Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 Tentang Sebuah Rasa

Hari masih gelap. Suara cicip burung mulai terdengar. Mentari belum juga menampakkan cahayanya yang kemilau. Dari barat tampat dua bulan besar dan kecil mulai memudarkan kilaunya. Seolah-olah ini giliran matahari yang muncul.

Helena merenggangkan otot-ototnya di dapur. Dia menggosokkan telapaknya. Hari ini sangat dingin. Dengan cekatan wanita bercepol rendah itu mengambil kayu bakar lalu menyalakannya agar suhu ruangan terasa hangat.

Kemudian dia segera mengambil mantel cokelat dan membuka pintu untuk membasuh wajahnya. Tubuh tegapnya menggigil tatkala wajahnya menyentuh air. Sambil menghirup napas dalam-dalam mantan prajurit berwajah ayu ini menghirup napas dalam-dalam.

Helena masuk sambil menenteng wadah berisi air bersih untuk dimasak.  Tubuhnya membungkuk mengambil roti, keju, dan sup jamur sisa kemarin. Walaupun mereka mendapat jatah makanan dan uang dari sang Raja tidak membuat ibu dan anak ini terlena. Helena tetap melakukan aktivitasnya menjual telur dan sayur mayur ke pasar.

"Gin, ayo bangun. Anak gadis jangan bangun siang-siang ah," tegur sang Ibu.

Dari dalam kamar terdengar suara orang sedang menguap. "Ya, Ibu. Aku bangun."

Gadis bernama Gin telah beranjak dewasa. Waktu berumur tujuh belas tahun dia mendapat gelar kehormatan dari Raja Apollo. Walaupun begitu kadang bertingkah seperti anak-anak. Dia suka bermain dengan bocah-bocah di sekitar rumahnya. Dulu daerah tempat tinggalnya sepi sekarang sudah ramai. Banyak pendatang tinggal di sini.

Gin tentu sangat senang. Sebab negara ini sudah damai. Tiba-tiba dia teringat dengan Rajanya. Walau usianya sudah tidak muda tapi wajahnya tetap rupawan. Membayangkan hal itu air muka Gin memerah.

'Ah, mikirin apa sih?' batinnya.

"Gin, kenapa dari tadi geleng-geleng kepala terus?" Alis Ibunya berkumpul ke tengah.

Gadis manis itu sedikit terkejut. "Ah tidak ada apa-apa kok, Bu."

"Lalu kenapa wajahmu memerah?" wanita bermata hijau jade terus menggoda anaknya. "Apa kau memikirkan Raja - mu, eh?"

"Cih, tidak akan!"

Gin memajukan bibir tipisnya. Hanya membayangkan saja sudah jadi begini. Rajanya telah membuat gadis itu tersipu malu. Dia melangkah ke depan membuka pintu. Orang kepercayaan sang Raja itu tertegun. Empat pengawal Raja sudah berdiri tegap di depan pintu.

"Yang Mulia memanggil Anda."

Di dalam istana Apollo mondar mandir di balkon. Seperti sedang menunggu seseorang. Pakaiannya berwarna biru gelap membalut tubuh kekarnya. Jubah berwarna biru terang berkibar tertiup angin. Matanya melirik sekilas, seorang pelayan istana menghampirinya.

"Makanan sudah siap, Yang Mulia," jawab pelayan wanita membungkukan tubuhnya.

"Aku akan makan jika orang yang kutunggu itu sudah tiba." Pemilik mata cokelat muda itu kembali melirik sebagai tanda si pelayan meninggalkan tempat ini.

Menghela napas Apollo kembali mendesah. "Lama sekali sih?"

Tak lama yang ditunggu pun datang. Derap langkah kuda masuk dalam gerbang istana. Terlihat Gin sudah memasuki halaman. Wajah Apollo kembali ceria. Orang kepercayaannya datang juga.

Salah seorang pengawal dalam istana menghampiri perempuan itu. "Anda sudah ditunggu Yang Mulia di ruang makan dari tadi."

Gin terkesiap. "Dari tadi?" dia merapikan baju tunik selutut berwarna merah bata. Kemudian bergegas menuju ruang makan.

Wajah rupawan Apollo ceria. "Gin, kau lama sekali?" senyumnya mengembang ketika gadis berambut diikat ke belakang terlihat di matanya.

"Aku kan mandi dan makan dulu, Tuan," ujar Gi seraya membungkuk hormat.

"Gin, sudah berapa kali kubilang di depanku bersikap biasa saja? Kalau orang lain tidak apa-apa." Apollo tampak gusar apabila Gin bersikap hormat padanya.

"Maafkan saya, Tuan." Gadis dengan julukan The Braveheart menunduk dalam. Bagaimanapun juga lelaki ini adalah Rajanya, junjungan sekaligus panutannya.

Apollo tersenyum simpul. Dalam hatinya manis juga dia. Dengan cepat menepis pikiran yang tidak-tidak. "Duduk, kita sarapan."

Gin menolak halus. "Saya sudah sarapan, Tuan."

"Makan lagi. Pokoknya temani aku sarapan," paksa Apollo sedikit merengut.

Mengalah, akhirnya Gin ikut sarapan. Berbagai macam makanan tersaji di meja makan. Oh, ada sup jamur kesukaannya. Rajanya ini tahu sekali makanan favoritnya. Gin juga tahu cheese cake hadir di sudut meja sebagai makanan pencuci mulut. Dia melirik diam-diam. Ada yang berubah. Wajahnya tampak bersih. Oh, kemana jenggot dan jambangnya?

"Aku mencukurnya."

Apollo melirik Gin yang tampak terkejut. Seolah bisa membaca pikiran Apollo berkata lagi. "Hanya ingin saja."

Gin  menatap rambut cokelat sang Raja diikat ke belakang. Kalau begini Rajaku makin ganteng saja. Gin menggelengkan kepalanya.

"Gin, kau kenapa?"

"Eh tidak ada apa-apa." Gin cepat-cepat menggigit buah anggur hijau. "Ngomong-ngomong, ada apa gerangan Anda memanggilku kemari?"

Mata cokelat Apollo berbinar-binar. "Aku ingin memamerkan jubah baru hadiah dari Raja Golsum, hehehe."

....

….

Hening.

Mulut Gin menganga lebar. 'Hanya itu saja?' jeritnya dalam hati. Oke, Rajanya ini memang hobi pamer. Tapi dia hanya mau melakukan itu di depan dirinya saja. Apollo sibuk mengoceh sementara Gin hanya diam memandang yang menurutnya lucu.

Tak lama kemudian Apollo mengajak Gin ke perkebunan. Bersama B mereka langsung melesat menuju wilayah timur. Di sana sudah ada salah satu penjaga bernama Clio. Dia bersama griffin tunggangannya. Lalu mempersilakan Apollo dan gin lewat.

Mereka sudah hampir tiba diperkebunan. Berbagai macam aneka warna terhampar di sana. Ada jagung, kentang, gandum, tomat, dan jeruk. Para petani mengetahui sang Raja turun dari punggung B langsung memberi hormat.

"Selamat datang Raja kami yang Agung, selamat datang Nona Gin Bharavar," seru para petani.

Apollo hanya mengangguk. "Silakan lanjutkan perkerjaan kalian."

Gin serasa berada di atas bunga. Hawa dingin menusuk tubuhnya. Tapi dia sangat senang. B mengekorinya dari belakang. Tatapannya menusuk sehingga beberapa petani takut padanya.

Apollo terus berjalan. Dengan baju kebesarannya dia menyusuri ke arah kebun teh. Hamparan hijau seperti karpet membuat Gin ingin tidur di atasnya. Gadis memiliki tahi lalat di pipi berlari. Hawa pegunungan sangat sejuk. Dia terus berlari sampai-sampai ….

"Celaka! Aku kesasar!" gumamnya panik.

Tubuh terlalu mungil. Dan sialnya busur dan anak panah lupa di bawa. Ketinggalan di rumah. Gin menepuk keningnya berkali-kali.

"B!"

Tidak ada jawaban. Gin bertambah panik kabut mulai turun. 'Matilah aku!'

"B! Kau ada di mana?" Gin terus berlari mencari jalan keluar.

Bruk.

Gin terjatuh tersandung batu. Kaki kanannya terkilir. Kedua sikunya mengeluarkan darah. "Aduduhh …." ringisnya. Air matanya hampir membasahi pipi.

"Gin!"

Gadis itu mendongak dan mencari sumber suara. Itu Rajanya. Hatinya senang bukan main. "Tuanku, aku di sini!"

Apollo segera menghampirinya. Wajahnya sangat terlihat khawatir. Tangan kekarnya menangkup kedua pipi si pemilik mata terindah. "Kau tidak apa-apa?"

Gin menggeleng. Apollo memeriksa sikunya terluka. "Kenapa sampai begini?"

"Aku berlari saking senangnya eh malah nyasar, hehehe." Gin menggaruk rambutnya tidak gatal.

"Malah tertawa." Terlihat jelas sorot mata Apollo menyimpan kekhawatirannya. "Aku mencarimu kemana-mana."

Eh? Apa? Enggak salah dengar? Rajanya mengkhawatirkan dirinya. Gin berusaha bangkit. Kakinya sakit sekali. Apollo menyadari itu langsung menggendongnya.

Gin malu setengah mati. Wajahnya merah padam. Belum pernah dia diperlakukan seperti ini. "E-engak usah, Tuan. Turunkan aku. Aku bisa jalan kok."

Mata cokelat bertemu dengan mata zamrud. Apollo menatap lembut. "Memangnya kau bisa jalan dengan kaki terkilir?"

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro