Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[٩] Apel Manalagi: Kemanisan yang Tak Pernah Usai

IBUKU lumpuh setelah terkena stroke setahun lalu."

D meneruskan sendokan bubur ayam ke mulut sang ibu. Ia menunjukkan kepada Rukya sejenak alasan D menolak tawaran. Ada seseorang yang lebih berhak ditemani pemuda jantan itu daripada seluruh penduduk Juleskandoi, dan sosok tersebut haruslah selalu menerima kasih sayang dari sang putra.

D benar. Ibunya lebih penting.

Ketika D telah menjawab semua tanda tanya yang tersimpan sejak kemarin malam, meski secara tidak langsung, Rukya tak segera mematahkan harapan. Gadis berkulit putih langsat itu malah tersenyum, tidak emosi seperti biasa. Ia melangkah beberapa kali ke depan, dan membiarkan D tetap fokus menyuapkan bubur ke mulut renta sang ibu.

Rukya tiba-tiba mengambil sapu, lalu mulai membersihkan lantai rumah.

"Hentikan, Kak Rukya!" seru D menghentikan Rukya yang sedang menyapu. Suara derit ijuk dan lantai spontan menolehkan D kepada gadis yang tiba-tiba membantu itu.

"Kenapa? Memang seharusnya begini, kan?" jawab Rukya mengangkat sebelah alis. Ia berpura-pura tak tersentuh setelah menyaksikan tanggung jawab yang harus D pikul. Gadis sok pintar itu berusaha ceria seperti biasa. "Kamu enggak ada waktu, kan? Jadi, sebaiknya aku membantumu agar kamu bisa membantuku."

"Tapi mana bisa begitu! Aku malah menyusahkanmu—"

"Tidak apa!" jawab Rukya tegas, "masih ada jalan keluar yang bisa kita ambil untuk menangani masalahmu dan penduduk Juleskandoi."

D mengernyit. "Caranya?"

"Aku membantumu dan kita akan melakukan tugas kita untuk penduduk Juleskandoi," tutur Rukya antusias.

Ketika mendengar usul Rukya, D merengut. Ia tak bisa menolak bahwa rencana yang diusulkan oleh gadis cerdas itu patut dicoba. Namun, ada yang mengganjal di hati D.

"Tapi aku tak bisa," balas D menundukkan muka seraya menggeleng.

"Kenapa tidak bisa!?" sahut Rukya spontan, "Apa kamu ada cara lain yang lebih bagus!?"

"Bukan begitu!" jawab D menghela napas panjang, "aku tidak mau merepotkanmu."

Rukya sontak tersenyum. Ia kagum kepada D sekali lagi. Pemuda garang itu diam-diam menyimpan watak lembut. Namun, kurang dalam hitungan jari, gadis yang sedang terenyuh itu langsung menyembunyikan senyum. Ia pun mencoba bersikap biasa.

"Kamu polos sekali, D!" sindir Rukya menyunggingkan senyum, "mengurus rumah adalah hal yang kecil bagi seorang Rukya."

Tentu, Rukya berbohong. Ia tidak pernah menurut ketika sang bunda meminta tolong. Seribu alasan terus dikeluarkan. Namun, entah mengapa, gadis yang berpura-pura mandiri itu menganggap kasus D sebagai pengecualian.

Ketika Rukya mulai menemukan kesucian di antara kubangan dosa penduduk Juleskandoi, hatinya luruh. Tak ada lagi niat lain yang terselubung, hanya kebaikan yang tersisa. Karena itu, dia akan mengubah desa yang dipenuhi pendosa ini sekuat yang ia bisa.

"Bagaimana, apa yang bisa kubantu?" tanya Rukya menghampiri D yang tertegun seolah menyetujui tawaran. "Apa aku yang harus menyuapi ibu kamu, lalu kamu sarapan dan beres-beres diri—"

"Tidak usah!" sahut D menarik mangkok bubur yang hampir digapai Rukya, "maksudku, aku saja yang menyuapi ibuku. Aku tidak mau jauh darinya."

Awalnya, Rukya terkejut ketika D meninggikan suara. Ia menyangka pemuda garang itu akan memarahinya. Namun, saat D meminta maaf seraya menundukkan kepala, Rukya tersenyum hangat. Ia paham, D ingin berbakti kepada orang tuanya sendiri.

"Baik," balas Rukya bernada hangat, "aku akan membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untukmu."

"Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapian!" sahut Rukya membelalakkan mata seraya tertawa kecil, "aku tidak akan capek hanya karena membantumu."

D pun bungkam. Ia kembali menatap sang ibu, lalu melanjutkan suapan. Pemuda berkulit gelap itu berubah malu ketika menatap wanita yang ia suapi.

Sang ibu tersenyum seraya mengelus pipi D. Dia senang, putranya masih memiliki teman dan sumber kebahagiaan. Apalagi sosok seperti Rukya yang amat antusias, wanita lumpuh itu yakin, D pasti akan hidup bahagia mulai detik ini.

Ketika menyaksikan kehangatan yang dicurahkan oleh ibu D, Rukya berkaca-kaca. Ia teringat dengan sang bunda. Gadis yang sudah mendurhakai ibundanya itu tak sanggup membayangkan wanita yang telah melahirkannya berada di posisi ibu D.

Jika Rikesuri Ruhaji yang lumpuh dan tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan putri semata wayangnya—Rukya—malah mendurhakainya, siapa yang akan merawatnya. Padahal, tatapan ibu D dan ibunda Rukya sama. Mereka amat menyayangi anak yang telah dilahirkan, bahkan lebih cinta daripada diri sendiri.

Ketika ibu D tiba-tiba menoleh kepada Rukya, ia pun bergegas menghapus bulir air mata. Gadis berbusana muslim putih itu tak sanggup memandang tatapan hangat ibu D.

Wanita tua itu berambut lusuh sampai setelinga. Meski begitu, tubuhnya masih berisi dan menguarkan aroma mawar. Jelas, D merawat sang ibu amat becus, sampai ia melupakan diri sendiri.

Karena itu, Rukya bergegas menuju dapur untuk menyapu dan mengepel. Sementara D menyuapi sang ibu, Rukya akan menyiapkan sarapan untuk sang pemilik rumah. Nasi telur ditambah tempe dan tahu goreng sepertinya cukup untuk D.

Benar. Rukya tersenyum sendiri. Aku paham, mengapa ibunda mempercayai Juleskandoi kepadaku. Beliau benar. Orang sepertiku akan menemukan banyak hal di sini.

***

MATAHARI hampir tergelincir di langit. Hari sudah sampai di pertengahan. Sekarang, jam digital merah muda Rukya menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh, dan semua pekerjaan rumah telah selesai.

"Alhamdulillah, aku bisa bergegas mengumpulkan apel," ucap D menutup pintu rumah. "Terima kasih kamu sudah repot-repot ke sini dan membantuku."

Rukya menggeleng seraya tersenyum kecil. "Tidak apa-apa," balasnya bernada lembut, "lagi pula, aku tidak punya kesibukan lain di Juleskandoi." Entah mengapa, Rukya tak menutupi simpati kepada D.

"Mengapa kamu jadi berubah kalem seperti ini?" tanya D heran. Ia berdiri mematung di teras rumah.

Rukya pun menghela napas panjang. "Alasannya panjang, tapi intinya kita sudah melakukan yang terbaik untuk ibumu 'kan, D?"

D tersenyum sendu. Dia bersyukur bisa menyelesaikan semua pekerjaan sebelum tengah hari. Bahkan, ini adalah kali pertama ia bisa segar dan kenyang sebelum salat zuhur, termasuk sang ibu. D akhirnya bisa memberikan ketenangan kepada sang ibu untuk beristirahat, bukannya membuat gaduh dengan membersihkan rumah.

Ketika menyaksikan pemuda garang di depan yang tak sanggup berkata-kata, Rukya spontan membalas senyumannya, lalu berkata, "Setelah aku mendapatkan seorang murid, berkat dirimu, aku tidak perlu menghabiskan waktu untuk berkeliling Juleskandoi."

D sontak mengangkat alis seraya menunjuk diri sendiri. "Berkatku?"

Rukya mengangguk. "Orang-orang suka apelmu. Karena itu, aku ingin kamu terus menyuplai apel untuk mereka. Lagi pula, sekarang sedang musimnya, kan?"

D diam sejenak. Ia tak mampu memberikan jawaban.

"Tidak usah risau," sahut Rukya menenangkan, "karena kesibukanku hanya mengajar anak-anak mengaji saat sore hari, aku akan membantumu di pagi hari. Setelah itu, kamu bisa mengumpulkan apel. Bagaimana? Ide bagus, kan?"

D masih diam. Dia tak memberikan respons kepada Rukya, hingga ia memanggil gadis yang menawarinya bantuan itu, "Sebenarnya—"

"Apa? Kamu sungkan kepadaku?" sahut Rukya mencegah D memberikan penolakan hanya disebabkan hati kecil. "Bukannya sudah kubilang—"

"Bukan begitu," balas D memutus persangkaan Rukya seraya mengguratkan senyuman. "Aku ingat sekarang, sebenarnya ibuku gemar menghadiri kajian yang digelar oleh ibundamu, Rikesuri Ruhaji."

Rukya pun segera bungkam, lalu memasang telinga untuk mendengarkan seksama. Meski ini bukan masalah genting baginya, setidaknya ia senang bisa mengenal D lebih dalam, sebagaimana Iswa.

"Ibu dulu membangun rumah di sini, jauh dari penduduk Juleskandoi, untuk melindungiku dari dosa-dosa warga desa," tutur D mengguratkan senyum percaya. "Beliau membesarkan dan mendidikku dengan penuh kasih sayang. Ibuku ingin aku tumbuh sebagai seorang lelaki soleh.

"Setiap hari, ibu mengumpulkan apel untuk dijual ke Juleskandoi. Beliau tidak mau hidup dari harta haram. Karena itu, ia memutuskan menjadi petani apel.

"Ibu sering kali menitipkan apel ke wanita pengendara delman untuk dijual ke kota. Mereka adalah teman satu majlis ta'lim.

"Selain itu, ibu juga memberikan apel kepada Nyonya Ton sebagai seorang pembuat jus. Beliau ingin mendukung tetangga mencari nafkah dengan cara halal, apalagi Nyonya Ton dapat memroduksi jus yang amat enak. Manis. Murah lagi. Kombinasi yang menarik sebenarnya. Apel di kebun ibu juga amat manis. Kalau kata penikmat buah, mereka menyebutnya sebagai Apel Manalagi."

Rukya termenung sesaat. Ketika D meneruskan cerita ia mengangguk-angguk, dia memikirkan banyak hal. Jadi, Bu Kusir termasuk ke dalam orang baik di Juleskandoi? Pantas ibunda bisa mempercayaiku kepadanya—

"Kalau dipikir-pikir, lucu juga, ya." D tiba-tiba meneruskan cerita sampai memutus pemikiran Rukya.

"Lucu kenapa?" sahut Rukya heran. Ia pun bergegas mengingat perkataan D sebelumnya yang sekiranya lucu. "Apel Manalagi?"

D pun mengangguk seraya menyunggingkan senyum manis. "Sebenarnya, manalagi sering ditemui untuk sebutan mangga, kan? Manalagi, manis dan legi," ujar D, "namun, kalau dipikir-pikir, bisa saja mereka menganggap, memangnya bisa mendapat apel semanis ini dari mana lagi kalau bukan dari kebun ibu D?"

Rukya dan D sontak tertawa. Mereka senang bisa akrab sampai bisa berbagi tanpa ada rasa takut. Hingga Rukya sadar, D baru pertama kali tertawa seriang ini di hadapannya. Dan dia amat manis sebenarnya. Begitu pula apelnya. Aku pun amat penasaran, sejauh apa kebun apel pemuda ini bisa menuntunku dan Juleskandoi keluar dari jeratan dosa?

"Jadi, D. Sekarang, kita bergegas mengumpulkan apel, lalu memberikannya ke Nyonya Ton," ucap Rukya antusias sampai menyulut semangat.

D pun mengangguk, lalu keduanya bergegas memetik buah harapan. Hingga matahari mulai berubah jingga dan Rukya harus pulang ke rumah.

Gadis yang telah mengeluarkan banyak tenaga itu terduduk lemas setelah melaksanakan salat asar. Biasanya, dia akan mengeluh. Namun, hari ini berbeda. Ia bahagia. Entah kenapa, semua terasa manis.

Rukya ingin beristirahat setelah mengajar Iswa, namun ketika ia mendengar ketukan pintu yang amat ramai, ia membatalkan rencana.

"Assalamu'alaykum, Kak Rukya!"

Salam bersahutan dari teras. Seharusnya, hanya Iswa yang baru mengaji. Namun, Rukya heran mengapa bisa ada banyak suara di luar sana.

"Wa'alaykumussalam—" Rukya terperangah ketika menyaksikan pemandangan di balik pintu.

Itu Iswa dan lima orang temannya.

"Halo, Kak Rukya!" ucap Iswa polos seraya mengguratkan senyum lebar, "aku membawa teman-temanku kali ini! Setelah meminum jus apel dari ibuku, mereka ingin mengaji bersamaku. Katanya, mereka tidak mau berhenti merasakan jus ibuku lagi. Mereka telah menunggu selama setahun lamanya sejak ibuku berhenti berjualan."

Rukya tertegun. Hamdalah sontak memenuhi lubuk hati. Ia tak menyangka, dalam sehari, muridnya akan bertambah menjadi enam. Bahkan, lima teman Iswa adalah bocah-bocah yang menolak Rukya kurang ajar ketika pertama kali berdakwah di Juleskandoi. Bocah lelaki ingusan, bocah lelaki berbaju superman, gadis berambut pendek berponi, gadis berambut acak-acakan, dan gadis tinggi berhelai kepang, mereka semua ada di depan Rukya, lalu meminta diajar mengaji.

Tak ada kata yang bisa diucapkan selain alhamdulilah.

Ya Allah, inikah balasanmu atas kebaikan yang tersisa di Juleskandoi. Hari ini bertambah lima. Apakah besok akan menjadi lima puluh?

Benarlah D tadi pagi. Apel Manalagi. Dari mana lagi penduduk Juleskandoi mendapat apel seenak itu? Dan dari mana lagi aku bisa mencapai kemenangan?

Terima kasih, ya Allah, dan juga D, termasuk apel mana lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro