Apa pun Dirimu 27
Episode 27
Pertemuan
Boleh vote dulu?
★
Terimakasih.
Pelabuhan selajutnya. Atau mungkin bukan. Tempat itu terlalu terbuka untuk dinamakan sebuah pelabuhan. Hanya terdapat perahu-perahu kecil nelayan yang kini terparkir tidak rapi di pinggiran pantai.
Setelah semua orang mengambil barang masing-masing dari dalam mobil, Satoru yang pertama dan bersemangat untuk menaiki perahu kecil milik nelayan yang akan mengantarkan mereka. Angin semilir menemani perjalanan dengan perahu kecil yang kini ditumpangi tujuh orang di dalamnya.
Satoru mengawasi pemandangan pantai yang terbentang seolah tanpa ujung. Menatap langit sore yang mulai meremang petang. Juga desiran angin yang hendak berubah arah. Teman seperjalanannya kini telah damai tentram menikmati sapuan angin pada wajah mereka. Semakin dekat mereka menuju daratan semakin berdebar hati Satoru untuk menjumpai orang yang sedari satu bulan yang lalu ia cari.
Satu hentakan keras dari sepatu bot yang ia kenakan, mencapai pasir putih yang terciprat oleh gaya tolak dari benturan sepatu. Berjalan beberapa langkah bersama rombongan untuk menuju ke pemukiman. Memandang pemandangan sekitar yang penuh dengan rumah-rumah kayu atau gubuk penampungan yang tidak layak.
Ketua kelompok bakti sosial datang menyapa mereka, dan memperkanalkan diri. Semua orang menymbutnya dan bertanya mengenai lokasi ini dan segala kegiatan yang akan dilakukan. Sejenak memperhatikan dan bertanya untuk mendukung situasi, akhirnya Satoru tidak sanggup lagi untuk berfokus pada penjelasan pria bernama Tagame itu. Ia lebih tertarik pada pemaandangan sekitar taman yang mengerikan sekaligus menagjubkan.
Satoru belum pernah melihat rumah-rumah berbahan baku kayu dengan kondisi yang sungguh mengenaskan seperti yang ia lihat di sekelilingnya. Kecuali ada di chanel-chanel televisi yang pernah ia tonton. Saat ini justru terliat lebih mengenaskan dibandingkan foto. Beberapa roboh, ada rumah yang tersisa separuh, ada yang hanya tersisa fondasi. Banyak kayu-kayu bekas bangunan berserakan disekitar pantai oleh bekas-bekas bencana tsunami.
Karena situasai telah menunjukan sore menjelelang petang. Beberapa warga mulai menyalakan api. Benar sekali, Satoru bahkan tidak tahu isatilah untuk menyebut lampu minyak tanah yang kini digunakan warga sebagai penerangan.
“Hey! Hasegawa-san. Bantu kami membawa barang-barang ini ke pengungsian.”
“Maaf, aku segera ke sana.”
Satoru bergegas mendekat dan membantu Tanaka, mahasiswa ekonomi tahun ke tiga yang kini mengangkat sebuah peti besar berisi pakaian.
Mereka memasuki gang pemukiaman yang beberapa rumahnya terlihat hampir roboh dan tidak dimaksudkan untuk dibangun lagi.
Kayu-kayu bekas banguan yang tadi Satoru temui di sekitar pantai, juga banyak terdapat di jalan-jalan yang mereka lalui. Oleh karena kondisi penerangan yang buruk, maka mereka harus ekstra hati-hati untuk tidak mencelakai diri sendiri.
“Kita sampai.” Sato, salah satu gadis yang ikut dalam perjalan ini mengatakannya saat mereka sampai pada sebuah bangunan paling besar di pulau. Satu-satunya bangunan yang dibangun menggunakan semen dan bata. Masih kokoh berdiri dengan beberapa penerangan obor menempel di temboknya.
‘Apa aku masih di jepang? Atau telah teleport ke masa lalu?’ pikir Satoru masih terheran-heran dengan apa yang dilihatnya.
Pintu kayu besar telah dibuka, menunjukan berpuluh orang yang berkumpul bersama-sama di ruangan yang sangat besar. Kakek, nenek, ibu, anak, wanita, pria, semuanya berkumpul dalam satu ruangan besar dengan penerangan lampu minyak yang tergantng di atas ruangan, atau obor yang tertempel di tembok.
Beberapa laki-laki tengah berkumpul bersama dan bermain permainan shogi, yang paling banyak dari gerombolan pengungsi adalah para wanita, mereka berkumpul bersama, juga ada yang membawa anak-anak mereka.
Selain itu di pojok ruangan terdapat kumpulan anak-anak yang sedang belajar membentuk kelas kecil. Kumpulan itu yang paing berinsik di antara semua orang dalam ruangan. Hingga dapat ditebak, bahwa seluruh orang dalam ruangan memang sengaja tidak membuat suara demi anak-anak mereka yang kini tengah menimba ilmu dalam pengungsian.
“Aku sudah bertanya pada Takasaki di mana letak gudang penyimpanan. Ayo kita bawa ini ke sana,” ujar Takashi pada Satoru yang melamun menetap anak-anak yang sedang belajar.
Takashi juga menemukan keanehan saat melihat Satoru. Pria itu seolah telah menemukan ilham dalam renungan sesaatnya. Wajahnya yang sedari tadi suram, kini bersinar di bawah cahaya obor. Seolah matahari fajar yang muncul perlahan di subuh hari. “Ada apa? Kenapa kau terlihat lebih bahagia saat mencapai pengungsian yang pengap ini?”
Alis Satoru terangkat, kemudian menanggapi pertanyaan dengan sumringah, “Apa dengan hawa panas, akan menjadikan hati panas juga?”
“Apa kau mencoba melucu? Lebih baik tidak kau lakukan lagi, atau ketampananmu akan luntur perlahan,” jawab Tanaka, memandang Satoru seperti salah satu pasien sakit jiwa.
Satoru yang tengah berbunga-bunga, tidak memasukan celetukan itu dalam hati. Malah menyuguhkan senyuman balasan paling hangat yang ia punya.
Setelah meletakan semua barang-barang sumbangan pada gudang persediaan, Satoru berpamit pada Tanaka untuk menemui seseorang yang ia kenal di tengah kerumunan.
Satoru bersila di antara anak-anak yang tengah mengerjakan PR dari gurunya yang kini menjelaskan pembahasan di papan sederhana yang tergantung di tembok depan mereka.
“Apa semua sudah mengerti?” tanya suara lembut itu.
“Saya belum mengerti Sensei. Kenapa Anda berada di sini?” ujar Satoru seraya mengangkat tangannya, berperan sebagai satu murid yang mengajukan pertanyaan pada guru yang ternyata adalah Nagisa.
Nagisa tidak banyak berubah kecuali perutnya yang semakin buncit. Rambutnya yang semakin panjang, ia ikat ke atas seperti ekor kelinci. Mengenakan baju oblong pink dengan gamar beruang lucu di depannya. Juga celana longgar halus berwarna abu-abu. Ia terlihat lebih feminim dari saat kepergiannya dulu.
Nagisa sejenak terdiam oleh keterkejutan saat mendapati Satoru yang tiba-tiba berada di depannya. Namun, hanya sebentar. Setelah ia mampu menguasai diri, ia mulai bertanya lagi pada murid-muridnya yang sebenarnya, bukan laki-laki dewasa yang seenaknya masuk dalam kelompok belajarnya. “Apa kalian tidak punya kesulitan?”
“Aku kesulitan menemukanmu,” jawab Satoru, ceria. Lagi-lagi perhatian anak-anak teralihkan dengan cepat dari Nagisa ke pada Satoru.
“Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan kita akhiri sampai di sini.” Nagisa mengakhiri kelas tanpa memperhatikan Satoru yang masih mengawasinya dengan intens.
Semua anak, segera membubarkan diri dan menemui orang tua mereka yang juga dalam ruangan yang sama.
“Nagisa, makananmu di dapur!” teriak seseorang yang Satoru ketahui adalah ketua dari kelompok bakti sosial ini. Ia lupa namanya, yang pasti pria itu memiliki kharisma yang tinggi, itu yang Satoru ketahui saat pertama kali berbincang sesaat ketika baru turun dari kapal nelayan tadi.
“Nanti saja. Aku belum lapar.” Nagisa lengung beranjak untuk meninggalkan temapatnya berdiri. Tidak sama sekali emganggap, ataupun memandang Satoru yang masih duduk bersila di depanya.
Meihat kepergian Nagisa yang sama sekali tidak mengidahkannya, Satoru segera bangkit dan mengikuti Ibu Hamil yang kini mengarah keluar pengungsian dengan terburu-buru.
Nagisa membuka pintu depan, melangkah dengan hati-hati pada jalan minim cahaya dengan kayu-kayu berserakan yang baru sesaat tadi Satoru dan kawan-kawan lewati. Satoru masih mengikuti di belakang dengan menggunakan kewaspadaan penuh, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga Nagisa. Ia berharap akan dapat mengkap Nagisa ketika Ibu Hamil itu tidak sengaja menginjak kayu, dan kehilangan keseimbangan.
Karena itu, posisi yang berjalannya kali ini sangat aneh, merentangkan tangannya membentuk pertahanan, seolah kiper yang maju selangkah demi selangkah meninggalkan gawang.
“Kenapa kau mengikutiku?” sembur Nagisa yang keilangan kesabaran pada tindakan menguntit terang-terangan yang dilakukan Satoru.
“Tentu saja karena aku merindukanmu.”
“Pergi sana!” Nagisa berteriak kesal.
“Nagisa tolong dengarkan aku.” Satoru mencoba meraih pundak Nagisa, tapi langsung ditepis oleh empunya “Dengarkan penjelasanku.”
Akhirnya Nagisa menyerah, membalik tubuhnya, dan mulai menunjukan reaksi penolakan. “Apa lagi yang perlu dikonfirmasi, Tuan Satoru? Apakah masih ada rahasia lain yang kau sembunyikan dariku? Atau ada kebohongan yang masih belum kau ungkapkan sebelum keberangkatanku?” Nagisa menyatakan satu-persatu kata dengan penuh penekanan, menegaskan pada Satoru tenang perasannya yang tersakiti.
“Nagisa. Aku tidak pernah bermaksud untuk berbohong padamu. Aku hanya memerkukan waktu yang tepat.”
“Kapan waktu yang tepat itu? Setelah menikahi Haruka?”
“Iya. Aku memeng ingin memberitahumu setelah pernikahanku.”
Nagisa terdiam seribu bahasa. Ia tahu bagaimana Satoru. Namun, tidak pernah membayangkan akan separah ini.
“Lalu kau angap aku apa dalam hidupmu? Apa kau hanya menginginkan bayiku? Kenapa harus setelah pernikahanmu?” kata Nagisa, seraya meremas telapak tanganya sendiri.
“Karena aku akan mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Kita akan menjadi satu keluarga.”
“Kau sadar apa yang kau katakan Satoru?” bentak Nagisa sudah enggan menggunakan pengendalian. “Kau benar-benar ingin mejadikanku selingkuhanmu?”
“Aku ingin menjagamu Nagisa. Itu adalah satu-satunya jalan,” ujar Satoru, sama sekali tidak terbersit sedikit pun keraguan.
Nagisa tersekat dalam tindakan dan kata-kata. Setelah menyadarkan diri dari kejengkelan yang teramat memuakan, ia mulai menyatakan suara, “Aku pasti sudah gila untuk mencintai orang sepertimu.” Nagisa hampir berbalik, sebelum Satoru dengan kasar, mencengkran pundak Nagisa, untuk menghadap padanya lagi.
“Apa yang kau katakan?” tuntutnya.
“Apa?!” tanya Nagisa, terkejut mendapati tindakan tiba-tiba Satoru.
“Kau mencintaku?” todong Satoru, bertubi-tubi, menglarifikasi perasaan bahagianya.
“Apa yang kau katakan? Kau salah dengar,” Nagisa berkelit.
“Aku sangat yakin kau mengatakannya untukku. Kau mencintaiku! Kau mencitaku!” Satoru memaksa Nagisa menyetujui apa yang didengarnya.
“Untuk apa cinta. Kau bahkan tidak dapat meghargai pasanganmu sendiri. Berselingkuh di belakangnya,” cerca Nagisa.
“Apa yang kau maksud selingkuh? Aku dan Haruka tidak pernah menjalin hubungan berdasarkan cinta. Ini hanya kesepakatan bisnis.”
“Dan dengan mudahnya kau menganggap semua orang berpikriran sama denganmu. Menganggap arti pernihakan hanya seperti kontrak hidup bersama!”
“Lalu apa lagi?”
“Satoru, jangan menggunakan pernikahan orangtuamu sebagai pandangan hidup. Mereka memang mengawalinya karena perjanjian bisnis. Tapi itu berakhir dengan cinta. Sedangkan kau!”
Nagisa mencetuskan pendapatnya. Ia pernah mendengar cerita mengenai pernikahan bisnis orang tua Satoru yang memang menciptakan skandal besar di masanya. Saat ayah Satoru harus memutsukan pacar artisnya demi menikahi Naomi.
“Nagisa, kenapa kau tidak mengerti. Fujiki-niisan dan aku, punya tanggung jawab yang besar pada perusahaan …,” Satoru membela diri.
“Sudahlah, aku tidak punya urusan dengan cara pandang keluargamu pada pernikahan. Yang pasti, kau paling keterlaluan dari mereka. Karena kau sama sekali tidak ada niat untuk mencintai Haruka. Malah ingin membuatku menjadi simpananmu. Ah sudahlah …. Aku tidak mau lagi bersurusan denganmu.”
Nagisa mendesis jengekel. Tidak ada gunanya dia berdebat panjang, dengan pria otak bebal macam Satoru. Buang-buang waktu.
“Nagisa, aku mohon ….”
“Kubilang cukup!” sanggah Nagisa, memotong perkataan bahkan sebelum Satoru menyatakan maksud. “Selama kau masih belum dapat menghargai arti pernikahan. Aku tidak akan mau berdamai denganmu.”
Nagisa berbalik, memutuskan untuk kembali menuju pengungsian. Ia melangkah lebih cepat dari Satoru karena lebih hapal dengan medan yang di lalui.
Sedangkan si Pria masih terpaku di tempatnya berdiri. Mulai merengek meminta perhatian.
“Nagisa?”
“Pulanglah!” teriak Nagisa di tengah langkahnya yang semakin menjauh.
“Nagisa.”
“Jangan ganggu aku!”
“Nagisa ….” Satoru masih sempat ingin mengejar, Namun bayangan Nagisa perlahan hilang ditelan gelapnya malam. Hingga tak terlihat sepenuhnya.
Bersambung ….
Ada yang tertarik baca Putra Yakuza (original) flavor .... wkwkwk..
Vote + comment ya...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro