Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[١٢] Rahasia di Balik Kebun Apel

PURNAMA masih menggantung di langit, agak tergelincir, tetapi ruang tengah keluarga Bragjow tetap benderang. Di aula yang dapat diisi seratus orang, berdirilah lima pria agak ragu. Badan kekar, tetapi bersarang lemak. Tato menghiasi lengan, dada, dan pinggang. Tak lupa bekas sayatan yang mengukir di wajah.

Mereka berdiri gemetar. Para algojo yang harus mengakhiri nyawa bocah pemilik kebun apel itu hanya mampu menunduk, bahkan menyerah pada takdir. Tentang nyawa dan masa depan, tak tahu apa yang akan terjadi. Padahal, Arizan sudah berjanji, sang papa menjadi urusan pribadi.

"Jadi, Arizan, papa ingin berbicara kepadamu," tutur sang sosok pemimpin.

Ibarat dojo, aula yang bercat putih itu amat kental dengan budaya Jepang. Di masing-masing tembok yang melawan pintu, sepuluh pigura terpampang garang. Pria yang berdiri di depan memiliki wajah yang sama dengan foto-foto tersebut. Kulit kuning langsat. Mata sipit dengan alis tercukur silet. Rambut cepak rutin disemir. Wajah serius berkeriput yang jarang tersenyum.

Bronto Bragjow, penerus kesebelas keluarga preman sejak zaman penjajahan Jepang, sekaligus penguasa Juleskandoi. Ia memimpin di pusat desa. Rumah bergaya tradisional jepang yang dikelilingi tembok beton setinggi dua meter adalah pusat pertahanan. Menara tinggi yang menjulang di timur menjadi menara pengintai, dan ia menemui musibah menyedihkan malam ini.

"Apa Papa akan menceritakan kisah membosankan itu?" sahut Arizan tak antusias. Ia duduk di samping sang papa, diawasi oleh kelima pria utusan, sekaligus saksi.

"Tidak, jangan katakan hal hina seperti itu, Sayang!" balas Bronto menyeringai sampai menarik keriput di wajah. "Papa kira, kamu harus diingatkan tentang asal mula keluarga Bragjow."

Arizan membuang pandangan sesaat seraya mendengus, lalu mengembalikannya kepada sang papa. Bronto pun terkekeh menyaksikan keberanian putri semata wayang.

"Hanyalah orang kuat yang mampu bertahan, dan begitulah keluarga Bragjow bertahan hingga sekarang," Bronto memulai kisah. "Dan segala rintangan harus disingkirkan demi mencapai tujuan itu—"

"Sampai Papa rela membunuh lelaki yang kucintai?" potong Arizan ketus.

"Hahahaha!" Sang papa malah menimpali dengan tawa kencang, "tahu apa kau tentang cinta, Sayang!? Umurmu baru lima belas tahun, dan kau belum bisa berdandan dengan benar!"

Lima pria yang menjadi saksi penolakan Arizan refleks menyembur tawa. Namun, mereka buru-buru memasang wajah gahar kembali ketika mendapat sorot tajam dari putri sang bos. Meski terhina, Arizan tak langsung membantah. Ia menarik napas panjang, dan memutuskan bersikap dewasa—sebisanya.

"Kau tahu, Sayang?" tanya Bronto menyalakan rokok yang terselip di saku. Kemeja putih dan jas hitam adalah pakaian andalan, layaknya yakuza. Dia menyedot sedikit asap, lalu menghela keras, "Tanyakan kepada kelima paman itu, tentang putra-putri mereka, bagaimana sikap mereka dua minggu belakang?"

Arizan mengernyitkan dahi. Dia bergegas mengedarkan padangan kepada pria-pria yang bersimpuh dengan urutan tinggi badan. Hingga sang bongsor berkata terlebih dulu, Arizan baru bisa melemaskan pandangan.

"Anakku tak lagi membantu mencopet," tutur si bongsor.

"Anakku juga," sahut pria di sebelah, "putriku juga enggan ikut kerja denganku lagi."

"Lantas apa hubungannya dengan D?" tanya Aizan meninggikan suara.

"Maaf atas kelancangan kami, Arizan," sahut pria yang duduk di tengah, "kami mendapati, semua kejadian itu bermula dari bocah pemilik kebun apel yang tiba-tiba menyuplai buah-buahan lagi."

"Bukannya tidak ada hubungan?" debat Arizan memainkan logika.

"Ada hubungannya, Arizan!" timpal pria di urutan keempat. Entah kenapa, mereka seperti sudah berjanji menjawab berurutan. "Anak-anak kami malah bersikap lunak. Mereka memijati kami, bahkan menyeduhkan kopi. Itu tidak biasa!"

"Jadi, masalahnya?" Arizan mengangkat alis, mulai bingung.

"Masalahnya ada di madrasah yang mereka hadiri tiap sore," Si bontot pun buka suara, "sejak kapan anak-anak kita mau mengaji?! Bahkan, kelima anak kami biasanya lebih memilih bermain di kala sore daripada belajar membaca Quran. Aneh."

Sontak, Arizan membelalakkan mata, lalu menyadari inti kekisruhan Juleskandoi bukanlah D. Dia hendak menyebutkan nama Rukya Ruhaji. Namun, mulut spontan mengatup ketika otak mengingat sumpah yang telah dibuat.

Nahas, Bronto tak bodoh untuk menyadari gelagat sang putri. Bukanlah penerus keluarga Bragjow jika mudah dibohongi. Ia menyeringai seraya bersiap melontarkan serangan balasan.

"Jadi, siapa pemain utamanya?" Pria paruh baya itu mengejutkan Arizan hanya dengan ucapan tipis.

"Tidak." Arizan menggeleng. Tapi aku tak mungkin sanggup mengelak jika papa sudah curiga. "Aku hanya berpikir hal lain."

"Apa itu?" Bronto memajukan badan lalu menyangga dagu. Ia antusias menyimak.

"Ini semua bukan salah D. Banyak oknum yang mungkin bisa terlibat, dan Papa harus mencari tahu." Rukya maafkan aku, tetapi D jauh lebih penting untukku. "D hanyalah korban."

Bronto tersenyum kecut. Ketika mendengar ada dalang tak terlihat, sang penguasa desa terpancing untuk menaklukkan orang tersebut.

"Jadi, kita habisi saja, Sayang—"

"Jangan!" Arizan tak mau masalah meluber, apalagi ia tahu Rukya akan pergi sebentar lagi. "Aku dengar ...."

Bronto mengangkat alis. Ia bersiap mendengar lanjutan dari sang putri, namun Arizan ragu-ragu.

"Aku dengar ... dia hanyalah seorang wanita," tutur Arizan mengakhiri kalimat, tetapi tak yakin ketika sang papa tiba-tiba menepuk paha untuk berdiri. "Tapi dia akan pergi sebentar lagi! Itu yang aku dengar belakangan ini. Jadi, jangan apa-apakan dia."

"Kenapa kau meminta hal sekonyol itu, Sayang?" Bronto menyipitkan mata sampai memejam. Ia heran bagaimana sang putri menemukan segudang informasi. "Bukannya sudah kubilang kekuatan adalah—"

"Iya, yang menentukan kemenangan." Arizan bergegas memutus. "Namun, gadis ini, aku tidak berteman dengannya, pun tanpa belas kasih. Hanya saja ... aku sempat mencuri darinya."

"Oh." Bronto merespons tak antusias seraya mengangguk. Ia bergegas berdiri, lalu menyuruh kelima ajudan bubar.

Pria berdarah Jepang itu tak mengucapkan sepatah kata. Arizan khawatir. Ia tahu sang papa selalu tak terduga, bahkan bengis. Sampai gadis berkulit kuning langsat itu langsung melepas topi, lalu menghadang Bronto.

"Ingatkah Papa bahwa dulu Mama yang mengejar Papa!?" hadang Arizan memasang muka yang selalu Bronto takuti.

"Mamamu sudah tiada setahun lalu—"

"Dan itu sama dengan papa D!" sambung Arizan menghubungkan, "kami berdua senasib, dan Papa enggan mengingat diri papa pada masa lalu seperti apa?!"

"Kau hanya membuat Papa emosi, Sayang!"

"Maafkan Arizan, Papa," ucap gadis berambut gelombang sehitam malam menurunkan suara. "Namun, Papa bukanlah keturunan Bragjow. Mamalah yang mengizinkan Papa untuk menempati kursi ini, sedangkan Papa hanya berpura-pura menyerupai nenek moyang."

"Ya, baiklah." Bronto langsung menjawab tanpa alasan, tanpa konteks. Ia tahu arah pembicaraan sang putri. "Aku tidak akan mengapa-apakan gadis itu, Sayang. Kesopananmu memang perlu dihargai."

"Terima kasih," Arizan buru-buru membungkuk, terus, hingga sang papa lenyap berjalan ke dalam lorong. Setidaknya, aku tidak perlu menyesal terlalu lama.

Maaf, Rukya Ruhaji.

***

Hachu!

Rukya sontak bersin seraya menderaikan lendir. Dia duduk lesehan di ruang tamu sederhana. Teh panas sepertinya akan meredakan luncuran ingus dan badan menggigil.

"Kamu bersin sedari tadi. Jelas, ada seseorang yang sedang membicarakanmu," tutur D mengaduk sepasang cangkir hangat di depan.

"Aku tidak percaya takhayul," balas Rukya datar, "di rumahmu, dingin sekali rupanya."

"Entah, ini kebun apel, kan?" D mengangkat bahu, "tidak ada siapa pun di sini. Jadi, memang udara semakin menusuk di sini. Dan ya, semoga kamu terbiasa menginap di sini. Aku sebenarnya merasa bersalah karena melibatkanmu sejauh ini."

Rukya tak langsung membalas. Keheningan mendadak meliputi dua sosok yang duduk termenung. Ruang tamu begitu gelap. D enggan menyalakan lampu. Setidaknya, ia menghindari para preman yang mengejar mendatangi pondok.

"Tidak perlu risau, mereka sudah pergi," hibur Rukya meletakkan kembali cangkir teh.

"Mengapa mereka bisa pergi?" tanya D memicingkan mata. "Apakah kamu melakukan sesuatu?"

Rukya menggaruk kepala. Ia enggan menjawab. Sepertinya, bersin barusan sebab Arizan menyebut nama gadis penyelamat D berkali-kali. Entah, dia menepati janji atau tidak. Setidaknya, keduanya bisa selamat malam ini.

"Sebelumnya, aku minta maaf kepadamu." Rukya memulai pembicaraan. Apa pun topiknya, ia melontarkan suara sendu.

"Maaf kenapa?" jawab Dou polos.

"Kalau dirunut, ini semua karena diriku, kan?" jelas Rukya mengalihkan perhatian pada pantulan di permukaan teh. "Aku sempat berpikiran yang tidak-tidak kepadamu."

"Hah?"

Salahlah aku karena menyalahkan D. Pemuda ini memang tak tahu apa-apa. "Tidak, aku sudah berdosa dengan menaruh iri kepadamu, D." Rukya menunduk meminta maaf.

"Iri kenapa?"

"Aku sempat berpikir, kamu mempengaruhi penduduk Juleskandoi untuk mengelu-elukanmu saja. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Aku saja yang gila hormat," tutur Rukya membiarkan D menatapnya heran. "Maksudku, aku tak terima. Aku pun bekerja keras untuk memperbaiki Julekandoi, tetapi hanya kamu yang mendapat pujian."

"Masa?" D mengekeh. Ia tak menyangka seorang Rukya—yang merupakan putri pendakwah kondang—masih dikuasai oleh hasad. Namun, pemuda garang itu tak mau meledek. Ia sudah diselamatkan malam ini. "Namun, lihatlah apa dampaknya. Aku tiba-tiba dikejar hendak dihabisi. Padahal, bukan aku saja 'kan yang ikut bertanggung jawab atas perubahan Juleskandoi."

"Eh, jadi, kamu ingin aku dikejar juga?!" Rukya tersinggung ketika D menggoda dengan memberikan pemisalan. Namun, dia benar juga. Lihatlah sisi baiknya. Aku tak perlu dikejar seperti buronan.

"Tapi terima kasih, Kak Rukya." D tiba-tiba menyambung perkataan, bukan dengan ucapan biasa. Dia membuat gadis di depan terbelalak. "Aku tahu, kamu sudah menolongku, kan?"

Rukya pun mengangguk lemah. Meski ia tak suka dipanggil kak, setidaknya tidak masalah untuk malam ini. Pasalnya, dia menyaksikan D dikejar sampai ketakutan menusuk ubun-ubun. Rukya enggan menyaksikan pemuda polos itu menderita.

"Dan kamu pun harus berterima kasih kepada Arizan," ucap Rukya jujur, "dia telah menolongmu, bahkan kalau dipikir-pikir, kita berdua."

"Arizan? Arizan!? Kamu meminta tolong kepadanya?" D sontak terkejut.

"Eh, mengapa harus kaget?" Rukya menyipitkan mata seperti mata kecil Arizan. "Dia temanmu, kan?"

"Iya, tapi ...." D ragu, takut lebih tepatnya, "kamu mendatanginya di kediaman Bragjow?!"

Eh, menyusahkan sekali! "Tentu, tidak!" balas Rukya spontan, "dia membuntutimu tahu! Beruntunglah aku berhasil bernegosiasi dengannya. Singkatnya, dia akan membantu kita dari gangguan keluarga Bragjow."

D tak merespons. Dia hanya tersenyum tipis seraya menyorotkan tatapan hampa. Pikiran pasti melayang untuk mengingat segala memori, dan Rukya menyadari.

"Kamu berteman dengan Arizan, kan? Anak semata wayang keluarga Bragjow itu?!" Rukya meyakinkan.

D hanya mengangguk kecil.

"Bertambahlah satu utangku kepadanya," ucap D tiba-tiba merespons. "Dia banyak memberikan pertolongan kepadaku, tetapi aku belum bisa membalas."

Lucunya, pemuda ini, selain polos, naif juga rupanya. Bahkan, dia tak sadar perasaan seorang gadis. "Dan impaslah utangku kepadamu."

"Eh?"

"Kamu mau mengizinkanku menginap di sini." Rukya membalikkan harga diri D. "Aku takut tidur di rumah, bahkan kemungkinan terburuk, Arizan mengkhianatiku. Eh, ini bukan berarti aku menjelekkan temanmu."

"Tidak, kok, aku paham." D tertawa pelan. "Dan sekali lagi, Kak Rukya. Terima kasih karena sudah menolongku."

"Sama-sama," balas Rukya menyunggingkan senyum hangat. "Terima kasih juga."

Tak ingin larut dalam siklus terima kasih, Rukya buru-buru pamit menggelar kasur. Sebenarnya, penjelasan pemuda garang itu masih menyisakan tempat hampa, seperti belum tuntas diberitakan. Namun, Rukya tak tahu, malah hanya bisa bertanya-tanya.

D, siapakah dirimu sebenarnya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro