[١٦] Sebuah Utang dan Sebuah Ujian
RUHAJI?"
Di ruang tengah bergaya Jepang, Bronto Bragjow menggetarkan seluruh bulu kudu hanya dengan satu kata. Pria berjas hitam itu menghadap sekumpulan pria. Kali ini bukan lima. Ratusan! Seisi dojo dipenuhi dengan sosok tegar nan gahar yang bersimpuh kepada sang ketua. Sementara di samping, sama-sama di atas panggung, Arizan Bragjow bersimpuh menemani sang ayah untuk berpidato, atau lebih tepatnya, ia sedang dipojokkan.
Ketika matahari berangsur tenggelam, Bronto Bragjow mengumpulkan para penduduk. Inilah kegiatan yang menggantikan rutinitas, sampai Tagor harus pulang tanpa diupah. Sang pemimpin desa akan menyingkirkan hama yang tersisa.
"Jadi ..., nama gadis itu Rukya Ruhaji?" tanya Bronto kepada sang putri.
Arizan menunduk seraya membuang muka. Ia tak menyangka sang ayah tidak bisa diperdayai. Tentang janji yang sudah diikrarkan, remaja gesit itu tak mau harus melanggar.
"Aku tidak tahu apa yang Ayah katakan—"
"Sayang, jangan membuat Ayah kasar kepadamu," ancam Bronto Bragjow bersuara lembut, tetapi menyimpan amarah.
Arizan tak mampu berkutik. Hanya ada satu pilihan: menyingkap semua rahasia tentang Rukya. Dan dia akan disebut sebagai pengkhianat. Masalah sebenarnya lebih besar, yaitu kepercayaan D, bahkan nyawa orang yang dicintai. Arizan ingin bungkam, dan terus memainkan ujung jaket levis yang terbuka.
"Ayah, mengapa tiba-tiba menanyakan dia kepadaku?" tanya Arizan berkilah. "Aku bahkan bukan teman gadis menjengkelkan itu."
"Oh." Bronto Bragjow mangut-mangut seraya menyipitkan mata.
Ia beralih mengedarkan pandangan ke seluruh bawahan. Dari pandangan Arizan, tato naga hitam-merah menyembul dari leher dan alis tersilet menekan atmosfer. Bibir sang ayah mengerut. Ia tak langsung murka, tetapi jelas sebentar lagi meledak.
"Sayang, aku penasaran," ucap Bronto Bragjow masih menghadap para preman, "kamu bilang, gadis bernama Rukya Ruhaji bukan temanmu. Namun, mengapa kamu melarang ayah mengapa-apakan dia? Ada apa?"
Arizan sontak tertegun. Pupil mengecil, lalu keringat dingin mengucur.
"Tidak, Ayah! Aku punya utang kepada wanita itu!" Bermain kata akan lebih baik daripada berbohong. "Aku telah mencuri sebuah tas mahal darinya. Aku tidak mau nasibku malang sebab dia berani macam-macam—"
"Kalau begitu, kita bunuh saja dia," usul Bronto Bragjow kejam.
Arizan tercekat. "Jangan!!!"
"Sayang, jadi, pasti ada alasan lain kamu melindungi gadis Ruhaji itu." Bronto Bragjow kembali mengancam. "Apa karena ada alasan lain, seperti lelaki bernama D—"
"TIDAK!" teriak Arizan tiba-tiba. Ia tak mampu mengendalikan diri. "Jangan apa-apakan D!"
"Oh, jadi benar dugaanku," Bronto Bragjow tersedak tawa, "kamu telah dimanfaatkan oleh gadis Ruhaji itu dengan ancaman lelaki yang kamu sukai." Yare yare. Rukya Ruhaji, kau diam-diam amat licik, Sayang.
Bronto Bragjow menyeringai kejam. Dia enggan membuka mulut. Rencana busuk tentang Rukya Ruhaji—keluarga yang selalu mengganggu—sudah terendus oleh Arizan. Remaja separuh Jepang itu tahu, sang ayah tidak akan menggubris. Namun, ia tak tinggal diam.
"Jangan bunuh siapa pun!" cegah Arizan tiba-tiba.
Bronto Bragjow mengangkat sebelah alis. "Bunuh? Oh iya!" Dia tertawa sendiri, lalu para preman mengikuti. "Memangnya, kenapa tidak boleh—"
"Dia akan pergi dari Juleskandoi setelah dua minggu!" sahut Arizan cepat. "Dia hanya diutus untuk mengajarkan Al-Quran dan mendirikan salat. Setelah itu, dia akan pergi dari sini ... untuk selama-lamanya." Rukya, maafkan aku.
"Hmm?!" Bronto Bragjow mangut-mangut. Ia mencerna informasi dan permintaan dari putri semata wayang. "Tidak boleh membunuh siapa pun, ya? Juga dia hanya berperan sebagai orang sok suci di sini?! Hahaha! Tenang, Sayang! Ini semua perihal mudah! Bahkan, ayah punya hukuman yang lebih pantas untuk orang licik seperti Rukya Ruhaji.
"Dan itu amat buruk amat hina jika dibandingkan kematian."
***
"D ...."
Rukya berlutut di hadapan pemuda yang termenung. Dia tak lagi memanggil D dengan nama asli. Gadis yang sudah melembut itu menundukkan kepala—tak kuasa menatap pemuda yang sudah disakiti.
Di bawah pohon yang banyak dikerumuni buah, D terduduk seraya menekuk lutut. Sepasang tangan kokoh melingkari. Dengan kaos hitam dan jeans krem yang dibasahi keringat, ia termenung setelah menyingkap semua rahasia kepada Rukya.
Gadis yang telah mendapat kepercayaan itu mengiba. Ia dihujani rasa bersalah, terutama tuduhan pedih yang sudah dilontarkan. D telah terluka amat dalam dan begitu lama. Namun, ia masih sempat memberikan maaf kepada Rukya.
"Ujian berbeda dengan azab, D," tutur Rukya lembut. Setelah mendengar akhir cerita dari D, termasuk kebencian dengan nama asli, apalagi setelah kematian sang ayah, Rukya ingin meluruskan. "Hanya orang-orang yang berdosa yang menerima azab, dan kamu berbeda."
Angin sepoi-sepoi dari utara meniup apel-apel hijau yang menggelantung. Sinar mentari semakin pudar, dan warna biru gelap berangsur menguasai angkasa. D bungkam setelah mengakhiri cerita. Tatapan kosong menyorot dari mata lebar. Rukya pun hanya bisa menghibur.
"Sesungguhnya, manusia adalah tempat salah dan lupa. Dan tak ada musibah yang tidak menggugurkan dosa hamba-hamba-Nya," sambung Rukya lembut. "Ayahmu, suami dan anak Bu Kusir serta Nyonya Ton, mereka meninggal dunia dengan ampunan. Sementara orang-orang berdosa yang tewas, termasuk Nyonya Bragjow, Allah lebih berhak atas nasib mereka. Jika Allah menghendaki ampunan, sungguhlah beruntung. Namun, jika sebaliknya, maka sesungguhnya mereka adalah sebenar-benarnya orang yang merugi.
"Dan, D," Rukya masih belum mau memutus nasihat. Masih ada hal penting yang harus disampaikan. "Allah memberikan rezeki sesuai kadar. Ada senang dan susah. Dan berbuatlah qanaah—terimalah takdir tersebut, lalu bersyukur. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang sabar serta bersyukur."
Rukya menemani keheningan D. Ada air mata bersarang di ujung pelupuk pemuda berkepala dua itu. Dia menghela napas panjang, lalu menengadahkan muka. Ia mengusap netra, lalu tersenyum manis. Dia menggeleng sendiri, seakan malu kepada diri sendiri.
"Astaghfirullah," ucap D lirih, "betapa bodoh aku tidak sampai memikirkan ini. Dyatuyya, benarlah penglihatanku bercahaya. Namun, tak semua kebenaran berasal dari mata. Aku seharusnya lebih menggunakan hati."
D memegang dada dengan tangan kiri, sedangkan tangan satunya menyeka mata. Rukya tersenyum sendu. Ia senang bisa menyaksikan D berhenti menyalahkan takdir. Lebih banyak hal indah dalam hidup untuk disyukuri. Begitu pula Rukya, kisah di Juleskandoi amat berharga tak seperti yang ia kira.
"Dan sesungguhnya, bersama kesulitan, ada kemudahan," sambung Rukya beranjak. Ia membersihkan bagian belakang rok, lalu mengajak D untuk meneruskan perjalanan. "Ayo, D. Masih banyak kemudahan yang bisa kita berikan. Salah satunya apel-apel ini."
D tersenyum, lalu berdiri di samping Rukya. Ia buru-buru mengangkat keranjang apel. Meski belum mendapat maaf, Rukya lega setidaknya tak ada pertengkaran yang memuakkan—
"Maafkan aku, Kak Rukya," ucap D tiba-tiba. Ia membuat Rukya tertegun. "Aku juga telah membuatmu repot, banyak sekali. Dan terima kasih mau memperbaikiku."
Rukya terenyuh. Memperbaiki? Dia tak pernah menduga mendapat ucapan terima kasih semacam itu. Apakah aku berhasil melaksanakan tantangan ibunda? Ini artinya .... Pemikiran Rukya putus ketika menyaksikan senyum manis D.
"Terima kasih, D," balas Rukya membalaskan senyum yang sama hangat. Mengapa ada rasa berat mengganjal ketika mengingat kepulanganku. Seharusnya, aku bahagia—
"Ayo, kita bergegas ke rumah Nyonya Ton," ucap D melangkah, "sebelum magrib agar kita bisa salat dan kita bisa membersihkan diri, terutama kamu agar pulang dengan selamat."
"Hahaha!" Rukya tertawa, "apalagi kamu, segera mandi! Badanmu pasti lengket sekali diguyur keringat."
Bahak memutus retak perselisihan. Rukya dan D berjalan beriringan menuntaskan tugas. Siapa yang harus lega sebenarnya, padahal mereka terlampau cepat mengira.
Masih ada masalah yang belum selesai.
Setelah mengantarkan sekeranjang apel ke rumah Nyonya Ton, D menyuruh Rukya untuk segera pulang. Semburat oranye benar-benar setipis kain kelambu putih rumah yang berdiri di depan. Hingga sampailah Rukya di teras Bu Kusir, dia dihentikan oleh wanita paruh baya tersebut.
"Ih, ada yang lagi senang!" goda Bu Kusir menyunggingkan senyum seraya menutup daun jendela, "tadi habis lari-lari, sekarang kembali santai. Malah wajahnya secerah gantungan kunci di atap delman."
"Assalamu'alaykum." Rukya malah memberikan salam lembut. Ia membalas godaan Bu Kusir dengan cara yang benar.
"Wa-wa'alaykumussalam," balas Bu Kusir gelagapan. Dia lupa ajaran mengucap salam. "Iya, iya, tidak perlu menyinggungku, ih! Aku tidak pernah punya niat untuk mengganggumu."
Rukya melongo. "Tidak, kok, Bu," jawabnya, "aku tadi memang sedang senang, lebih tepatnya lega. Semua urusan sudah diselesaikan. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, tentang salam barusan, memang saya—agak—menyinggung Bu Kusir, sih."
Bu Kusir mencucuh. Ia tidak suka respons Rukya yang jujur dan tenang. Sebenarnya, tidaklah menjadi masalah kalau dia berubah, tetapi ada sesuatu yang kurang jika tidak mendengar celoteh berlebihan dari gadis sok pintar itu. Namun, Bu Kusir sontak teringat. Ia pun buru-buru memasang terban coklat muda ke kepala, lalu mendatangi Rukya.
"Hei, kamu sudah punya banyak murid mengaji, ya?" tanya Bu Kusir memastikan. Jelas, ia lupa nama Rukya karena sedari tadi memanggil kamu.
Rukya mengangguk. "Iya, Bu, dan jumlahnya kurang lebih lima puluh."
Bu Kusir mangut-mangut seraya menyilangkan tangan di dada. "Berarti, kamu akan pulang sebentar lagi, ih?"
Rona bahagia sontak menghilang dari raut muka. Rukya terperanjat, lalu menggaruk kepala. Pikiran pulang sempat membersit di benak, tetapi tak ia besarkan. Rukya ragu apakah ia harus senang atas kepulangannya.
"Tidak juga, Bu Kusir," jawab Rukya mengguratkan senyum palsu, "masih ada dua minggu lagi, insyaAllah."
"Oh, begitu." Bu Kusir menyangga dagu, seperti sedang menyimak. "Memangnya, perjanjian kamu dan Nyonya Rikesuri hanya mengajar mengaji, ya?"
Rukya mengangguk. "Iya—"
"Yakin?" sahut Bu Kusir tiba-tiba. Ia mengangkat sebelah alis.
Rukya mengernyitkan dahi. Ketika dia menyaksikan wajah Bu Kusir membentuk raut menyeramkan, ada hal buruk yang menimpaku. Wanita berdaster coklat itu tak bosan-bosan berbuat keusilan.
"Tapi seingatku, Nyonya Rikesuri berkata seperti ini." Bu Kusir berlagak batuk untuk memulai pembicaraan serius. "Biar aku ulang, dirikanlah salat dan ajarkanlah Al-Quran pada penduduk Juleskandoi."
Bagai tersambar petir, Rukya terperanjat. Mata membelalak dan pupil melebar. Ia tersentak sedetik, lalu menutup mulut.
"Astaghirullah!" ucap Rukya kaget, "Bu Kusir benar juga! Aku harus mengajarkan salat pada penduduk Juleskandoi!" Lalu Rukya mencium tangan wanita paruh baya di depan. "Terima kasih telah mengingatkan saya."
Rukya pun berlari ke rumah. Ia melongos meninggalkan Bu Kusir yang melongo sendirian. Lagi-lagi, wanita pengendara delman itu dibuat terkejut dengan sikap Rukya yang mendadak berubah—ke arah positif tentu.
Anak itu, mengapa sudi mencium tanganku?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro