
Bab 8 Argon Liar
Apollo memandang dua bulan beda warna di langit penuh bintang. Malam yang cerah. Lelaki bermata tajam itu duduk di balkon atas istana. Matanya berwarna kelabu memandang bulan dengan wajah sendu.
Namun, ujung bibir tipisnya menyunggingkan senyum walau hanya sedikit. Dia masih teringat kejadian di sungai. Gin, sekaligus orang terdekatnya mandi tanpa sehelai benang pun. Apollo masih ingat betul lekuk tubuh gadis manis sungguh membuat hatinya berdesir tak karuan.
Ah, kalau dua bulan itu bisa melihat, wajah Apollo makin merona. Seumur hidup dia belum pernah melihat perempuan telanjang. Sang Penguasa Northely memegang dada sebelah kiri.
Ada apa dengan aku? Kenapa wajahnya tidak mau beranjak dari pandanganku? Keluh Apollo dalam hati.
Gin mengatai Sang Raja Northely dengan sebuta mesum. Belum ada seorang perempuan manapun yang berani melakukan hal itu. Bahkan si Burung Congkak pun memberinya 'gelar' si Tukang Tebar Pesona. Ck, burung macam apa pula?
Apollo cengengesan di balkon. Kalau ada yang melihat mungkin Raja mereka sudah gila. Sepertinya, Sang Penguasa sedang jatuh cinta.
Suara deheman membuat Apollo sedikit berjengit. Dia menoleh ke belakang. Kembali dengan wajah datarnya. "Ada apa?"
Salah satu penasihat itu berkata, "Tuan belum tidur? Ini sudah larut malam."
Apollo tersenyum tipis dan menggelengkan kepala pelan. "Aku belum mengantuk. Kau tidurlah, besok pekerjaanmu akan bertambah."
Setelah penasihat itu menghilang dari pandangannya, Apollo kembali menatap bintang. Matanya menyipit, menatap sosok hitam dari atas langit menuju ke arahnya.
"Selamat malam Yang Mulia Apollo."
"Toruc Magto salah satu Empat Penjaga Penjuru Selatan," sapa Apollo.
Wanita berkulit hitam dengan warna mata emas, rambut hitam keriting sebahu itu mengangguk sopan. Pakaiannya serba hitam. Tersampir pula busur dan panah di balik punggung tegapnya dan pedang di pinggang.
"Selamat malam juga Phantewu," sapa Apollo seraya melambai tangan.
Griffin berbulu hitam keabuan itu hanya mengangguk. Apollo tahu, burung yang satu ini pendiam. Tidak seperti griffin Olic Sylum yang cerewet. Bicaranya irit hanya seperlunya saja.
"Katakan kau bawa berita apa untukku?"
"Aku membawa kabar bagus. Aku menangkap Argon. Laporan selesai," sahut si Mata Emas.
Apollo terdiam. Darahnya mulai mendidih. Algon itu yang telah menghabisi ibunya Gin. "Dimana Argon itu sekarang?"
"Di penjara bawah tanah, Yang Mulia," jawab Toruc.
"Antarkan aku ke sana sekarang juga." Ucapan final Apollo tak bisa dibantah. Toruc hanya mengangguk dan mereka melesat ke bawah menuju Penjara Bawah Tanah.
Suara teriakan terus menggema. Beberapa penjaga penjara menutup kedua telinga. Di balik penjara itu Argon terus memegang jeruji besi.
"(Og em Leth!) Argon itu terus menjerit.
Apollo dan Toruc baru saja tiba langsung dihujani teriakan makhluk itu. "Kenapa dia teriak?"
"Makhluk itu sudah teriak dari tadi Yang Mulia," keluh salah satu penjaga penjara.
Apollo memandang takjub makhluk sisik biru dengan mata emas. Ditambah lagi, Argon betina ini tidak memakai sehelai benang pun. Tapi. Itu tak lama, tatapan takjub diganti dengan semburan api. Apollo dan lain menghindar.
Apollo mengelus dadanya. Dia terkejut setengah mati. Apa-apaan dia? Kurang ajar sekali, untung rambutku ga kena api, Rutuknya dalam hati.
"(Og Em Leth ....)" desis Argon tersebut.
Apollo mengernyitkan dahinya. "Toruc, dia bicara apa sih?" bisiknya.
Toruc menggelengkan kepala. "Saya pun tidak tahu, Yang Mulia."
Apollo ingin mendekati makhluk biru itu namun ditahan oleh Toruc. "Biar saya saja."
"Katakan apa maumu?" bola emas Toruc sukses membuat Argon betina itu sedikit melunak.
Kedua tangan Argon betina memegang jeruji besi. "(Em Selaare.)"
"Apa katanya?" tanya Apollo. Dia makin penasaran.
"Sepertinya dari gerak gerik tubuh makhluk kadal ini minta dibebaskan."
Apollo jadi jengah melihat si kadal biru telanjang. "Coba beri dia sehelai baju."
"Su-sudah kami beri, namun makhluk kadak itu malah merobek-robek baju," tutur penjaga penjara.
Apollo hanya menghela napas. Toruc menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Argon betina terus mengamuk.
Di luar penjara Phantewu pun menutup kedua matanya. Makhluk buas itu menulikan pendengaran. Amukan si Kadal Biru dari dalam penjara sukses membuatnya frustasi.
Apollo yakin malam ini malam yang makin panjang. Mungkin dia akan terus mendengar semburan atau amukan dari Argon betina tersebut. "Ya Tuhan ...."
Di tempat lain, desa Caravajals sunyi senyap. Hanya ditemani binatang malam. B sedang terlelap di dekat kandang ayam tersentak. Mata merahnya menatap sekelilingnya. Para ayam berkotek-kotek sebagai jawaban ikut terkejut.
Di dalam rumah kecil sang Majikan B terbangun. Setengah mengantuk dia membuka jendela kamar. "B, siapa yang teriak!"
"Yang jelas bukan aku," jawab B enteng.
Itu ayam-ayamku kenapa ikut ribut juga?" tanya Gin sekali lagi. Kepalanya berdenyut. Gadis itu meringis.
"Kau tanya lah pada ayam," jawab B sekenanya. Makhluk buas itu sekarang mulai akrab sama ayam.
Gadis berambut merah itu mulai kesal. "Kenapa kau teriak!?"
"Oy, kau pun sama," sahun B kalem.
Gin memonyongkan bibirnya. Huh, jawaban macam apa itu, gerutunya seraya membanting jendela. Di dalam kamar Gin berulang kali terbangun. "Sial, aku tidak bisa tidur!"
Keesokan harinya Apollo sudah bangun sangat pagi. Ada lingkar hitam di kedua matanya. Dengan lesu dan langkah gontai dia menuju ke bak mandi. Berendam di air hangat membuat hatinya. Pikirannya melayang Gin sedang mandi di sungai. Andai saja dia mandi bersamaku di sini ...
Anak dari Sollar Drachier itu menggelengkan kepala berulang-ulang. Para pelayan menatap kelakuan Sang Raja bingung. Apakah sudah gila? Pikir para pelayan dalam hati.
Di meja makan Apollo menatap malas. Kepalanya benar-benar sakit. Dia merasa tidak enak badan. Makan pun ogah-ogahan. Normarus Wolaf berdiri tak jauh dari Apollo memandang sang Raja iba. Amukan Argon liar itu membuat Yang Mulia tak bisa tidur.
"Yang Mulia, Anda tidak apa-apa?" tanya Normarus Wolaf sedikit khawatir.
"Aku rasa tidak baik hari ini." Apollo tidak memakai baju kebesarannya. Dia ingin istirahat sejenak. "Gin mana?"
"Saya tidak tahu, Tuanku," jawab Normarus. Pria berambut panjang pirang itu menunduk ketika Si Penguasa Northely balik menatapnya.
"Kau pun kurang tidur. Istirahatlah," titah Apollo.
Si Panglima Perang membungkuk. "Baik, Tuanku."
"Bagaimama kabar si Tukang Ngamuk itu? Tumben sepi?" canda Apollo.
Normarus tersenyum menahan tawa. "Tadi aku ke penjara kulihat Argon betina sedang tidur. Mungkin kelelahan semalam."
Di lain tempat Gin sedang menimba air di perigi. Lalu dia mengisi ke dalam bak dan wadah air bersih. Kemudian dia memberi makan B dan ayam kesayangannya. Mereka sudah akrab bahkan sering tidur bersama. Gin berpikir, apakah B mulai suka sama ayamnya? Memikirkan hal itu membuat Gin jadi merinding.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro