7 - Pilihan
Dira menggigit bibir bawah gelisah. Sudah tiga hari ini dia menghindari Dewa. Ia masih bingung dan belum bisa mengambil keputusan. Apakah harus jujur atau pura-pura tidak tahu? Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Dira menyerah berpikir sendiri, ia pun meminta bantuan pada Fani dan menjelaskan semuanya.
"Menurut lo gue harus gimana, Fan?"
Fani mencuci tangannya, ia mulai merasa kasihan pada Dira. Ternyata hubungan cintanya terjadi karena kesalah pahaman. Ia berpikir sejenak, kemudian mulai mengatakan isi pikirannya.
"Lo punya dua pilihan. Pertama, bilang semuanya ke Dewa dengan resiko putus, atau tetap di sisi Dewa sampai dia lupa sama si pemberi apel itu, buat dia tergila-gila sama lo sampai ketika dia tahu kenyataannya pun, dia udah terlanjur jatuh cinta sama lo. Yang kedua tentu aja lebih sulit, apalagi resikonya lo bisa dibenci sama Dewa. Semua pilihan ada di tangan lo, tapi sebagai sahabat, gue lebih ngedukung lo ambil yang pertama."
Dira mulai merenung, kalau harus jujur, ia lebih condong ke pilihan kedua demi keegoisan hatinya. Tapi, pilihan pertama bisa menghindarkannya dari banyak masalah. Setelah beberapa saat berpikir, ia pun memutuskan untuk membuat Dewa jatuh cinta padanya. Mereka sudah kelas XII, ia hanya harus bertahan sekitar tujuh bulan sampai mereka lulus. Tidak ada salahnya bukan untuk egois dan memilih terus mempertahankan Dewa di sisinya? Dira menatap wajahnya di pantulan cermin, ia masih ingat wajah gadis itu, dirinya tentu lebih cantik. Lagipula, bukan salahnya kan kalau memanfaatkan usaha gadis itu? Salah sendiri tidak pernah mengungkapkan kenyataan itu pada Dewa.
Dira menegaskan hatinya, ia sekarang punya dua misi, membuat Dewa jatuh sejatuh jatuhnya padanya, dan menjauhkan cowok itu dari si gadis pemberi apel.
"Ayo balik ke kelas, Fan."
Fani dan Dira pun keluar dari toilet. Yang tidak mereka sadari adalah ada seseorang yang menguping semua pembicaraan mereka dari bilik toilet. Gadis itu keluar dari tempat persembunyiannya, ia menatap dua orang yang baru saja keluar dengan tidak percaya. Jadi selama ini Dewa mencari gadis yang memberinya apel? Jika begitu, bukankah Melati masih punya kesempatan untuk merebut cowok itu dari pacarnya?
=====🍎🍎🍎=====
Nadia masuk ke dalam kelas dengan ekspresi rumit. Ia melihat Melati yang sedang sibuk menggoreskan pensil di kertas hvs di atas buku gambar, gadis itu pasti sedang mengerjakan pesanan teman-temannya. Melati memang sering diminta untuk menggambar wajah dari orang-orang yang memiliki acara spesial, seperti ulang tahun, hari jadian, atau untuk sekadar kado kepada orang tersayang. Hasil menggambar gadis itu memang benar-benar bagus sampai ia sendiri kadang-kadang merasa iri. Terlebih, Melati selalu menuangkan seluruh perasaannya ketika menggambar, membuat hasil coretannya tampak istimewa dan hidup.
Nadia duduk di sebelah Melati, ketika melihat gadis itu sudah selesai, barulah ia membuka mulutnya.
"Mel, gue penasaran, sebenernya perasaan lo ke Dewa itu gimana?"
Melati yang sedang menggulung kertas mengernyitkan kening. "Entahlah. Pokoknya gue selalu pengen ngeliat dia bahagia dan selalu jadi pendukungnya apapun keadaan yang dia alami."
Nadia berpikir sejenak. Ia menatap Melati dengan pandangan aneh.
"Mel, bukannya lo lebih mirip ke mengagumi alih-alih jatuh cinta?"
Melati mengikat gulungan kertas dengan pita, kemudian menyimpannya beserta buku gambar ke kolong meja.
"Maksudnya apa?"
"Iya, itu. Bukannya lo lebih mirip cewek-cewek yang ngeidolain bias mereka? Lo ngasih dia apel, sama kayak mereka ngasih biasnya hadiah. Pas Dewa punya pacar, lo juga malah dukung dia. Bukannya lo mirip para cewek tukang fangirlingan itu? Terus ngedukung tanpa minta imbalan. Seneng banget cuma dengan liat dia lewat."
Sekarang setelah Nadia mengatakannya, apakah Melati benar-benar hanya menganggap Dewa idolanya?
=====🍎🍎🍎=====
Entah ada angin apa, seminggu ini sifat Dira benar-benar berubah. Gadis itu menjadi lebih manja dan selalu perhatian. Sampai-sampai Dewa merasa agak muak dengannya. Apa Dira sedang PMS dan ingin diperhatikan? Bukannya cewek kalau sedang PMS suka aneh-aneh? Tapi bukankah biasanya mereka lebih ke marah-marah alih-alih manja?
"Hai, Wa."
Dewa tersentak kaget. Dira benar-benar muncul di kelasnya setelah bel berbunyi. Ia jadi jengkel dengan perubahan Dira ini.
"Hai, Dir. Kenapa?"
"Ayo ke kantin bareng, hehe."
Dewa mengangguk. Mereka berjalan beriringan menuju kantin, hari ini mereka memang tidak berjanji untuk saling bertukar bekal.
Sebelum masuk ke kantin, Dewa melihat sekeliling sebentar untuk menghilangkan rasa tak nyaman di hatinya. Matanya bersinar ketika menemukan seorang gadis dikepang dua yang terlihat sedang beradu argumen dengan temannya yang dikuncir kuda. Ia ingat, gadis itu adalah orang yang tidak sengaja ia marahi dulu. Tapi kalau ia dekati, gadis itu pasti kabur lagi. Bagaimana caranya agar ia bisa mengucapkan permintaan maaf padanya?
Mata Dewa bertemu dengan mata si gadis yang dikuncir kuda. Gadis itu menatap Dewa sebentar, kemudian menatap Dira di sebelahnya dengan pandangan ... jijik? Dia juga segera menarik cewek yang rambutnya di kepang ke dalam kantin.
Dewa mengerutkan kening, apa gadis itu memusuhi Dira?
"Dir, kamu kenal mereka?"
Dira menghentikan langkah. "Siapa?"
Dewa menunjuk kedua gadis tadi. Seketika wajah Dira terlihat terdistorsi. Ia jadi berpikir, apa mereka benar-benar musuh?
Sementara itu, Dira merasa campur aduk. Ia tahu gadis yang dikepang dua adalah orang yang sebenarnya di sukai Dewa. Orang yang benar-benar harus ia jauhkan dari kekasihnya.
"Aku enggak kenal. Kenapa memang? Kamu kenal mereka?"
Dewa menggelengkan kepala. "Enggak. Tadinya kalau kamu kenal aku mau minta tolong sama kamu. Gadis yang rambutnya dikepang dua itu orang yang dulu enggak sengaja aku marahin. Aku mau minta maaf sama dia. Tapi biasanya dia selalu kabur kalau lihat aku."
"Ah, begitu?" Suara Dira terdengar agak sumbang. Gadis itu mulai memutar otak untuk membuat Dewa tidak pernah berhasil menemui gadis itu.
"Hm, bagaimana kalau aku yang sampaikan permintaan maaf kamu?"
Dewa mengerutkan kening sejenak. Ia benar-benar ingin meminta maaf sendiri karena sudah membentak gadis itu, rasanya akan tidak sopan jika ia mewakilkannya pada orang lain. Tapi, gadis itu selalu menghindarinya. Ia jadi tidak punya pilihan lain.
"Hm, boleh. Tapi bisakah kamu juga meminta dia untuk menemuiku? Aku juga ingin meminta maaf langsung."
Dira tersenyum manis, tentu saja ia tidak akan pernah menyampaikan pesan itu. "Tentu. Ayo kita masuk, aku lapar."
tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro