
Bab 2 Apollo Pamer Hadiah
Matahari keluar malu-malu dari peraduan. Burung-burung berkicau di atas atap rumah yang sangat sederhana. Asap mengepul dari balik cerobong. Pertanda sang empu sedang memasak untuk sarapan. Subuh-subuh putri dari Helena itu ke belakang rumah untuk mengambil telur. Sebagian untuk makan sehari-hari, sebagian untuk dijual.
Setelah sarapan ibu dan anak itu bersiap untuk ke pasar. Tak lupa Gin membawa sepasang ekor domba betina dan jantan untuk dijual ke pasar. Helena, wanita dengan rambut digelung ala kadarnya membawa sekeranjang telur.
Sampai di depan gerbang pasar, Gin dan helena menggelar tenda dan meja kayu untuk berjualan. Tidak sampai lima belas menit dagangan mereka laku keras. Sepasang domba jantan dan betina dibeli oleh saudagar kaya. Gin senang bukan kepalang. Hari ini memperoleh uang banyak. Anak perempuan bermata hijau indah itu berniat untuk membelanjakan kebutuhan hidup.
"Jangan kau habiskan semuanya, Gin." Ucapan dari sang Ibu membuat Gin tersenyum kecut. Wanita itu seolah tahu apa yang dia pikirkan saat ini.
Gin hanya nyengir memperlihat gigi putihnya berbaris rapi. "Tentu tidak, Ibu. Aku ingin membeli baju baru. Tapi, nanti deh, kapan-kapan."
Sang Ibu hanya menanggapi ocehan si putri tunggal dengan senyuman simpul. Tangannya dengan cekatan membereskan beberapa sisa telur untuk dimasukkan ke dalam keranjang. Gin tampak membetulkan tudung hijaunya. Dia membantu menyingkirkan meja dan tenda lalu diikat pakai tali supaya tidak ada yang mencuri.
Mereka berjalan beriringan. Manik hijau seperti zamrud itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ohya, Gin lupa. Terdengar suara seperti 'plop' dari kedua tangannya. Dia harus membeli satu ekor ikan untuk B.
"Mau kemana, Gin?" tanya Ibu.
"Aku mau membeli satu ekor ikan untuk B," sahutnya pendek.
Wanita dengan pangkat prajurit Northely tertegun. "Memangnya cukup satu ikan untuk B?" tanya Ibu heran. "Masa B kau suruh makan satu saja?"
Gin menggaruk pipinya tidak gatal. Lalu jemari lentik itu pindah untuk mengaruk kepala dibalik tudungnya. Helena memutar kedua bola matanya bosan. Hanya ada satu cara.
"Ayo kita ke pelabuhan, mudah-mudahan ikannya masih ada," ajak sang Ibu seraya menggamit jemari anaknya.
Gin tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk setuju. "Oke, deh."
Sang surya berada tepat di atas kepala. Panas terik membuat anak perempuan dengan julukan the Braveheart itu mengelap keringat. Dia lupa membawa domba-domba untuk merumput. Hewan berbulu putih itu makan sangat rakus. Kelamaan beli ikan jadinya begini.
Makhluk congkak itu pasti marah lagi, keluhnya dalam hati. Dia sudah pasrah menerima ocehan dari si Penguasa Udara. Ketika sedang asyik duduk di bawah pohon, suara debaman mendarat ke rumput. Daun-daun yang sudah kering berhamburan menerpa wajah Gin yang manis.
"Aku lapar. Kau sudah janji membawakanku makanan." suara berat khas B membuat si gadis cepat-cepat mengeluarkan ikan dari dalam kotak.
Mata merah hewan buas itu mendelik. "Ini saja?" sedikit menunduk B mengendus-endus. "Sedikit sekali."
Gin membetulkan letak tudung hampir melorot. Matanya menatap bosan pada si pemilik manik merah. "Makan saja yang ada."
Wajah B berubah masam. Gin sedang asyik berkipas-kipas ria. "Ya sudah kalau tidak mau makan, kau puasa saja."
Raut muka B makin bertambah masam dan mendengus kasar. "Menyebalkan," sungutnya.
Gin hanya mengendikkan kedua bahunya. Mata hijau teduh itu memandang bangunan tinggi menjulang dari jauh. Istana Northely. Hari ini dia diberi waktu untuk beristirahat. 'Teman-teman sedang apa ya di istana?' tanyanya dalam hati.
Gin menoleh ke samping kanan. B duduk tak jauh darinya. Walaupun buas dan angkuh, B sangat melindungi dirinya. Walau kadang dia tidak menunjukkan sikap peduli sebenarnya hewan disampingnya sangat baik. Hanya saja baik pada orang tertentu. Selebihnya tidak.
Angin sepoi-sepoi membuat mata gadis itu sedikit meredup. Dia berusaha membuka matanya lebar-lebar agar dapat mengawasi domba-dombanya.
"Kau tidur saja, biar aku yang jaga domba mu," ujar makhluk berbulu kecokelatan. Matanya tetap lurus ke depan, sama sekali tidak menoleh.
"Baiklah, tapi jangan kau makan dombaku."
B mendengus. "Baik, kalau aku tidak lapar tentunya."
Gin hanya mengangguk. Dia tidak dapat menahan kantuk. Hanya bersandar di pohon saja sudah tertidur pulas.
Dengkuran dari si gadis berkulit tan membuat sang Penguasa Udara melirik sebentar. 'Cepat sekali tidurnya.' Telinga B bergerak-gerak dan mendongak ke atas siapa yang datang. Sosok griffin berbulu putih melintas menuju istana Northely.
"Arden dan si Apollo sudah kembali," gumamnya.
"Yang Mulia sudah kembali."
Salah satu penjaga istana dengan sigap mengambil tali kekang Arden. Apollo turun dari punggung sang griffin putih. Sambil menenteng bingkisan dia menyuruh penjaga untuk membawa Arden untuk mandi dan memberinya makan.
Lalu dia bergegas masuk ke dalam istana. Semua pelayan wanita menunduk hormat. Mereka mengikuti langkah sang Raja menuju kamarnya. Dia menyisir rambut hitam kecokelatan dengan jemarina yang kokoh. Cuaca siang ini membuatnya ingin segera mandi.
Ketika salah satu pelayan wanita hendak membuka baju atasan sang Raja menolak. Raut wajah menampakkan kekecewaan. Junjungannya sangat sulit untuk didekati apalagi membuka pakaiannya.
"Keluarlah, aku bisa mengatasinya sendiri."
Ucapan final dari bibir sang Junjungan tidak dapat dibantah. Akhirnya para pelayan itu hendak keluar dari kamar dengan wajah kecewa.
"Tolong panggilkan penasehatku," pintanya. Dibalas dengan anggukan para pelayan meninggalkan kamar.
"Huh, merepotkan saja. Memangnya aku tidak tahu apa siasat para pelayan itu? Mereka ingin melihat tubuhku yang seksi ini," sungutnya.
Tok tok tok
Ketukan pintu terbuat dari emas membuatnya menoleh. "Siapa?"
"Saya, Tuan."
Apollo langsung tahu suara siapa di balik pintu tersebut. "Masuk."
Seorang pria berumur enam puluh tahun dengan baju khas penasehat jubah panjang memasuki kamar Baginda. Dia membungkuk sebagai tanda penghormatan.
"Anda memanggil saya, Tuan?"
"Ya. Bisakah kau membuka apa isi bingkisan itu?"
"Baik." Dengan hati-hati dia membuka bingkisan bermotif daun. Dari lambangnya pria berambut pendek pirang itu mengetahui asalnya. labierre Raja golsum. Negara itu sudah lama bersahabat dengan Northely. Mata abunya terpana ketika dia melihat isi di balik bingkisan tersebut.
"Alangkah indahnya!"
Apollo sedang membuka baju atasan melirik sebentar. Kulitnya yang kecokelatan menambah keeksotisan si pemiliknya. Dia membuka jendela. Pandangan matanya disejukkan rerumputan dan bunga beraneka warna sudah membuatnya senang.
"Yang Mulia," panggil Ouenar.
"Sebentar, aku ingin menikmati udara segar dan harum bunga," ujarnya. Dia menarik napas kemudian dihembuskan. Setelah melakukan 'ritual' dia menghampiri penasehatnya.
"Perlihatkan padaku."
Ouenar memperlihatkan jubah panjang berwarna hitam keabuan sampai betis. Mata Apollo berbinar gembira. Hadiah dari Raja Golsum membuatnya senang bukan kepalang.
"Wow!"
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro