Bab 4
Dalam restoran, suasana sangat tenang. Meja bundar dengan sepuluh kursi baru terisi tiga orang. Brian menatap orang tuanya yang dengan bosan. Hari ini mereka memaksanya ikut acara makan, padahal orang tuanya tahu kalau ia paling segan mengikuti acara begini. Ia suka bersosialisasi kalau tahu dengan benar, siapa patner yang akan ditemui. Membahas bisnis akan sangat menyenangkan dari pada mengumpul tidak jelas seperti sekarang. Namun, ia menahan lidah utuk tidak mengatakan hal-hal yang ada di pikiranya. Bagaimanapun ada orang tua yang ia hormati.
“Kamu ingat Pak Rusliwan?” tanya Arif pada anak laki-lakinya yang terlihat bosan. “Dia punya perusahaan percetakan dan juga pabrik kertas. Kita bisa banyak belajar dari dia.”
Brian mengerut. “Pak Rusliwan yang dulu tinggal di samping rumah kita?”
“Benar, beliau datang bersama keluarganya. Kamu ingat anak perempuannya yang seumuran denganmu?”
Ingatan Ben samar-samar tertuju pada gadis amat cantik yang menjadi primadona kampus. Kebetulan gadis itu satu fakultas dengannya.Mereka tinggal berselebelahan, dan lumayan akrab waktu itu. Hingga, akhirnya mereka memutuskan untuk ke luar negeri karena tugas Rusliwan.
“Berapa tahu nggak ketemu mereka, Pak?” Sinta bertanya pada suaminya.
“Sepertinya ada lima tahun, ya. Tapi, selama ini aku terus kontek dengan Pak Rusliwan. Dan bisa dikatan kami lumayan akrab.” Arif memandang anaknya. “Mereka mau ketemu kamu.”
Brian mengangkat bahu.Meneguk teh panas dalam gelas kecil di depannya. Ia mempunya dugaan dan berharap dugaannya salah.
Mereka mendongak saat pintu terbuka. Masuk dua pelayan mengiringi tiga orang tamu. Arif bangkit dari kursi untuk menjabat tangan laki-laki setengah baya dengan rambut memutih di bagian samping. Sementara mamanya kini memeluk seorang wanita berpenampilan rapi dengan rambut disanggul. Ia bangkit dari tempatnya sendiri, bertatapan dengan seorang wanita amat cantik berambut ikal kecoklatan dengan wajah tirus menawan. Wanita itu tersenyum dan menyapa ramah.
“Apa kabar, Brian.”
Brian mengangguk. “Vania, apa kabar?”
Keduanya bersalaman dan Vania tanpa sungkan duduk di sebelahnya.
“Wah, senang kalian masih akrab seperti dulu.” Arif berucap senang.
“Sudah saya bilang, Pak. Mereka akrab.” Kali ini Rusliwan yang bicara.
“Hahaha. Bisa-bisaaa, bagaimana kalau kita minta mereka menikah lalu memberikan cucu untuk kita.”
“Ide bagus itu.”
Brian duduk tanpa bicara, sementara para orang tua kini mengobrol. Di sampingnya Vania sibuk dengan ponsel yang tak berhenti berdering.
“Brian, nggak nyangka usaha yang kamu rintis dari kuliah dulu kini jadi besar.” Vania membuka percakapan.
“Lumayan memang.”
“Buka cabang di mana-mana?”
“Sudah lebih dari 17 kota sejauh ini.”
“Keren sekali kamu.”
Beberapa orang pelayan datang membawa makanan di atas piring-piring besar dan menghidangkan di atas meja. Ada rangkaian bunga berbagai warna yang diletakkan khusus di tengah. Setangkai bunga merah muda menarik perhatiannya. Tanpa disadari, tangannya terulur untuk membelai kelopak yang merekah.
“Kamu suka bunga anyelir?”
Brian menoleh cepat pada Vania. “Bunga apa?”
“Itu, yang kamu pegang namanya bunga anyelir. Cantik memang tapi aku pribadi suka tulip. Lebih elegan.”
Anyelir, saat tangannya mengelus kelopak bunga pikiran Brian tertuju pada seorang wanita dengan karapuhan tersirat dari ujung kaki sampai kepala. Anyelir yang sendu tapi di lain sisi juga keras kepala. Entah mulai kapan, ia mengingat-ingat wanita itu. Bisa jadi setelah malam sendu yang dihabiskan oleh mereka berdua.
Sebenarnya, sosok Anyelir sangat menarik perhatiannya di hari pertama mereka bertemu. Tiga tahun lalu di acara pertunangan wanita itu dengan Danial. Ada sesuatu yang membuat hatinya tergerak. Bisa jadi bibir bawahnya yang tebal dan menggiurkan untuk dicium, atau juga matanya yang memancarkan kelembutan. Ia bahkan tidak percaya, seorang seperti Danial bisa bertunangan dengan wanita seperti Anyelir. Namun, beberapa waktu lalu saat ia datang ke rumah sahabatnya untuk makan malam, dilihat dari cara Anyelir melayani keluarga Danial, ia tahu mereka cocok.
Masalahnya sekarang adalah, tubuh dan tangannya yang selalu bereaksi setiap kali melihat Anyelir. Ia sudah mencoba untuk menahan diri tapi sulit.
Akhirnya, ia menyeret Anyelir dalam lubang kegelisahan yang sama dengannya.
“Brian, kok melamun aja. Ayo, ambilkan Vania makan.” Teguran dari mamanya membuat Brian tersentak. Ia menoleh ke arah wanita di sampingnya yang sedang menatap ponsel.
“Vania, mau makan apa?”
Vania mengangkat bahu, menatap hamparan makanan di hadapannya. “Apa saja, jangan banyak lemak. Lagi diet.”
Brian menarik napas panjang, berurusan dengan wanita diet kadang mengesalkan. Karena ia tidak tahu apa mau mereka. Akhirnya, ia menawarkan sayur dan Vania mengangguk.
Sisa hari itu, Brian makan hidangan sambil sesekali mengobrol dengan Vania yang ternyata adalah seorang fashion blogger dan influncer ternama di media sosial. Ia tidak pernah tahu karena memang tidak pernah berhubungan dengan wanita itu semenjak mereka pindah. Namun, kata-kata Vania membuatnya kaget.
“Aku nggak pernah lupa malam itu, Brian. Ingat saat kita pulang bersama karena kemalaman dan kamu memboncengku naik motor? Kita berciuman di teras rumahku. Sampai sekarang, aku masih ingat.”
Brian tidak mengatakan apa pun, karena dari lubuk hatinya ia sudah lupa.
**
Anyelir merasa tidak enak badan. Sedikit meriang dan mual. Iamenduga, karena pegawainya salah membeli cumi-cumi yang tidak segar. Akibatnya, saat dimasak terciuma aroma kurang sedap yang membuat perutnya bergolak.
“Singkirkan cumi itu dan menu yang berisi cumi-cumi kalian tulis habis.”
Setelah memberi perintah pada pegawainya, yang langsung bertindak, ia masuk ke ruang belakang dan merebahkan kepalanya di meja. Berusaha mengatur pergolakan di perut dengan mengoles minyak kayu putih. Setelah agak enakkan, ia berencana untuk menelepin Verona. Mereka janji akan bertemu sore ini untuk membahas masalah penting.
“Anyelir, kamu sakit?”
Teguran dari pintu disertai ketukan pelan membuatnya mendongak. Danial tersenyum ke arahnya.
“Kak, tumben datang siang-siang begini,” tanya Anyelir heran.
“Iya, mampir saja. Ternyata kedaimu ramai. Pegawaimu bilang kamu sakit?” Danial mengenyakkan diri di atas kursi di samping Anyelir dan meraba dahi wanita itu. “Nggak panas.”
“Hanya mual, mungkin masuk angin.”
“Oh, bisa keluar? Aku mau ajak kamu jalan-jalan.”
“Ke mana?”
“Tokonya Brian. Dia ada buka cabang di dekat sini. Ayo, kita ke sana lihat.”
Anyelir mengedip bingung. “Eh, tapi, Kak, aku--,”
“Sudah, jangan membantah. Ayo, kita pergi.”
Tidak memedulikan penolakan Anyelir, Danial meraih tangannya dan menyeretnya keluar. Ini adalah salah satu sifat Danial yang tidak disukai Anyeli. Suka memaksakan kehendak. Ada banyak alasan kenapa ia tidak ingin pergi ke toko Brian. Satu, karena enggan bertemu si pemilik dan kedua, karena lagi nggak enak badan. Akan menyenangkan kalau ia bisa merebahkan tubuh.
Sepanjang jalan menuju toko, Danial banyak bercerita tentang pekerjaannya dan juga teman-teman ya g baru saja dia jumpai. Sementara Anyelir terdiam mendengarkan. Dari dulu selalu begitu, sang tunangan sangat mendominasi percakapan, kali ini pun tiada berbeda.
“Apa kamu tahu kalau Malam Minggu nanti ada acara? Kita berdua diundang.”
Anyelir menggeleng. “Nggak tahu. Ada acara apa?”
“Oh, reuni fakultas, sih. Kita datang nanti.”
“Hah, aku bukan anak kuliahan. Maksudku, bukan bagian dari kalian.”
“Nggak masalah. Soalnya di undangan tertulis harus bawa pasangan. Kamu harus ikut dan pakai gaun yang bagus. Jangan sampai membuat malu.”
Anyelir memejam. Memikirkan tentang gaun yang akan dipakai nanti. Ia tidak ada lagi gaun baru karena jarang sekali membeli. Ia lebih suka menyimpan uang untu digunakan jika ada perlu dari pada menghambur-hamburkan. Yang pasti, Danial akan marah kalau ia terlihat memakai gaun lusuh. Memikirkan harus membuka tabungan demi membeli hal yang tidak ia inginkan, Anyelir merasa sakit kepala.
Mereka tiba di toko 30 menit kemudian. Disambut oleh para pramuniaga yang mengantar mereka berkeliling. Anyelir merasa lega saat mendapati Brian tidak ada di toko. Selama Danial melihat-lihat, ia hanya diam duduk di pojokan, menahan mual.
“Kamu diam saja di sana? Bantu aku milih,” ucap Danial padanya.
Anyelir tersenyum kecil. “Kakak saja, aku lagi nggak enak badan.”
Danial menggeleng dan menggerutu sambil ngloyor pergi. “Baiklah, aku cari sendiri. Apa gunanya kamu ikut kalau gitu?”
Menarik napas panjang, Anyelir memejam. Perutnya lagi-lagi bergolak tidak enak. Ia bangkit dan setengah berlari ke arah toilet. Setelah menumpahkan seluruh isi perutnya, Anyelir bersandar pada pintu. Setelah membasuh wajah dan berkumur, ia melangkah lunglai keluar dari toilet.
Di dekat meja kasir ia terpaku. Menatap sosok tinggi tegap yang sedang berdiri di tengah ruangan. Ada Danial di sampingnya dan mereka bicara soal kaos yang ada di tangan Brian. Untuk sesaat Anyelir terdiam, hingga Brian mengangkat wajah dan menemukannya. Laki-laki itu tersenyum.
Meninggalkan Danial dan mendekat ke arahnya.
“Kamu sakit? Kenapa pucat sekali?”
Pertanyaan yang di luar perkiraan membuat Anyelir kaget. “Ah, hanya masuk angin.”
“Mau minum teh panas?”
Malu-malu Anyelir mengangguk.
“Ayo, ke kantorku. Kita minum teh di sana.”
“Tapi--,”
“Biar Danial nyusul.”
Anyelir kebingungan, antara tetap menunggu Danial yang sekarang sedang menumpuk baju di lengan seorang pramuniaga atau mengikuti Brian.
“Danial, kami menunggumu di kantor!” Brian membantunya mencari jalan keluar dengan berpamitan pada tunangannya. Danial melambaikan tangan, membalas ucapan sahabatnya.
“Anye, ayo.”
Sedikit ragu-ragu, Anyelir akhirnya mengikuti langkah Brian menuju kantor. Ia duduk di sofa sementara Brian meminta salah seorang pegawai membuat teh hangat untuknya. Sementara menunggu, keduanya hanya berpandangan tanpa kata.
“Kamu kurusan, Anye.”
Anyelir menunduk. “Benarkah? Perasaan sama saja.”
“Nggak, kamu kurus dan pucat. Adakah yang mengganggu pikiranmu?”
Anyelir menggeleng. “Nggak, aku baik-baik saja.”
Brian mengangguk kecil. “Menemukan baju yang kamu suka? Di depan rata-rata designku sendiri.”
“Nggak, maaf. Tadi hanya sempat lihat-lihat sebentar.”
“Oh, nggak apa-apa. Santai.”
Keduanya berpandangan dengan pikiran yang sama. Kenangan cumbuan minggu lalu kini berkelebat dalam pikiran. Anye yang tersadar lebih dulu, menunduk malu.
Teh hangat diantarkan pegawai. Anyelir mengambil salah satu gelas dan meminumnya. Naas, teh yang meluber membuat dagu dan leher Anyelir basah.
Brian bertindak cepat, mencabut dua lembar tisu dan tanpa sungkan mengelap dagu serta leher Anyelir.
“Panas nggak?”
“Nggak, hanya basah. Kak, aku bisa sendiri,” ucap Anyelir , berusaha menghentikan Brian.
“Sebentar saja, nanti kamu tambah masuk angin.”
Anyelir terdiam, saat tangan Brian mengelap lembut dagu dan lehernya. Ia merasakan ketidaknyaman karena sentuhan laki-laki itu di kulitnya. Mereka saling pandang dalam diam. Anyelir terkesiap saat Brian melancarkan kecupkan di bibirnya.
Kecupan ringan tapi bertubi-tubi dan membuat Anyelir tergagap.
“Aku merindukanmu,” bisik laki-laki itu sebelum bangkit dari sebelahnya dan berdiri di tengah ruangan.”Aku memang gila, Anye. Tapi, aku benar-benar merindukanmu.”
Mereka terlonjak saat pintu tiba-tiba membuka. Sosok Danial muncul dengan dua kantong di tangan. “Wah, tabunganku ludes untuk baju-bajumu, Bro.”
“Dapat yang kamu mau?” tanya Brian.
“Yes, banyak banget.”
Kedua laki-laki itu terlibat pembicaraan tentang kaos, dengan Anyelir duduk diam meredakan jantung yang berdegup tak karuan. Tanpa sadar, tangannya membelai bibir dan gerakannya tertangkap oleh pandangan Brian. Bisa jadi, kalau tidak ada Danial, keduanya akan berbuat lebih dari sekedar kecupan. Anyelir merasa gila oleh pikirannya sendiri.
Setelah pulang dari toko Brian, keadaan Anyelir tidak juga membaik. Bahkan main parah keesokan harinya. Verona datang menjenguk dan mengusulkan untuk pergi ke dokter.
“Masuk angin jangan dibiarkan berlarut. Nanti efeknya ke mana-mana.”
“Biasanya juga nggak selama ini,” jawab Anyelir.
“Jangan ngomong biasanya. Lagian, tunanganmu itu nggak punya otak!” Detik itu juga Verona terdiam saat menangkap pandangan Anyelir. “Sorry, maksudku dia nggak punya rasa peka. Sudah tahu kamu sakit, bukannya dibawa ke dokter malah ke toko.”
Anyelir menghela napas, menatap jalanan melalui jendela mobil. Mereka menaiki kendaraan Verona yang akan membawanya ke dokter.
“Aku ketemu dia.”
“Siapa?” Verona menoleh cepat.
“Brian.”
“Wow, jadi bagaimana? Apa kalian bergulat lagi?”
Dengan gemas Anyelir memukul lengan sahabatnya, yang dinilai bicara tak tahu malu.
“Apaan, sih. Mana ada begitu?”
“Lah, aku,’kan tanya. Soalnya, kalau aku dalam posisi kamu, nggak mungkin tahan diam saja kalau lihat Brian. Bawaannya pingin nerkam lalu seret ke ranjang.”
“Otak mesum.”
Verona meleletkan lidah. “Mesum itu asyik.”
Melihat kelakuan sahabatnya, Anyelir terkikik. Inilah yang ia suka dari sahabatnya, cara bicara wanita itu yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Di balik itu semua, Verona adalah teman yang baik. Siap membantu kapan pun dibutuhkan. Meski begitu, tidak semua orang suka dengan sifar Verona yang dianggap terlalu vulgar. Danial contohnya. Berkali-kali tunangannya memperingatkan agar ia membatasi hubungan denagn Verona dan ia hanya mengangguk tanpa kata.
Mereka tiba di klinik tepat saat pasien tidak banyak. Setelah mendaftar, Anyelir melakukan sejumlah pemeriksaan ditemani oleh Verona. Menunggu beberapa saat hingga hasilnya lab keluar, Anyelir masuk ke ruang dokter dengan was-was.
Saat dokter mengatakan diagnosanya, Anyelir merasa dunia yang ia pijak bergoyang. Ia memejam dengan tangan memegang kertas hasil pemeriksaan. Bagaimana tidak, jika di kertas itu ia tertulis hamil.
Anyelir terdiam, dengan kepala nyaris rebah di meja sang dokter yang memeriksanya. Ia bahkan tidak mendengar Verona yang memangil-manggil namanya dengan kuatir. Saat ini, ia seakan ingin menghilang ke dasar bumi dengan membawa janin dalam perut. Bagaimana ia bisa mengatasi masalahnya kelak? Jika kini, ia tidak sendiri lagi. Lalu, bagaimana jika tunangannya tahu ia mengandung anak laki-laki lain?
“Danial, maafkan aku,” gumam Anyelir dengan tangan gemetar dan air mata menggenang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro