Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Apa pun Dirimu 11

Bagian 11

Napas

Seminggu kemudian.

"Ingat anak-anak! PR karangan tentang usaha menghilangkan ketakutan, harus dikumpulkan besok! Jadi yang belum selesai, harap menyelesaikan secepatnya," kata Nagisa sebelum membubarkan kelas.

"Se-sensei?" panggil Mori sebelum Nagisa meninggalkan ruangan.

"Iya Mori-chan. Ada apa?"

"Sensei bisa membantu Moli untuk mengerjakan PL Moli," tanya Anak itu, sambil menunduk malu.

"Tidak boleh begitu sayang, kamu harus mengerjakannya sendiri,'' jawab Nagisa lembut.

"Maksud Moli, Moli ingin, Sensei menemani Moli, untuk mengerjakan PL Moli. Teman-teman tidak ada yang mau, bantu Moli ngeljain PL." Mori menunjukkan tatapan memelas padanya.

"Mori-chan sudah mengerti, kan? Arti pertemannan. Jadi, Mori-chan tidak boleh jahat lagi pada mereka. Pasti mereka mau berteman dengan Mori,"

"Andai saja, Moli masih punya Mama Papa, seperti, teman-teman yang lain. Pasti, mereka bisa bantu Moli, ngeljain PL," kata Mori, yang lebih terdengar sebagai monolog.

Nagisa merasa iba. Ia seperti melihat sosok masa lalunya pada Mori. Hingga timbul hasrat ingin menolong.

"Ayo! Katanya mau ngerjain PR? Akan sensei temani. Apa ketakutanmu?"

.

Cup. Chocochip

.

"Jadi Mori-chan takut tempat tertutup? Itu namanya claustropobia," kata Nagisa.

Kini mereka tengah berada pada sebuah gudang sempit tempat penyimpanan barang-barang sekolah yang sedang tidak atau belum digunakan. Hanya terdapat sebuah rak dengan tumpukan kardus lusuh yang berisi buku-buku, penghapus, sepidol, bangku-bangku tambahan yang ditumpuk tinggi, hingga ruangan sempit itu semakin terasa penuh sesak. Selain itu penerangan dari lampu pijar kuning dalam ruangan membuat suasana menjadi lebih panas dan pengap.

"Baiklah, kita akan berdiam di sini selama sepuluh menit. Setelah itu kita keluar dan kamu bisa mengerjakan PRmu," Kata Nagisa pada anak yang kini tengah berdiri setengah ketakutan. "Tidak apa-apa. Kau bersamaku. Mori-chan percayakan dengan sensei?"

Mori mengagguk, tanda persetujuan. Nagisa mengelus kepala anak perempuan itu dengan lembut, sebelum beranjak dari tempat dan menutup pintu gudang.

"Baiklah, apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Nagisa mencoba memahami situasi.

"Aku takut, bisakah, kita kelual sekalang?" rengek Mori. Air mata mulai terlihat menggenang di pelupuk mata, dan tubuhnya terlihat sedikit bergetar menahan takut.

Nagisa tidak ingin membuat Mori semakin terpuruk, maka ia mencoba mengalihkan perhatian si Anak Berkepang Dua dengan hal lain.

"Baiklah, sekarang tutup matamu, bayangkan ada sepuluh domba di sana. Bantu kesepuluh domba tersebut untuk melompat melewati pagar pembatas. Kau bisa?" tanya Nagisa.

Mori menuruti. Ia menutup matanya dan mulai membayangkan kesepuluh dombanya.

"Sensei akan memulai hitungan dari satu sampai sepuluh. Satu... Dua...."

Delapan menit kemudian.

"Sepuluh,"

Mori membuka mataya dan mendapatakan uluran tangan dari Nagisa. Kemudian menyambutnya dengan jabat tangan.

"Selamat Mori-chan! Kau telah berhasil bertahan di dalam ruangan tertutup selama lebih dari sepuluh menit. Sekarang kamu tidak akan pernah takut dengan tempat tertutup lagi," kata Nagisa, mengulurkan tangan untuk memeluk muridnya.

"Benalkah Sensei?" Mata Mori berbinar ketika mendengar pujian dari Nagisa.

"Tentu saja. Apa kau masih takut dengan tempat tertutup?"

Mori menggeleng-gelengkan kepala tidak setuju, langsung berubah opini karena kebanggaan yang kini melambung tinggi.

"Baiklah, sekarang kita bisa keluar dari sini, dan kau bisa mengerjakan PRmu,"

"Baik Sensei," Mori berkata dengan wajah berbinar.

Nagisa beranjak, akan membuka pintu, tapi mendapati benda tersebut sama sekali tidak bergerak, macet, dan terkunci dari dalam. Mencoba sekali lagi bahkan sampai berkali-kali, pintu tersebut bergeming, bahkan sama sekali tidak berderit.

Nagisa mulai panik dengan situasi. Mencoba menggedor-gedor pintu sambil meminta tolong pada siapapun yang dapat mendengar. Beberapa kali percobaan yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Hingga terdengar suara tangisan keras dari belakang, menyadarkan Nagisa keberadaan seorang anak yang beberapa saat yang lalu menyatakan telah sembuh dari claustropobia.

Walau ia juga takut akan kondisi mereka. Akan tetapi, dia juga tidak dapat mengabaikan kodisi anak yang sedang bersamanya. Nagisa mendekat, kemudian memeluk tubuh bergetar itu dengan penuh kehangatan.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi pasti ada yang datang menyelamatkan kita," kata Nagisa, lebih untuk menenagkan batinya sendiri.

Smartphone yang juga tertinggal di kantor, dan kondisi gudang yang letaknya cukup jauh dari keramaian, membuat mereka mungkin tidak akan segera mendapat pertolongan. Sebelum ada seseoarang yang sadar, bahwa dirinya tidak ada di mana pun. Membuat Nagisa semakin cemas dengan apa yang akan terjadi pada diri dan muridnya nanti.

Nagisa semampunya mencoba menenangkan diri dan anak dalam pelukannya. Memutar otak untuk mengalihkan pikiran-pikiran negatif yang tengah menimpa, karena kondisi ruangan yang semakin pengap oleh kurangnya udara.

"Cup-cup.... Jangan menagis, Sayang. Apa kau ingin sensei menceritakan sesuatu?"

Tanpa menunggu persetujuan Mori yang masih menagis. Nagisa memulai ceritanya, dengan mengajak anak itu duduk di lantai berdebu, beralas koran yang ia temukan di pinggiran rak, sebelah tumpukan buku.

"Dahulu kala, di sebuah desa indah nan asri. Seorang putri cantik yang telah kehilangan orangtua dan kerajaannya. Hidup di gubuk tua dan mencari makanan apa pun yang ia temukan di dalam hutan.

"Suatu hari, saat mencari makanan di hutan, secara tidak sengaja sang putri terperosok dalam lubang yang dibuat pemburu. Putri cantik sangat ketakutan. Kondisinya yang lapar dan dalamnya lubang, membuatnya tidak punya tenaga untuk mencoba naik untuk menyelamatkan diri. Sang Putri berteriak-teriak meminta tolong pada siapapun yang lewat, tapi tak satupun datang untuknya.

"Hari-hari berlalu dengan sang Putri yang masih terjebak dalam lubang. Ia mulai lelah berteriak, untuk menekankan keberadaan. Harapan hidup semakin menipis ,seperti kegelapan malam yang semakin mengikis. Kondisi haus dan lapar, membuatnya terpuruk sekarat, bahkan tidak kuat untuk beranjak.

"Hingga sebuah suara gemerisik langkah terdengar di antara sentuhan kaki dan daun kering, membuat semangat hidupnya kembali untuk sekali lagi.

"Seberkas cahaya menerangi bayangan seorang pangeran tampan yang kini menggenggam tangan putri. Kemudian dengan perlahan mengangkatnya keluar dari lubang sempit, untuk diletakan dalam pelukan. Hati sang putri tersentuh oleh ketampanan dan kebaikan Pangeran. Ternyata, Pangeran juga jatuh hati pada paras cantik sang Putri, membuat dia ingin segera pulang dan menjadikan wanita dalam dekapan sebagai permaisuri.

"Pangeran menggendong Putri Cantik dengan penuh kasih dan ketulusan. Menaikanya pada seekor kuda putih yang sejak tadi menunggu. Untuk segera menikah, dan hidup bahagia berdua, selamanya."

Nagisa berhasil membuat Mori menghentikan tangisnya. Walau anak itu masih meyimpan beberapa sesenggukan hasil ratapan. Namun, ia terlihat mulai tenang, dengan menyamankan diri berbaring di pangkuan Nagisa.

"Sensei, apakah pangelan tampan itu—hah ... akan datang, menyelamatkanku?" Tanya Mori walaupun sedikit tersekat di tengah kalimat untuk bernapas.

"Tentu saja, ia akan segera datang dan membawa kita keluar dari sini," balas Nagisa untuk meyakinkan Mori bahwa mereka akan selamat.

"Aku bukan ... seorang putri .... Aku hanya, seorang anak, yatim piatu, apakah ... hah ... ia akan menyukaiku?"

"Aku tidak tahu ... tapi yang pasti, saat kau bertemu pangeranmu ... kau akan langsung jatuh cinta padanya," kata Nagisa yang juga mulai merasa sesak.

Nagisa menyandarkan diri pada arak di belakangnya untuk menghalau pusing yang semakin menyiksa. Keringat yang bercucuran dan suara napas yang tersedat-sendat beriringan anatara dirinya dan sang murid, menjadi bukti melemahnya tanda kehidupan dalam ruangan itu.

"Sensei, aku—hah ... tidak ... hah ... dapat bernapas hah ...," Mori memegang dadanya sambil menggeliat lemah di pangkuan Nagisa.

"Bernapas pelan-pelan saja, hah ... seperti sensei. Tarik napas, hah ... keluarkan .... Huf ...." Nagisa mencoba menenagkan Mori yang semakin tertekan oleh menipisnya oksigen dalam ruangan. "Ayo lakukan bersama-sama, bernapas hah ... keluarkan, huft .... Lakukan sekali lagi ... ya hah ... seperti itu,"

Kemudian Mori terlihat lebih tenang di banding beberapa saat yang lalu.

"Sensei hah ... Teman-temanku, hah ... banyak, yang mengatakan ini ...uhuk, pada orangntuanya. Hah ... tapi aku, hah ... tidak pernah dapat melakukannya. Hah .... Jadi, bisakah kau mengatakan, hah ... pada Iruka Sensei dan pangeranku hah ... bahwa aku mencintai mereka?"

"Tidak, kau yang harus mengtakan sendiri hah ... pada mereka saat kita keluar," kata Nagisa, sambil menggenggam tangan Mori untuk memberikan semangat bertahan.

Mata Mori semakin tidak fokus dengan napas yang kian tersengal. Ia mengeratkan genggaman tangan pada Nagisa, seraya memohon.

"Ku ... hah ... Mohon—" Satu kata terakhir, memutus kesadaran Moli. Anak 5 tahun itu, kini semakin terjatuh dalam pingsan.

Napas Nagisa semakin cepat saat mendapati Mori tergeletak tak berdaya. Ia menepuk-nepuk pipi anak itu, mencoba menyadarkan. Juga, berinisiatif untuk memanggilnya keras-keras, tapi ternyata, tidak ada suara yang dapat keluar dari tenggorokanya, oleh udara semakin menipis.

Nagisa panik, ia memegangi perut yang mulai kram, dan mata yang kian memburam.

"To—long .... Hah ... siapa pun ... Aww ... siapa pun hah ... di sana ..." suara lirih yang didominasi tarikan napas berat, tak mampu mencapai luar gudang. Nagisa mulai menggebrak-gebrak pintu dengan sisa tenaga.

Nagisa mencoba mencari celah-celah pintu yang masih terdapat akses udara, dan berhasil menemukan lubang kunci yang memperlihatkan pemandangan luar. Ia mncoba menyedot udara dari lubang tersebut dengan mulutnya, tapi bukan hanya udara saja yang terhirup. Debu yang terdapat dalam lubang kunci pun ikut masuk. Membuat Nagisa terbatuk keras, merasakan benda asing selain oksigen di dalam paru-parunya.

Ia memukul dada berkali-kali. Menghilangkan batuk, ternyata lebih menguras tenaga dan udara dibanding kondisi sebelumnya. Perutnya masih kram dan menegang. Bayinya butuh oksigen, dan Nagisa tidak dapat memenuhinya dengan baik.

Nagisa tidak dapat mempertahankan posisi duduk. Ia mulai terkapar dilantai dengan tarikan napas singkat dan tidak teratur. Namun, harapan baru mucul, saat ia melihat ada celah di bawah pintu gudang dengan pemandangan luar yang sedikit terpampang.

Nagisa mencoba untuk menyingkirkan debu-debu di lantai dengan cara meniupnya, tapi tidak ada udara yang tersiasa. Maka ia memilih mendekatkan wajah langsung pada renggangan itu, berharap mendapat udara segar di atara celah bawah pintu dan lantai kotor.

Nagisa merasakan kembali debu masuk dalam tenggorokan, tapi dengan sekuat tenaga, memaksakan diri untuk tidak terbatuk. Menyeret Mori yang pingsan untuk melakukan hal yang sama, dengan mendekatkan wajahnya pada sela itu.

Hingga ia mendengar banyak langkah kaki mendekat. Walau celah pintu gudang tidak mampu memperlihatkan kondisi di luar. Setidaknya Nagisa mulai mendapatkan harapannya kembali. Ia mencoba meneriakan sebuah kata, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

"NAGISA!"

Teriak sebuah suara yang ia ketahui merupakan Satoru.

Satoru menemukannya. Satoru akan menyelamatkannya. Sorak Nagisa dalam hati.

"Nagisa apa kau di dalam? Katakan sesuatu!" Penyelamat itu berkata dalam campuran nada kekhawatiran dan rasa takut.

Nagisa hendak menggebrak pintu untuk menciptakan tanda keberdaan, tapi tenaganya sudah sangat terkuras hingga untuk mengagkat taganya saja ia tidak mampu.

"Pintu ini terkunci," kata Satoru pada seorang yang lain.

"Pintu itu tidak pernah terkunci karena rusak, dan kenapa Nagisa dan Mori harus masuk dalam gudang sempit seperti itu. Aku rasa itu tidak mungkin," kata suara yang Nagisa kenali sebagai Iruka.

'Aku di sini Satoru. Tolong aku,' batin Nagisa, memohon. Ia sudah hampir kehilangan kesadaran. Napasnya tersengal, dan tubuhnya tak lagi patuh. Ia ingin ada yang mengetahui keberadaannya dan Mori. Ia ingin selamat, ia ingin bayinya selamat. Tidak mungkin baginya, menginginkan janinnya tetap hidup meskipun dirinya mati.

Kalaupun anaknya selamat, siapa yang akan mengurusnya. Ia tidak punya sanak saudara. Apa ini hanya akan menjadi lingkaran hidup, untuk selalu menjadi sebatangkara yang tinggal di panti asuhan. Setidaknya Nagisa pernah mengenal dan mendapat cinta orang tua. Tapi bila dirinya mati sekarang, anaknya akan hidup tanpa tahu tentang arti keluarga, ataupun cinta dan kasih sayang mereka.

Langkah para penyelamat terdengar mulai menjauh. Membuat harapan itu musnah tanpa sisa. Tidak ada yang menyadari keberadaanya. Tidak ada yang membutuhkan dirinya. Bahkan Satoru.

Bila ini salam perpisahan. Setidaknya Nagisa ingin melihatnya untuk terakhir kali. Sekali saja ia ingin mengucapkan terima kasih untuk untuk segala ketulusan dan kasih sayang yang tak henti ia berikan.

Namun, harapanya tinggal angan. Ketika detik terahir napasnya serasa tercekik, membuat matanya mulai berair, hingga ia kehilangan fungsi pengelihatanya dalam sekejab.

Bersambung ...

.

Teman-teman ... Maaf sebelumnya ...

Terutama Trea90

Begini, soal episode bonus itu. Isinya tentang masa lalu Nagisa, Satoru, Haruka, dan Natsume, saat berusia 11 tahun. Aku nggak berani post, solanya takut kalian kecewa. Aku, kan, sudah banyak kasih drabble beberapa waktu yang lalu. Aku takut, kalian bosan sama cerita-cerita remahan.

Kalau kalian masih tertarik sama cerita itu, kasih tahu aku di comment. Nanti aku post bareng episode selanjutnya. Kalau tidak, biar aku buang saja. Dari pada malah bikin kalian jenuh sama drabble.

Khusus untuk Trea90 kalau kamu mau, chat aku. Nanti tak kirim ke kamu via Email.

Itu aja dah ....

See you babay...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro