[٦] Bayang-Bayang di Pondok Tua
SIAPA kamu?"
Sang pemilik rumah melontarkan pertanyaan bersuara berat. Matanya membola dan melirik Rukya tajam. Ia membalik badan Rukya paksa, sampai gadis yang sedang gemetaran itu dapat menyaksikan sosok menyeramkan di belakang.
Rukya terperanjat. Tubuhnya kaku dan tidak ada satu pun perkataan yang bisa keluar dari lisan.
Sosok yang menatapnya tajam amat mengerikan. Wajah serius, apalagi disertai mata lebar. Tubuhnya tinggi sampai membuat Rukya hanya sanggup mencapai pundak. Perawakannya kekar, bahkan keringat berliukan meluncur dari setiap sudut.
"Siapa kamu?" tanya sang pria mengulang perkataan, "mengapa kamu mengintip rumah orang lain!?"
Rukya tak sanggup menahan diri. Badannya lemas, apalagi setelah dihunjam oleh tatapan tajam dan kapak yang berayun di tangan kanan. Di dalam batin, hanya ada seruan doa untuk memohon perlindungan dari Allah Yang Mahakuasa. Rukya ingin selamat, atau setidaknya ia tak mau mati mengenaskan—
Buah apel lagi-lagi terjatuh dari pohon besar di dekat pondok sang pria. Dia spontan menoleh.
Ketika Rukya mendapati kesempatan bersama pria tersebut yang mengalihkan pandangan, kumpulan tenaga langsung membuncah dari dalam tubuhnya. Kaki yang tadi lemas gemetaran, kini sontak dipenuhi energi untuk menjejak kuat, lalu berlari secepat kilat.
Rukya pun melesat melewati sisi samping pria yang mengerikan itu.
"Hei, jangan kabur!" teriak sang pemilik rumah menarik bagian tubuh Rukya yang bisa ia raih.
Tangan Rukya sempat tertahan, tapi ia buru-buru menariknya. Beruntung, gadis berbusana muslim itu mengenakan kain berbahan katun dan poliester. Keringat yang sudah membasahi tubuh sebab lelah dan takut, melicinkan genggaman sang pria menyeramkan.
Hingga kurang dari sedetik, terlepaslah Rukya dari cengkeraman pria yang hendak membunuhnya. Gadis berperawakan kecil itu pun berlari secepat yang ia bisa, dan berharap tubuh lincahnya dapat mengalahkan sang pemilik rumah jika ia mengejar.
Namun, tak ada apa-apa.
Sampai Rukya berhasil menghilang di kejauahan, pria bertubuh berlumur keringat itu tetap bergeming. Ia mengusap rambut cepak pendek seperti potongan tentara sebab dibuat bingung dengan kehadiran Rukya. Namun, ia tak mengejar Rukya bukan tanpa suatu alasan.
Mata lebarnya menjatuhkan pandangan ke sebuah benda rongsok yang tergeletak di depan. Itu adalah botol plastik hijau kekuningan yang teremas hancur layaknya sebuah bola. Ia pun mengambilnya, lalu menelisik sekujur tubuh kemasan minuman tersebut.
Pria itu membelalak. Ia mengenal kemasan itu. Hatinya sontak terenyuh, apalagi dia mendapati ada sebuah coretan dan goresan yang menggambarkan sesuatu.
Seorang bocah perempuan berponi menutupi setengah muka, menunggu di atas loteng. Dia tersenyum bahagia seraya meminum sesuatu dari botol hijau kekuningan.
Dan pria berambut cepak itu menyadari apa yang diminum oleh gadis di goresan kemasan tersebut.
Itu jus apel.
Sang pemilik rumah pun menatap apel-apel yang sedari tadi berjatuhan dari pohon besar di dekat rumah. Ia termangu memikirkan sesuatu.
"Terima kasih," gumamnya, "aku akan memberikannya kepada bocah itu.
"Iswa Ton."
***
MATAHARI sudah beranjak naik, kurang lebih sekitar dua jengkal dari cakrawala. Sudah masuk waktu duha, dan Rukya masih belum tidur setelah melaksanakan salat subuh.
Biasanya ia akan terlelap tak lama setelah menunaikan salat fajar. Namun, hari ini berbeda. Rukya masih terduduk gemetar di atas sajadah merah empuk yang bergambar ka'bah emas. Mulutnya komat-kamit tanpa henti dan tasbih sedari tadi memutar di genggaman. Mungkin, ia sudah melampaui batas tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali, saking banyaknya Rukya berzikir.
Gila! Gila! Gila! umpatnya menyorotkan tatapan ngeri. Juleskandoi amat gila, dan kemarin adalah hari terburukku di sini!
Rukya masih belum melupakan kejadian yang menimpanya kemarin sore. Ia hendak dibunuh oleh wanita gila yang membawa arit. Ia juga menemui penduduk Juleskandoi melaksanakan ritual memanggil iblis dengan menumbalkan korban. Bahkan, ia hampir dicincang oleh pria mengerikan yang memiliki kebun apel di ujung barat desa.
Beruntung, Allah menyelamatkanku pada hari itu! batin Rukya menutup wajah dengan telapak tangan setelah lama menengadah untuk berdoa. Aku sudah tak kuat lagi! AKU INGIN PULANG—
Sontak rengekan Rukya terputus ketika suara ketukan menggetarkan gendang telinga.
Rukya melongok ke depan. Tak lain dan tak bukan, sumber ketukan itu berasal dari pintu rumah Rukya, bukannya tetangga. Lawang reyot yang bergetar setelah dihantam oleh punggung tangan, menunjukkan ada seseorang di baliknya.
Rukya gelisah. Perasaan senang dan takut bercampur aduk di dalam hati. Dia tak tahu siapa lagi yang sudi untuk bertamu ke rumah. Tak ada seorang pun di Juleskandoi yang berbaik hati mau berteman dengan Rukya, kecuali Bu Kusir, atau ....
Rukya sontak memegang dada erat-erat. Ia mengingat sosok pria menyeramkan kemarin. Spontan, gadis yang masih memakai mukena merah muda itu berlari ke dalam kamar tidur, tapi suara ketukan semakin kencang.
Tak mau kabur seperti pengecut, Rukya pun mendatangi pintu yang bergetar sebab ketukan keras. Namun, ia tak langsung membuka. Gadis yang sedang gemetar takut itu mengintip melalui lubang kunci, dan didapatilah sesosok yang tak asing baginya.
Itu Iswa.
Rukya pun buru-buru melepas selot dan membuka kunci. Setelah itu, ia menyentak pintu rumah sampai terbuka kencang. Rasa bahagia tiba-tiba membuncah, sampai Rukya berkata seraya berkaca-kaca,
"Kamu ... ke sini? Bagaimana bisa!?"
Rukya tersenyum gembira sekaligus merengut heran. Ia tak tahu bagaimana Iswa mengetahui rumah Rukya, dan untuk apa dia datang ke sana. Apalagi, Rukya mendapati gadis itu tersenyum lebar meski poni panjang masih menutupi sebelah muka.
"Kamu sendirian?" sambung Rukya menundukkan badan agar bisa menggapai Iswa yang hanya setinggi perut gadis bermukena rajutan mawar itu.
Iswa pun menggeleng. Ia sontak menunjuk seseorang yang menunggu di belakang.
Ketika Rukya menjatuhkan pandangan kepada sosok yang dimaksud oleh Iswa, ia terbelalak ngeri. Itu wanita gila yang hendak membunuhnya, dan dia berdiri di pintu masuk halaman rumah.
Wanita berambut bob itu bersandar di pagar kayu, lalu mengangguk seakan berterimakasih. Meskipun masih bermuka masam, ibu Iswa tersebut rela mengantarkan putrinya kepada Rukya untuk sebuah alasan.
Hingga telinga Rukya berkedut ketika mendengar seruput cairan yang diminum oleh gadis kecil di depan, ia menyadari semua keajaiban pagi ini. Senyuman Iswa, minuman manis, dan botol hijau kekuningan, Iswa telah mendapatkan impian yang tergambar di kemasan rongsok, dan Rukya menjatuhkan kemasan tersebut kemarin di tempat itu.
"Baik, ajarlah Iswa mengaji hari ini!" ucap sang wanita berdaster hitam polkadot meninggalkan Iswa di rumah Rukya. "Hitung-hitung sebagai balas budi karena mau membujuk anak lelaki itu memberikan buah apelnya."
Sontak, Rukya terperanjat.
Buah apel? Anak lelaki? Kemasan jus? Jadi ..., batin Rukya menarik benang merah dari semua keajaiban yang datang tiba-tiba. Hingga ketika ibu Iswa sudah lenyap dari pandangan, Rukya telah menyimpulkan rencana yang harus ia ambil berikutnya.
Pria itu ..., aku harus menemuinya.
Sehingga aku akan terbebas dari Juleskandoi.
***
SATU JAM telah berlalu, dan Rukya berjalan ke luar rumah dengan langkah ceria. Di sampingnya, ia menggandeng Iswa untuk pulang ke rumah. Meski baru belajar mengaji a ba ta, ini adalah sebuah kemajuan yang besar untuk mengantarkan Rukya ke depan pintu gerbang kemenangan.
Selama sejam berinteraksi dengan Iswa, Rukya mulai dapat mengenal gadis berponi menutupi setengah muka itu, termasuk sang ibu. Jujur, rasa syukur dan lega membuncah di hati Rukya meski hanya sekecil tetes embun.
"Jadi, ibumu dulu adalah penjual jus apel?" tanya Rukya menyorotkan tatapan hangat.
Iswa pun mengangguk. "Benar, Kak."
"Dan beliau mendapatkan apel-apel itu dari pemilik kebun yang tiba-tiba berhenti mengirim buah-buahnya sejak setahun lalu?" sambung Rukya.
Iswa sekali lagi mengangguk, tapi ada keraguan tergambar di mata. "Benar, Kak. Namun, aku tidak tahu siapa pemilik kebun apel di dekat rumah, dan untuk apa dia menghentikan pengiriman buah-buahnya."
Rukya pun mengangguk seraya memegang dagu. Meski Iswa tak menahu detail masalah yang menimpa sang ibu, Rukya setidaknya dapat mengulik sisanya, dan itu akan ia selesaikan setelah mengantar sang anak didik.
"Tidak apa-apa, kok," hibur Rukya bernada ramah, "Iswa sudah membantu kakak, kok, dan jangan lupa besok datang habis asar saja, ya. Kalau bisa, Rukya mengajak teman-teman juga!"
Benarlah Rukya dijuluki keturunan tercerdas keluarga Ruhaji. Belum sehari ia mendapat rezeki, kini gadis lulusan manajemen itu berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan membujuk Iswa.
Namun, gadis berumur sepuluh tahun itu menggaruk-garuk kepala sampai menyibak poni yang menutupi sebelah mata. Dia ragu. "Aku tidak punya teman, Kak."
Rukya pun tertegun sesaat. Selain mendengar jawaban Iswa bahwa ia tak memiliki teman, gadis berkerudung menjuntai sedada itu kaget setelah menatap sebelah mata Iswa.
Mata kiri bocah itu ditutupi poni panjang karena terbuat dari bola mata palsu.
Sontak, Rukya teringat perangai penduduk Juleskandoi. Ia mengiba, lalu hendak mengenal Iswa lebih dekat lagi.
"Iswa, matamu—"
"JAH! ADA YANG LAGI JALAN-JALAN, NIH!"
sebuah suara melengking membuat Rukya dan Iswa melompat kaget. Hingga Rukya sadar bahwa ia mencapai ujung persimpangan depan rumah, gadis yang sedang gembira itu tiba-tiba badmood sebab wanita jail tersebut.
"Apa lagi maumu, Bu Kusir?!" jawab Rukya memperlihatkan Iswa yang berada di gandengan.
Bu Kusir sontak terperangah. "B-bagaimana bisa!?" Mulutnya menganga. Ia tak menyangka Rukya mendapatkan seorang murid. Padahal, kemarin, wanita berkerudung bergo krem itu sudah membujuk Rukya untuk mendatangi pondok sang pemilik kebun apel—yang bertampang menyeramkan.
Ketika menyaksikan ekspresi terkejut dari Bu Kusir, Rukya menyeringai puas. Ia sadar, wanita gempal penarik delman itu telah menjailinya kemarin. Namun, beruntung, sebab kejailan tersebut, Rukya mendapat keberuntungan yang dapat memulai rencana kemenangannya.
"Iya, dong, pagi-pagi seperti sekarang enaknya jalan-jalan," balas Rukya bernada mengejek. "Ya, suda, Bu Kusir, aku pamit dulu. Aku mau mengantarkan MURIDKU pulang dulu!"
Rukya pun melongos seraya menggandeng tangan mungil Iswa. Ia meninggalkan Bu Kusir yang membelalak tak percaya. Sungguh Mahaadil Allah, sehingga segala kejahatan akan dibalas setimpal, sebagaimana kebaikan pula.
Sepuluh menit berlalu, Iswa sudah memasuki pagar rumah berwarna hitam seraya menyunggingkan senyum. Ia melambai kencang saking gembiranya.
Rukya pun membalasnya dengan lambaian yang sama bahagia. Ia senang mendapat murid, dan gadis pintar itu akan melancarkan rencana berikutnya.
Setelah Iswa pulang ke rumah, Rukya melanjutkan langkah ke barat Juleskandoi. Ia mengikuti jalan setapak yang dikelilingi oleh jajaran pohon apel. Sampai matanya mendapati sebuah pondok kayu dan seorang pria berbaju hitam tak berlengan, Rukya berhenti.
Ia menarik napas percaya diri. Dengan sekali ucap, ia berseru untuk membuat pria misterius itu menoleh.
"Aku ingin bicara denganmu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro