8 - Hancur
Hari ini Melati datang agak siang. Sebenarnya, karena dia selalu datang pagi untuk memberikan apel pada Dewa, ia jadi terbiasa datang ke sekolah ketika gerbang baru dibuka. Kebiasaan juga tidak mudah hilang begitu saja, jadi dia mulai melakukan kegiatan lain untuk menghabiskan waktu. Ia belajar memasak masakan sederhana dari kakaknya, seperti martabak mie, nasi goreng serba ada, dan lain-lain yang biasanya dibuat oleh anal kos. Kebetulan kakaknya yang berkuliah di luar kota sedang libur, jadi ia bisa merecokinya setiap pagi.
Saat sedang asyik menikmati suasana ramai yang dulu jarang ia dapatkan, seseorang menepuknya dari belakang. Ia menoleh dan menemukan seorang gadis dengan rambut sepunggung yang menggunakan jepit bunga mawar di sana.
"Ya?" Melati bertanya heran. Ia rasa mereka tidak sedekat itu untuk memulai percakapan. Terlebih dia juga orang yang selalu membuatnya kesal belakangan ini. Gadis yang membuat matanya belekan setiap kali ia melihat wajahnya.
"Ada yang mau gue omongin, lo bisa ikut gue bentar?"
Melati semakin tidak mengerti. Ia merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bisa menarik perhatian gadis itu. Apakah mereka bahkan punya sesuatu untuk diperbincangkan?
"Kenapa enggak di sini aja?" Melati bertanya heran.
Gadis itu melihat sekeliling sebentar, kemudian mengangguk setuju.
"Oke, gue cuma mau ngasih tahu lo pesan dari Dewa."
Melati kehilangan kata-kata sejenak. Apa Dewa benar-benar mengetahui keberadaannya? Hati Melati mulai berdetak kencang. Tapi kenapa dia harus menitipkan pesan lewat pacarnya? Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak enak. Apapun itu, entah kenapa ia yakin jika seseorang yang menitipkan pesan lewat pacarnya pasti isinya bukanlah hal baik atau menyenangkan.
"Dewa bilang jangan pernah ngasih dia apel lagi."
Melati rasanya bagai tersambar petir, apa selama ini cowok itu benar-benar tahu jika ia yang selalu memberinya apel? Tapi kenapa ia tidak pernah melarangnya sendiri?
"Tapi sejak kalian jadian, gue udah gak pernah ngasih dia apel lagi."
Melati tidak mengerti. Kenapa cowok itu menyuruhnya untuk berhenti sekarang? Kenapa enggak dari dulu sebelum dia dan gadis ini jadian?
Dira mengedik, kemudian lanjut berbicara. "Dia juga bilang supaya lo jangan pernah muncul lagi di deket dia."
Melati kehilangan kata-kata. Bahunya merosot, ia bahkan mulai kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tapi ia tetap bertahan demi menjaga harga diri di depan gadis ini.
Melihat bahu Melati yang mulai bergetar, Dira tersenyum sinis, ia pun menepuk gadis itu penuh perhatian. "Maaf kalo isi pesannya agak kejam, gue cuma nyampein itu. Sampai jumpa."
Melati tidak bisa menggerakkan badannya bahkan ketika Dira sudah menghilang di balik koridor.
Agak kejam katanya? Ini justru benar-benar kejam! Apa Dewa sebegitu membencinya? Tapi kenapa?!
Setelah beberapa saat, Nadia muncul dari gerbang sekolah. Gadis itu bersenandung riang karena hari ini sepupunya akan berkunjung. Ketika melihat Melati, ia dengan semangat menghampiri gadis itu dan melingkarkan tangan di bahunya.
"Pagi, Mel."
Melati tetap diam, tapi Nadia tidak peduli, ia mulai menceritakan hal yang membuatnya bahagia.
"Lo tahu gak, Mel? Nanti sore sepupu gue yang dari Bali bakal datang, katanya dia bakal bawa banyak oleh-oleh. Nanti gue sisain satu deh buat lo."
Setelah tidak mendengar balasan beberapa saat dan posisi mereka yang tidak berubah, ia sadar ada sesuatu yang tidak beres. Ketika melihat wajah Melati yang pucat, ia mulai bertanya dengan panik.
"Ya ampun, Mel. Lo kenapa? Sakit? Kenapa malah masuk? Gimana kalo sekarang kita ke UKS?"
Melati menutup matanya sejenak. Kemudian menatap Nadia sedih. Ia ingin bercerita, tapi kekuatannya benar-benar nol.
"Nad, gue mau ke UKS. Nanti izinin, ya."
Nadia mengangguk. "Ayo, biar gue antar."
Melati menggeleng, saat ini ia butuh waktu untuk sendirian.
"Gak usah, gue sendiri aja."
Melati mulai melangkah, tapi berhenti setelah tiga langkah. Ia kembali mendekati Nadia dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Satu keresek apel.
"Kemarin gue lupa lagi malah beli apel, dimakan, oke?"
Nadia menerima apel itu dan tetap diam karena sadar Melati masih belum selesai bicara.
"Mm, kalau bisa, lo mau nolongin gue, gak?"
"Nolongin apa?"
"Kalo ketemu Dewa sama pacarnya, tolong lempar apel ini ke kepala mereka."
Setelah mengatakan itu, Melati kembali melanjutkan langkahnya menuju UKS. Meninggalkan Nadia yang mulai bertanya-tanya dengan keadaannya.
"Ini ada hubungannya sama si Anggara Sadewa itu lagi? Lo kayaknya bener-bener suka sama dia ya, Mel?"
=====🍎🍎🍎=====
Ketika bel istirahat berbunyi, Nadia segera keluar dari kelas untuk menghampiri Melati di UKS. Ia juga membawa apel pemberian gadis itu tadi untuk dimakan bersama. Sebelum ke sana, ia mampir dulu ke kantin untuk membeli roti.
Di kantin, ia melihat pasangan Dewa dan Dira sedang duduk bersama dengan beberapa anak lain yang ia tahu seangkatan dengannya. Mereka benar-benar terlihat mesra. Ia jadi bertanya-tanya, apa Dewa benar-benar sudah jatuh cinta pada Dira hanya dalam waktu beberapa bulan? Hebat juga gadis itu sampai bisa menyingkirkan Melati dari hati Dewa yang sudah menemaninya lebih dari setahun.
Mengingat sahabatnya, ia jadi bertanya-tanya, ada apa antara Melati dan Dewa? Kenapa gadis itu bisa sampai sakit hanya karena lelaki gampangan itu?
Saat gilirannya tiba untuk membeli roti, ia bertanya pada bibi kantin.
"Bi, kalau kena lemparan apel di kepala sakit ga, ya?"
"Mana saya tahu, Neng. Saya belum pernah kena lempar buah apel. Tapi kayaknya enggak sesakit kalau kena bola voli atau bola basket, Neng."
Nadia menggangguk setuju. Benar juga. Sepertinya itu tidak terlalu bahaya? Apa ia harus melempar apel ini ke kepala Dewa sekarang?
"Kenapa nanya gitu, Neng?" Bibi itu menatap Nadia curiga.
Nadia tersenyum canggung. "Ah, itu, Bi. Saya penasaran sama Newton, dia kan neliti gravitasi karena apel jatuh."
Bibi hanya menatap Nadia tidak mengerti, kemudian mulai menghitung harga jajanan di depannya.
"Makasih, Bi."
Nadia menjauh dari kantin. Ia lebih memilih untuk menghampiri Melati yang sedang sakit daripada membuat keributan dengan menyerang Dewa dan pacarnya.
=====🍎🍎🍎=====
"Mel, lo udah mendingan?"
Nadia menatap Melati yang sedang berbaring dentan mata kosong. Ia pun duduk di sampingnya dan mengangsutkan roti rasa stroberi ke depan mulut gadis itu.
Melati tersentak dan ingin protes, tapi mulutnya terlanjur dijejali roti sehingga ia mau tidak mau harus mengunyah dan menelannya dulu sebelum bisa berbicara.
"Lo ngagetin gue aja, Nad."
"Biarin. Ngapain juga lo malah ngelamun? Gak takut kesambet lo?"
Melati hanya tesenyum pahit dan memakan rotinya tanpa semangat.
"Lo kenapa deh? Kemana semangat hidup lo?"
"Gue cuma lagi patah hati, pea. Kalo gue jingkrak-jingkrak pas lagi sakit hati bukannya gue lebih cocok masuk rumah sakit jiwa?"
Wajah Nadia berubah serius.
"Ada apa? Lo tahu lo selalu bisa cerita sama gue, kan?"
Melati terdiam sejenak sebelum mulai menceritakan kejadian tadi pagi. Wajah Nadia berubah jelek, amarah mulai menggelegak dalam hatinya.
"Cewek setan itu bilang begitu?"
Melati mengernyit kala mendengar umpatan sahabatnya, tapi mengangguk saja karena terlalu malas banyak bicara.
"Sialan."
Nadia merutuk keras.
"Mel, lo abisin rotinya, oke? Istirahat aja di sini sampe bel pulang atau izin pulang aja sekalian. Gue mau ke kantin dulu."
"Loh? Kenapa? Lo gak mau nemenin gue di sini? Terus kenapa lo bawa roti banyak kalo gak ikut makan?"
Nadia tersenyum bengis yang berhasil membuat bulu kuduk Melati berdiri.
"Gue mau wujudin permintaan lo."
tbc.
Hayo, Nadia mau ngapain?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro