMA Nusa Bangsa, seseorang keluar dari persembunyiannya. Ia tampak kesal. Namun, entah apa yang membuatnya darahnya mendidih melihat pasangan itu, hanya ia yang tau.

***

Di dalam mobil Gretel sungguh cerewet. Banyak pertanyaan yang ia lontarkan kepada kekasihnya itu. Hal ini sungguh tidak seperti biasanya. Mungkin karena jarang bertemu juga. Justin dengan senang hati menjawab semua pertanyaan itu. Karena ia tau kekasihnya itu sangat menyayanginya, takut pacar tampannya itu diambil orang. Hal wajar karena Justin sangat tampan dan Gretel sangat mencintainya.

Justin tidak langsung mengantarkan Gretel ke rumah. Ia membawa gadis itu ke sebuah kafe tempat favorit mereka semasa Justin sekolah. Tempat itu juga menjadi saksi bahwa seorang cowok tinggi berkulit putih telah menyatakan cintanya kepada gadis dicintainya di situ. Itu sebuah momen yang tidak terlupakan oleh Gretel karena Justin merupakan kekasih pertamanya, sayangnya bukan cinta pertamanya.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Justin menatap wajah cantik Gretel yang sedang membaca menu di tangannya. Senyuman itu tidak hilang dan kini tangannya mengelus puncak kepala kekasihnya.

“Abang dari tadi ngusap kepalaku terus. Ntar rambutku rusak, lho.” Gretel mengembungkan pipinya sehingga ia terlihat sangat imut dan itu membuat Justin gemes.

Justin mengacak-acak rambut Gretel, menggoda kekasihnya. Gretel yang kesal pun membalas mencubit pinggang kekasihnya. Walaupun, halus ternyata sakit juga.

“Udah-udah. Sakit, Sayang,” ucapnya minta ampun. Anehnya wajahnya tidak memperlihatkan kesakitan, melainkan tertawa.

Gretel pun menghentikan perlakuannya itu. Ia memanggil Waiters untuk memesan makanan. Setelah pesanan datang, mereka menyantapnya sambil berbincang-bincang. Senyum Justin luntur ketika melihat seseorang yang duduk sendirian di meja seberang sana dengan wajah yang sungguh menakutkan.

Merasa tidak nyaman karena terus di awasi. Cowok itu pun meminta Gretel untuk menyudahi makannya.

“Yang, aku udah kenyang. Kita pergi dari sini, yuk!” ajaknya yang sudah bangun dari kursinya sehingga membuat Gretel terpelongo melihat sikap buru-buru kekasihnya itu.

“Ini makanan kita belum habis. Mubazir, Bang. Habisin dulu baru kita pergi, ya,” pinta Gretel memasang wajah imut sambil mengedip-ngedipkan kedua matanya  dan mempertautkan kelima jarinya.

Justin terpaksa kembali duduk. Sungguh selera makannya hilang, mata seseorang di seberang sana sungguh mengintimidasi. Ia tidak melanjutkan makan dan menunggu kekasihnya itu menghabiskan spaghetti-nya.

Justin bernapas lega keluar dari kafe itu. Ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan orang itu tidak mengikutinya lagi. Secepatnya ia dan Gretel masuk ke mobil melaju meninggalkan tempat itu.

Tadinya, Justin ingin langsung mengantarkan Gretel pulang. Ia tidak mau terus-terusan diikuti oleh orang tadi. Tapi, Gretel malah minta ke mal untuk bermain di area permainan. Karena gadis itu terus memohon kepadanya, dengan terpaksa ia menurutinya. Padahal saat ini hampir malam. Gretel melupakan begitu saja aturan yang dibuat ayahnya untuk tidak pulang malam. Yang terpenting baginya hari ini bisa bahagia bersama kekasih tercinta.

Di area permainan, Justin merasa was-was. Awalnya ia kehilangan fokus dan syukurlah setelah diperhatikan tidak ada yang mengawasi mereka sehingga cowok itu kembali nyaman, menikmati bermain bersama kekasihnya.

***

Mobil biru itu sudah tiba di depan rumah bercat putih, berpagar besi hitam. Jam sudah menunjukkan pukul dua puluh lewat tiga puluh tiga menit. Keasikan di area permainan membuat keduanya lupa waktu sehingga pulang malam-malam begini.

Sebelum Gretel keluar dari mobil biru itu, Justin berucap sesuatu, “Yang, aku temui keluarga kamu, ya. Buat jelasin kalo kamu itu sepulang sekolah sama aku,” pintanya yang tak ingin di cap mengatarkan anak gadis orang malam-malam tanpa pertanggungjawaban.

“Yakin, Bang? papaku itu galak, lho. Lagian Abang juga sebelumnya pernah bertemu papa. Daripada Abang dimarahin, mending nggak usah. Aku masuk sendiri aja.”

“Tapi, Yang. Sekalian memperkenalkan bahwa aku ini pacar anaknya. Kita udah pacaran setahun lebih, lho. Aku udah kenalin kamu ke mamaku, sekarang biar aku yang kenalin diriku kepada keluarga kamu.”

Please, Bang, jangan sekarang. Suatu hari nanti aku bakal kenalin Abang ke keluargaku. Aku janji.” Gretel menggenggam erat tangan kekasihnya. “Aku pamit, Bang.” Gretel mencium pipi Justin tampa izin, lalu keluar dari mobil itu. Ia melambaikan tangan di depan gerbang dan mobil Justin pun mulai menghilang dari pandanganya. Setelah itu, barulah ia masuk ke rumah yang tidak di harapkannya.

Baru saja membuka pintu—belum selangkah pun masuk ke dalam—seseorang bersuara bariton berdeham. Mata Gretel membelalak melihat seseorang mendekatinya.

“Dari mana saja, kamu?”

Jangan lupa vote dan komennya
Terima kasih udah mampir😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro