Chapter 9
Teika tak sedikitpun menurunkan kecepatan. Dia meluncur secepat yang dibisanya, dan dengan tubuh besarnya dia mendorong paus orca itu agar segera melepaskan adiknya.
"Singkirkan mulut kotormu dari ekor adikku!" teriak Teika. Dia berhasil menjauhkannya, dan terus mendorong dengan kepalanya berkali-kali sampai paus orca itu mencapai sebuah karang mati besar yang kemudian hancur dan menimpanya.
Teika kembali pada adiknya yang meraung kesakitan, insangnya menegang saat melihat sebelah ekor adiknya sudah habis digerogoti sementara darah segar terus keluar dari sana dan menyatu bersama arus laut.
"Talis! Bertahanlah."
Mata hitam Talis menatap Teika dengan penuh harap. "Maafkan aku. Kukira—"
"Jangan minta maaf, dasar payah. Apa kau masih bisa berenang?"
Talis mengangguk dengan kaku.
"Bagus." Talis berpindah ke samping Talis, dan membantu adiknya naik dan menuntunnya untuk berenang maju. Dengan kondisi ekornya yang terkoyak dan kesakitan, kecepatan mereka jadi benar-benar lambat. Sisi baiknya adalah tak ada paus orca yang sadar dengan kondisi mereka.
"Aku akan mati, kan?" tanya Talis putus asa.
"Bicara seperti itu sekali lagi dan aku sendiri yang akan memakanmu," gerutu Teika, walaupun dia mengatakan itu bukan karena kemarahannya pada Talis, tetapi pada paus-paus pembunuh itu.
"Kita semua akan mati. Semua hiu sudah mati! Mengapa mereka menghabisi kita?!"
Teika hanya terdiam, karena dia tidak tahu. Dia tidak tahu mengapa seekor paus orca tiba-tiba menyerang temannya di perbatasan. Dia tidak tahu mengapa seekor paus orca mengunyah setengah ekor adiknya. Dia tidak tahu mengapa paus-paus orca menghabisi setiap hiu yang mereka temui.
Setelah perenangan yang terasa cukup lama, mereka sampai di area komunitas hiu, dan sesuai dugaan Teika, tempat itu seperti sebuah karang yang kehilangan zooxantela sehingga kehilangan warnanya. Di hari-hari biasanya akan ada puluhan hiu yang berkeliaran di sini, tetapi kali ini hanya ada bau darah dan kesunyian.
Teika berbalik, memeriksa kondisi ekor adiknya. Sepertinya butuh satu kali siklus pasang untuk pendarahannya benar-benar berhenti, itupun kalau Talis berhenti bergerak, dan dia ragu bisa benar-benar berhenti di manapun.
"Kita masuk, tetapi tetap berhati-hati. Tetap di dekatku, dan jangan melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ucap Teika, dan sekali lagi Talis hanya bisa mengangguk kecil.
Mereka masuk melewati gerbang perbatasan hiu, dan mengambil rute yang sempit untuk menghindari tempat terbuka yang bisa saja diawasi paus orca. "Kau memang akan jadi Konihi, adik kecil, tetapi aku yakin kau tidak pernah diajar untuk menghadapi paus orca," ujar Teika, coba menghibur suasana hati Talis.
Talis tetap murung, dan Teika berpikir itu karena rasa sakit di ekornya. Namun, bukan karena itu. "Aku tidak akan menjadi Konihi," katanya.
Puluhan gelembung kecil keluar dari insang Teika. "Talis, sudah kubilang kita akan baik-baik—"
"Kau tidak mengerti. Hidup atau mati, aku akan gagal menjadi Konihi." Sirip Talis mengendur. Dia pikir sudah saatnya dia mengakui apa kesalahannya di masa lalu.
"Apa maksudmu?"
"Aku pernah memakan ikan," ujarnya berterus terang, dan itu sontak menghentikan Teika.
"Apa?"
Lalu dengan singkat dan sedikit terbata-bata, Talis menjelaskan tentang sahabat-sahabat herbivoranya, tentang pertemuan-pertemuan rahasia mereka yang tak diketahui siapapun, tentang seekor ikan malaikat bernama Anera dan keinginannya untuk mati. "Jika pemeriksaan silang itu dilakukan, aku pasti akan ditangkap dan dihukum."
Teika hanya bisa terdiam, dia berusaha mencerna seluruh informasi yang baru saja disampaikan adiknya. Tentu saja dia marah, sangat marah dan kecewa. Tak menyangka adiknya bisa menyimpan rahasia sebesar itu selama bermusim-musim.
Namun, pada akhirnya Teika hanya berenang maju sambil terus menuntun adiknya yang kesulitan bergerak. "Ya. Tidak ada lagi pemeriksaan silang atau Konihi bagi hiu. Karena sekarang kita sedang diburu."
Mereka terus terdiam setelah itu. Sambil berenang dengan hati-hati, Teika terus memeriksa sekitarnya, mengawasi apakah ada paus orca atau hiu yang masih hidup di dekatnya. Sejauh ini dia hanya melihat beberapa tubuh para hiu abu-abu yang dikenalinya. Dia bernyanyi dalam hatinya agar tak ada dari mereka yang adalah induknya.
"Bagaimana kalau Mama dan Papa sudah pergi?" tanya Talis yang juga memperhatikan setiap tubuh hiu yang tak bernyawa itu.
"Kalau benar begitu, maka kita akan menyusul."
"Tapi kemana mereka pergi?"
Teika tak bisa menjawabnya lagi, dan beruntungnya dia tidak perlu karena tiba-tiba saja terdengar teriakan dari jauh. Mereka tahu itu sinyal untuk bergegas. Masih ada hiu yang hidup dan butuh pertolongan.
"Menjauh dari anak-anakku!" Seekor hiu betina, tetapi bukan induk mereka. Bagaimanapun, Teika langsung meninggalkan Talis dan bergegas menyelamatkan hiu betina itu. Kali ini dia tidak sekedar mendorong paus orca yang siap menghabisi keluarga hiu tersebut, Talis membuka lebar mulutnya dan menggigit tubuh paus tersebut. Meski dia tahu kekuatannya sebagai hiu abu-abu tidak akan cukup, tetapi setidaknya itu akan mengalihkan perhatiannya.
"Teika?"
"Kali?" Lalu Teika menyadari hiu itu adalah tetangganya. "Kau baik-baik saja? Mana Mama dan Papa-ku?"
Pertanyaan Teika terjawab setelah dia bisa melihat sendiri sekumpulan hiu abu-abu muncul dari balik karang mati, dan tanpa ragu membenturkan moncongnya pada paus orca tadi. Hiu lain mengibaskan ekornya yang keras tepat di bagian mata yang membuatnya meraung kesakitan. Kini seolah-olah para hiu lah yang berada di puncak rantai, bukan lagi paus orca.
"Papa?!" kata Teika dengan lega, menyadari salah satu hiu yang menyerang itu adalah ayahnya. Talis yang belum keluar dari persembunyiannya ikut senang mendapati ayahnya masih hidup. Namun, ibunya tak terlihat di manapun.
"Di mana Mama?" tanya Teika, dan ekor papanya menegang. Teika langsung mengerti apa artinya itu. "Oh, tidak ...."
"Kita harus pergi dari sini. Kita semua harus pergi. Solaris tidak lagi aman. Kita bisa pergi ke Abyss."
"Abyss?" ujar Teika tak percaya. "Maksudnya laut dalam? Tapi—"
"Kita semua sudah membahas ini tadi. Mereka juga sudah sepakat, Abyss jauh lebih aman sekarang."
Teika menoleh pada hiu-hiu yang ada di dekatnya. Mereka mengangguk bergantian, beberapa hanya tersenyum kecil.
"Di mana adikmu?"
"Talis! Dia masih di—"
"Wah! Wah! Lihat ada apa di sini." Ucapan Teika terpotong saat kawanan paus orca mengelilingi mereka, paus yang berbicara tadi pastilah pemimpin kelompok ini. Paus-paus itu membentuk lingkarang, dan mengepung semua hiu di tengah.
"Buruan yang lezat," sambungnya.
Anak-anak hiu itu menangis. Para paus justru tertawa. Kali yang tidak terima sontak membalas. "Tolong, lepaskan anak-anakku. Mereka masih kecil, mereka tidak salah apa-apa!"
"Tidak!" ujar Teika tiba-tiba. "Kita tidak pernah salah apa-apa! Tidak ada satupun dari kami yang melakukan apapun. Paus orca tiba-tiba saja memburu kita semua tanpa alasan jelas. Kita semua tidak bersalah!"
"Tidak bersalah?" kata si Pemimpin Paus, lalu diikuti gelak tawa keras dan mengejek. "Perdana Menteri Orca baru saja dibunuh, dengan kepala yang terbelah habis, di dalam istananya sendiri, tepat sebelum dia akan melakukan perjalanan ke distrik lain."
Para hiu sontak tercengang dengan kabar tersebut, termasuk Talis yang masih bersembunyi dan tak dilihat oleh seekor pun paus. Yang Mulia sudah tewas?
"Jadi apa hubungannya dengan kami?!" tanya Teika masih murka.
"Perdana Menteri dan jajarannya tewas saat pengarahan perjalanan listrik dilakukan bersama Tiaki. Saat tubuh Yang Mulia ditemukan, tak ada satupun hiu yang tersisa di dalam sana."
Lalu akhirnya mereka semua mengerti. Para hiu Teika menghabisi Perdana Menteri. Namun, Teika tidak percaya akan hal tersebut. Bagaimana mungkin ada hiu yang mampu membunuh seekor orca? Bahkan kalau itu benar, mengapa malah semua hiu yang diburu?
"Jadi kau pikir kami semua bertanggung jawab atas kematian Perdana Menteri?! Kau pikir semua hiu bersekongkol untuk membunuh Perdana Menteri?!"
"Diam! Sejak dulu kami tahu kalian para hiu tak pernah menyukai orca. Kalian predator terbawah, kami orca yang teratas. Kau cemburu karena selama bertahun-tahun orca terus berkuasa di Solaris. Kami tahu kalian ingin memulai revolusi. Hari ini membuktikannya."
"Tuduhanmu itu tidak berdasar!" teriak Teika, dan hiu yang lain sepakat dengan hal tersebut. Mereka ikut berteriak, menyuarakan pendapatnya mendukung Teika. Namun, para orca tentu tak menyukai hal tersebut. Dalam sekali kibasan sirip, satu nyawa hiu melayang, dan Kali menjerit saat tahu yang pertama mati di antara mereka adalah salah satu anaknya.
Teika langsung mendorong dengan kepalanya. Kini mereka mulai bertarung. Saling mendorong atau menggigit, tetapi semua hiu yang ada di sana tahu mereka akan dikalahkan. Tidak akan ada yang bisa menang dari paus orca. Mereka adalah apex yang sebenarnya di lautan.
"Pergi!" tukas Teika, dan Talis yang masih tetap di tempatnya tahu itu ditujukan untuknya. "Abyss! Aku akan menyusul di sana! Cepat!"
Sayangnya, pemimpin paus orca tadi berhasil mengikuti arah tatapan Teika, dan dia akhirnya menemukan tubuh besar Talis yang bersembunyi di balik terumbu karang. Dengan seringai lebar, dia berenang dengan cepat. Sementara Talis yang ketakutan bergegas pergi.
Namun, ekornya yang tersisa setengah saja benar-benar menghambatnya. Dalam waktu singkat paus orca itu berhasil menyusulnya. Mulutnya sudah terbuka dengan lebar, siap menghabisi sisa ekor Talis yang masih mengibar.
Tetapi Teika berhasil menghentikannya. Dia muncul dari atas dan meluncur turun, menggunakan moncong kerasnya untuk menghentikan paus tersebut. "Cepat pergi dari sini!"
"T–Tapi bagaimana dengan—"
"Pergi dasar kau hiu bodoh! Abyss! Masuk ke laut dalam!"
Talis bukannya mempermasalahkan tentang distrik Abyss atau laut dalam yang asing baginya. Dia tidak bisa meninggalkan ayah dan kakaknya begitu saja. Kini kakaknya berada di hadapannya, bertarung dengan paus orca.
"Cepat! Talis! Pergi dari sini!"
Perlahan-lahan Talis mulai mundur. "Kau akan menyusul, kan? Kalian berdua akan menyusul?"
Teika tak menjawabnya. Dia justru berkata. "Aku sangat bangga padamu."
Sekilas, Talis masih bisa melihat senyuman kakaknya. "Kau akan menjadi Konihi terhebat di seluruh Solaris," katanya.
Setelah itu, Talis berenang maju. Dia terus berenang meski ekornya berdenyut sakit. Dia terus berenang dan tak sedikitpun menoleh ke belakang. Dia terus berenang sampai tak ada lagi suara apapun yang terdengar di belakang. Dia terus berenang saat mencapai ujung Solaris, dan mulai masuk ke kedalaman.
Dia baru berhenti berenang saat kegelapan mulai pekat, tetapi kegelapan itu bukan karena tak ada lagi cahaya, tetapi karena pendarahan ekornya membuat Talis berakhir pingsan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro