Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[٢٠] Hari Ketika Rukya Harus Pergi

IBUNDA tidak akan datang hari ini.

Begitulah dugaan Rukya. Ia mengulangi perkataan Bu Kusir berkali-kali.

Hari ini, dua minggu genap berlalu, dan kalender sudah menunjuk sebuah angka merah: 1 Muharam. Pada detik ini, Rukya seharusnya sudah berkemas untuk pulang. Namun, semua tiba-tiba berjalan di luar kendali. Setidaknya, hanya butuh satu hari tambahan.

Rukya akan mengantarkan Iswa dan Dai Ton ke kota seberang. Hingga pengumuman sudah keluar, dan seharusnya menyabet pemenang, gadis yang akan pergi itu bakal menyingkap semua rahasia. Dengan cara tersebut, Rukya akan diantarkan oleh derai air mata haru, bukannya penyesalan.

Syukurlah Bu Kusir mau membantu Rukya. Dia paham tentang maksud gadis ceria itu, sehingga ia meminta Bu Kusir untuk menunggu satu hari lagi—apalagi hari ini adalah tanggal merah. Rukya benar-benar berutang pada Bu Kusir, atau setidaknya, sudah impas sebab kejailan dua bulan lalu.

"Rukya, kamu sudah siap?" panggil Tagor berjalan dari timur seraya menggandeng Iswa dan Dai Ton.

Tagor mengejutkan Rukya yang duduk termangu di undakan musala. Dengan gamis putih panjang berbordir kembang tipis, ia akan menunjukkan persiapan mati-matian yang sudah disiapkan dua minggu tanpa henti. Gadis berkulit kuning langsat itu amat bersih. Badan wangi menguarkan kasturi. Pakaian berkilau seperti tak pernah berdebu.

"Iya, sudah siap," jawab Rukya berdiri, lalu mengusir wajah cemas.

Dia menelisik Tagor dan kedua murid. Mereka amat mengagumkan. Tagor mengenakan baju koko lengan pendek biru gelap dengan balutan celana jeans hitam. Rambut putih bergelombang sudah tanggal setelah dicukur botak. Bahkan, kini dia menutupi dengan sebuah peci hitam. Lalu tindik yang menaut di dagu, sudah hilang susah payah dilepas. Tagor telah banyak berubah.

Iswa mengenakan busana putih dengan aksen merah muda, begitu pula Dai Ton. Hanya saja, warna merah mendominasi di beberapa sudut, termasuk motif naga. Untuk mengalihkan mata kanan Iswa yang buta, kacamata dibubuhkan agar meminimalkan keanehan mata palsu. Bingkai merah muda tebal melingkari mata, senada dengan pakaian hari ini.

"Semua sudah siap lah! Kita tinggal menunggu Bu Kusir untuk mengantar ke desa seberang," ucap Tagor bersemangat.

Rukya spontan turut antusias. Ia melirik jam tangan merah muda di lengan kiri, dan terlihatlah jarum menunjukkan pukul tujuh kurang lima. Tidak perlu panik. Masih ada kesempatan hingga pukul sepuluh. Rukya tersenyum hangat untuk menenangkan Tagor yang berangsur panik.

"Tagor," panggil Rukya menghalau perhatian, "sebaiknya, kita pastikan Iswa dan Dai Ton sudah menyiapkan senjata untuk lomba nanti."

"Beres lah!" jawab Tagor berubah percaya diri seraya menjentikkan jari. Ia pun merogoh tas merah muda yang dipakai Iswa. "Aku sudah membawakan satu set buku menggambar, tinta akrilik, palet, gelas, dan kuas beraneka jenis—dari seukuran bulu hidung sampai cat tembok."

Rukya tertawa sejenak. Berhasillah rencana untuk menenangkan Tagor. Lelaki botak itu tak bisa membuat Rukya tertawa. Dia amat polos.

"Lalu Dai Ton," sambung Tagor memegang kedua pundak gadis berwajah oriental, "dia sudah menghafal seluruh juz 30 tanpa tersendat. Aku sudah memastikannya tadi."

Tidak perlu kaget, Dai Ton benar-benar hafal juz 30 dalam waktu dua minggu. Dia benar-benar anak yang diberkati. Rukya tersenyum bangga menyaksikan kelebihan para murid. Ia mengacungkan jempol, lalu mendoakan kedua bocah setinggi dada di depan.

"Kalian sudah berusaha sebaik mungkin! Tidak perlu tertekan. Nanti saat tampil, bawakan semua dengan lepas. Sekarang, kalian harus berganti bertawakal kepada Allah, ya?" tutur Rukya menenangkan. Dia tahu betul Iswa dan Dai Ton sedang gemetaran, apalagi ketika disentuh. Amat dingin. "Apa pun hasilnya, kalian sudah hebat mampu berada di titik sejauh ini! Jadi, tetap semangat! Buat ibu kalian bangga—"

Berhasillah bujukan Rukya. Iswa dan Dai Ton tiba-tiba tersenyum lebar. Namun, baru saja dibicarakan, Nyonya Ton yang gempal mendekat dari timur. D menemani di samping. Keduanya membawa nampan berisi jajanan apel dan botol lima ratus liter berisi jus.

"Maaf, ibu baru selesai menyiapkan ini untuk kalian. Karena itu, ibu baru bisa menyusul," ujar Nyonya Ton.

"Dan aku ingin mengantarkan kepergian kontingen Juleskandoi sebelum berperang!" sambung D memantik gelak tawa sebab diksi yang dipilih.

"Ada-ada saja kamu ini, D," sahut Rukya mengusap air mata tersedak tawa, "kamu membuat Juleskandoi semakin enak saja—"

"MAU KE MANA KALIAN!?" Suara teriakan pria bersuara berat menggelegar dari gerbang desa.

Derum motor bersahutan mengiringi. Semua orang sontak melongok untuk memastikan. Raut khawatir menghinggapi wajah orang-orang di depan musala, terutama Rukya. Dari suara serak nan dalam, sosok yang jelas mendekat dari bibit desa itu adalah sang pemilik desa, Bronto Bragjow.

Ketenangan yang dicurahkan selama sepuluh hari sontak terlupa. Rukya menduga hal yang tidak-tidak dengan kedatangan pria berjas hitam itu tergesa-gesa. Dia mengendarai motor Yamaha XXR berlapis jok coklat muda dan bodi hitam licin. Derum knalpot memekakkan telinga, dan menambah horor seringai sang penunggang.

Bronto Bragjow pun menghentikan motor di depan musala. Ia menghadang Rukya seraya menyeringai sombong. Di belakang, derum kendaraan bersusulan. Lima preman berbadan tegap mengiringi sebuah mobil Mitsubishi Pajero putih.

Rukya terbelalak lebar, mengalahkan keheranan orang-orang di sekitar. Mobil putih itu tidak asing baginya. Ia benar-benar ingin kabur, namun Bronto Bragjow menghalangi. Tamatlah riwayat Rukya.

Hingga mobil putih itu berhenti di depan musala, terbukalah pintu, lalu seorang wanita berbusana serba putih menjejak keluar. Ia menguarkan aroma kasturi, sama seperti Rukya. Kacamata tipis dan dompet kecil di tangan kanan menghiasi keanggunan wanita tersebut.

"Ternyata benar kata Bronto Bragjow," kata sang wanita berkerudung menjuntai, "ayo kita pulang, Rukya."

Wanita itu Rikesuri Ruhaji.

"Ibunda? T-tidak," jawab Rukya terbata-bata seraya memundurkan langkah.

"Tunggu, siapa dia!? Mengapa dia mengajakmu pulang!?" sahut Tagor menengahi Rukya dan sang ibunda.

Nyonya Ton sontak menunduk hormat sekaligus menyalami. Sementara dari dalam musala, Bu Kusir yang keluar dari kamar mandi terperangah. Ia tak menyangka menyaksikan Rikesuri Ruhaji hari ini, bukannya besok. Wanita berkerudung bergo coklat itu melirik Rukya seraya menggeleng pelan. Mulut berucap lirih meminta maaf.

Ketika menyaksikan respons Nyonya Ton dan Bu Kusir yang melongo respek, Tagor membelalak. Ia mengingat perkataan yang pernah diucapkan Rukya, dia adalah putri pendakwah kondang. Mulailah Tagor mampu menarik benang merah.

"Dia ... Rikesuri Ruhaji ... ibumu?" tanya Tagor tak percaya.

"Iya, beliau ibuku," jawab Rukya lirih.

"Lantas, kenapa kamu harus pulang!? Bukannya kita sudah berencana untuk lomba MTQ hari ini—"

"Yare yare! Sepertinya Rukya belum menceritakan semua hal pada kalian," putus Bronto Bragjow menangkan Tagor. Ia masih memasang wajah angkuh. "Aku kira, karena kalian sudah akrab sekali, kalian sudah terbuka satu sama lain."

Tagor terperanjat, begitu pula D, Nyonya Ton, Iswa, dan Dai Ton. "Apa yang Rukya sembunyikan dari kami?"

Bronto Bragjow membelalakkan mata, pura-pura terkejut. "Jadi, kalian belum tahu, ya?" pancingnya, "Rukya mengabdi di Desa Juleskandoi hanya untuk menyelesaikan hukuman dari Nyonya Rikesuri Ruhaji, dan batasnya adalah hari ini, 1 Muharam."

"Dan masyaAllah hasilnya! Saya sangat kagum melihat hasil usaha putriku," lanjut Rikesuri Ruhaji memandang lekat-lekat kaligrafi musala Dhiaulhaq. "Juleskandoi punya musala, bahkan memiliki tempat belajar Al-Quran hingga berisi lima puluh murid. Bahkan, seorang Bronto Bragjow rela mendatangiku untuk menyampaikan kabar gembira ini."

"Rukya sudah mengubah hati semua orang, termasuk saya," bujuk Bronto Bragjow membungkuk hormat sembari menyunggingkan senyum ramah.

Hati sang ibunda berbunga-bunga, namun tidak dengan Tagor dan orang-orang yang sudah dibohongi. Lelaki botak itu bergegas memasuki musala sembari menggandeng tangan Iswa dan Dai Ton.

"Tagor, aku bisa menemani lomba hari ini!" cegah Rukya, namun Tagor tak menggubris. Ia melongos bersama kedua murid dan Nyonya Ton.

Lalu D, dia hanya bergeming seraya menyorotkan tatapan kecewa. Dia tak sanggup marah. Namun, Rukya telah menyakiti hati untuk kedua kali. Rukya berusaha menjelaskan semua hal kepada D, tetapi Tagor buru-buru menarik D.

"Buat apa kita mempercayai penipu, D!"

"Tidak, tunggu ...." Rukya tak mampu berbuat banyak. Dia sendirian. Hanya ada sang ibunda, Bronto Bragjow, Arizan, dan kelima preman di depan musala. Ia hendak menangis, namun enggan jika di depan sang ibunda.

"Tidak perlu sedih, Rukya," hibur Bronto Bragjow, "abaikan saja mereka. Orang-orang itu hanya kaget setelah mengetahui kebenaran. Kau tinggalkan saja mereka. Nanti, setelah baikkan, kau ke sini lagi."

Rukya bergeming. Ia tak mau menghiraukan nasihat sok baik Bronto Bragjow. Beruntunglah sang ibunda langsung merangkul bahu. Ia menenangkan sang putri, lalu memuji.

"Kamu sudah bekerja amat keras, Rukya," katanya lembut, "sekarang, kamu harus menerima hadiahnya, sesuai janji ibunda. Jadi, mari kita pulang, Rukya."

Rukya mengangguk pelan. Ia menaiki mobil dituntun oleh sang ibunda. Bronto Bragjow menunggu di balik pintu bersama Arizan. Namun, ketika pintu hendak ditutup, Arizan berbisik menyesal.

"Maafkan aku ..., Rukya." Dan terbongkarlah alasan kegundahan Arizan.

Namun, semua sudah terlambat. Rukya hanya mampu mengasihani diri sendiri. Mobil pun mulai menderum, lalu Rukya akan meninggalkan Juleskandoi. Tidak ada gunanya marah sekarang.

Hingga mobil benar-benar berjalan pergi, Bronto Bragjow memanggil para bawahan. Senyum sok ramah sontak berubah menjadi kerut merah padam. Kelima preman tiba-tiba mengambil pentungan sepanjang lengan dan batu-batuan segenggam tangan pria dewasa.

"Mari kita akhiri drama menjijikkan orang-orang sok suci dari Juleskandoi!" perintah Bronto Bragjow bernada gusar.

Ia sontak melemparkan batu besar ke kaca musala. Para bawahan mengikuti. Orang-orang yang ada di dalam berteriak panik. Tagor bergegas keluar bersama D untuk menghadang, namun keduanya dipukuli hingga babak belur.

Nyonya Ton dan Bu Kusir berteriak histeris, begitu pula Iswa dan Dai Ton. Kedua gadis itu menangis sesenggukan menyaksikan tempat mengaji dihancurkan membabi buta. Bahkan, kedua lelaki yang sudah mengajarinya dipukuli tanpa ampun. Semua orang dibalut kekisruhan dan putus asa. Tak ada yang menyangka 1 Muharam malah menimbulkan malapetaka. Arizan sendiri hanya mampu menyembunyikan diri untuk memendam rasa bersalah.

Kesal menangis ditenggelamkan putus asa, Dai Ton menghambur dari pelukan Nyonya Ton. Ia pergi dari pintu belakang, lalu Iswa mengikuti. Nyonya Ton berteriak histeris, tetapi tak digubris. Dia juga tak bisa mengejar sang anak asuh sebab lemparan batu beterbangan merusak bangunan.

"KAK RUKYAAA!" Dai Ton berteriak seraya berlari menderaikan air mata. Ia mengejar mobil putih yang melaju semakin cepat, terus meninggalkan pintu Juleskandoi.

"KEMBALILAH, KAK RUKYAAA!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro