Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9a


“Terima kasih sudah mengantarku pulang.” Anyelir berucap pelan, dengan tangan berada di pintu mobil. Sementara laki-laki di sebelahnya, menatap tak berkedip. Ia berpamitan dengan sopan.“Aku masuk dulu.”

Pintu terbuka setengah saat Brian mencengkeram tangannya. “Anye, izinkan aku masuk.”

Anyelir menoleh. “Untuk apa, Kak?”

“Bicara, please. Kita butuh bicara.”

Bimbang sejenak, mengingat waktu sudah agak larut, akhirnya Anyelir membiarkan Brian mengikutinya masuk. Ia menuju dapur, menyeduh kopi dan menghidangkan dengan Brian yang duduk di kursi dengan wajah menunduk. Mengambil kursi di seberang laki-laki itu, keduanya duduk berhadapan.

Brian mengangkat wajah. Memandang wajah ayu nan sendu milik Anyelir. Ia menghela napas, merasakan desir kesedihan menyelinap diam-diam ke relung hati. Tak ubahnya angin malam yang membuat tubuh menggigil tapi di sisi lain, juga menyegarkan. Berita yang baru saja ia dengar tentang kehamilan Anyelir, membuat dirinya di ujung bimbang. Meski sudah diantisipasi sebelumnya, tak urung membuat dunianya jungkir balik. Namun, bagaimana pun ia harus memantapkan hati untuk menyelesaikan semua masalah ini. Karena semua yang terjadi, ada andil dirinya.

“Anye, kamu mau aku bagaimana? Tentang bayi itu?”

Anyelir menatap Brian tak berkedip, senyum terkembang di mulutnya. Ia mengangkat bahu.

“Nggak mau apa-apa, cukup kamu tahu saja.”

“Tapi, mana bisa begitu.”

“Bisa saja, Kak. Kenapa nggak? Toh, kita tidak melakukannya dengan sengaja. Ini hanya kecelakaan.”

“Anye, bagaimana kamu bisa setenang ini menghadapi masalah?”

Tersenyum kecil, Anyelir bangkit dari kursi. Ia meraih lap dari meja belakang dan mulai sibuk membersihkan meja-meja makan yang berdebu. Tutup selama beberapa hari, membuat restorannya sedikit kotor.

Sebenarnya, tugas membersihkan bisa ia serahkan pada pegawainya. Namun, ia butuh untuk bergerak. Kehadiran Brian di kedainya, membuat gugup. Demi menghilangkan grogi, ia sengaja melakukan sesuatu dengan posisi memunggungi laki-laki itu.

“Sebenarnya, aku tidak tenang. Aku takut,” gumam Anyelir lirih. “Takut apa yang akan terjadi kalau anakku lahir tanpa papanya. Takut aku tidak bisa menjaganya. Takut kalau dia kelak akan kesulitan menghadapi hidup.”

Gerakannya terhenti, ia menunduk di atas meja dengan tangan masih memegang lap. Menyadari kalau perkataannya benar-benar terucap dari dalam hati. Tentang ketakutannya akan masalah yang menghadang di kemudian hari.

Brian menatap punggung Anyelir yang terlihat lemah. Sosok wanita cantik dengan segala kerapuhannya tapi mencoba untuk bersikap keras kepala. Menghela napas panjang, ia bangkit dari kursi. Berdiri di belakang Anyelir dan memerangkap wanita itu di antara dirinya dan  kursi.

“Anak itu punya, Papa. Ada aku,” bisiknya lembut.

Anyelir menghela napas panjang, merasakan gelitik di bagian belakang tengkuknya. Brian meletakkan wajah di punggungnya. Terasa sedikit berat tapi ada kehangatan di sana.

“Kamu memang papanya, tapi kamu nggak ada kewajiban apa pun tentang bayi ini, Kak.”

“Kamu nggak mau aku menikahimu?”

“Nggak!” jawab Anyelir tegas.

“Kenapa?” Tidak sabar, Brian membalikkan tubuh Anyelir dan menatap wanita itu dengan pandangan heran. “Wanita hamil manapun akan senang kalau bisa menikah dengan ayah bayi yang dikandungnya.”

Anyelir terseyum kecil, menelengkan kepalanya. “Iya, bagi banyak wanita begitu tapi tidak bagiku. Menurutmu, apa kita akan bahagia terjebak dalam pernikahan tanpa cinta?”

Brian terdiam, menyadari apa yang dikatakan Anyelir benar. Meski mengakui kalau ia suka sekali menyentuh Anyelir, mencium bibir lembut milik wanita itu tapi jauh di relung hati ia paham,  benih cinta itu belum kuat bertumbuh.

“Bagaimana kalau kita mencobanya,” ucap Brian serak. “Demi bayi itu.”

Anyelir mendorong tubuh kekar Brian, berusaha melepaskan diri dari pelukan laki-laki itu tapi Brian menolak untuk pindah.

“Jangan melakukan pernikahan karena tertekan. Kita sama-sama sudah dewasa. Mana mungkin aku mengikatmu dalam pernikahan yang menyiksa?”

Argumen Anyelir yang delapan puluh persen sesuai kenyataan, menghantam ulu hati Brian. Wanita keras kepala yang menolak untuk menyusahkan orang lain, bahkan saat dirinya sendiri kesusahan. Anyelir adalah wanita yang paling tidak egois yang pernah iya kenal. Hatinya tersentuh karena itu.

Dengan lembut, ia mengangkat dagu wanita yang mengandung anaknya. Mata mereka bertemu. Jernihnya bola mata Anyelir seperti menariknya untuk  berdiam diri di sana. Namun ia tahu, ada ketenangan yang dipaksakan di balik binar mata itu.

“Bagaimana kalau kita saling mengenal dulu, selama beberapa waktu sebelum memutuskan untuk menikah. Selama ini, aku hanya tahu kamu adalah tunangan Danial. Sekarang, kalian sudah putus. Bisakah kita saling mendekatkan diri untuk mengenal lebih lanjut?”

Anyelir gemetar, merasakan belaian lembut jemari Brian di bibirnya. Yang dikatakan laki-laki itu ada benarnya, mereka memang harus saling mengenal untuk menentukan langkah selanjutnya.

“Aku nggak mau melakukan itu, Kak,” ucapnya pelan sambil menggeleng.

“Kenapa?” Kali ini, jemari Brian berpindah ke pipi Anyelir dan menangkup wajah wanita itu. “Kita akan melakukannya secara pelan-pelan.”

“Oh ya? Bagiamana dengan keluargamu?
Bagaimana dengan Vania? Bukankah kalian baru saja dekat? Lalu, apa yang akan kita katakan pada Danial kalau dia tahu kita menjalin kedekatan, tepat setelah kami putus hubungan? Apa kamu berani jujur terus terang kalau aku sedang mengandung anakmu? Nggak takut reaksinya?”

Brian menghela napas, mendengar argument Anyelir. Semua yang dikatakan adalah benar dan kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sementara benaknya berpikir, hatinya tergoda. Ia menahan keinginan untuk mengecup bibir Anyelir yang merona. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tidak mampu menahan diri setiap kali melihat Anyelir, sedangkan sekarang mereka tengah membicarakan hal penting. Ia berdehem kecil, sebelum menjawab perkataan Anyelir.

“Danial, kita akan hadapi berdua. Urusan keluarga dan Vania, biar aku selesaikan.”

Anyelir tersenyum lemah, memberanikan diri untuk membelai wajah Brian. Ada bulu-bulu halus di bawah janggut dan menggelitik ujung jarinya. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya, dulu saat bersama Danial, ia tidak pernah seberani ini menyentuh tubuh laki-laki itu. Mereka memang kerap berpelukan atau berciuman tapi hanya sebatas itu. Tidak ada sentuhan intens seperti sekarang.

“Kak, mari kita memberi ruang pada diri kita untuk berpikir. Jangan menjadi egois yang akhirnya membuat luka pada keluarga dan orang-orang yang kita sayangi.”

Menghela napas panjang, Brian mengangguk setuju. “Iya, kita akan memberi ruang bagi kita untuk berpikir.” Ia mendekatkan wajah dan berbisik parau. “Tapi, aku kehilangan otak untuk berpikir saat dekat denganmu.” Tanpa banyak kata, Brian menyambar mulut Anyelir dengan mulutnya. Melumat panas tanpa kata, seakan-akan dengan berciuman masalah mereka akan selesai. Ia tidak terganggu, saat Anyelir berusaha melepaskan diri. Ia terus mengecup, menjilat, melumat, dan setengah memaksa membuka mulut Anyelir lebih lebar. Agar ia lelusa bergerak dan memuaskan hasratnya untuk berciuman.

Keduanya saling melepaskan diri saat napas Anyelir yang tersengal, terdengar nyaring di ruangan. Begitu pula Brian. Ia meraih tubuh Anyelir, memeluk kuat demi meredakan hasratnya yang naik karena ciuman mereka.

“Aku akan datang kembali. Malam ini, tidurlah yang nyenyak. Biarkan aku mencari jalan keluar untuk hubungan kita.” Mengucapkan janji, Brian berharap bisa memberikan solusi yang terbaik bagi Anyelir.

Anyelir tidak menjawab, membiarkan tubuh Brian melingkupinya dengan kehangatan. Ia sedang membutuhkan sandaran, dan tubuh Brian yang kokoh adalah sandaran paling tepat untuknya. Terkadang, ia benci dirinya sendiri yang selalu membanding-bandingkan antara Brian dan Danial. Mereka adalah dua laki-laki yang berbeda, tidak hanya sikap tapi juga prinsik hidup. Meski secara fisik, keduanya nyaris mirip. Entah kenapa, jauh di lubuk hati yang terdalam, ia lega bisa putus dengan Danial. Kelegaan yang membuatnya mempertanyakan apakah benar ia dulu mencintai Danial atau hanya tergila-gila karena berutang budi? Apakah dulu kalau Danial tidak menolongnya saat kecelakaan, ia akan jatuh cinta?

Dengan mata nanar dan lubuk hati yang bingung, Anyelir melepas kepergian Brian. Ia tahu, laki-laki itu butuh waktu untuk memikirkan tentang mereka. Sementara ini, ia akan bertahan dan berjuang sendiri demi bayi yang dikandungnya.

“Sehat-sehat, ya, Nak. Meski tanpa seorang papa. Aku tidak akan membiarkanmu menderita. Mama janji,” bisik Anyelir sambil mengusap perutnya yang masih rata. Ia tidak hanya menenangkan sang bayi dalam kandungan, tapi juga dirinya sendiri.
**
Brian memasuki halaman rumah yang terang benderang meski waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sebenarnya, ia berniat pulang ke apartemennya tapi karena ingin bicara dengan orang tuanya, mau tidak mau ia pulang.

Setelah mematikan mesin mobil, ia duduk diam di balik kemudi. Mengawasi tanaman perdu yang tumbuh di halaman rumah. Beberapa di antaranya hanya berupa daun-daun lebar, yang ia tahu berharga mahal dan termasuk tanaman kesayangan sang mama. Di rumah yang cukup luas ini, hanya ada papa, mama, dan satu adik laki-lakinya. Sudah lima tahun ini, ia hidup terpisah karena ingin konsentrasi dalam berbisnis.

Mendesah gundah, ia memijit pelipis. Turun dari mobil dan menghirup udara dalam-dalam. Mencoba meredakan kegugupan karena akan bertemu orang tuanya. Demi Anyelir dan anak mereka dalam kandungan, ia harus bisa bersikap tegas.

Melangkah perlahan, tiba di depan pintu ia berhenti. Ada suara-suara percakapan riuh dari ruang tengah. Mencopot sepatu dan mengucapkan salam, ia mendapati ada Vania di sana. Wanita cantik itu melambai saat melihatnya.

“Hai, jadi pulang juga. Kupikir nggak jadi karena udah jam segini belum datang.”

Brian tersenyum, menatap kedua orang tuanya yang duduk berdampingan.

“Ada apa? Tumben rame-rame.”

“Duduk, Brian. Kami ada kabar baik untukmu.” Sang mama melambai, memintanya duduk.

Brian menurut, mengenyakkan diri di samping sang mama dan mengulas senyum kecil. “Ada kabar apa, Ma?”

Sinta menepuk punggung anaknya dengan mata berbinar. “Kabar baik datang dari wanita cantik di sebelahmu.” Ia menunjuk ke arah Vania.

“Ih, Mama. Kok aku, sih?” ucap Vania malu-malu.

“Lah, memang kamu’kan? Masa iya, aku.”

Kedua wanita itu saling bertukar tawa penuh rahasia. Brian yang merasa tidak sabar, berdehem keras. “Ada apa? Kenapa jadi main rahasia-rahasiaan?”

Vania mengibaskan rambutnya ke belakang, menatap Brian lekat-lekat lalu bicara sambil tersenyum.

“Kami pindah rumah. Mulai besok akan menjadi tetangga kalian.”

Baik Sinta maupun suaminya bertepuk tangan keras sekali. “Nah, keren’kan Brian? Seperti judul lagu jadinya, Pacar Lima Langkah. Kamu kalau mau ngapel, nggak usah jauh-jauh.”

Sementara ruang tengah penuh dengan gelegar tawa, otak Brian seakan terhenti bekerja. Ia menatap kedua orang tuanya yang sedang tertawa bersama Vania, dan sadar kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara soal Anyelir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro