Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 30 (End)

Anok masih belum pergi dari tempatnya. Hiu itu hanya berdiam diri di depan kamar adiknya. Entah apa yang ia tunggu, Talis kembali kemari dan berkata kalau dia tidak jadi pergi, atau Talis kembali dan menawarkan sekali lagi padanya kalau mereka harus meninggalkan Abyss. Apapun itu, Anok hanya berharap Talis kembali.

Ia tak kembali.

Anok masuk lagi ke kamar Apis. Adiknya terbangun, kedua matanya terbuka dengan lebar. Anok tahu adiknya mendengar semua yang ia dan Talis bicarakan diluar. Andai saja adiknya masih memiliki sirip, mungkin ia akan keluar juga dari sini. Tidak ada apapun yang tersisa di Abyss, semuanya akan hancur tak lama lagi. Setiap ikan saling memangsa, hanya yang terkuat yang bisa bertahan.

Beberapa gelembung udara pecah di dekatnya. Anok menoleh, dan sadar itu berasal dari adiknya. Lalu ia menunduk, dan menemukan Apis tersenyum.

"Kenapa?"

Apis menggerakkan kepalanya ke samping, ke arah pintu keluar. Anok melihat ke sana, berpikir Talis benar-benar muncul kembali, tetapi kosong. Tak ada siapapun. Anok kembali pada Apis. "Ada apa ...?"

Apis hanya melakukan hal yang sama. Terus menggerakkan kepalanya ke arah pintu. Sebelum akhirnya Anok mengerti apa yang adiknya maksudkan. "Tidak. Jangan kau juga, Apis ...."

Apis menggeleng lemah. Meski tak bersuara, tetapi Anok seolah tahu adiknya akan berkata apa. Pergilah.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu. Aku tidak mungkin meninggalkanmu."

Senyuman Apis tetap terangkat. Hanya itu. Aku akan baik-baik saja. Begitulah yang Apis akan katakan andai dia masih bisa berbicara, dan Anok tahu itu yang tengah dipikirkan adiknya saat ini.

"Tidak. Abyss sedang dalam perang besar. Kau akan mati ...."

Apis melirik kedua sisi tubuhnya, seolah menunjukkan pada Anok kedua siripnya yang sudah hilang. Aku sudah siap untuk mati. Aku sudah tak punya kehidupan apapun, tetapi kau memilikinya, Anok. Jalani hidup barumu di luar sana, kembali lah ke atas. Di sini bukan tempatmu.

Lalu Apis membuka mulut, meski tak ada suara sedikitpun, hanya mulut yang terbuka, tetapi Anok seolah tahu kalau dia ingin menggigit sesuatu.

Dan dia menyadari Apis ingin menggigit siripnya. Sebuah ungkapan kasih sayang atau cinta yang besar pada seekor hiu. Andai hiu bisa menangis, maka Anok mungkin akan menumpahkan air matanya sekarang. Ia tak tahu harus melakukan apa. Adiknya mendukungnya untuk pergi, dan dia punya kesempatan itu untuk keluar dari Abyss bersama Talis sebelum semuanya terlambat, tetapi dia tak bisa.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Anok tak tahu harus melakukan apa.

***

Ketika akhirnya Poha dan Marino melihat Tehere muncul, insang mereka bisa meregang dengan lebar. Hingga menyadari Rake sudah digantikan dengan seekor mackerel dewasa, dan pari biru itu tak ada dimanapun.

"M–Mana Rake?" tanya Poha gugup. Ketakutan menyelimutinya, tetapi ia tak ingin pemikiran buruknya menjadi nyata.

Namun, Tehere menggelengkan kepala, dan menceritakan semua yang terjadi. Rake membebaskannya, tetapi Maui membunuhnya. Sementara dua ekor paus orca sedang bertarung di dalam istana dan mungkin akan menghancurkannya.

"Tidak ... tidak mungkin ...," kata Marino gagap, tetapi ia sadar itulah yang terjadi, terlebih ketika mackerel di samping Tehere membenarkannya.

"Dia mengatakan kejujuran," ucap Huri. Sebagai mackerel, ia bisa merasakan segala melakukan penilaian arus, tetapi Uriel memiliki intuisi yang lebih kuat. Selama ini pekerjaan Huri adalah bertanya dan mencecar. Uriel yang selalu di sisinya, membantu mengungkap segala kebohongan yang ada di Solaris.

Tetapi bahkan kejujuran tak bisa menyelamatkan. Pada akhirnya kekuatan adalah pemenang. Cara yang tidak adil untuk menang.

BUM!

Suara keras mengacaukan perhatian mereka. Mereka berlima berbalik dan menemukan istana Solaris mulai runtuh. Pertarungan Maui dan Matau benar-benar meluluhlantakan tempat itu. Mereka menyaksikan Maui dan Matau masih saling mendorong dan menggigit satu sama lain sementara menara karang sudah dihancurkan.

"Solaris benar-benar dalam kehancuran sekarang," bisik Huri.

"Talis!" teriak Tehere tiba-tiba.

"Talis?" tanya Poha.

"Mereka akan menyerang Talis." Lalu Tehere menceritakan tentang rencana Maui yang ingin mencari semua hiu yang tersisa. Salah satu paus orca akan masuk ke laut dalam dan mencari Talis di Abyss. "Kita harus menyelamatkannya."

"Kalian tidak akan bisa bertahan di laut dalam," kata Samsara. "Tekanan laut dalam akan meremukkan tubuh kalian."

"Lalu bagaimana? Bagaimana kita bisa memperingati Talis tentang bahaya yang—" kata-kata Marino terpotong saat Tehere dan Poha menatapnya. "Apa?"

"Kau ...," ujar Tehere.

"Aku?" tanya balik Marino, tetapi dia dengan segera mengerti apa yang mereka maksudkan. "Oh, tidak. Aku tidak mungkin masuk ke dalam Abyss sendirian!"

"Kau satu-satunya yang bisa pergi ke laut dalam," terang Tehere. "Kau dulu selalu berkata penyu bisa terus berenang sampai di zona batial. Kau selalu menyombongkan hal tersebut saat kita masih kecil. Sekarang adalah saat untuk membuktikannya."

"Tapi ini Abyss! Tekanan laut memang tidak mempengaruhiku, tetapi di sana adalah saat semua ikan dan makhluk pembunuh berkeliaran."

"Aku sudah kehilangan Rake! Aku tidak mungkin kehilangan Talis juga," ketus Tehere. "Kau satu-satunya harapan kami sekarang."

Marino ingin protes, tetapi dia tak tahu harus berkata apa. Dia ingin mengatakan kalau nyawanya juga sama berharganya seperti Talis. Dia tak bisa mempertaruhkan diri hanya untuk memperingatkan Talis, tetapi kemudian ia menyadari kalau Rake mau mempertaruhkan dirinya hanya demi menyelamatkan Tehere di dalam istana.

Tidak peduli meski sirip kita berbeda, kita akan selalu berenang di arus yang sama.

Sambil berteriak, Marino berenang pergi dari sana, menggerakkan keempat siripnya dan meluncur dengan cepat. Tehere tertawa pelan atas hal tersebut, setidaknya ia tahu Talis akan punya kesempatan.

Lalu kesadarannya kembali saat istana sudah benar-benar hancur. Sementara pertarungan Maui dan Matau sudah berpindah ke pusat kota.

"Astaga! Kita harus melakukan sesuatu dengan mereka berdua!" tukas Poha.

***

Talis kembali ke atas, berkumpul dengan Takuta dan lainnya. Talis melihat ketiga makhluk itu sedang berkumpul di satu tempat untuk melihat pemandangan di luar Karam. Guncangan yang besar datang dari sana-sini, dan Talis akhirnya sadar kalau pesta baru saja di mulai.

Setiap ikan saling membuka mulut. Gurita dan cumi-cumi meregangkan tentakel mereka untuk menemukan mangsa. Darah yang pekat bertebaran di mana-mana, cahaya dari ikan lentera memperlihatkan semuanya. Sisa-sisa bangkai yang tak tercerna sudah siap di santap oleh ikan grenadier.

Beberapa spesies hiu menakutkan juga datang. Keluar dari sudut terdalam lautan dan menghadiri pesta lampu Abyss untuk memuaskan nafsu makan mereka. Hiu hantu, hiu greenland, tetapi belum ada kemunculan hiu pemotong kue.

"Apa menurutmu aku masih bisa keluar dari sini?" tanya Talis pada Takuta.

"Keluar sana?" Mata Takuta terbuka lebar. "Uh ... entahlah. Kau hiu abu-abu, kurasa kau akan baik-baik saja."

"Jangan konyol, seekor paus sperma baru saja dihabisi oleh sekelompok cumi-cumi," ujar Mara. "Mereka akan membunuhmu dengan mudah."

"Omong-omong di mana pacarmu?" tanya Takuta. Talis sebenarnya ingin protes dengan kata tersebut, tetapi Talis mengurungkan diri.

"Bersama adiknya," kata Talis murung.

"Ada apa denganmu, hiu besar?" Neri tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Kau terdengar kesal ...."

Talis menghela napas panjang. Dia ingin pergi sekarang sebelum kondisi di Abyss menjadi lebih parah. Walaupun Talis tak menyangka ada makhluk raksasa yang sudah dihabisi di hari pertama. Namun, bagaimana menjelaskan itu pada mereka? Walaupun Talis tahu, tidak ada yang melarangnya untuk pergi sekarang.

"Aku ...." Talis mendongak, dan melihat salah satu makhluk dengan warna hijau muda berada di sana. Berenang dengan panik menghindari setiap ikan dan predator yang sedang bertarung. "Astaga! Apa yang dia lakukan di sana?!"

Ketika Mara dan Takuta ikut melihat keluar, mereka menemukan seekor penyu yang berteriak ketakutan. Di kibasan sirip berikutnya, Talis sudah berada di sana, berusaha menyelamatkan penyu itu.

***

Pertarungan antara Maui dan Matau selesai. Sekali lagi darah memenuhi pusat distrik Solaris, dan kondisinya tidak jauh lebih buruk ketika puluhan paus orca membunuh setiap hiu yang mereka temukan. Meski hanya ada dua ikan yang saling bertarung, tetapi kerusakan terjadi di mana-mana. Istana karang Solaris dihancurkan, dan tubuh seekor paus kini terhempas di daratan, siap dijemput oleh Roh Laut.

"Jadi ini yang kau inginkan ...," kata Matau, menyadari ia tak lagi bisa kemana-mana. Ekornya koyak, kedua siripnya patah, nyaris sekujur tubuhnya dipenuhi bekas gigitan yang terus mengeluarkan darah segar. Sementara Maui masih bisa berenang meski desah insangnya bergerak dengan cepat. Matau kalah, tetapi Maui juga babak belur. "Revolusi. Itu yang kau inginkan? Menciptakan ketakutan bagi setiap ikan? Menunjukkan pada semua ikan bahwa paus orca akan selalu jadi yang terkuat ...?"

"Matilah ... dengan tenang ...," balas Maui. Moncong besarnya sudah bergerak turun, siap untuk memakan habis saudaranya. Kanibalisme tak pernah ada di dalam kamusnya, tetapi hari ini Maui akan melakukannya.

"Maui!" Hingga sebuah suara kecil menghentikannya. Suara kecil yang tidak asing lagi baginya, karena suara itu yang terus-terusan mengganggu dan membuatnya kesal.

"Tehere Tautoko ...," geram Maui dan berbalik. Menemukan Tehere bersama seekor penyu, ikan buntal, dan ikan mackerel.

"Apa yang kau lakukan di sini? Pergilah!" teriak Matau di bawah sana. "Dia tidak akan segan memakanmu."

"Coba saja kalau berani!" tantang Tehere. "Kau tidak sadar kalau kau ada di pusat distrik saat ini? Semua ikan bisa melihatmu sekarang. Tanpa harus menjelaskan pun, mereka sudah tahu kebenarannya. Kalau selama ini kau lah yang mengatur semuanya. Kau yang mengatur penyerangan hiu pada setiap spesiesmu."

Lalu Maui berputar, melihat sekitarnya. Setiap ikan dari yang berukuran kecil sampai besar, dari yang memiliki sirip, tentakel, dan cangkang, mereka semua sedang memperhatikan dari tempat aman. Beberapa ikan tampak baru saja keluar dari persembunyian dan mulai menyaksikan dari dekat.

Namun, Maui malah tertawa. "Lalu kenapa? Tidak ada satupun dari kalian yang pantas untuk hidup di Solaris! Hanya paus orca yang pantas berada di lautan! Kalian semua tidak dibutuhkan! Kalian semua lemah!"

Lalu Maui kembali pada Tehere. "Kau yang akan pertama kumakan hari ini, ikan kecil," katanya, kemudian menoleh pada Matau. "Kemudian kau, lalu—" Saat Maui ingin melihat ke arah ikan lain di dekatnya, seekor pari manta tiba-tiba saja berada di hadapannya. Ia tak menyadari hal tersebut, dan Maui tak sempat melakukan apa-apa.

Karena di detik berikutnya ekor pari itu menusuk mata besar Maui, membuatnya meraung dan berteriak kesakitan. Tehere menyadari dia adalah pelatih Hahai Rake.

Namun, ia tak sendiri. Seekor pari lain mulai bergabung dan menyerang Maui. Sekelompok pari ekor cambuk masuk dan menyerang Maui, menusukkan ekor beracun mereka ke bekas-bekas luka Maui. Ia tak bisa melakukan perlawanan balik, racun mereka langsung menyebar, melumpuhkan seluruh pergerakan Maui hingga dia ikut terjatuh ke dasar.

"Astaga ... itu benar-benar intens ...," bisik Poha.

"Apa dia mati?" tanya Tehere.

"Tidak, dia hanya lumpuh, tetapi jika sial dia akan mati," jawab pari manta itu.

Tepat setelah itu, seekor lumba-lumba muncul dari permukaan, melesat dengan cepat ke bawah, tepat di tengah-tengah tubuh Maui dan juga Matau. Setiap ikan pari yang ada di sana sontak memberi ruang karena tahu lumba-lumba itu adalah pemimpin mereka sekarang.

"Apa yang terjadi di sini? Ada apa dengan mereka berdua?"

"Akan kujelaskan nanti, Nyonya Perdana Menteri," kata Matau di bawah sana. "Aku perlu memulihkan diri sejenak."

"Aku bisa menjelaskannya." Tehere maju ke hadapan Kartikeya, tatapannya tajam dan tegas. "Maui mengakui kalau ia yang memberitahu setiap orca di Solaris untuk membunuh semua hiu, dan dia juga yang memakan habis tubuh hiu Tiaki yang dibunuh oleh manusia."

Kartikeya tampak tersentak, bersama ikan-ikan pari dan semua makhluk lain yang kini memberanikan diri untuk mendekat setelah Maui berhasil dilumpuhkan.

"Jadi memang bukan para hiu yang melakukannya."

"Tidak satupun hiu yang membunuh Tuan Ariki. Yang Mulia dibunuh oleh manusia. Manusia mengambil kepala Tuan Ariki dan sirip para hiu Tiaki, tetapi semua tubuh hiu tergeletak di luar istana, tetapi kemudian mereka semua menghilang."

"Dan kami menemukannya," sambung Poha. Ia akhirnya ikut berenang di samping Tehere, siap untuk mengungkapkan kebenarannya. "Di gua padang lamun dekat istana."

"Dan hanya ada satu ikan di Solaris yang suka menghabiskan waktunya di padang lamun," ujar Tehere, tatapannya masih belum berpindah dari Kartikeya.

"Siapa yang memanggil manusia kemari, Kartikeya ...?" sambung Tehere, beberapa ikan terperangah mendengarnya memanggil lumba-lumba itu tanpa gelar perdana menteri, tetapi Kartikeya hanya tersenyum.

"Kau bekerja sama dengan Maui. Kau juga ingin mengusir hiu di Solaris," terang Tehere. "Catatanmu menuliskan banyak hal tentang kebencianmu terhadap hiu. Misalnya predasi kelompok hiu terhadap seekor lumba-lumba di catatan perjalananmu yang ke dua puluh tiga."

Akhirnya mereka semua sadar apa yang Tehere maksudkan. Matau sekalipun tak percaya kalau Kartikeya juga ada di balik semua ini.

"Kau memanggil manusia ... untuk membunuh Tuan Ariki?" ujar Matau tak percaya. "Kau monster ...."

"Tidak ...," balas Kartikeya dengan tenang. "Aku memanggilnya bukan hanya untuk membunuh Ariki."

Sebuah siluet gelap kemudian muncul di atas mereka. Semua ikan mendongak, kecuali Kartikeya. Saat itu Tehere dan lainnya hanya menyaksikan jauh di atas sana terdapat sebuah benda besar yang sepertinya mengapung di permukaan.

Namun, Samsara tahu benda apa itu. "Kapal ...."

Kemudian beberapa objek kecil turun ke bawah. Semakin lama semakin besar. Tehere melihat benda itu bergerak. Tidak, berenang. Menggunakan dua sirip, dan memiliki dua ekor. Di punggungnya menempel sesuatu yang besar dan berbentuk seperti karang.

Tehere sontak terperanjat saat sadar siapa mereka, dan kali ini jumlah mereka lebih banyak.

"Poha, kurasa kita harus pergi dari sini sekarang!"

***

Sebenarnya Marino sudah ingin pergi saat menemukan kerangka raksasa dari seekor paus biru di depan gerbang masuk Abyss. Semangatnya runtuh dengan cepat. Keempat siripnya sudah siap putar balik dan menyingkir dari sana.

Namun, dia terpaksa masuk saat berpapasan dengan seekor ikan kecil dengan mulut yang besar gigi tajam. Sambil berteriak ia berenang menjauh. Marino tak tahu ikan macam apa itu, seekor penyu bijak pernah bercerita padanya kalau semua ikan di laut dalam benar-benar aneh, dan sepertinya itu benar.

Hingga Marino menyadari keputusannya masuk ke dalam Abyss adalah kesalahan yang lebih fatal. Seisi tempat itu benar-benar arena berdarah. Tak ada hukum di dalam Abyss. Setiap Khupu selalu berkata seperti itu. Sepertinya mereka benar.

Di dasar ia bisa menyaksikan seekor paus sperma baru saja disantap hidup-hidup oleh beberapa ikan kelaparan. Beberapa ikan menyerang cumi-cumi raksasa. Ikan yang tampaknya adalah hiu memakan setiap makhluk dengan cahaya di atas kepalanya.

"Demi Roh Laut! Tempat apa ini?!"

"Marino!" Lalu suara itu terdengar, seakan menjadi penyelamat bagi Marino di antah berantah ini.

"Talis? Kau kah itu?" Marino menyipitkan matanya. Meski dipenuhi cahaya, tetapi semuanya masih cukup remang. Marino melihat seekor paus besar berenang ke arahnya. Dia yakin itu adalah sahabatnya, tetapi bagaimana kalau malah hiu lain yang siap memangsanya? Namun, Marino membuang jauh semua itu. Karena hanya satu hiu di seluruh lautan yang tahu namanya.

"Astaga, Marino. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Talis. Terima kasih, Roh Laut. Kau benar-benar baik-baik saja," ucap Marino dengan penuh kebahagiaan, tetapi semua tergantikan saat mendengar teriakan dari setiap ikan yang baru saja dimangsa. "Mereka mencarimu. Kita harus pergi!"

"Siapa yang mencariku?"

"Paus orca. Mereka akan membunuh setiap hiu yang berhasil meloloskan diri. Pokoknya kau harus pergi dari sini. Mereka tahu kau ada di dalam Abyss."

"Arghhh!" Talis meraung kesakitan. Rasa sakit yang tidak asing lagi. Ia tahu itu berasal dari mana. Seekor hiu pemotong kue baru saja mengigitnya.

"Akhirnya kau keluar juga, hiu besar," kata salah satu hiu. Kemudian ikan lain mulai menggigit tubuh Talis. Ia berputar-putar di tempat, berusaha melawan balik, tetapi hiu-hiu kecil itu tak mau pergi.

Marino tak tahu harus melakukan apa, tetapi ia tahu mereka hanya menyerang Talis, dan entah mengapa. Belum ada satupun yang menggigit ataupun memangsanya sekarang.

"Aku bilang pergi, dasar hama bodoh!" teriak Talis. Mulutnya terbuka lebar, menampilkan gigi-giginya yang tajam dan dipenuhi kemarahan. Dengan gerakan cepat ia mulai memangsa setiap ikan yang baru saja mengigitnya. Rahangnya terbuka dan tertutup. Lidahnya tak sempat merasakan darah, ia bahkan tak sempat mengunyah. Talis hanya ingin menelan mereka semua.

Namun, hiu-hiu itu juga tak menyerah. Meski satu sudah mati, beberapa yang lain datang dan menyerang Talis. Tubuhnya dipenuhi banyak luka berbentuk lingkaran. Darahnya terkuras. Rahang Talis mulai lelah, ia tak bisa menghadapi mereka semua.

Sampai sebuah tentakel besar melilit tubuh setiap hiu pemotong kue yang menyerang Talis. Melilitnya dengan kuat sampai tulang-tulang mereka patah.

"Talis!" Seekor ikan dengan cahaya di kepalanya mendekat. Ikan itu kecil, tetapi giginya bahkan lebih tajam, dan Marino berusaha menjaga jarak dengannya. "Astaga, kau terluka."

"Cepat! Masuk ke dalam—" Takuta tak menyelesaikan perintahnya begitu seekor hiu hantu tiba-tiba menerkam dan membawanya turun ke dasar. Takuta berusaha melawan, melilit hiu itu dengan tentakelnya yang lengket dan tegang, tetapi gigi hiu hantu tersebut lebih keras, ia tak membiarkan Takuta lolos.

Satu-satunya yang berhasil keluar adalah teriakan yang panjang dan kesakitan, diikuti dengan darah segar yang menyatu dengan perairan Abyss. "Takuta!"

Talis terdiam. Takuta baru saja tewas di hadapannya. Lalu ia akhirnya sadar, semua ikan di dekatnya baru saja tewas terbunuh. Mereka semua mati begitu saja. Ikan-ikan yang dimangsa Talis juga termasuk.

"Talis, kita harus pergi sekarang!" teriak Marino, mengembalikan Talis ke kehidupan nyata. "Ayo cepat!"

Talis dengan enggan pergi dari sana, meninggalkan Takuta, dan juga Mara yang hanya bisa terdiam. Di detik berikutnya, ikan angler cahaya ikan angler itu menghilang, digantikan dengan kepala hiu greenland mengunyah dengan puas.

"Kau tidak bisa kemana-mana, hiu besar!" teriak lagi sebuah suara, dan Talis merasakan beberapa gigitan lain di tubuhnya. Kali ini ia tak bisa lagi melawan, hanya terus berenang dan berusaha meninggalkan Abyss secepat mungkin.

Sekelompok hiu pemotong kue di belakangnya juga tak menyerah. Dia terus mengejar, hanya Talis targetnya, ikan itu harus mati. Begitulah rencananya.

"Hei!" Talis sontak berhenti saat mendengar suara tersebut, begitupun hiu pemotong kue di belakangnya. Ia berbalik, menemukan Anok meluncur dengan cepat dan memakan setiap hiu pemotong kue yang ada di sana.

"Anok?"

Kini perhatian hiu pemotong kue itu teralihkan. Terdapat dua hiu abu-abu yang harus dihabisi sekarang, tetapi hanya Anok sendiri yang memberi perlawanan. Tubuh Anok mulai mendapatkan luka yang sama, tetapi ia tak berhenti melawan dengan rahang ataupun ekornya.

"Cepat pergi, Talis!" teriak Anok. "Kembali ke atas sana! Temukan hidupmu kembali!"

"Tidak!" balas Talis. "Ikutlah denganku, Anok! Tempatmu bukan di sini."

"Hidupku ada di sini," balas Anok, desah napasnya berhembus cepat. Mata mereka saling menatap. Anok tersenyum, tetapi senyuman itu benar-benar singkat begitu beberapa hiu pemotong kue menggigit tubuhnya. Digantikan raungan kemarahan. "Kalian semua akan mati hari ini!"

Talis siap membantu Anok, tetapi Marino sigap menahan dengan siripnya. "Talis, ayolah! Kau bisa mati! Kami membutuhkanmu!"

Ekor Talis tak tahu harus bergerak kemana. Anok di hadapannya tanpa lelah menghadapi semua hiu pemotong kue tersebut. Sejenak ia bisa melihatnya berbalik, dan tersenyum sekali lagi.

"Aku juga mencintaimu," kata Anok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro