Bab 8
Anyelir terpaku, menatap Haniah yang terbaring di ranjang. Wanita setengah baya yang selama ini baik padanya, terlihat pucat dan lemah. Ada selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Tidak mampu menahan sedih, ia meraih tangan Haniah, dan duduk di kursi samping ranjang. Sementara Brian berdiri di ujung ranjang dengan Danial, Nerisa dan Davira.
“Ma, kenapa? Kok mendadak pingsan?” tanyanya lembut. Memijat-mijat telapak tangan Haniah.
“Entahlah, sepertinya aku kecapean saja.”
“Ngerjain apa saja, sih, Ma. Sampai lupa istirahat.”
Haniah tidak menjawab, menatap Anyelir yang kini memijat kakinya dengan lembut. Ia menatap Danial yang berdiri kaku di ujung ranjang. Mengamati bagaimana anak laki-lakinya itu tidak mampu mengalihkan pandangan dari Anyelir.
“Jujur saja, aku kangen sama kamu, Anyelir. Lihat, kamu putus sama Danial sampai nggak mau ke rumah kami lagi.”
“Apa, Danial dan Anyelir putus?” sela Nerisa dengan suara agak keras.
Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Semua orang membungkam, termasuk Danial yang hanya menunduk. Tidak sabar, Nerisa menyikut pinggang Davira.
“Kok kamu nggak ngomong?” protesnya.
Davira mengangkat bahu dengan mulut mencebik. “Aku baru tahu kemarin.”
“Harusnya kamu langsung kasih tahu aku.”
Nerisa melirik Davira dengan kejengkelan yang tidak ditutupi. Mengalihkan pandangan, kali ini menatap Danial yang berdiri kaku di ujung ranjang. Akhirnya, jawaban dari sikap murung Danial terkuak. Ia mendengkus pelan, memandang Anyelir tatapan tidak suka yang terlihat jelas.
Semua orang menyinngkir saat seorang suster memeriksa tekanan darah Haniah. Anyelir yang terburu-buru berdiri, tapa sengaja menyenggol lengan Brian. Ia berjengit kaget dan menggumamkan maaf.
Brian tidak bereaksi, dengan sisi kiri ada Danial, sementara di kanannya berdiri Anyelir. Bisa ia rasakan, lembut kulit Anyelir yang menyentuh lengannya. Seketika, perasaan bersalah kembali menyeruak. Seandainya saja ia tidak melupakan janjinya untuk menelepon wanita itu, bisa jadi sekarang ia tahu penyebab Anyelir memutuskan Danial. Berjanji dalam hati, ia akan mencari waktu untuk mengajak wanita di sebelahnya bicara.
Setelah suster selesai memeriksa, Anyelir kembali duduk di kursi. Aroma antiseptic di rumah sakit membuatnya gak mual.Ia mencoba bertahan dari rasa pusing yang kini menyerangnya.
“Anyelir, sekarang di sini ada semua orang,” ucap Haniah pelan. Suara wanita itu terdengar parau. “Bisakah kamu katakan kenapa kamu putuskan Danial? Apa kamu tahu gara-gara kamu, anakku hampir dipecat dari pekerjaannya?”
Anyelir yang kager, secara reflek menatap Danial. “Kenapa?” tanyanya.
Danial mengangkat bahu, lalu mendesah. “Nggak apa-apa, hanya kurang konsentrasi.”
“Kamu masih bilang nggak apa-apa?” segah Haniah keras. Detik itu juga ia batuk-batuk. Anyelir bangkit dari kursi, menepuk pelan punggungnya dan membantu mengambil air. “Minum, Ma.”
Semua orang terdiam, saat Haniah yang batuk-batuk meneguk air dan kembali menatap galak pada Danial. “Danial, kenapa kamu nggak bicara jujur sama Anyelir. Kalau putusnya hubungan kalian membuatmu kacau!”
“Ma ….” tegur Danial enggan.
“Yang mama katakan adalah kebenaran.” Haniah meneruskan omongannya, mengabaikan protes Danial, ia menoleh ke arah Brian. “Benar nggak yang tante katakan, Brian? Kamu tahu pasti’kan apa yang terjadi pada Danial akhir-akhir ini?”
Kali ini Brian mengangguk. “Iya, Tante.”
“Nah, Brian saja mengakui. Kamu masih menyangkal?”
“Ma, jangan terlalu emosi,” tegur Anyelir pada Haniah yang sedang menuding anak laki-lakinya.
“Nggak tahu, nih, Mama. Bawaannya marah-marah terus.” Davira menimpali. “Aku pikir darah tingginya kambuh, ternyata karena mikirin kamu sama kakakku.” Ia menatap Anyelir tajam. "Merepotkan kalian, pada acara putus segala. Bukannya mau nikah?”
“Davira, tutup mulutmu,” tegur Danial.
Davira menatap kakaknya dengan jengkel. “Bela aja terus, Udah diputusin juga, masih nggak tahu diri. Makanya, nikah buru-buru. Udah putus baru ribet’kan?”
“Davira, diam!” bentak Haniah.
Suasana mendadak menegangnya, dengan Anyelir duduk salah tingkah di kursinya. Sementara Davira menatapnya galak. Danial menunduk, tidak menyadari tatapan iba yang diarahkan Nerisa untuknya. Laki-laki itu terlihat kusut dan menatap ujung ranjang, seakan itu adalah hal paling menarik untuknya.
Brian sendiri kebingungan, terjebak di antara permasalah keluarga yang tidak ia mengerti. Diam-diam ia mengamati Anyelir, menyadari wajah wanita itu pucat dengan tangan gemetar memijat paha Haniah. Baginya, Anyelir adalah wanita yang penuh misteri. Caranya memutuskan Danial yang tiba-tiba dan tanpa alasan membua semua orang berttanya-tanya termasuk dirinya. Namun, ia tidak dapat mendesak. Setelah kebersamaan mereka malam itu, ia merasa kalau Anyelir makin lama makin menutup diri.
“Mama nggak minta banyak dari kamu Anyelir, tapi bisakah kamu pikirkan lagi keputusanmu?” Haniah meraih tangan Anyelir yang sedang memijatnya dan menggenggam erat. “Tolonglah, kalian sudah sejauh ini. Mama merasa bersalah dengan almarhum orang tuamu, karena tidak bisa menjagamu sampai tua nanti.”
Anyelir tersenyum kecil. “Ma, kenapa bicara begitu?”
Haniah menggeleng. “Kamu jelas tahu, janjiku dulu pada orang tuamu, Anyelir. Untuk menjagamu selalu, itulah kenapa aku senang kamu dan Danial pacaran. Namun kini, ah kenapa begini?” Haniah menghela napas panjang.
Anyelir memegang ujung roknya kuat-kuat. Ia butuh pegangan agar tidak jatuh. Seolah-olah tiap kata yang keluar dari mulut Haniah adalah tuntutan baginya. Di sini, duduk di antara orang-orang yang memandangnya ingin tahu, ia merasa gelisah. Terjebak antara keinginan untuk pergi atau bertahan dan mendengar permohonan-permohonan dari Haniah yang sulit untuk diabaikan. Bagaimana ia sanggup menolak kata-kata wanita itu, jika diucapkan dengan sendu dan sarat kesedihan. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan.
“Anyelir, apa kamu dengar ucapanku?” tanya Haniah menuntut.
Anyelir mengangguk. “Iya, Ma.”
“Lalu, apa jawabanmu?”
“Maa, tolonglah. Jangan lagi mendesak Anyelir. Tolong beri dia kesempatan untuk memberikan alasan.” Daniah menyentuh ujung kaki Haniah dan mengingatkan sang mama.
Haniah menatap anaknya dengan menyipit. “Diam kamu. Kalau bukan karena kamu berlama-lama memutuskan rencana untuk menikah, pasti ini tidak akan terjadi.”
“Ma, Kak Danial ada alasan untuk itu.” Tanpa ditanya, Nerisa menjawab.
Kali ini, semua orang di ruangan menatap Nerisa. Anyelir yang semula menunduk pun mendongak.
“Nerisa, tolong. Jangan ikut campur,” gumam Danial.
Nerisa mengernyit. “Tapi, Kak ….”
“Please, biarkan aku yang menyelesaikan.”
Anyelir tahu, ada yang tidak beres antara Danial dan Nerisa. Dimulai dari pertemuan diam-dima mereka saat di apartemen, ia sudah curiga. Namun, kini semua tidak penting lagi baginya. Yang ia butuhkan adalah keluar dari ruangan ini demi meredakan kepalanya yang berdentum menyakitkan.
“Ayelir, bisakah kita bicara di luar?” Danial bertanya lembut padanya.
Menimbang sesaat, akhirnya ia mengangguk. Saat berdiri dari kursi, ujung matanya menangkap pandangan Brian. Laki-laki yang secara tidak langsung turut andil dalam perubahan rencana masa depannya itu, menatapnya dengan pandangan yang sulit dimengerti. Ia mengabaikan Brian, dan berharap laki-laki itu tidak membuang amplop yang ia berikan.
Diikuti oleh Danial. Anyelir melangkah ke teras kamar. Lorong rumah sakit dalam keadaan sepi, mungkin karena jam besuk sudah lewat. Ia duduk di kursi yang menghadap ke ruangan, dengan Danial berada di sebelahnya.
Dari tempatnya duduk, terlihat Brian sedang berbincang dengan Davira. Terlihat serius dengan kepala menempel satu sama lain. Tak lama, Davira terlihat tertawa. Anyelir tahu, dari dulu memang gadis itu menyukai Brian. Mengenyahkan keduanya dari benak, ia melirik Danial. Perasaan iba merasukinya. Danial yang sekarang berbeda jauh dengan Danial yang dulu ia tahu. Tidak ada lagi wajah bersih rupawan, digantikan dengan janggut dan cambang yang sepertinya tidak dicukur berhari-hari. Senyum optimis yang biasa menghiasi bibir laki-laki itu, menghilang dan digantikan dengan sikap yang gugup.
Anyelir merasakan tusukan rasa bersalah, terlebih saat melihat Danial menunduk dengan bahu lunglai. Bagai laki-laki yang kehilangan harapan hidup. Ia tidak tahu, jika dampak dari putusnya hubungan mereka akan sangat besar bagi Danial. Tadinya, ia menyangka laki-laki di sebelahnya akan mampu menjalani kehidupan dengan baik-baik saja tanpa dirinya, menginta Danial adalah laki-laki mandiri dan target yang pasti. Meskipun menikah sama sekali hal yang tidak ditargetkan, tapi untuk hal lain, lak-laki itu punya tujuan yang jelas.
“Anyelir, apa kabarmu?”
“Baik, Kak.”
“Iya, aku lihat memang kamu baik-baik saja. Justru aku yang sekarang tertekan.”
Danial menyugar rambut, memijat kepala lalu menatap Anyelir yang duduk tenang. “Bisakah kamu memberitahu satu hal?”
Pertanyaannya membuat Anyelir menoleh. “Apa?”
“Apa salahku? Kenapa kamu memutuskan aku? Apa ada alasan lain selain aku mengundur waktu pernikahan?”
Anyelir tertegun lalu menggeleng. “Tidak ada, Kak. Memang kita nggak bisa bersama lagi.”
“Kenapa Anyelir. Sampai sekarang aku masih bingung dengan alasanmu. Kutelepon kamu nggak angkat, kukirim pesan kamu nggak baca, aku ke kedai kamu nggak mau nemuin. Bahkan Mama sendiri yang datang membujuk, kamu bergeming. Tolonglah, jangan seperti ini, Anyelir. Katakan terus terang apa salahku? Biar aku perbaiki diri.”
Lagi-lagi Anyelir hanya menggeleng. Ia tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya pada Danial kalau alasan putusnya hubungan mereka karena dia hamil. Apa kata laki-laki itu nanti. Setidaknya, sekarang mereka saling menjauh dulu. Jika kelak Danial tahu. Biarlah itu terjadi setelah mereka tidak lagi berhubungan.
“Anyelir, tidak bisakah hatimu melunak. Demi mamaku yang teramat sedih karena kita. Demi hari-hari yang sudah kita lalui bersama, tidakkah kamu ingin memberiku kesempatan?”
Merasa dadanya yang berdebar, Anyelir tercabik antara rasa ingin menjauh atau merebahkan diri dalam pelukan Danial. Ia masih menyayangi Danial, bahkan sampai sekarang perasaannya berlum berubah. Ia tidak suka melihat Danial bersedih, tapi tak sanggup membayangkan juga kalau sampai laki-laki itu tahu alasanya mencampakkan hubungan mereka.
“Kak, lebih baik kamu urus Mama. Sepertinya dia stress berat dan kelelahan. Mungkin menyewa perawat untuk menemaninya akan sangat bagus.” Ia beranjak, tak ingin berlama-lama di tempat ini.
“Kamu mau ke mana?” tanya Danial heran.
Anyelir tersenyum kecil. “Pulang, udah malam.”
“Ta-tapi, pembicaraan kita belum selesai.” Tanpa ragu, Danial menyambar pergelangan tangan Anyelir. “Tolonglah, beri aku kesempatan.”
Tidak ingin berkubang dalam kesedihan lebih lama, Anyelir dengan perlahan melepaskan cengkeraman Danial di tangannya dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
“Anyelir.”
Ia bahkan tidak ke kamar untuk berpamitan dengan Haniah dan orang-orang yang ada di kamar. Otaknya buntu, sarat kesedihan. Yang ia inginkan sekarang adalah menjauh dari mereka.
Danial menatap punggung Anyelir yang menjauh dengan bahu lunglai. Ia menutup wajah dan memijit kedua bola matanya. Rasa sesal bercampur marah karena tidak tahu letak kesalahannya hingga Anyelir tega memutuskan hubungan, menguasai dirinya. Ia mendongak saat melihat Brian dan sahabatnya itu duduk di sampingnya.
“Anyelir pergi?”
Ia mengangguk. “Iya, berlalu dengan dingin. Aku ditinggalkan.”
Brian menatap sahabatnya dengan prihatin. “Kalian sudah bicara?”
“Sudah, dan dia menolak ide kami kembali bersama. Yang membuat frustrasi adalah, tidak memberitahuku apa alasan memutuskanku, sampai detik ini.”
Terdiam di tempatnya duduk, Brian mendengarkan Danial mencurahkan isi hatinya. Ini bukan pertama kalinya Danila bicara soal kandasnya hubungan antara dirinya dan Anyelir. Ia bahkan bisa menghapal setiap kata yang diucapkan Danial tentang Anyelir karena laki-laki itu selalu mengulang kata yang sama.
Brian menatap lorong di mana sosok Anyelir tidak lagi terlihat. Jujur saja, ia juga ingin tahu apa yang terjadi dengan wanita itu. Apakah semua hal yang terjadi adalah dampak dari percintaan satu malam mereka? Ia menghitung cepat, jika benar harusnya sudah terjadi.
“Kak, Mama mencarimu.” Nerisa muncul dari balik pintu dan memanggil Danial.
Danial bangkit dengan enggan, meninggalkan Brian. Terduduk sendiri, Brian menahan keinginan untuk merokok. Jika tidak ingat sedang di rumah sakit, ingin rasanya menghisap tembakau dan membiarkan gundahnya terbang bersama asap dan angin. Ia tidak mengerti, kenapa melihat raut wajah Anyelir juga mempengaruhi moodnya.
Ponselnya di saku bergetar, ia merogoh dan sebuah amplop putih terjatuh di lantai. Tangan kanan memegang ponsel, tangan kirinya mengambil amplop dari lantai. Ada pesan dari Vania yang menanyakan keberadaannya. Dengan cepat ia menjawab sedang di rumah sakit dan berjanji pada wanita itu akan bertemu besok.
Selesai mengirim pesan, ia mengamati amplop di tangan. Teringat kalau amplop ini diberikan Anyelir untuknya. Penuh rasa ingin tahu, ia membuka perlahan dan membaca kalimat yang tertera. Makin ke bawah yang ia baca, makin gemetar tubuhnya. Menghela napas panjang, ia menutup wajah dengan gemetar. Lalu, tersadar kalau Anyelir sudah pergi. Tanpa berpamitan, ia melesat menyusuri lorong rumah sakit, menuju pintu keluar.
Beberapa kali ia hampir menubruk orang-orang yang berpapasan dengannya. Tidak memedulikan pandangan menegur yang dilayangkan petugas keamanan karena ia berlari menyusuri lorong. Napasnya tersengal, saat tiba di pintu utama. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok Anyelir. Melangkah di antara mobil yang terparkir, menuju pinggir jalan yang mulai sepi.
“Anyelir, kamu di mana?” gumamnya putus asa. Ia meraih ponsel, berusaha menghubungi wanita itu tapi tidak ada jawaban. Tidak menyerah, ia menyusuri trotoar menuju halte yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk rumah sakit. Matanya berbinar, saat menatap sosok wanita yang berdiri sendirian di halte.
Setengah berlari ia menghampiri Anyelir dan menubruk wanita itu dari belakang. Ia memeluk erat, tidak mengindahkan jeritan kaget Anyelir.
“Kak, apa-apaan, sih? Lepaskan! Malu dilihat orang!” Anyelir menyentak kaget, berusaha melepaskan diri tapi Brian makin mengetatkan pelukannya. Akhirnya, setelah berusaha beberapa saat ia terdiam. “Kak, ada apa?” tanyanya bingung sambil meronta.
Brian gemetar, napasnya berembus hangat di bagian belakang kepala Anyelir. Untuk sesaat laki-laki itu terdiam, berusaha mengatur napas.
“Anye, kamu hamil anakku?”
Gerakan Anyelir terhenti. Tangannya yang semula berada di lengan Brian, luruh. Pada akhirnya, Brian tahu yang sebenarnya. Ia tetap diam, sementara tubuhnya dipeluk erat dari belakang. Mereka berdiri diam di bawah bayang-bayang pepohonan, dengan sinar lampu jalanan dan kendaraan menyorot tajam. Melebur dalam satu kesepakatan yang sama, jika masa depan mereka kini berubah..
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro