[٢٢] Kesempatan Kedua di Ujung Waktu
SILAKAN mendaftar, Bu Rukya."
Gadis berhijab hijau daun yang menjuntai, mematahkan ejekan Bronto Bragjow. Sosok yang menjaga meja pendaftaran tersebut berdiri seraya mempersilakan Rukya untuk mengisi formulir.
Bronto Bragjow menganga lebar tak percaya. Ia tak terima Rukya masih diizinkan mendaftar, padahal dia sudah melewati batas waktu. Amat nekat, pria yang berdarah-darah itu menerjang kerumunan hendak mendaratkan bogem mentah ke Rukya. Namun—
"AHHH!"
Sebutir timah panas menembus kaki kanan Bronto Bragjow. Polisi yang mengejarnya sampai tepat waktu. Mereka pun meringkus pria yakuza tersebut tanpa ampun.
"Jangan sok jagoan, Anda!" cemooh sang polisi mengapit Bronto Bragjow di antara lengan kekar. "Anda sudah melanggar banyak aturan lalu lintas, sampai membahayakan orang lain. Bahkan, Anda hendak meninju seorang gadis yang tidak bersalah. Anda akan mendapat hukuman berat! Jangan melawan atau kami akan menembak seluruh kaki Anda!"
Bronto Bragjow bergeming di posisi tersungkur. Dia hanya mampu meringis kesakitan seraya mencengkeram betis kanan kuat-kuat. Di pelataran masjid, deretan mobil polisi berdatangan, ada enam: dua mobil bak terbuka dan sisanya mobil biasa. Mereka menyeret para preman, sekaligus mengangkut motor-motor yang rusak berjatuhan. Ambulans juga turut serta.
Dengan kasar, pria-pria berseragam coklat itu menarik Bronto Bragjow ke komplotan. Namun, ada dua orang yang mencuri perhatian Rukya. Itu D dan Tagor. Keduanya juga diseret untuk dimintai keterangan ke penjara. Bagaimanapun juga, dua lelaki itu sudah menyebabkan para preman bergulingan di atas jembatan layang.
"Tunggu, Pak!" seru Rukya kepada seorang polisi gempal. "Kedua pemuda itu tak bersalah. Mereka melindungi saya agar tidak tertangkap orang-orang jahat itu!"
"Maaf, Nona," balas sang polisi ketus, "Anda tidak bisa serta merta mengatakan demikian tanpa bukti—"
"Aku ada!" Seorang gadis bertopi bisbol yang mengayunkan rambut ekor kuda memutus sanggahan sang polisi. Itu Arizan. Dia mengangkat ponsel—yang merupakan Iphone—tinggi-tinggi.
Arizan berhasil menarik perhatian sang polisi. Sesaat, pria gempal berseragam coklat itu mengizinkan Arizan memperlihatkan video. Gadis berbusana hijau daun pun memanggil Rukya untuk mengisi formulir pendaftaran. Seraya meminta maaf kekacauan yang telah terjadi, Rukya mempersilakan Iswa dan Dai Ton duduk di kursi.
"Terima kasih karena sudah mempersilakan kami mendaftar meski sudah terlambat," ucap Rukya merendah.
"Tidak apa-apa, lagi pula acara belum dimulai, Kak," jawab si gadis penjaga meja ramah, "beruntung kami belum menutup meja pendaftaran. Tadi, teman sekolah saya mengirim pesan bahwa ada dua anak yang mau daftar, agak terlambat."
"Teman?" Rukya melongo. Apakah dia membicarakan D atau Tagor? Namun, dia masih muda seperti anak SMP atau SMA. Mana mungkin dia bisa berteman dengan dua pemuda itu?
"Arizan Bragjow," jawab si gadis penjaga mengagetkan Rukya.
"Innalillahi! Arizan!?"
"Iya, Kak. Dia teman satu sekolah dengan saya," balas si gadis penjaga menenangkan. "biasanya, dia tidak pernah menghubungi teman-teman melalui ponsel. Namun, tiba-tiba saja, dia dapat menghubungi kami. Sepertinya, dia baru mendapat HP, Kak."
"Oh, begitu." Rukya menurunkan suara. Jadi, Arizan tidak pernah mengumbar pekerjaan sang ayah sebagai ketua preman? Oh, dan satu lagi, HP baru yang dipakai Arizan sebenarnya HP-ku. Tapi ya, apa boleh buat ....
Setelah percakapan itu, Rukya menyelesaikan data diri pendaftaran Iswa dan Dai Ton dengan hening. Tidak ada pertanyaan hingga gadis yang menjadi penanggung jawab dua bocah di samping tersebut. Bubuhan tanda tangan menutup semua urusan di meja tadi.
"Sudah selesai," ucap Rukya menyerahkan pulpen.
"Baik, terima kasih, Kak," balas si gadis penjaga mengambil formulir. Dia memberikan dua buah nomor dada berbentuk apel hijau kepada Iswa dan Dai Ton. "Dan silakan ditunggu giliran lomba. Jangan lupa dipasang nomornya, ya!"
Iswa dan Dai Ton mengangguk patuh. Rukya pun mengucapkan terima kasih, lalu menghampiri bangku taman di pelataran masjid untuk menunggu Arizan. Iswa mendapat nomor 22, sedangkan Dai Ton 56. Jelaslah mereka adalah peserta terakhir. Rukya berharap, peserta terakhir menjadi keberuntungan bagi Iswa dan Dai Ton.
Tepat Rukya merebahkan dudukan, Arizan telah selesai bernegosiasi dengan sang polisi gempal. Terkesan alot, tetapi gadis berjaket denim itu mengakhir pembicaraan dengan senyum ramah sembari membungkuk. Dia menghampiri para tahanan. Arizan menyalami sang ayah seraya menunduk berkali-kali. Jelaslah dia meminta maaf telah membantu musuh. Namun, Arizan sempat menunjuk D beberapa kali, pemuda yang dicintai. Sontak, sang ayah melunak sedikit, lalu mengelus kepala putri semata wayang.
Ketika Arizan menghampiri D dan Tagor, polisi yang menahan sontak membuka pintu mobil. Mereka membebaskan kedua lelaki itu. Rukya spontan mengembuskan napas lega dari jauh. Dia pun buru-buru mengangkat tangan tinggi-tinggi, agar Arizan bisa menuju bangku yang diduduki Rukya.
"Jadi ..., terima kasih atas segala bantuanmu," ucap Rukya membuka pembicaraan.
"Tidak," jawab Arizan menggeleng lemah. "Tidak perlu berterima kasih. Aku memang seharusnya melakukan penebusan. Rukya, maafkan aku. Ayah lebih tangguh daripada yang kukira. Dia dapat mengendus tabiatku untuk melindungi D. Meski begitu, aku berusaha sekuat tenaga agar ayah tidak mencelakaimu, namun gagal."
Rukya tersenyum sendu. "Tidak apa-apa. Pada akhirnya, kita semua baik-baik saja."
"Tapi tetap saja aku melanggar sumpahku kepadamu—"
"Sudah, jangan bahas itu," jawab Rukya mengajak tersenyum. "Allah Maha Pengampun. Tentu aku bisa memaafkanmu. Lagi pula, kamu sudah berusaha sekuat yang kamu bisa. Oh ya, malah aku heran, mengapa ayahmu bisa selunak itu untuk menurutimu?"
Arizan tersenyum malu. "Ayah tidak sejahat ibu. Dia masih memiliki sisi lembut. Ya, kau tahu sendiri 'kan, keturunan Bragjow yang sesungguhnya adalah mendiang ibu? Karena itu, dia tak sampai hati mengusirmu," tuturnya, "dan ayah masih percaya tentang cinta. Begitulah kisahnya menjadi penguasa Juleskandoi. Karena cinta. Ibu memperjuangkan beliau. Jadi, ayah tidak mencegahku saat aku memperjuangkan D—"
Arizan spontan menutup mulut. Secara tak sadar, dia berbicara tentang lelaki yang dicinta di depan mata. Semua orang tertegun sebentar, lalu D buru-buru tertawa ringan. Ia begitu manis, dan tidak merespons bagai pemuda angkuh.
"Masalah cinta, kita bicarakan nanti," balas D melirik wajah Arizan yang merona merah. "Aku malah ingin minta maaf kepadamu karena telah memutus silaturahim denganmu. Karena kamu memutus sumpah untuk melindungiku, aku pun demikian. Aku akan membuka kesempatan kedua, ketiga, bahkan keseratus untukmu. Bagaimana Arizan, mau mulai dari awal lagi?"
Arizan semakin salah tingkah, sedangkan Iswa dan Dai Ton menggoda dengan cekikin tak tahu malu. Ia buru-buru menghambur ke Arizan, lalu memeluk hangat. Kedua anak itu malah memerahkan wajah Arizan semakin padam.
"Sudah, jangan ganggu Kak Arizan, kasihan ... bisa-bisa pingsan nanti," bujuk Rukya menarik Iswa dan Dai Ton.
"Biarkan lah anak-anak itu mengejar kepolosan," balas D enteng. "Kalau mereka tak keras kepala seperti ini, kau mana mungkin kembali kepada kami."
Rukya menunduk malu. "Aku ... seharusnya minta maaf karena itu. Aku benar-benar menyesal karena menyembunyikan ini dari kalian. Tapi Demi Allah, aku berniat mengatakannya setelah lomba—"
"Tidak perlu dijelaskan. Kami tahu kau tidak akan melakukan hal sekejam itu," balas Tagor mencairkan suasana.
"Idih, bohong, padahal tadi yang paling uring-uringan itu kau," sahut Arizan ketus seraya mengernyitkan dahi.
"Ih, tidak lah—"
"Rukya, Iswa, Dai Ton!" Tiga orang wanita paruh baya menghambur kepada Rukya. Mereka bergegas memeluk ketiga nama yang barusan mereka panggil. Itu Rikesuri Ruhaji bersama Nyonya Ton dan Bu Kusir. Ternyata, dia sempat kembali setelah menyaksikan Rukya yang mengebut kesetanan.
"Tidak ada apa-apa, Bu," ucap Rukya menenangkan para ibu-ibu. "Beruntunglah Rukya bisa kembali ke Juleskandoi tepat waktu—"
"Tapi agak nekat," sahut Bu Kusir memecah tawa.
Semua mengeluarkan bahak. Rukya memandangi satu per satu wajah yang telah menemani di Juleskandoi selama dua bulan. Tidak mudah memang. Namun, muka orang-orang yang menyimpan iman di dalam dada amat menyejukkan hati. Kalimat alhamdulillah tak henti-henti ditasbihkan dalam hati.
"Kepada seluruh peserta lomba, dipersilakan untuk memasuki ruangan."
Pengumuman mengudara di antara gelak tawa. Iswa dan Dai Ton pun bersiap memasuki ruangan. Iswa di balai kelas, sedangkan Dai Ton di ruang utama. Rukya pun memberikan semangat kepada kedua murid.
"Kak Rukya, aku takut kalau kalah. Nanti, kita tidak bisa memperbaiki musala yang sudah hancur. Kalau begitu, di mana kita akan salat dan mengaji," ucap Iswa gemetaran.
Rukya pun berlutut menyamai tinggi Iswa. Dia mengelus kepala gadis kecil itu seraya mengguratkan senyum hangat.
"Tidak apa-apa. Kakak sudah bangga pada Iswa dan Dai Ton, apa pun hasilnya," ucapnya, "kita sudah mencapai titik ini saja sudah sangat hebat. Karena itu, menang atau kalah, kita sudah hebat bisa berdiri di sini, ok?"
Dan senyuman Rukya menular kepada Iswa dan Dai Ton, termasuk ke orang-orang di sekitar.
Karena aku pun tak menyangka bisa sampai di titik ini juga. Terima kasih, ya Allah. Hamba bersyukur bisa tinggal di Juleskandoi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro