Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7


Sudah seminggu berlalu semenjak Anyelir terakhir kali bertemu Danial. Hubungan yang mereka bina selama empat tahun lamanya, kini kandas. Anyelir berusaha untuk tidak menyesali diri, meski hatinya remuk redam.

Selama ini, meski bisa dibilang hubungan mereka tidak terlalu harmonis, tapi harus diakui Danial laki-laki yang baik. Laki-laki itu memperlakukannya dengan sopan, menyayanginya, dan selalu menemani saat susah.  Dengan keluarganya pun, Anyelir sidah dekat. Ia bisa memahami, kenapa Danial menolak putus. Sayangnya, ia yang tidak bisa melanjutkan hubungan.

Beberapa kali Danial menelepon, Anyelir tidak pernah mengangkat. Pesan pun tidak dibalas. Bahkan pernah satu kali Danial datang mencarinya di kedai, dengan tegas Anyelir menolak bertemu. Setelah itu, laki-laki itu tidak datang lagi. Hingga siang ini, kedatangan Haniah membuat Anyelir susah untuk menolak.

Wanita setengah baya itu mengamati kedai yang lumayan ramai. Memesan jus nanas sementara menunggu Anyelir yang sedang menghitung stok. Tanpa mengatakan apa-pun, Haniah hanya duduk tenang di kursi belakang.

Mengambil jeda istirahat, Anyelir membuka celemek dan mencuci tangan. Ia menatap sosok Haniah dari belakang. Firasatnya mengatakan, wanita itu datang untuk bicara tentang Danial. Menahan gugup, ia melangkah ke belakang dan menyapa ramah.

“Ma, apa kabar?”

Haniah mengamati Anyelir dari atas ke bawah. “Kamu kurus, pucat pula. Apa kamu sakit, Anyelir?”
Anyelir menggeleng,  menarik kursi dan duduk di sebelah Haniah. Mendekap mug putih berisi teh hangat, ia berharap minuman di tangannya
membantu mengatasi gugup.

“Apa kamu punya anemia?”

Kali ini Anyelir tersenyum. “Bisa jadi, Ma.”

“Oh, jangan lupa banyak makan yang mengandung zat besi.”

“Iya, Ma.”

Sesaat mereka terdiam, Haniah melirik Anyelir sesaat. “Anyelir, kenapa kamu mutuskan hubungan dengan Danial?”

Anyelir menahan napas, dugaannya benar kalau Haniah datang demi memastikan hubungannya dengan Danial. Menggigit bibir bawah, ia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan sebelum menjawab pelan.

“Nggak ada apa-apa, Ma. Memang aku merasa kami sudah nggak cocok.”

“Omong kosong!” sergah Haniah keras.

“Bisa-bisanya kamu bilang kalian nggak cocok setelah sekian lama? Jujur saja, ada apa? Apa Danial menyakitimu?”

Anyelir menggeleng. Bagaimana mungkin ia jujur tentang kehamilannya. Dalam hal ini, ia tidak mungkin menyalahkan Danial. Meski pernah memergoki Nerisa di apartemen Danial, entah kenapa ia sama sekali tidak merasa cemburu atau marah. Bisa jadi karena merasa tak layak untuk itu. Ia adalah pendosa dan haram baginya menghakimi orang lain.

“Anyelir! Apa kamu dengar?”

Mengangguk dengan berat hati, Anyelir berucap pelan. “Iya, Ma.”

“Jawab, kenapa kamu malah diam? Ada apa sama kamu? Kenapa memutuskan Danial?”

“Ma, ini keputusan terbaik bagi kami. Mungkin memang kami tidak berjodoh.”

“Oh, Anyelir. Kamu kenapa, Nak. Kenapa jadi berubah begini?” Haniah menyandarkan kepalanya ke kursi dan memijat kepalanya.

Melihat Haniah seperti itu, kepanikan melanda Anyelir. “Ma, kenapa? Sakit kepala atau apa?”

Haniah menggeleng. “Aku baik-baik saja. Yang nggak baik adalah kamu sama anakku. Sekian lama kalian bersama, aku bahkan sudah mempersiapkan upacara pernikahan. Sudah menabung agar kalian bisa punya rumah saat menikah nanti. Lalu, sekarang? Kamu meminta putus tanpa alasan yang jelas.”

“Ma ….”

“Jangan memintaku untuk tenang Anyelir. Apa kamu tahu bagaimana perasaanku saat Danial datang dan mengatakan kalau kamu memutuskan hubungan dengannya?”

Menghela napas, Anyelir menunduk. “Maaf, Ma. Mungkin ini yang terbaik untuk kami.”

“Terbaik katamu? Untuk kalian. Kata-kata itu seperti bukan kamu yang mengucapkan Anyelir. Beri aku satu alasan kuat, kenapa kalian putus.”

“Maaf, Ma.”

“Jangan minta maaf terus! Yang aku butuhkan adalah alasan kenapa anakku dicampakkan!”

Selama hampir dua jam lamanya, Haniah terus mendesaknya. Wanita itu tidak puas apa pun yang Anyelir katakan tentang perpisahannya dengan Danial. Sedangkan ia tidak mungkin mengatakan kalau sedang hamil dengan laki-laki lain. Alasan pertama tentu saja karena male sedangkan alasan lainnya, tidak tega menyakiti Haniah. Ia berharap, seiring berjalannya waktu maka Danial dan keluarganya akan melupakannya.

Sepeninggal Haniah yang pergi dengan wajah murah dan sedih, Anyelir merenung di kamarnya. Meraba perutnya yang masih kempes. Kehamilan ini memang tidak  direncanakan, bahkan bisa dikatakan kehadiran sang bayi seperti menghancurkan harapannya untuk masa depan. Namun, ia tidak akan pernah mengorbankan bayi dalam kandungan untuk apa pun juga. Bahkan saat harus membesarkan bayinya seorang diri tanpa sang ayah.

Memejamkan mata, Anyelir membayangkan sosok Brian. Laki-laki yang sama sekali tidak ia duga akan masuk dalam hidupnya. Ia tidak tahu, apa yang akan terjadi kalau kelak Brian tahu soal anak dalam kandungannya. Memang pernah sebelumnya kalau Brian mengatakan akan bertanggung jawab. Lalu, apakah ia tega membiarkan laki-laki itu terikat dalam hubungan tanpa cinta? Terlebih sekarang sudah ada Vania.  Berita kedekatan mereka santer di jagat maya karena Vania seorang influncer dan Brian adalah pengusaha  muda terkenal. Tidak aneh kalau mereka menjadi sorotan media. Sedangkan dirinya bukan siapa-siapa, tidak elok rasanya jika harus menjadi penganggu.

Tenggelam dalam pikirannya sendiri, Anyelir merasa sedih dan kesepian. Saat seperti ini, ia ingin sekali ditemani oleh seseorang. Apa daya, di dunia ini ia sendiri.

“Kamu cepat besar, cepat lahir, nanti temani Mama, ya? Biar mama tidak kesepian.” Menahan air mata di pelupuk, Anyelir mengusap perutnya.
**
Hujan terus menerus menerpa kota. Di beberapa wilayah malah diberitakan banjir termasuk jalanan menuju kedainya. Akibat dari banjir itu, usaha Anyelir sepi. Dengan terpaksa ia meliburkan karyawan, menunggu hingga keadaan membaik.

Di malam ketiga kedainya tutup, ia menerima tamu yang tak disangka-sangka. Untuk sesaat ia terpana, menatap sosok Brian yang berdiri menjulang di depannya.

“Anye, apa kabar?”

“Kak, kenapa ada di sini?” tanyanya heran.

“Boleh aku masuk? Hujan soalnya.”

Sesaat kebingungan, akhirnya Anyelir membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan laki-laki itu masuk. Ia melihat bahu dan rambut Brian basah. Mengambil kotak berisi tisu, ia mengulurkannya pada Brian.

“Terima kasih, hujannya lumayan deras,” ucap Brian mencabut beberapa lembar tisu dan mengelap rambutnya.

“Ada apa, Kak? Kenapa kamu kemari?” tanya Anyelir tanpa basa-basi.

Brian mendongak, menatapnya tajam. “Anye, di luar hujan dan dingin. Tidak bisakah aku dibuatkan kopi atau teh panas?”

Perkataan Brian yang diucapkan dengan nada memelas, membuat Anyelir iba. Membiarkan laki-laki itu berdiri, ia menuju dapur. Dengan pikiran campur aduk, ia membuat kopi. Ia tidak punya kopi giling asli, yang ada hanya kopi sachetan. Semoga saja Brian tidak mencelanya.

Meletakkan kopi di atas nampan, ia melangkah ke ruang depan. Sesaat tepana melihat sosok Brian yang tinggi menjulang dan terlihat mendominasi ruangan. Dari belakang, bentuk tubuh dan tinggi laki-laki itu memang mirip dengan Danial. Namun, entah kenapa ia merasa Brian jauh lebih mengintimidasi dari pada Danial. Ia mendesah, benci dengan pikiran dan dirinya yang gugup saat melihat Brian. Menenangkan diri, ia menghampiri laki-laki itu dan meletakkan kopi di atas meja.

“Diminum, Kak. Sorry, hanya ada kopi sachet.”

Brian tersenyum. “Nggak masalah. Yang penting bisa menghangatkan.” Tangan laki-laki itu meraih gelas dan meneguknya. Saat melihat Anyelir bergerak, ia meletakkan gelas dan menyambar pergelangan tangan wanita itu.

“Ada apa, Kak?” tanya Anyelir kaget.

“Anye, kenapa kamu putus dengan Danial?”

Anyelir terdiam, berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Brian. “Kak, lepaskan aku!”

“Tidak, sebelum kamu mengatakan alasan kenapa kamu putus dengan Danial.”

Menegakkan tubuh, Anyelir berucap dengan bibir bergetar. “Bukan urusanmu kami putus atau nggak!”

Brian mengangguk. “Memang bukan urusanku. Hanya saja aku ingin tahu! Katakan, kenapa kamu putus dengannya!”

Merasa marah karena dipaksa, Anyelir menyentakkan tangan Brian dan melotot pada laki-laki itu.

“Kamu datang tanpa diundang, memaksa untuk tahu urusan orang lain. Apa masalahmu sebenarnya, Kak?”

Ucapan Anyelir membungkam penyangkalan dari mulut Brian. Laki-laki itu menunduk lalu menyugar rambutnya.

“Aku punya dugaan, kalau kamu putus dengan Danial karena aku. Karena kejadian kita berdua. Benarkah?”

Anyelir tidak menjawab pertanyaan Brian, merasa tidak cukup kuat untuk berdiri berlama-lama, ia menarik kursi dan duduk. Menatap laki-laki tampan yang pernah menghabiskan malam penuh gairah bersamanya. Satu malam yang menghancurkan masa depannya.

“Kamu takut makanya kamu datang untuk bertanya?”

“Takut apa?”

“Takut aku hamil lalu kamu diminta tanggung jawab. Kamu takut itu bukan?”

Kali ini Brian menggeleng. “Nggak, aku tidak takut. Malam itu sebagian adalah kesalahanku juga. Kalau memang kamu hamil, mau gimana lagi?”

Suara Brian melemah, Anyelir tersenyum. Bisa jadi bibir Brian mengatakan tidak, tapi hati manusia tidak ada yang tahu.

“Pulangkah, Kak. Urusanku dengan Danial biar tetap menjadi urusan kami.”

Brian bangkit dari kursi, melangkah ke depan Anyelir dan berjongkok di depan wanita itu.

Tindakannya membuat Anyelir bingung.
“Kak, mau apa kamu?”

Tangan Brian menarik tangan Anyelir yang terkepal dan membukanya. Mengabaikan Anyelir yang berusaha menolak, ia mengecup telapak tangan wanita itu dan bisa mendengar suara napas yang terkesiap.

“Anyelir, aku akan diam kalau saja beberapa hari ini tidak melihat Danial terus menerus mabuk. Aku akan diam, tidak ikut campur seandainya tidak melihat Danial menangis dan terpuruk. Dia mengatakan, kamu memutuskan hubungan tanpa tahu salahnya apa. Lalu, sebagai sahabat apakah aku bisa berdiam diri?”

Genggaman tangan Brian terasa kuat di telapak Anyelir. Menahan perasaan yang berkecamuk karena perkataan laki-laki itu tentang Danial, ia meneguk ludah dengan gugup. Rasanya tidak mungkin kalau Danial mabuk dan terpuruk karena dirinya. Ia tahu persis laki-laki itu punya harga diri yang tinggi. Selama empat tahun, dirinyalah yang mengejar dan memuja, Danial justru sebaliknya. Terlihat enggan, meski tetap bersikap baik. Lalu kini Brian mengatakan kalau mantan tunangannya menderita, itu mustahil.

“Aku punya alasan sendiri, Kak. Sebuah alasan ingin kusimpan sendiri.”

“Apa itu? Apakah menyangkut aku?” tanya Brian mendesak. “Apakah semua yang terjadi antara kalian berhubungan denganku?”

Anyelir bimbang, ingin mengatakan yang sesungguhnya pada Brian atau tidak. Ia menatap laki-laki yang masih berjongkok sambil memegang tangannya. Menuruti ego, ingin rasanya mengusir laki-laki itu tapi hangat genggaman Brian menyentuh perasaannya. Seketika, memori saat mereka menghabiskan malam berdua, berkelebat di benaknya.

Tersenyum tipis Anyelir berucap lirih. “Tadinya, aku akan mengatakan yang sesungguhnya padamu, Kak. Saat kamu mengatakan akan menelepon, aku menunggu. Hingga akhirnya, sama sekali tidak ada kabar darimu.”

Brian tercengang lalu mengangguk sambil memejam. “Maaf, aku lupa. Kesibukan bolak-balik ke luar kota dan juga--,”

“Ada Vania. Kalian berpacaran bukan?”

“Hei, sifat pikunku tidak ada hubungannya dengan Vania.”

“Baiklah, tidak perlu membelanya.”

“Aku tidak membelanya, Anye. Memang tidak ada kaitannya antara Vania dan aku yang lalai.”

Mengangkat bahu, Anyelir menyunggingkan senyum di mulut. “Baiklah, terserah apa katamu, Kak. Biar pun di internet berita tentang kalian bersliweran, tapi itu urusan kalian. Sama seperti aku dan Danial. Itu urusan kami dan kamu tidak berhak ikut campur!"

Kata-kata tegas yang diucapkan Anyelir membuat Brian terdiam. Tangannya yang semula menggenggam tangan Anyelir, ia lepaskan perlahan. Lalu, berganti mengusap lutut dan betis Anyelir yang tidak tertutup rok.

“Kak, apa-apaan kamu!” sentak Anyelir.

Brian mengabaikannya. “Kamu cantik, Anye. Tadinya kupikir kamu wanita lemah lembut dan hanya menuruti apa pun yang dikatakan Danial. Ternyata kamu sangat keras kepala.”

“Karena tidak semua masalah, kamu harus ikut campur. Meski itu menyangkut Danial sekalipun.”

“Memang, setidaknya aku sedang mencoba untuk menolong kalian.” Brian mendongak, menatap Anyelir. “Apa kamu takut kalau dia tidak bisa menerima keadaanmu yang tidak lagi perawan?”

Anyelir mengigit bibir bawah lalu mengangguk. “Bisa dikatakan itu juga.”

“Hal lainnya?”

“Banyak, dan tidak bisa kukatakan.”

“Bahkan padaku?”

“Terlebih padamu.”

Brian bangkit dari tempatnya berjongkok, menatap sekelilingnya dan mengamati keadaan kedai. Tempat sederhana yang menawarkam berbagai makanan khas anak muda. Interior yang minimalis tapi elegan, membuatnya nyaman.

“Berapa lama kamu buka usaha ini?” tanyanya mengalihkan perhatian dari Danial.

“Sekitar tiga tahun.”

“Laris?”

“Lumayan, bisa untuk makan.”

“Tempat ini, punya siapa? Kamu menyewa?”

Anyelir mengangguk. “Iya, sewa per tahun.”

“Lalu, di mana rumahmu?”

“Nggak ada. Aku tidak cukup kaya untuk membeli rumah sendiri.”

Brian mengamati Anyelir, merasa kagum pada kemapuan wanita itu mencari uang. Sendirian, tanpa orang tua, Anyelir menopang hidupnya dan hidup beberapa orang yang menjadi karyawannya.

“Anye, bisakah kamu katakan sesuatu padaku?”

Anyelir menggeleng. “Maaf, urusanku dengan Danial bukanlah urusanmu. Jadi, kamu tidak berhak tahu.”

“Bukan itu.” Brian berjongkok di depan Anyelir, mengulurkan tangan untuk membelai wajah lembut di hadapannya.”Seandainya terjadi sesuatu, semisalnya kamu hamil. Bisakah kamu memberitahuku?”

Keterkejutan terlintas di wajah Anyelir. Sementara tangan Brian kini membelai lembut pipinya dan mengirimkan gelenyar kehangatan.

“Seandainya, aku benar hamil. Apa yang ingin kamu lakukan, Kak?”

“Entahlah, tapi yang pasti aku bertanggung jawab. Bisa jadi menikahimu.”

Anyelir tersenyum. “Bagaimana dengan orang tuamu, apakah mereka akan terima kamu menikahiku? Lalu, bagaimana dengan Vania? Bukankah kalian baru saja dekat. Lalu, apa yang akan kamu katakan pada Danial? Kalau kamu tidur dengan tunangannya? Apa kamu siap semua itu?”

Brian mendesah dan menjawab pelan. “Mungkin awalnya berat tapi, seandainya benar terjadi, aku akan menghadapi semua orang. Demi--,”

“Demi apa?”

“Bayi dalam kandunganmu. Bagaimana pun kesalahan ada pada kita, dan aku tidak ingin bayi yang tidak berdosa menjadi korban.”

Anyelir mengatupkan mulut, merasa tergugah dengan perkataan Brian. Tanpa sadar ia meraba perutnya. Mempertimbangkan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Brian. Bagaimana pun, Brian memang berhak tahu atas kehamilannya.

“Tunggu di sini, Kak. Aku ambil sesuatu.”

Anyelir bangkit dari kursi dan melangkah ke kamar. Ia berniat mengambil hasil tes kehamilannya. Kalau ditunjukkan bukti itu, Brian akan mengerti dalam sekali lihat. Hingga ia tidak perlu repot-repot menjelaskan. Apa yang akan terjadi nanti saat semua orang tahu, biarlah ia hadapi bersama Brian.

“Apa ini?” tanya Brian menerima amplop dari Anyelir.

“Buka dan bacalah.”

Belum sempat Brian membuka, ponselnya berbunyi. Ia menekuk amplop dan menerima panggilan. Wajahnya menegang saat bicara di telepon dan setelah menutup sambungan, ia berkata pelan pada Anyelir.

“Danial menelepon, memintaku untuk menjemputmu. Mamanya pingsan dan sekarang ada di rumah sakit, Anye.”

Meraba dadanya yang bergetar menahan sedih, Anyelir menekan rasa bersalah. Ia menurut saat Brian mengajaknya ke rumah sakit dan membiarkan laki-laki itu membawanya dengan mobil dan menerjang hujan. Sepanjang jalan mereka berdiam diri dan amplop putih terlipat dalam saku celana Brian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro