Chapter 13
Saat ini kondisi istana benar-benar kacau. Seluruh ikan, terutama paus orca berkumpul di satu tempat untuk membahas apa yang baru saja terjadi pada Perdana Menteri mereka. Di barisan belakang juga ada para lumba-lumba, penyu, barakuda, dan ikan-ikan lain yang sama-sama memiliki tugas penting di istana.
"Ini sebuah kejahatan besar!" teriak salah satu paus orca yang marah besar. "Siapa yang tega membunuh Tuan Perdana Menteri dengan cara yang sangat kejam seperti itu?!"
"Siapapun yang melakukannya harus membayar. Darah dibalas darah!" tambah paus orca yang lain, dan mendapatkan dukungan dari ikan-ikan di dalam sana.
Kondisi yang semakin tidak kondusif membuat Maui dan Matau bergegas mengambil alih rapat mendadak itu. Maui sebagai yang tertua membuka mulut dan menciptakan suara whistle khas orca yang berhasil menghentikan semua keributan di dalam sana. Kini semua mata tertuju padanya.
"Terima kasih karena sudah datang di rapat mendadak kita, jantan dan betina yang terhormat," kata Maui dengan tenang setelahnya.
Namun, ketenangan tidak bertahan dengan lama. Setiap ikan berada dalam insting terpanas mereka. "Kalian yang menemukan Tuan Perdana Menteri di kamar pengarahan. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Giliran Matau yang berbicara. "Kami tiba setelah semuanya terjadi. Kami masuk karena pengarahan seharusnya selesai dalam lima kilatan, tetapi tak ada satupun ikan yang meninggalkan kamar tersebut. Semuanya sudah dipenuhi dengan darah dan tubuh para orca."
"Termasuk Tuan Perdana Menteri ...," sambung Maui dengan nada pelan, menggaungkan kesedihan setelah menyaksikan pemimpin terbaik Solaris tewas dengan kepala yang menghilang entah kemana."
Para ikan di dalam sana juga merasakan hal yang sama, tetapi semuanya berlalu dengan cepat. Kemarahan telah menguasai mereka. "Jadi apa yang akan kita lakukan?! Apa kita hanya akan membiarkan teman-teman dan pemimpin kita dihabisi begitu saja?!"
"Tunggu!" kata salah satu lumba-lumba yang ada di sana.
"Apa maksudmu tunggu, Kartikeya?" balas paus yang tak bisa menahan amarahnya itu.
"Maui dan Matau mengatakan hanya para orca yang berada di dalam kamar pengarahan. Atau aku hanya salah dengar karena kupikir kau tidak menyebutkan para hiu yang bekerja sebagai Tiaki."
Perkataan Kartikeya yang masuk akal sontak membuat semua tatapan kembali pada Maui dan Matau. Mereka juga sadar kedua paus orca itu tak mengatakan apapun soal jasad hiu atau mereka hanya secara sengaja tidak menyebutkannya.
"Itulah yang kami curigai .... Tak ada satupun hiu yang berada di kamar. Hidup, ataupun mati," ujar Matau.
Ikan-ikan sampai pada puncak emosi. Mereka bergemuruh dengan amarah yang tak bisa dibendung. Meski Maui melakukan whistle sekalipun, tak ada yang mendengarkan. Jadi dia terpaksa melanjutkan rapat dengan keributan yang tidak dapat dihentikan.
"Dengarkan aku baik-baik, para ikan baik. Seharusnya Tuan Perdana Menteri akan melakukan perjalanan distrik ke Potron hari ini, tetapi kini dia tewas terbunuh dengan kepala terpenggal. Distrik itu sendiri dipimpin oleh seekor hiu putih bernama Kalipso. Di saat bersamaan para hiu Tiaki kita menghilang entah kemana," terang Maui.
"Ini berarti perang!" kata lagi paus orca di salah satu kerumunan, dan mendapatkan sorakan sepakat dari yang lain. Insting predator beradu dengan kemarahan, mereka siap bertarung dan membunuh saat ini juga.
"Tidak! Kita tidak bisa berperang begitu saja," kata Kartikeya lagi, tetapi kini tak ada lagi yang mendengarkan lumba-lumba itu. Semuanya sudah berada di luar kendali.
"Perlu kuingatkan kalau belum ada bukti ini adalah perang. Sejauh ini kita tidak pernah memiliki masalah apapun dengan Potron, dan Tuan Perdana Menteri justru ingin memperkuat hubungan antar dua distrik," ujar Matau dengan suara keras, berharap dia bisa mengambil kembali perhatian para ikan yang mengamuk.
"Sejauh ini yang bisa kita lakukan adalah melakukan karantina untuk Solaris demi mencegah ikan asing masuk ke distrik, serta mencari setiap hiu Tiaki yang menghilang entah kemana lalu menanyai mereka dengan bantuan para mackerel."
"Hiu!" Salah satu paus orca kembali berteriak. "Ini salah mereka! Hiu yang membunuh teman-teman kita! Pemimpin kita!"
Anehnya teriakan tersebut yang berhasil menyatukan mereka dalam satu suara.
"Mereka akan musnah!"
"Darah dibalas darah!"
"Jangan bertindak gegabah, para ikan!" Matau dengan panik berusaha mengendalikan lagi kerumunan itu, tetapi dia benar-benar gagal. "Tenangkan sirip dan ekor kalian."
"Matau!" Lalu teriakan yang kecil terdengar di samping paus itu. Dia agak terkejut menyadari ada seekor ikan di sana, entah sejak kapan. Namun, itu masuk akal karena ukurannya memang kecil, suaranya juga sangat pelan dibanding keriuhan yang terjadi di dalam sana.
"Tehere?" Matau kenal ikan remora itu. Seekor Piri untuk hiu Tiaki bernama Mako. "Ada apa?!"
"Aku berusaha memanggilmu sejak tadi," kata Tehere tersegal-segal. "Bukan hiu yang melakukannya! Bukan hiu yang membunuh Tuan Perdana Menteri."
"Darimana kau tahu? Kau di dalam sana saat Yang Mulia dibunuh?" tanya Matau, sorot pengharapan terpancar di matanya.
"Tidak juga, tetapi aku melihat ada yang keluar dari kamar istana melewati etalase. Makhluk dengan dua sirip dan dua ekor aneh. Manusia."
"Manusia kau bilang?" lalu tiba-tiba saja Kartikeya bergabung dengan lingkaran pembicaraan mereka. "Kalau begitu masuk akal, sejak tadi aku bertanya-tanya bagaimana Tuan Perdana Menteri bisa kehilangan kepalanya seperti itu."
"Manusia itu mitos," bantah Matau, kecewa karena Tehere baru saja mengikis harapannya.
"Tidak, itu nyata. Aku seekor Khupu, Matau. Terlebih lagi aku lumba-lumba dan kami adalah satu dari sekian spesies yang banyak menghabiskan waktu di daratan. Aku pernah melihat manusia," jelas Kartikeya.
"Lalu untuk apa manusia datang kemari dan membunuh pemimpin kita? Apa mereka yang ingin berperang?" Kemudian Matau beralih pada Tehere. "Dan apa buktinya kalau Tuan Perdana Menteri dibunuh oleh makhluk bernama manusia ini?"
"Mako," kata Tehere yakin.
"Mako? Hiu Tiaki itu? Di mana dia?!"
Tehere langsung memintanya untuk ikut. Matau keluar dari ruang rapat dan Maui tak repot-repot bertanya mereka mau kemana. Dia lebih sibuk mengendalikan setiap ikan tak bisa mengendalikan instingnya sendiri.
Tanpa diduga Kartikeya juga ikut. Sepertinya dia ingin melihat sendiri apakah manusia memang pelaku utama dari pembunuhan mengerikan ini. Mereka kembali masuk ke kamar pengarahan yang masih kuat dengan bau darah, dan Tehere tidak berlama-lama di dalam sana. Dia berenang melewati etalase dan turun ke bawah.
"Jadi apa? Di mana?" tanya lagi Matau saat Tehere langsung berhenti berenang.
Pita suara Tehere jadi kaku. Semuanya menghilang. Mako dan jasad para Tiaki yang lain tak ada di sana.
"Di sini! Mereka tadi di sini! Mako dan lainnya ada di sini! Dia dan lainnya juga sudah mati. Sirip mereka terpotong habis dan—" Tehere langsung teringat dengan kata-kata yang Mako ucapkan sebelum dia mati. "Manusia. Mereka kembali. Mereka pasti sudah mengambil jasad para hiu. Itu yang terjadi. Ya!"
"Oh ... aku sangat tahu apa yang terjadi, Tehere," desis Matau. Tehere tahu dia sudah membuat paus orca itu marah. "Kau, ikan remora, yang dikenal sebagai spesies paling dekat dengan hiu, bersekongkol untuk membunuh Tuan Perdana Menteri, lalu kemudian menyalahkan makhluk mitos yang tak pernah dilihat siapapun. Begitu, kan?!"
"Apa?! Tidak! Mako dan lainnya tadi ada di sini. Mereka kehilangan sirip dan mati kehabisan darah! Untuk apa aku berbohong soal ini?!"
"Matau ... tenangkan dirimu," Kartikeya sigap berenang di hadapan Matau, berharap dia dapat menenangkan dirinya. Lumba-lumba itu tidak siap jika paus orca di hadapannya mulai membuka mulut dan menelan Tehere karena kemarahan.
"Matau!" Seekor ikan memanggil. Ketiga ikan itu lantas mendongak, menemukan Maui yang berenang terburu-buru. "Ini kacau! Semua ikan itu mengamuk!"
"Apa maksudmu? Apa yang terjadi?" tanya balik Matau.
"Mereka ingin menghabisi semua hiu di Solaris. Mereka siap memburu semuanya!"
"APA?!" teriak ketiga ikan itu bersamaan. Tehere berenang ke hadapan Maui. "Kau harus menghentikan mereka! Kau penguasa tertinggi sekarang. Mereka akan menghabisi ikan-ikan tak bersalah!"
"Aku tidak bisa! Mereka tidak mendengarku!"
Sirip Matau menegang. Dengan terburu-buru masuk lagi ke dalam istana dan berenang secepat mungkin ke ruang rapat. Tiga ikan tersisa mengikuti, dan Tehere seperti biasa selalu di belakang karena ukuran tubuhnya yang terlalu kecil.
Ketika akhirnya dia bisa menyusul, seisi ruang rapat sudah kosong. Tak ada ikan apapun yang tersisa. Kartikeya mulai melantunkan nyanyian kecil pada Roh Laut, tetapi gerakan ekor Matau menandakan lagu itu tak akan didengar. Arus Solaris akan berubah keruh hari ini.
"Kita gagal ... saudaraku. Kita gagal," kata Matau pada Maui.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro