01. Penerimaan Rapor
Sekumpulan manusia berdiri di bawah terik sinar matahari pagi. Berbaris rapi menyaksikan sekaligus menunggu suatu hal yang mereka tunggu sedari tadi. Seorang pria paruh baya dengan tampilan rapi mengenakan seragam cokelat berdiri di atas mimbar kecil layaknya seorang pemimpin dermawan melontarkan berbagai kata-kata petuah, serta nasehat agar warga sekolah menjadi lebih baik kedepannya.
Hari ini adalah hari yang ditunggu semua siswa. Hari pengumuman juara dan juga penerimaan rapor kenaikan kelas. Hasil dari usaha, perjuangan menjadi yang terbaik dari yang terbaik akan terungkap. Siapkah mereka menerima hasilnya?
Pak Ridwan selaku Kepala Sekolah telah selesai menyampaikan amanat. Sekarang giliran Pak Budiman yang maju untuk mengumumkan peringkat satu sampai tiga tiap-tiap kelas serta juara umum.
"Juara satu dari kelas X IA 2 adalah ... Hansel Putra Prasetyo," ucap Pak Budi yang menyebutkan nama siswa bertubuh jangkung dengan gigi rapi nan putih.
Siswa bernama Hansel itu pun tersenyum lebar layaknya iklan pasta gigi. Ia maju mendekati Pak Budi untuk mengambil bingkisan yang dibaluti kertas padi yang bertuliskan "Juara 1" dengan spidol hitam.
"Selamat, Hansel. Pertahankan peringkatmu," ucap Pak Budi berjabat tangan dengan siswa berprestasi itu.
"Terima kasih, Pak." Setelah itu, ia berdiri di depan Selly, siswi kelasnya yang mendapat juara dua.
Siswa-siswi bertepuk tangan. Ada satu siswi yang tampak tidak senang. Ia berdecak seolah itu bukan apa-apa. Dia adalah orang terdekat Hansel, tapi sama sekali tidak merasa dekat. Mereka saudara. Bahkan saudara kembar. Namanya Gretel Putri Prasetyo. Gadis yang sangat tidak menyukai saudara kembarnya.
Pengumuman juara kelas telah selesai. Warga sekolah yang berada di lapangan pun bubar, melangkah memasuki kelas masing-masing bersama dengan orang tua mau pun wali murid yang baru saja datang.
Papa dan Mama dari Hansel-Gretel tiba di SMA Nusa Bangsa. Awalnya mereka sempat berdebat sebentar di depan gerbang sekolah perihal memperebutkan mengambil rapor Hansel. Hingga pada akhirnya kemenangan didapatkan oleh kepala keluarga, sedangkan istri hanya bisa cemberut menerima kekalahan. Mereka begitu karena ingin mendengar pujian dan membanggakan anak laki-laki mereka di depan wali kelas Hansel. Mereka sangat bangga memiliki anak yang sangat cerdas, sehingga mengabaikan anak mereka yang satu lagi yang jauh tertinggal.
"Gretel Putri Prasetyo," panggil w ali kelas X IPS 5, Bu Dira yang sedang duduk di kursi depan dengan tumpukan rapor bersampul biru gelap di atas mejanya.
Santi dan Gretel yang duduk di meja belakang sudut kiri itu pun menghampiri Bu Dira. Keduanya duduk di hadapan guru muda itu.
"Selamat Gretel, kamu naik kelas XI," ucap Bu Dira memberi selamat Gretel sambil berjabat tangan kepada Gretel dan juga Santi, mamanya Gretel. "Gretel mendapatkan peringkat 32 dari 35 siswa, Buk. Walaupun naik satu peringkat, tapi nilai Gretel hampir semua mata pelajaran sangat rendah," ia membuka salah satu rapor dan menunjukkan nilai-nilai yang diterima Gretel.
"Bagaimana sikap anak saya di sekolah, Buk? Apa baik-baik saja?" tanya Santi yang meragukan tingkah laku anaknya yang mungkin hampir sama saat di rumah.
"Gretel dua kali membolos mata pelajaran terakhir dan kebetulan itu mata pelajaran saya, Matematika. Dan juga saya mendapat laporan Gretel sering membolos di mata pelajaran lain, tepatnya selalu di jam mata pelajaran akhir dan mata pelajaran setelah jam istirahat terakhir."
"Apa benar begitu, Gretel?" tanya Santi menatap tajam putrinya.
"Iya, Ma," jawab Gretel lirih menunduk.
Begitulah tingkah laku Gretel di sekolah. Suka membolos di jam mata pelajaran terakhir. Ia tidak suka belajar dan lebih suka ngumpul dengan teman-teman geng-nya yang kelakuannya hampir sama dengannya. Bersama mereka membuatnya sedikit bahagia. Tujuannya hidup di dunia hanya untuk mencari kebahagiaan, dan mengubur rasa sakit hati yang di dapatkannya di rumah.
Santi dan Gretel keluar dari kelas. Wanita itu mecengkeram pergelangan putrinya, lalu menyeretnya ke dekat tonggak. Ia melepaskan tangan Gretel dan berdiri memelototi putrinya.
"Kamu itu anak perempuan, tapi kelakuan macam preman. Kapan kamu akan membuat kami bangga? Kamu harusnya bisa mencontoh abangmu. Abangmu itu tingkah lakunya bagus, berprestasi, sedangkan kamu apa? Bikin malu aja!" Santi Geram.
"Aku Gretel, bukan Hansel. Sudah cukup Mama menyuruhku menjadi seperti dia." Mata Gretel berkaca-kaca. Ia kesal dengan mamanya yang terus-terusan menyukai saudara kembarnya.
Gretel pergi dengan bulir asin yang sudah lolos jatuh ke pipi mulusnya. Ia berlari meninggalkan mamanya, melewati Prasetyo dan Hansel yang berjalan hendak menyusul mereka. Papa dan Hansel terheran melihat Gretel yang pergi begitu saja.
Hansel pergi menyusul suadaranya, sedangkan Prasetyo menghampiri istrinya yang masih berdiri dengan wajah memerah.
"Ada apa?" tanya Prasetyo berdiri di hadapan istrinya. Ia peluk istrinya sekejap dan barulah Santi membuka suara.
"Biasa. Anak Papa yang satu itu selalu bikin Mama naik darah."
"Sudah-sudah, jangan cemberut gitu. Ayo kita pulang, Papa masih ada kerjaan di kantor. Hansel dan Gretel biar mereka pulang bersama, kita duluan aja."
Santi menggangguk, setuju. Prasetyo merangkul istrinya menyelusur koridor sekolah menuju area parkir.
Di tempat lain Hansel berlari mengejar Gretel. Gadis itu berlari terlalu cepat hingga Hansel pun manambrak beberapa orang saat berlari. Aksi kejar-kejaran sampai ke pintu gerbang. Saat di luar gerbang ia tidak melihat saudaranya itu lagi, ia kehilangan jejak. Walaupun, ia tidak tau permasalahan Gretel dengan mamanya, ia hanya ingin menghibur agar saudaranya tidak bersedih lagi.
Setelah berjalan beberapa langkah, akhirnya ia menemukan saudara kembarnya. Gretel duduk di warung depan sekolah. Gadis itu menjilati eskrim cokelat, menatap lurus dengan pandangan kosong.
Hansel pergi ke warung itu. Ia mengambil satu cup es krim rasa vanila-cokelat, lalu duduk di samping Gretel. Gretel yang menyadari kehadiran suadaranya itu pun terejut. Ingin kabur, tapi kakinya cukup lemas untuk melangkah.
"Es krim ini enak banget. Kamu mau?" tanya Hansel basa-basi. Sebenarnya ia bingung mau bicara apa, sehingga kalimat tadi terlontar begitu saja dari mulutnya.
"Apaan sih. Kamu nggak liat aku juga punya es krim sendiri," ucap Gretel menaikkan sebelah bibirnya.
"Mana tau kamu mau tambah. Kan es krim di tangan kamu tinggal dikit."
"Memangnya kamu mau bayarin kalo aku nambah?"
"Kamu mau nambah lima pun aku yang bayar."
Suasana hati Gretel sedikit mebaik. "Benarkah? Aku nambah sepuluh kalo gitu."
Hansel terkejut mendengar kata "sepuluh". Jika benar, bisa gawat, secara uangnya tidak cukup untuk membeli sepuluh es krim. "Yah, kalo segitu uangku nggak cukup. Kalo boleh ngutang, minta dua puluh pun boleh deh."
"Buk, boleh hutang 5 eskrim, nggak?" tanya Hansel yang beranjak dari duduknya, bertanya kepada pemilik warung yang duduk di depan estalase.
Gretel yang sudah menghabiskan es krim cokelatnya pun tercengang melihat saudaranya yang terlalu serius menanggapi ucapannya. Padahal tadi ia hanya bercanda. Hansel sungguh polos.
"Di sini nggak boleh hutang, Dek. Nanti kalau kamu nggak datang-datang buat bayar, tante bakal cari kamu di mana coba?" ucap pemilik warung yang umurnya sekitan tiga puluhan.
Gretel berdiri di belakang Hansel. Ia menepuk bahu cowok jangkung itu.
"Kamu apa-apaan sih. Aku tu tadi cuma bercanda. Kamu beliin aku satu aja. Sudah."
"Baiklah, kamu ambil dua lagi. Satunya buat aku. Habis makan es krim kita pulang, ya?"
"Kamu pulang aja dulu. Aku mau mampir ke suatu tempat."
"Kemana?" tanya Hansel penasaran.
"Kepo. Buruan bayar, habis itu kamu pulang. Aku mau duduk di sini dulu," ucap Gretel mengusir Hansel.
"Iya-iya." Hansel membayar es krim. Sesuai permintaan Gretel ia langsung pergi masuk area sekolah, meninggalkan saudaranya yang masih menikmati es krim yang ia belikan.
Jangan lupa vote dan komen
Terima kasih sudah mampir😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro