Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[١٨] Musala di Tengah Prasangka

UNTUK APA Bronto Bragjow membantu kami?"

Rukya berjalan mengiringi D. Dia bertanya heran bercampur lega. Namun, D tak segera terpancing, sebab dia bukan orang bodoh. Ia mengerutkan dahi seraya memfokuskan langkah. Pemuda berkulit sawo matang itu sedang memanggul dua keranjang apel, di depan dan di belakang.

Matahari yang mulai menyorotkan sinar jingga membuncahkan kekalutan di dada Rukya. Tadi siang, gadis ceria itu tak bisa pulang ke rumah. Ia curiga—juga takut—dengan interferensi Bronto Bragjow ke ranah agama. Dia pun menumpang setengah hari di rumah D hingga sore menjelang.

"Boleh aku ikut ke musala yang kamu bicarakan?" tanya D polos. Kaki mulai menginjak paving kelabu Juleskandoi.

"Boleh, tapi ...." Rukya mengulum bibir," aku takut pria itu masih di sana."

Sebenarnya, sejak pagi, Rukya tak mampu menemani Tagor selama renovasi. Dia hanya ditemani Iswa dan Dai Ton yang terus ketakutan sejak kedatangan Bronto Bragjow. Beruntunglah pria yakuza itu tak cari masalah. Dia berlagak ramah, lalu memerintahkan para bawahan untuk membantu Tagor. Tidak banyak, hanya lima orang.

"Tidak apa-apa, aku ingin sekalian salat berjamaah di sana," tutur D menurunkan keranjang apel di depan rumah Nyonya Ton.

Rukya bergeming. Dia tak segera memberikan jawaban. Jelas, gadis yang biasa banyak bicara itu banyak bungkam sebab memikirkan banyak hal tentang Bronto Bragjow, termasuk rencana kotor yang nekat ia lakukan.

"Menurutku, Bronto Bragjow tidak memiliki niatan buruk untuk membunuh siapa pun," ucap D tiba-tiba mengagetkan Rukya. Dia mencoba memberikan sudut pandang yang lebih positif. "Kalau diingat-ingat, bisa saja, berkat Arizan—putri semata wayang yang kamu ajak bicara, pria itu berhasil dikelabui. Dan ya, aku tiba-tiba ingin berbicara dengannya. Meski ini terkesan melanggar perintah ibunda, tetapi aku—bahkan kita—berutang nyawa kepadanya."

Rukya tersenyum kecil. Ia menyorotkan tatapan lega setelah mendengar ucapan D. Tak ada yang salah dengan kemungkinan tersebut. Pemikiran buruk malah akan merugikan diri. Rukyat tak bisa lari begitu saja. Lagi pula, dia harus mengajar Al-Quran sore ini. Jadi, mau tidak mau, gadis pengajar itu harus kembali ke musala.

"Bisa saja kamu menggunakan otak cerdas, D," balas Rukya tertawa, lalu D mengikuti, "nanti kamu yang menjadi imam, ya."

D terbelalak. "Tidak! Aku belum pernah menjadi imam—"

"Tidak perlu takut," hibur Rukya memulai langkah menuju musala, "salat asar tidak perlu mengeraskan suara. Lagi pula, kamu itu laki-laki. Seharusnya, bisa menjadi imam. Makanya, kamu harus belajar sejak sekarang, dan nanti adalah waktu yang tepat."

D tersenyum kecut. "Baiklah, akan aku coba ...." Dia mengiakan ragu.

Keduanya pun berjalan seraya tertawa bersama. Setidaknya, tidak ada yang perlu ditakutkan sekarang. Namun, tidak bagi Rukya untuk dua minggu ke depan.

***

MUSALA DHIAULHAQ.

Tulisan kaligrafi emas terpatri pada sebuah papan sepanjang satu depa. Ketika Rukya memicingkan mata, ia menyadari kaligrafi tersebut bukanlah lukisan. Itu pahatan. Warna emas berpadu hitam sebagai latar belakang memewahkan karya. Rukya terperangah. Satu-satunya sosok yang mampu memikirkan hal seindah ini adalah—

"Rukya!" panggil Tagor keluar dari musala seraya merekahkan senyum lebar. Namun, perlahan guratan cekung ke atas itu memudar ketika ia menyaksikan sosok lelaki di samping Rukya. "Kamu harus melihat ini! Aku sudah memikirkan konsep semalaman. Kamu pasti menyukainya!" Tagor menghentikan penjelasan, lalu menelisik sekujur tubuh D sinis. "Dan ... siapa dia?"

"Oh, benar. Aku belum memperkenalkan D kepadamu!" ucap Rukya riang seraya mengedarkan pandangan pada kedua lelaki yang mengapitnya. "Tagor, ini D. Dia adalah orang yang membantuku di Juleskandoi selama dua minggu terakhir. Dan juga, dia adalah juniorku. Kami satu almamater."

"Salam kenal, Bang Tagor," sambut D mengulurkan tangan. Ia menyunggingkan senyum, dan mengalihkan sikap dingin yang lalu. "Panggil saya, D, Di."

"D?" balas Tagor mengangkat sebelas alis seraya menyambut uluran tangan D. "Nama asli?"

"Bukan, Bang, tapi ... panggil saja itu," bujuk D menggaruk rambut cepak, "biar akrab juga."

Tagor mangut-mangut. Dia percaya dengan perangai D. Pemuda berkulit sawo matang itu tidak seperti lelaki nakal yang gemar menggoda gadis. Dalam sekejap, Tagor berbesar hati, lalu percaya bahwa Rukya dan D hanya sebatas teman. Sedetik kemudian, lelaki jangkung tersebut menyunggingkan senyum, lalu mempersilakan masuk—

"Akhirnya kalian datang juga!" Seorang pria berjas rapi tiba-tiba keluar dari musala.

Itu Bronto Bragjow. Dia menyeringai ramah. Namun, Rukya dan D terperanjat sejenak, lalu saling menatap. Di benak, mereka berpikir, apakah benar dia sang ketua preman? Beruntunglah Arizan buru-buru menampakkan diri setelah sang ayah keluar. Setidaknya, dia membuat kekhawatiran Rukya dan D reda.

"Kami sudah menunggu kalian!" sambut Bronto Bragjow riang, "sini! Lihat musala yang nyaman ini!"

Rukya masuk terlebih dulu, sedangkan semua orang mengekor di belakang. Rasa waswas membuncah, takut ekspektasi terlalu tinggi.

"Assalamu'alaykum—"

Rukya terperangah. Benarlah bayangan gadis pengajar itu. Musala jauh lebih bagus daripada sekadar ruang untuk salat. Karpet hijau-merah-hitam bergambar masjid menyelimuti lantai bersaf. Dinding kayu dibalut wallpaper putih dengan sulur-sulur timbul. Tak lupa, langit-langit dicat putih dengan lampu LED bersinar terang.

"MasyaAllah!" Rukya menutup mulut tak percaya, bahkan sampai berkaca-kaca. "Indah sekali!"

Ruang tengah tempat tinggal Rukya tak ada apa-apanya. Musala dua kali lebih besar. Sekat kayu yang membatasi kamar tidur sudah dibongkar, dan menyisakan ruang belakang untuk berwudu dan toilet.

Baru saja Rukya terperangah, D juga ikut-ikut menitikkan air mata. Ia tak menyangka bisa menginjakkan kaki di musala, padahal masih berada di Juleskandoi. Sulit dipercaya. Namun, sejak saat itu, dia tersenyum bangga kepada Rukya. D tak salah mempercayainya.

"Bagaimana, kamu suka?" tanya Tagor percaya diri.

Rukya mengangguk. "Suka!" jawabnya, "terima kasih—"

"Belum selesai lah!" putus Tagor tiba-tiba, "aku juga masih ingin membantu. Aku mau mengajar di sini. Mengajar menulis Al-Quran, atau membuat kaligrafi, bahkan membantu menerjemahkan Dai Ton, aku bisa!"

Rukya berbinar-binar. Ini adalah kabar bagus. Lima puluh murid dengan dua orang pengajar akan lebih ringan. Sekarang, tinggal mengajarkan salat. D, Tagor, Nyonya Ton, dan Bu Kusir sebenarnya cukup untuk dijadikan jemaah, namun jika sudah didirikan musala, satu kampung tentu bisa diajak melaksanakan salat.

Buru-burulah Rukya menghadap Bronto Bragjow, lalu dia membungkuk. "Terima kasih, Pak, karena sudah membantu kami."

D dan Tagor terkejut ketika menyaksikan Rukya rela berterima kasih kepada ketua preman. Namun, bagaimanapun juga, pria yakuza itu telah menolong, dan sepatutnya menerima ucapan.

"Tidak apa-apa, kami melakukannya dengan senang hati," jawab Bronto Bragjow menyunggingkan senyum tajam. Ia menatap sang putri yang menunduk sungkan. "Sudah, tidak perlu dilebih-lebihkan. Lebih baik, kamu segera bersiap-siap sebelum murid-murid datang."

Bronto Bragjow pun bergegas pergi ke teras seraya menggiring kelima preman yang sedari tadi menunggu. Dia memberikan masing-masing sebuntung rokok, lalu mengisap lega. Ia memberikan isyarat kepada Rukya untuk tidak menghiraukan.

Setelah sang ayah pergi, Arizan pamit. Namun, ia tak seberani terakhir kali bertemu.

"Arizan," panggil Rukya menghentikan langkah gadis bertopi bisbol itu, "terima kasih atas bantuannya."

Arizan membelalak sejenak, lalu memalingkan wajah. "Tidak, tidak perlu berterima kasih," balasnya, "benar kata ayah, tidak usah hiraukan kami. Aku dan ayah hanya ingin menemani kelima bawahan kami untuk bertemu putra-putri mereka."

"Lima serangkai ... dua cowok dan tiga cewek?" tanya Rukya memastikan, berusaha mencairkan keadaan.

Arizan hanya mengangguk membelakangi. "Baiklah, aku pergi dulu."

Arizan pergi, tetapi meninggalkan rasa ganjil di hati. Rukya tak enak. Dia takut ada kesalahan yang tak sadar ia perbuat. Namun, belum sempat berpikir terlalu lama, Tagor tiba-tiba memanggil.

"Rukya, ayo cepatlah ambil wudu!" seru Tagor. Wajah, rambut, tangan, dan kaki sudah dibasahi air wudu, begitu pula D. "Ayo kita salat asar sebelum anak-anak datang."

"Iya, aku akan wudu dulu," jawab Rukya buru-buru ke ruang belakang. Seraya menderapkan langkah ringan, dia berusaha menghilangkan kebimbangan.

Tidak apa-apa, Rukya. Arizan mungkin hanya sedang kelelahan. Bukan berarti kamu akan pergi dua minggu lagi, akan memperburuk persepsi orang-orang di sekitar. Kamu hanya tinggal minta maaf, lalu sedikit menambah 'bumbu alasan', maka semua akan baik-baik saja.

InsyaAllah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro