Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 18

Cumi-cumi itu bernama Tuhi, yang seperti kebanyakan spesiesnya di Solaris memiliki pekerjaan sebagai Pukupuku, atau pekerjaan khusus bagi semua cumi-cumi untuk menjadi ahli pustaka terhadap segala hal yang terjadi di Solaris. Seperti membuat catatan perjalanan Tiaki atau Khupu, catatan pemeriksaan ikan mackerel, catatan hukum Solaris, dan segala hal yang berurusan dengan arsip.

Menggunakan tinta yang dihasilkan dari tubuh mereka, cumi-cumi akan menulis di atas kerang tipis. Semuanya kemudian disimpan di perpustakaan Solaris. Ikan-ikan sejak dulu akan datang kemari untuk mencari informasi dari masa lalu.

Tentakel Tuhi berenang naik turun ke susunan karang yang menyimpan ratusan cangkang tipis untuk mencari catatan yang dibutuhkan Kartikeya. Di samping lumba-lumba itu berenang dengan sabar Tehere, Poha, dan juga Marino.

Seperti yang Tehere rencanakan, ia akan mencari lebih banyak bukti bahwa manusia lah pelaku sebenarnya dari pembunuhan Perdana Menteri Orca. Kartikeya sebelumnya mengaku kalau ia pernah bertemu manusia dalam sebuah perjalanan, dan sebagai seekor Khupu, pasti ada catatannya di suatu tempat.

Pada awalnya Kartikeya bertanya-tanya, mengapa Tehere bersikeras ingin membuktikan hal tersebut pada semua ikan. "Aku tidak mengatakan ini dalam artian buruk, Tehere. Sayangnya semua sudah terlambat. Hampir semua hiu di Solaris sudah terbunuh. Sisanya kabur entah kemana, aku ragu mereka mau kembali lagi kemari."

Namun, Tehere masih bersikeras ingin melakukannya. Ia ingin membersihkan nama ratusan hiu yang tak bersalah dari keegoisan para orca. Ia ingin memastikan setiap hiu yang berhasil menyelamatkan diri bisa kembali lagi ke Solaris dengan selamat. Ia ingin Talis kembali ke Solaris.

"Catatan Perjalanan #23: Kartikeya Kaitoku. Ini dia." Tuhi kembali pada mereka dengan kerang tipis yang kemudian ditaruh di atas karang datar.

"Jadi ini catatan pertemuanmu dengan manusia?" tanya Poha takjub.

"Tapi kalau kau pernah bertemu dengan manusia, mengapa mereka tidak membunuhmu sama seperti perdana Menteri Orca?" sambung Marino, ia masih sangsi atas pelaku sebenarnya dari pembunuhan Perdana Menteri Orca.

"Oh, aku lupa. Tuhi, carikan juga catatan perjalananku yang ke delapan belas," ujar Kartikeya, dan cumi-cumi itu berenang lagi untuk mencari kerang yang dimaksud.

Sebelum mereka dapat membaca kerang itu, seekor ikan tiba-tiba saja muncul dari pintu masuk perpustakaan dan menatap mereka berempat.

"Tuan Maui ...?" ujar Tehere, tak menyangka kehadiran paus orca itu di sini.

Kartikeya yang sadar kalau dirinya yang dicari lantas berenang mendekati Maui, tetapi sebelum itu ia berkata pada Tehere dan kedua temannya. "Kalian bisa melanjutkan dari sini tanpaku, kan?"

"Kurasa. Terima kasih sudah menunjukkan catatanmu pada kami, Kartikeya."

Lumba-lumba itu tersenyum, sebelum akhirnya menghilang di perpustakaan bersama Maui.

"Tidak biasanya Tuan Perdana Menteri mau mampir ke tempat seperti ini tanpa pengawal," ujar Marino yang masih terus menatap tempat di mana dua ekor ikan tersebut menghilang.

"Dia belum jadi perdana menteri," balas Tehere. "Setidaknya belum resmi. Untuk sementara Tuan Maui akan memimpin Solaris sampai waktu yang tak ditentukan."

Ruhi kembali dengan satu tumpukan kerang lainnya. "Ini dia. Masih perlu kerang lagi?"

Tehere menggeleng. "Tidak, tetapi kami akan memanggil kalau butuh bantuanmu."

Cumi-cumi itu pergi lagi dan memberi mereka bertiga ruang privasi. Sesuai urutannya, Tehere berpikir akan membaca kerang yang baru saja diberikan Tuhan. Ia membukanya, Marino menjulurkan kepala untuk membaca dengan jelas, sementara Poha mengempiskan tubuhnya agar dapat melihat lebih dekat.

Catatan Perjalanan #18: Kartikeya Kaituku

Khupu Tawhito pernah menuliskan dalam catatannya tentang makhluk dengan dua sirip aneh dan dua ekor yang bergerak berdampingan. Kulit serba hitam, kepala mirip seperti penyu, memiliki sirip punggung yang aneh, serta bernapas menggunakan udara sama seperti lumba-lumba. Tawhito menyebutnya manusia.

Mereka berasal dari keluarga mamalia seperti halnya lumba-lumba dan paus, tetapi tak ada satupun distrik yang mencatat mereka pernah tinggal di dalam air seperti halnya lumba-lumba dan paus. Dapat disimpulkan mereka adalah makhluk dari permukaan yang dapat berenang di dalam air selama jangka waktu tertentu.

Aku bertemu kawanan manusia dalam perjalanan menuju laut arktik, saat aku harus naik ke daratan dan mengambil stok udara segar lainnya. Manusia menaruh sirip mereka yang aneh ke kepala dan tubuhku, tetapi aku tahu mereka tidak bertujuan untuk menyakitiku. Sepertinya mereka berkomunikasi dengan cara menggerakkan sirip ke arah tertentu. Manusia memiliki mulut, tetapi di dalam air sepertinya mulut itu tertutup dengan rapat.

Meski aku mencoba untuk berkomunikasi, tetapi sepertinya mereka tak memahami sedikitpun perkataanku, pun aku juga tak mengerti satupun gerakan dari sirip aneh mereka. Instingku memberikan pendapatnya, kalau manusia bukanlah makhluk yang berbahaya melalui interaksi-interaksi mereka.

Solaris. Catatan oleh Khupu: Kartikeya Kaitoku.

Puku Puku: Tuhi Khawina.

Sirip belakang Marino bergerak turun setelah membacanya. "Catatan ini justru mengatakan manusia adalah makhluk yang damai," katanya.

"Aku juga tidak mengerti ...," ujar Tehere saat menutup kerang itu.

"Mari kita coba baca catatan yang kedua," ucap Poha, dan Tehere mengambil kerang yang satunya.

Catatan Perjalanan #23: Kartikeya Kaituku

Seperti halnya semua makhluk di lautan ini, selalu ada yang memiliki niat jahat. Jika kalian berpikir semua karnivora memiliki jiwa predator di dalam tubuh mereka, herbivora juga memilikinya. Di bagian terkecil tubuh kita semua, terdapat penjaga neraka laut yang berbisik untuk menyuruh kita merusak lautan.

Manusia juga begitu.

Namun, menurutku beberapa dari mereka tidak sekedar ingin merusak lautan.

Mereka ingin menguasainya.

Jika di mana lalu para ikan di Solaris berkata paus Orca adalah diktator, kurasa mereka akan menutup sirip jika melihat apa yang kulihat dalam perjalanan singkat ke distrik Lubion.

Dari kejauhan yang aman, aku menyaksikan dua ekor hiu malang dikerumuni oleh kumpulan manusia. Awalnya kupikir mereka bukanlah hiu yang malang, melainkan hiu yang beruntung karena dapat bertemu dengan manusia.

Namun, aku menyadari kalau mereka tidak ingin mengelus kepala para hiu, karena kali ini ada sesuatu di sirip mereka, dan benda apapun itu cukup membuat salah satu dari kedua hiu itu meronta kesakitan.

Mereka bertarung di dalam air, aku melihat ada banyak sekali darah. Entah dari siapa, kurasa masing-masing makhluk. Karena hiu itu menggigit sirip manusia, dan manusia itu membalas dengan benda asing apapun yang ada di siripnya.

Hiu itu dikalahkan dengan mudah dan akhirnya dibawa naik ke daratan. Udara beracun bagi sebagian besar ikan, ia tidak akan selamat. Hiu yang satunya berenang dengan gelisah, sepertinya tak tahu harus ikut naik atau pergi menyelamatkan dirinya sebelum manusia datang kembali untuk babak kedua.

Lalu hiu itu kembali, ia muncul dari permukaan, atau setidaknya begitulah yang kuduga awalnya. Karena hiu malang itu tak lagi memiliki sirip yang tersisa. Tubuhnya turun dengan perlahan-lahan, dan terus turun sampai aku tak lagi bisa melihatnya. Hiu yang satunya terpaksa harus bergabung dengannya ke laut dalam.

Tak pernah sekalipun aku pernah melihat sesuatu yang seperti ini seumur hidupku menjadi Khupu. Kukira serangan hiu putih terhadap seekor lumba-lumba muda dalam perjalananku yang lain adalah yang predasi paling menakutkan yang pernah kusaksikan, tetapi apex terbaik sekalipun tidak akan sekejam itu membiarkan seekor ikan menderita dengan memakan habis sirip mereka dan menyisakan hanya tubuh hidup yang tak bisa berenang lagi.

Solaris. Catatan oleh Khupu: Kartikeya Kaitoku.

Puku Puku: [demi kebutuhan privasi, tak dilampirkan nama cumi-cumi yang menulis catatan ini]

Setelah menutup kerang tersebut, mereka bertiga hanya bisa terdiam. Hiu yang Kartikeya ceritakan dalam catatannya sama seperti kondisi Mako dan hiu Tiaki lainnya di istana hari itu. Mereka kehilangan seluruh siripnya dan dibiarkan seperti itu sampai mati kehabisan darah.

"Itu benar-benar kejam ...," bisik Poha, tubuhnya mulai mengembang sendiri seolah ia bisa merasakan ancaman besar di dekatnya.

"Apa itu yang terjadi pada Tiaki-mu, Tehere?" tanya Marino, dan ia menerima anggukan sebagai jawaban.

"Tapi, tubuh mereka menghilang," ujar Tehere dengan sirip naik mendekati kepalanya. "Mako dan lainnya, aku menemukan tubuh mereka dengan sirip yang sudah dimakan habis, tetapi setelah kulaporkan semua itu pada Tuan Maui, semua hiu menghilang. Awalnya kupikir para manusia kembali untuk mengambil mereka, tetapi di catatan Kartikeya, manusia mengembalikan tubuh hiu itu."

"Mungkin manusia yang ini ingin mengambil tubuhnya sekalian?" sahut Poha dan ikut mengangkat siripnya.

"Tidak. Mereka tidak memakannya. Mereka mengambilnya," kata Tehere lagi, sambil berusaha mengingat peristiwa menyeramkan hari itu, saat ia hanya bisa mengintip manusia-manusia itu dari etalase istana. "Manusia membawa kepala Tuan Perdana Menteri dan meninggalkan tubuhnya di dalam kamar pengarahan, begitupun para hiu. Mereka hanya mengambil sirip dan meninggalkan tubuhnya."

"Sama seperti di catatan Kartikeya," sambung Marino, seperti dulu kecerdasannya selalu di atas teman-temannya. "Mereka hanya mengambil sirip dan mengembalikan tubuh mereka."

"Manusia hanya mengambil bagian tertentu saja ...," simpul Tehere.

"Baiklah, kalian berdua sepertinya sangat cerdas, tetapi aku bingung. Kalau seperti katamu, tubuh para hiu itu sudah tidak ada di sana saat kau kembali, jadi kemana mereka?" tanya Poha, tetapi baik Marino ataupun Tehere tak tahu jawaban untuk itu.

Namun, Tehere tahu, manusia yang membunuh para hiu dan Perdana Menteri Orca, tetapi ada makhluk lain yang mengambil tubuh hiu dengan alasan yang belum diketahui.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro