Chapter 16
Anok sudah berenang cukup jauh dari habitat para hiu pemotong kue itu. Hal itu sengaja dilakukan karena mereka adalah jenis ikan dengan penglihatan yang buruk. Anok menggiringnya sejauh mungkin agar mereka kesulitan untuk pulang.
Dengan santai Anok berenang kembali untuk melihat bagaimana Talis menyelesaikan perburuannya. Ia sangat berharap hiu jantan itu bisa mendapatkan banyak hiu hamil untuk diambil telurnya.
Hingga semua harapan itu pupus saat dia bisa membaui darah di sekitar perairan. Awalnya dia pikir Talis gagal, sejak awal dia memang tidak yakin dengan kemampuan berburu Talis, terutama karena dia adalah hiu abu-abu yang berasal dari Solaris. Tempat yang terkenal dengan keramahan dan caranya memanjakan semua ikan, termasuk karnivora.
Talis mungkin sudah mati kehabisan darah karena diserang puluhan hiu pemotong kue. Mangsa berbalik jadi pemburu. Anok sekilas melihat kilau terang yang kemudian ia sadari berasal dari batu bercahaya milik Talis. Ia bergegas mengikuti cahaya tersebut dan justru menemukan benda itu tergeletak di dasar, dengan seekor hiu tak sadarkan diri tergeletak di sampingnya.
Sementara Talis tak terlihat di manapun, tetapi bau darah tercium lebih kuat di sini. Apa mungkin Talis melarikan diri setelah dikalahkan oleh hiu pemotong kue?
Lalu Anok merasakan gerakan arus yang cepat di dekatnya. Ekornya menegang saat dirinya bersiap-siap untuk serangan. Tepat di belakangnya, seekor ikan melesat ke arahnya, tetapi Anok sudah sangat terlatih dengan kondisi di zona batial. Dengan sigap, hiu itu berbalik dan siap menyerang dengan moncongnya.
Anok malah tersentak begitu tahu ikan yang akan menyerangnya; yang telah membuka mulutnya dengan sangat lebar, adalah hiu abu-abu yang dia pikir sudah dikalahkan. "Talis?!"
Sontak saja Talis menutup rahangnya lagi, mata hitamnya seolah mengecil begitu sadar, seakan jiwa predatornya yang telah menguasai dirinya sekitar beberapa kilatan lalu sudah pergi, dan mengembalikan Talis ke keadaan semula.
"Anok?" Seakan Talis memang bukan dirinya tadi, ia terkejut begitu menyadari semua hiu yang menyerangnya tadi sudah hilang, tetapi dengan cepat ia juga tahu kalau dirinya lah yang baru saja memakan semua hiu itu.
Dan Anok juga menyadari itu. Meski hampir sekujur tubuh Talis dipenuhi dengan luka berbentuk lingkaran kecil, tetapi lewat caranya berenang secepat itu, Anok tahu Talis baru saja dikuasai oleh adrenalin.
Lebih dari pada itu, Anok bisa mencium bau darah dari mulut Talis. Langsung saja dia menggerutu kesal pada hiu jantan itu.
"Kau baru saja makan sendirian, kan?" ucapnya dengan penuh penekanan.
"Uh ... dengar. Aku bisa menjelaskannya ...," balas Talis sambil menyeringai, tetapi Anok benar-benar marah saat ini. Talis mundur perlahan hingga ekornya menabrak batu karang, tepat di mana batu bercahayanya terjatuh tadi.
"Dasar idiot! Aku membawamu kemari bukan untuk makan sendirian!"
"Mereka tak berhenti menyerangku. Kau tidak lihat bagaimana mereka melubangi tubuhku? Aku terpaksa."
"Sekarang bagaimana kau akan membayar Takuta atau Mara? Bagaimana caranya kita bisa memberi makan Apis? Apa yang akan aku makan sekarang?!"
"Aku ... aku minta maaf ...," kata Talis dengan sangat menyesal. Kepalanya tunduk, dan melihat ikan yang tadi diserangnya masih ada di sana. Talis ingin berkata kalau dia masih menyisakan satu dan berharap itu dapat membuat Anok memaafkannya. Namun, dibanding puluhan ekor hiu—dan beberapa hamil besar—yang dimakannya, seekor tidak akan cukup.
Lagipula, tanpa harus berkata apapun, Anok turun sendiri ke bawah, dan mengambil hiu yang pingsan itu dengan siripnya. Lalu ia tiba-tiba menyadari satu hal. "Siapa itu Apis?"
Sayangnya Anok kembali menjadi ikan tak ingin menjawab apapun. Talis mengerti. Ia tahu semua yang terjadi sekarang adalah kesalahannya. Setelah perburuan yang melelahkan dan Anok hanya bisa mendapatkan satu ikan.
"Aku minta maaf. Aku bisa mencari habitat yang lain dan memburu mereka. Aku janji. K–Kau tidak perlu ikut kali ini. Aku bisa melakukannya sendiri ...," ujar Talis. Namun, Anok bahkan tak mau menatapnya.
Terdengar desahan napas pendek dari hiu betina itu, sebelum akhirnya ia berkata. "Sebaiknya kau pergi saja dari Abyss."
"Apa? Tidak. Aku tidak bisa. Di Solaris—"
"Aku membawamu ke Abyss untuk menyembuhkan lukamu, dan sesuai janji, kau sudah sembuh. Sekarang kau bisa pergi ...."
Anok berenang pergi dari sana, hanya satu buruan di siripnya. Talis buru-buru mengambil batu bercahaya di bawahanya dan bergegas mengejar Anok.
"Tunggu! Anok. Aku benar-benar minta maaf. Aku akan membawakanmu telur-telur hiu itu nanti, tapi aku tak tahu harus kemana selain Abyss." Namun, Anok benar-benar mengabaikannya. Ikan itu hanya berenang dan tak sedikitpun berbalik belakang, sebelum akhirnya menghilang di kegelapan laut yang hitam.
***
Talis tetap kembali ke Abyss, meski dia butuh waktu lebih lama karena salah satu kelemahan Talis adalah tidak bisa mengingat arus hanya dalam sekali perenangan. Setidaknya dia tahu tulang dari paus biru itu bisa dijadikan penanda, dan akhirnya dia tiba.
Dengan konfrontasi buruknya bersama Anok, Talis jadi tak tahu harus kemana. Pertama-tama dia hanya ingin mengembalikan batu Mara, berharap ikan angler itu mau menerima pengembalian barang.
"Memangnya perburuanmu gagal?" tanya balik Mara, terutama setelah melihat tubuh Talis kembali dipenuhi bekas gigitan. Hiu itu tak menjelaskan apapun selain menyerahkan batu di siripnya. Lalu Mara tersenyum.
"Untukmu gratis ...."
Meski Talis bersyukur dengan pemberian itu, dia masih saja resah. Talis pergi ke Karam untuk mencari Takuta, dan berharap gurita itu mau menunggu biaya pengobatannya.
Di dalam sana Takuta sedang bersantai, bersama seekor ubur-ubur dengan tentakel menyala yang Talis tahu bernama Neri. Makhluk yang menyengatnya sampai pingsan.
Saat ia menjelaskan soal perburuannya yang gagal, Takuta justru tertawa. "Saat kubilang aku butuh bayaran, yang aku maksudkan bukanlah telur ikan, tetapi apapun yang bisa dimakan. Aku lebih menyukai udang kecil sebenarnya."
"Tapi ... kenapa Anok bilang kalau aku harus membayar dengan telur?"
"Sudah jelas dia menipumu, hiu besar," jawab Neri.
"Tadi Anok memang kemari membawa satu ekor hiu pemotong kue yang sedang membuahi, dia mengandung delapan buah telur yang lezat, tetapi Anok hanya memberiku dagingnya."
"Tadi Anok di sini ...?" Talis agak terkejut karena dirinya sama sekali tak berpapasan dengan Anok dalam perjalanan ke Karam. Entah dirinya sangat lambat atau Anok yang berenang sangat cepat. "Jadi dia memakan telur itu untuk dirinya sendiri?"
"Oh. Telur itu untuk Apis," ujar Takuta. Apis lagi. Anok juga menyebut nama itu tadi.
"Siapa itu Apis ...?"
"Salah satu pasien rawat inapku, dan kurasa satu-satunya," jawab Takuta. "Dia seekor hiu jantan sepertimu yang menjadi korban kekejaman manusia."
"Manusia? Sebenarnya apa itu manusia? Semua yang ada di Abyss benar-benar membuatku sakit kepala ...."
Sejenak Takuta menoleh pada Neri, dan begitupun ubur-ubur itu jadi seolah mereka terlihat saling menatap satu sama lain. Kecuali kalau Neri tidak memiliki organ penglihatan seperti mata.
"Kau tidak tahu manusia?" tanya balik Neri, dan Talis hanya menggeleng.
"Oh. Akan kami beritahu, tetapi pertama-tama, kau tidak mau menyembuhkan luka di tubuhmu itu? Jangan khawatir, kali ini gratis."
Talis bahkan sudah lupa dengan luka bekas gigitan di tubuhnya itu. Seolah ia sudah bisa beradaptasi dengan arus, tekanan, dan makhluk-makhluk di dalam Abyss. Sesaat dia menatap Neri, teringat lagi kalau ubur-ubur itu bisa menyengatnya sampai pingsan hanya karena bersuara terlalu keras.
Takuta yang menyadari arah pandang Talis berkata, "Neri tidak akan menyengatmu, jangan khawatir."
Pada akhirnya Talis menerima tawaran Takuta untuk menyembuhkannya. Setidaknya kali ini ia memiliki luka yang lebih sedikit, dan Talis sudah bisa menahan sakitnya. Sekali lagi tubuhnya dipenuhi cahaya dari lendir Takuta.
Kemudian gurita itu membawanya ke dasar Karam, seperti janjinya dia ingin menunjukkan siapa itu Apis dan apa sebenarnya itu Manusia.
Talis terperanjat saat Anok tiba-tiba keluar dari salah satu kamar, dan melihat Talis berada di samping Takuta sontak membuatnya kesal. "Apa yang kau lakukan di sini?!"
Hiu jantan itu baru saja akan membuka mulutnya, tetapi Takuta berkata dengan cepat. "Karam ini milikku, Anok. Siapa saja bisa berada di sini atas izinku."
"Tapi ini kamar Apis! Untuk apa dia—"
"Sekali lagi, Karam ini milikku. Kalau kau tidak suka ada ikan yang mengunjungi adikmu, kau bisa membawanya pergi dari sini."
Talis bisa mendengarnya menggeram kesal, tetapi Anok menyerah dan berenang meninggalkan mereka. Dia melewati Talis tanpa sedikit pun menyapanya.
"Dasar remaja .... Selalu penuh drama," ucap Takuta. Lalu kembali pada Talis yang sangat jelas punya segudang pertanyaan. "Ya. Apis adalah adik Anok."
"Jadi Apis juga seekor hiu abu-abu?" tanya Talis, dan Takuta mengangguk.
"Anok sebenarnya tidak pernah berniat untuk tinggal di Abyss. Dia dan adiknya ingin tetap di zona neritik. Anok pernah berkata mereka dulunya ingin ke Potron atau Solaris. Karena di dua tempat itulah para karnivora lebih dihargai.
"Sayangnya, mereka bertemu dengan manusia sebelum mencapai salah satu distrik. Manusia menangkap Apis dengan mudah dan membawanya naik ke permukaan. Saat Anok pikir adiknya sudah mati, tubuh Apis tiba-tiba saja turun dari permukaan, tetapi ...."
Takuta menarik sirip Talis dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Hiu itu hanya bisa terbelalak. Di dalam sana terdapat Apis, tubuhnya berada di dasar, masih hidup, bernafas, memakan telur hiu pemotong kue, tetapi tak lagi memiliki sirip dan ekor.
"Manusia yang melakukan itu padanya ...?"
"Ya." Takuta menarik napas sebelum melanjutkan penjelasannya. "Tubuhnya terus jatuh hingga mencapai Abyss. Aku menemukannya di depan gerbang, mereka berdua. Aku membawanya ke Karam dan menyembuhkannya. Itu terjadi sekitar setahun lalu."
Talis menatap Apis sekali lagi. Ia tahu Apis menyadari keberadaannya, tetapi sepertinya dia tak begitu peduli. Ikan itu dengan perlahan-lahan menghabiskan seluruh telur ikan di hadapannya sampai habis.
Tanpa menunggu perintah Takuta, Talis mendekati Apis. Hiu tanpa sirip itu mendongak untuk menatapnya.
"Hei ...," sapa Talis, tetapi Apis tak membalasnya. Hiu yang pendiam juga. "Aku Talis ...."
Sekarang Talis tahu untuk siapa telur-telur itu. Rasa bersalah makin menyelimutinya. Terlebih karena ia tahu Apis masih lapar, Talis bisa melihatnya sendiri.
"Itulah manusia, hiu besar," ujar Takuta di belakangnya. "Kalau kau pikir paus orca adalah apex tertinggi di lautan, kau salah. Manusia lah yang berada di puncak piramida. Bagian terburuknya adalah, mereka bahkan bukan ikan, gurita, penyu, atau makhluk air lainnya. Mereka tidak punya insang, ekor, tentakel, atau sirip. Namun, mereka adalah monster. Predator yang sebenarnya. Tak ada yang bisa mengalahkan mereka."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro