Chapter 26
Sehari lewat sejak pelantikan Perdana Menteri Lumba-Lumba. Poha belum mendengar kabar terbaru dari Tehere. Saat terbangun, ia pergi ke rumah Tehere, tetapi tak menemukannya di sana. Mungkin ia benar-benar telah menjalankan rencana untuk menyusup masuk ke dalam istana dan mencari petunjuk apapun yang bisa membantu.
Poha mendesah. Ikan remora benar-benar keras kepala. Bukan berarti Poha dan lainnya tak ingin membantu, tetapi saat ini keadaannya benar-benar tak terduga. Perdana Menteri yang baru telah dilantik, dan mereka semua ragu bisa menemukan bukti apapun untuk memperkuat kehadiran manusia di dalam istana saat itu.
Meski Kartikeya mengakui keberadaan manusia dan bahkan pernah menyaksikan mereka, tetapi bahkan statusnya sebagai Perdana Menteri sekarang pun masih belum cukup untuk membersihkan nama spesies hiu.
"Bagaimana kalau kita bertemu saja?" kata pesan sonar yang dikirimkan oleh Rake. Poha membalas setuju, sebelum akhirnya memutus koneksi. Karena Marino tak memiliki Pearl Link, mereka berdua sepakat untuk mengadakan pertemuan kecil mereka di Arus Penyu.
Seperti di kunjungan terakhirnya, Poha dan Rake disambut oleh dua Penyu Tiaki yang menanyakan beberapa pertanyaan sebelum mempersilahkan mereka berdua masuk. Poha bertemu dengan Samsara sekali lagi, dan dengan terpaksa ia harus memperkenalkan Rake padanya.
"Marino banyak bercerita tentangmu," kata Samsara yang membuat ekor Rake terangkat. Namun, ia segera memahami cara pandang Poha. Seolah-olah sedang berkata, 'jangan khawatir, dia penyu yang baik.'
"Tentu, Tuan. Senang berkenalan denganmu."
Samsara malah tertawa dengan keras. "Tuan? Aku masih berumur sepuluh tahun. Aku belum setua itu, pari yang baik. Kita sama-sama makhluk yang masih remaja."
Rake dan Poha ikut tertawa hambar. Bagi ikan seperti mereka, sepuluh tahun bukanlah umur yang masih muda.
Bagaimanapun Samsara dengan baik hati membawa mereka ke rumah pasir Marino, tetapi mereka tak langsung menemuinya di sana. Marino baru muncul setelah beberapa kilatan berikutnya.
"Wah, selamat datang lagi di Arus Penyu," sambut Rake saat berenang mendekati mereka.
"Darimana kau?" tanya Poha.
"Tarian Penyu. Hari ini adalah saatku," ujarnya. Kemudian ia berusaha menjelaskan dengan panjang dan lebar tentang tarian penyu yang dimaksudkan, tetapi Poha segera menghentikannya dengan sopan, karena mereka sedikit terburu-buru.
"Simpan sisa ceritamu nanti, Marino. Hari ini kita punya sedikit ... emmm, masalah."
Sebenarnya Marino sudah bisa menduga sejak tadi masalah apa yang Poha maksudkan. Hanya ada mereka berdua yang datang kali ini. Tak ada Tehere.
"Tentu," kata Marino sedikit pelan. Mereka berenang lebih dekat dan membentuk formasi tiga kepala ikan untuk memulai diskusi kecil tersebut, tetapi baru saja Poha akan membuka mulutnya, kepala keempat tiba-tiba saja bergabung.
"Astaga! Samsara, bisa pergi dari sini? Kami butuh ruang," keluh Marino.
"Kau mengusirku, adik kecil?"
"Aku tidak mengusirmu, hanya saja kau tidak boleh mendengar pembicaraan kami—baiklah, aku mengusirmu. Sana, pergi."
Dengan ekspresi cemberut, Samsara berbalik dan berenang pergi, tetapi mereka tak tahu penyu itu hanya sedang berpura-pura. "Baiklah, adik kecil. Bersenang-senanglah tanpa diriku."
Marino lantas memutar matanya sebelum berteriak. "Untuk kesekian kalinya, aku bukan adikmu! Kita bahkan berbeda spesies!"
Ia kembali pada kedua temannya, yang hanya bisa menyeringai kecil pada interaksi mereka berdua. "Lupakan soal dia, kita kembali pada Tehere."
"Oh, benar," ucap Poha. Lalu ia menceritakan kembali kunjungannya ke rumah Tehere yang kosong dan berpikir kalau ikan remora itu pasti sudah pergi ke istana sendirian demi mencari bukti. Marino dan Rake sepakat dengan hal tersebut.
"Sebenarnya bukti apa yang akan dia cari? Bahkan jika yang Tehere katakan soal hiu-hiu Tiaki yang mati itu benar, kenapa dia sangat yakin tubuh-tubuh malang mereka berada di dalam istana?" desah Poha.
"Mari kita ulang kembali apa yang selama ini Tehere pertahankan dalam kesaksiannya," sambung Marino. "Teman kita berkata dia pergi ke kamar pengarahan karena menyadari Tuan Ariki dan para Hiu Tiaki tak kunjung keluar dalam waktu yang lama. Namun, dalam perjalanan Tehere melihat ada segerombolan manusia yang keluar dari etalase. Sambil membawa kepala Tuan Ariki dan sirip-sirip para hiu.
"Kemudian saat Tehere masuk ke dalam kamar, dia menemukan tubuh Tuan Ariki yang tak lagi memiliki kepala. Sementara di luar istana, terdapat tubuh hiu-hiu Tiaki. Salah satunya adalah Mako, yang Tehere bersaksi masih berbicara padanya dan memperingatinya soal manusia."
"Tehere juga sempat mengatakan kalau mungkin saja para manusia yang mengambil kembali tubuh para hiu," lanjut Poha. "Tetapi semua itu terbantahkan lewat catatan Kartikeya saat dia masih seekor Khupu. Manusia hanya mengambil bagian tertentu dari ikan-ikan, bukan keseluruhan."
"Bukankah aneh," ucap Rake tiba-tiba.
"Apanya?" tanya Marino.
"Kalau memang hiu Tiaki dibunuh di luar istana, seharusnya ada yang melihat mereka, kan?" sambungnya. "Mari kesampingkan tubuh itu sejenak. Kenapa tidak ada ikan lain yang melihat manusia masuk ke dalam istana selain Tehere?"
"Itu dia!" seru Marino tiba-tiba. "Samsara!"
Poha dan Rake saling menatap, mereka tak mengerti. "Ada apa dengan kakak tirimu itu?" tanya Poha.
"Samsara itu penyu hijau. Dia sering naik ke permukaan untuk mencari makanan. Samsara pasti melihat mereka," ujarnya dengan penuh keyakinan.
"Sungguh? Kau yakin penyu itu melihatnya?"
Marino mengangguk untuk memperjelas kata-katanya. Kemudian dia berenang mencari Samsara sementara kedua temannya mengikuti dari belakang. Tidak butuh waktu lama untuk menemukannya. Seperti biasa, Samsara berada di dekat gerbang masuk, siap menyambut setiap ikan yang berkunjung ke Arus Penyu.
"Adik kecil! Akhirnya kau dan teman-teman ikanmu mau bermain denganku?" Seringai lebarnya kembali saat menemukan Marino dan kedua temannya berenang mendekat, tetapi mereka bertiga tahu, akan butuh waktu yang lama untuk mendapatkan informasi darinya.
***
Ikan-ikan lentera itu masih belum meninggalkan tempat mereka. Hanya berputar-putar di dalam Abyss dan menciptakan tarian cahaya yang akan memanggil ratusan ikan lain untuk berkumpul. Tidak lama lagi tempat ini akan jadi medan perang. Setiap mangsa dan apex akan datang, dan mempertontonkan makna sebenarnya dari piramida makanan di tempat tanpa hukum ini.
Takuta melakukan penguncian untuk tempat tinggalnya. Ia tidak ragu soal dirinya yang juga termasuk apex, tetapi lebih baik mencegah daripada ikut dalam predasi. "Kalau ada yang cukup bodoh mau masuk kemari, silahkan saja. Akan kupastikan dia kehilangan ekornya di kibasan sirip pertama ia menampakkan arusnya ke dalam sini," katanya dengan lantang. Sebelum menyadari kata-katanya mungkin terlalu kasar. Takuta melirik Talis. "Jangan tersinggung, hiu besar."
Talis tidak mungkin tersinggung, ia justru berterima kasih karena Takuta membiarkannya untuk tinggal di Karam sampai semua ini berakhir. Meski menurut Mara, akan butuh waktu lama sampai semua ini berakhir.
"Bisa jadi hingga bermusim-musim," katanya tanpa ragu.
"Lalu bagaimana kita akan bertahan hidup di sini?" tanya Talis.
"Saat itu terjadi, mau tidak mau kita akan keluar dari sini dan memangsa setiap mangsa yang terpancing cahaya," ujar Mara sambil menyeringai. "Jangan tersinggung, Talis. Di dalam Karam, kau dan Anok lah apex tertinggi. Aku tidak akan mau kalian berdua memakanku. Aku lebih baik mati di luar sana, tetapi menjadi predator, daripada mati di sini sebagai mangsa."
"Kami tidak akan memakanmu, Mara. Kan, Anok?" kata Talis, tetapi Anok tak menambahkan apapun. Dia hanya sibuk berenang mondar-mandir, entah apapun yang ada dipikirannya saat ini.
"Intinya tidak akan ada yang saling memakan di dalam sini. Aku tidak akan memakanmu, Takuta, dan Neri."
"Untuk apa juga kau memakan ubur-ubur? Kau bisa mati keracunan," balas Neri yang berenang dengan tenang di samping Takuta. Semuanya terlihat terkendali bagi Talis, sampai setidaknya beberapa ikan lentera berhasil masuk ke dalam. Sayangnya tak ada satupun dari mereka yang ingin memakan ikan tersebut sampai Takuta berteriak.
"Keluar dari sini dasar hama!" Takuta menarik tubuh mereka dengan kedelapan tentakelnya, dan melemparkannya keluar lewat lubang. "Baiklah, ikan-ikan. Rumahku, aturanku. Setiap hari kita akan bergantian berjaga di lubang sampai semua ini selesai. Kau bisa mengusir mereka, atau memakannya. Terserah."
Mara dan Neri tentu saja protes akan perintah tersebut, tetapi Takuta tak menerima penolakan sedikitpun. Sebagai gantinya mereka berdua akan dapat giliran jaga bersama, sementara Takuta, Talis, dan Anok akan berjaga sendirian.
"Hari ini giliranku, besok Anok, lusa Talis, lalu berikutnya kalian berdua. Mengerti?"
Semua ikan mengangguk, kecuali Anok. Malah dia sudah tidak berada di sana. "Anok? Kemana dia pergi?"
Talis melihat ekornya menghilang di dasar karam. Dia tahu Anok mau kemana. Sambil menghela napas, dia ikut turun ke bawah. Talis menemukannya masuk ke dalam kamar inap Apis.
Talis bisa mendengar suara Anok yang sedang membicarakan sesuatu dengan adiknya, tetapi seperti biasa Apis tak mengatakan apapun. Namun, entah apa yang sebenarnya mereka bicarakan, Talis tak bisa menangkapnya dengan baik. Yang bisa didengarnya hanya, "Semua akan baik-baik saja."
Sampai akhirnya Anok keluar dan baru menyadari kehadiran Talis. "Ya, aku mendengar Takuta. Aku akan berjaga besok."
"Anok ...." Talis menghela napasnya lagi. Dia merasa ini saatnya. Dia harus mengungkapkannya. Sekarang Abyss akan menghadapi kondisi berdarah. Sekarang atau tidak sama sekali. "Soal semalam ...."
"Kau ingin membahasnya di sini? Ayolah, kurasa bukan waktu yang tepat," balas Anok, wajahnya sedikit merona.
"Aku menyukainya ...," kata Talis begitu saja. Anok merasa jadi semakin malu. "Jadi ... kupikir ... bagaimana kalau ...."
"Ya ...?" Anok memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Ternyata Talis juga sama meronanya, tetapi mereka berdua berusaha melawan rasa malu tersebut dan saling menatap.
"Bagaimana kalau ... kita pergi saja dari sini."
"Maksudnya ke rumahku? Ayolah, Talis. Tempat itu tidak terlalu aman sekarang, aku bahkan merasa rumahku akan dihancurkan oleh hiu goblin atau semacamnya andai mereka berhasil mendapatkan cahaya."
"Maksudku dari Abyss," kata Talis tanpa ragu, dan mulut Anok langsung terbuka lebar.
"Apa ...?"
"Kita pergi dari sini. Kita bisa kembali ke atas sana, dan memulai hidup yang baru. Kita berdua. Kita bisa pergi ke Potron dan membentuk—"
"Tidak," balas Anok tegas. Seringai lebar Talis mendadak turun.
"Apa?"
"Tidak. Aku tidak akan pergi dari sini."
"T–Tapi. Anok lihatlah keluar. Tidak lama lagi Abyss akan menjadi arena apex. Lagipula kita berdua adalah hiu abu-abu, habitat kita bukan di sini. Di atas sana semuanya—"
"Kalau kau mau pergi, pergi saja sendiri. Aku tidak mungkin pergi. Adikku membutuhkanku di sini."
Lalu Talis sadar. Dia benar-benar lupa soal Apis. Meski begitu dia juga langsung memiliki rencana. "Aku bisa membantunya. Kita berdua, bisa menuntunnya kembali naik ke atas sana dan—"
"Kubilang tidak! Berhenti memaksaku, dasar payah!" teriak Anok sekali lagi, dan kali ini membuat lidah Talis berhenti bergerak. Tidak artinya tidak. Lamaranku baru saja ditolak, batinnya.
"Aku juga menyukai malam itu, Talis," ujar Anok, suaranya terdengar pelan dan sendu. "Tapi aku tidak bisa pergi dari sini. Aku tidak bisa kembali ke atas sana. Tapi kalau kau mau pergi, kau bisa pergi. Kau tidak harus membawaku. Aku juga tidak akan marah kalau misalnya kau mau pergi. Aku juga tidak akan pernah menyesali malam itu."
Anok terlihat tersenyum padanya, tetapi Talis tak bisa melihat dengan baik berkat cahaya yang minim. Setelah itu Talis berenang pergi, dia singgah sebentar dan menggigit sirip Anok sehingga membuatnya geli, tetapi hiu betina itu tak mengejarnya.
Ia hanya di sana, di dalam kegelapan. Bersama Apis, yang mendengarkan semuanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro