Chapter 11
Kesunyian menemani sepanjang perjalanan mereka. Tak ada yang memulai pembicaraan. Mara sibuk menuntun mereka di depan, Anok di satu sisi tak sedikitpun berusaha membuka mulutnya. Sementara itu Talis lebih penasaran mengapa hiu betina di sampingnya bisa tinggal di laut dalam, terlebih tempat itu adalah Abyss.
Perhatian Talis sesekali hanya melihat sekitarnya. Seperti yang Mara katakan, ada banyak sekali tulang-belulang ikan-ikan yang sudah mati dengan berbagai ukuran. Dia sempat menemukan tulang rusuk raksasa. Mara yang menyadari arah pandang Talis lantas berkata, "Paus biru. Kebanyakan ikan putar balik dari sini setelah melihatnya."
Tenggorokan Talis menegang. Dia juga merasa ingin pergi saja dari sini andai Solaris tidak jadi kacau seperti sekarang.
"Kita sampai ...," kata Mara. Di depan sana Talis bisa melihat ada kerumunan cahaya kecil yang berlalu lalang dan dia tahu itu berasal dari spesies ikan angler.
Gerbang masuk Abyss tidak dijaga oleh Kaiki atau makhluk apapun. Arus yang mengalir lambat, menciptakan kesunyian yang tak terputus. Karang-karang pucat seperti yang ada di dekat rumahnya di Solaris menjulang tinggi seperti rumah hantu, tetapi masih ada kilau zooxantella yang mampu bertahan.
Sisanya adalah biru yang bercampur hitam. Memeluk Talis bersama segala sesuatu yang ada di dalamnya. Ini Abyss. Anok kembali menuntunnya untuk terus berenang, setiap ikan berenang lalu dengan tenang seolah sudah beradaptasi dengan kondisi di zona ini. Dia bertemu dengan lebih banyak ikan dengan cahaya terang di kepalnya, tetapi tak tahu apakah itu ikan angler atau ikan lentera. Tak ada satupun dari mereka yang ingin menyapanya atau bahkan Mara. Di sini bukan tempat bagi ikan-ikan untuk hidup berkelompok. Setiap ikan adalah musuh, bahkan jika itu dari spesies sendiri.
Seekor kepiting dengan kaki panjang berjalan di dasar, matanya menyala-nyala akibat pantulan lampu Mara. Terdapat cumi-cumi raksasa dengan tentakel menjuntai seperti alga melewati mereka begitu saja.
Semakin jauh Talis memasuki Abyss, rasa dingin semakin menusuk tubuhnya. Mengingatkan bahwa ia bukan bagian dari laut yang ini. Gerakan insangnya seakan terdengar lebih keras di kegelapan ini. Talis bahkan merasa dirinya saat ini hanyalah seekor hiu kecil di antara semua ikan dan karang tersebut.
Anok terus menuntunnya hingga Talis melihat sebuah karang dengan bentuk yang sangat aneh. Hingga dia menyadari kalau itu bukanlah sebuah karang setelah Mara menjelaskan. "Kami menyebutnya Karam."
"Karam?" tanya Talis.
"Kapal yang bocor dan tenggelam. Jatuh kemari sebelum kita semua bahkan menetas."
"Apa itu kapal?" Talis semakin kebingungan. Terlalu banyak hal aneh yang terjadi dalam satu hari.
"Benda besar yang digunakan manusia untuk melintasi permukaan laut."
"Manusia?"
Pertanyaan-pertanyaan Talis membuat Mara jadi balas bingung. Dia menatap hiu itu sedikit sangsi. "Kau pasti bercanda. Kau tidak tahu apa itu manusia?"
Talis menggeleng, dia lalu menatap Anok yang masih saja terdiam. Berharap hiu betina itu bisa memberinya sebuah jawaban. Gelembung-gelembung udara kemudian lolos dari insangnya. "Akan kutunjukkan padamu nanti."
Terdapat sebuah lubang besar mirip gua laut di benda bernama Karam tersebut dan mereka masuk lewat lubang tersebut. Mara kembali menjelaskan kalau dindingnya disebut baja dan sedikit lebih keras daripada karang. Dia juga menambahkan terdapat sesuatu bernama kayu yang juga sedikit keras, tetapi air membuatnya lunak seperti anemon. "Bukan berarti kau bisa memakannya. Benda itu tidak punya nutrisi atau rasa. Malah akan menyakiti lidahmu."
Jalur di dalam Karam agak berliku-liku dan Talis dibuat kesulitan berkat ekornya. Sesekali ekornya tanpa sengaja menabrak dinding dan dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan sakitnya, tetapi pada akhirnya dia tetap meringis. Meski sebenarnya Anok atau Mara tak memperdulikan itu.
"Takuta! Kami membawakan seekor ikan untukmu!" teriak Mara tiba-tiba. Talis jadi terlonjak, lalu dia mencerna baik-baik apa yang ikan angler itu baru saja katakan. Mereka ingin menjadikannya sebagai makanan? Apa itu yang sebenarnya mereka rencanakan sejak tadi? Daripada memberi tubuh besarnya untuk dihabisi hiu pemotong kue, lebih baik dibawa ke Abyss untuk disantap bersama-sama.
Keraguannya terkikis perlahan saat melihat delapan tentakel muncul di hadapannya. Takuta adalah seekor gurita, dan mereka tidak memakan hiu. Walau bukan berarti gurita tidak bisa menghabisinya.
"Tidak usah teriak-teriak begitu, Mara. Aku bisa mendengar kepakan siripmu dari jauh," kata gurita tersebut, terdapat kilau-kilau biru kecil di tentakel-tentakelnya. Sepertinya beberapa makhluk di Abyss juga memiliki cahaya sendiri. Mata tajamnya kemudian beralih pada Talis, dan hiu itu lantas gugup.
"Uh ... hai ...," ucapnya canggung. "Aku—"
"Terluka. Aku tahu. Untuk apa lagi Anok dan Mara membawamu kemari kalau bukan karena diserang hiu pemotong kue," ujar Takuta dan mengelilingi tubuh Talis, tetapi dia berhenti tepat di ekornya. Matanya langsung melebar.
"Pasienmu bukan hanya diserang hiu pembawa masalah itu, Takuta," ucap Mara.
"Oh .... Aku bisa melihatnya ...." Dia berenang kembali. Mencari bagian mana dari tubuh Talis yang terluka dan berdarah. Setelah memastikan dia sudah menemukan semuanya, Takuta menggosok dua di antara delapan tentakelnya.
"Jadi apa yang membawamu ke Abyss, hiu yang baik?"
"Bisa sembuhkan dia saja dulu dan bertanya nanti?" tukas Anok, tetapi malah mendapatkan reaksi godaan dari temannya.
"Oh ... Anok Yai. Kau sudah tidak tahan ingin kawin dengannya, yah?"
Sontak saja Talis merasakan wajahnya memanas. Sementara Anok hanya memutar matanya. "Dia terluka, dasar payah."
"Tolong jangan bertengkar di sini, ikan-ikan," ucap Takuta melerai mereka, lalu kembali menaruh perhatiannya pada Talis. "Kembali ke pertanyaanku, ikan baik. Siapa namamu, dan apa yang terjadi padamu?"
Talis menjelaskan sebisanya saat Takuta terus menggosok tentakel-tentakelnya. Sebelum gurita itu akhirnya mengangguk dan mendekati salah satu luka berbentuk lingkaran di perut Talis. "Solaris, yah .... Apa di sana dokter melakukan pengobatan bioluminesensi?"
"Bio apa—Arghhhh!" Talis sontak menjerit saat merasakan salah satu tentakel Takuta di lukanya. Dia meronta dan berusaha menjauh, tetapi Anok bergerak dengan cepat untuk menahannya. Rasanya benar-benar panas dan Talis tak bisa berhenti berteriak sampai Takuta melepaskan tentakelnya.
"Jadilah pejantan sedikit, Talis. Ada betina yang memperhatikan," kata Takuta dan pergi ke luka Talis yang satunya.
"Maaf ...," katanya sedikit malu. Meski menyakitkan, tetapi setelah itu Talis merasakannya menghangat. Pendarahannya terhenti, dan kini lukanya dipenuhi oleh sesuatu yang berwarna biru menyala.
"Aku menghitung ada dua belas luka di tubuhmu, ditambah satu luka besar di ekormu. Sekarang aku ingin kau memelankan suaramu atau Neri akan marah."
"S–Siapa itu Ne—Arghhhhh!"
Bagaimanapun Talis terus berteriak, dan dia kehilangan kesadarannya pada luka kesepuluh, tetapi bukan karena rasa sakit dari metode penyembuhan Takuta. Neri yang dia maksud datang karena tak tahan dengan teriakan Talis, dia seekor ubur-ubur yang tanpa menjelaskan apa-apa langsung menyengat Talis sampai pingsan.
Meski Anok protes dengan hal tersebut, tetapi Takuta justru senang karena dia bisa menyembuhkan Talis dengan mudah. Setelah mengolesi ekor Talis yang koyak dengan bioluminesensi di tentakelnya, Takuta membungkusnya dengan beberapa lembar alga.
"Jadi apa yang akan kita lakukan padanya sekarang?" tanya Mara.
Takuta hanya mengangkat tentakelnya. "Dia bukan urusanku lagi. Saat dia bangun, jangan lupa suruh dia membayar."
Anok mendesah. "Baiklah. Dia akan tinggal denganku untuk sementara waktu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro