Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3


“Mukamu makin lama makin pucat.” Verona menatap prihati pada sahabatnya. “Makan kagak, sih?”

Anyelir tergelak. “Makanlah, emang lagi berasa capek aja.”

“Dua hari lalu aku datang kemari, kamu nggak ada. Ke mana?”

“Oh, ke rumah Danial. Lagi ada arisan keluarga atau semacamnya, aku di sana bantu masak.”

Verona mengernyit, menatap Anyelir yang sedang meneguk teh-nya. Mereka duduk di bagian belakang kedai yang teduh. Menikmati teh hijau hangat yang dibuat Anyelir.

“Kamu itu calon mantu, Anyelir,” ucapnya lembut. Ia menahan keinginann untuk mencabut rokok dari dalam tas dan mengisapnya. “Bukan pembantu.”

“Iyaa, paham. Kenapa ngomong begitu?”

“Karenaaa, setiap kali kamu ke rumah itu selalu soal pekerjaan. Arisan, masak, acara, masak lagi. Heran aku tuh, memangnya mereka nggak bisa cari orang lain buat bantu selain kamu?”

Nada suara Verona yang meninggi dan tidak sabar, membuat Anyelir mendesah. Yang dikatakan Verona ada benarnya, memang selama ini Danial dan keluarganya selalu bergantung padanya jika sedang ada acara atau semacam itu. Ia bukannya mengeluh, dulu malah merasa suka karena orang yang dicitai membutuhkan bantuan. Kini rasanya, makin hari makin tak berarti hadirnya, tak peduli sebarapa banyak ia berusaha.

Ia menatap taman kecil dengan berbagai bunga anyelir yang tumbuh di dalam pot. Entah karena memang sama dengan namanya, atau karen alasan lain tapi ia menyukai bunga warna warni itu.

“Mungkin, karena hanya aku yang dianggap bisa.” Ia berucap dengan nada datar.

Verona mendengkus. “Omong kosong. Danial punya adik. Kenapa bukan malah mengajari anak cewek itu?”

“Dia masih kuliah.”

“Udah tua kataku, mereka ada pilih kasih!”

Anyelir terdiam, tidak ingin berdebat dengan sahabatnya. Ia menunduk, menghela napas panjang.

“Serius, mukamu pucat Anyelir. Kelihatan lelah.”

Anyelir memejam, menyandarkan kepala pada punggung kursi. Benar yang dikatakan Verona, ia memang cenderung mudah lelah akhir-akhir ini. Ia mengkhawatirkan sesuatu dan berharap itu nggak benar. Mendadak ia membuka mata dan bertanya serius pada sahabatnya.

“Ver, kamu dulu berapa kali bercinta sampai hamil anak pertama?”

Verona mengernyit. “Kami dulu bulan madu tiga hari, bercinta  bagai sepasang orang gila. Tapi, hamil enam bulan kemudian. Kenapa?”

Ah, masih ada harapan kalau ketakutannya tidak beralasan. Anyelir menyimpan harapan di dada.

“Kenapa mendadak tanya soal hamil? Bukannya malam itu Danial ke luar kota jadi rencanamu gagal?  Ada apa?”

Menggigit bibir, Anyelir menimbang perkataan. Ia bingung, apakah harus berkata sejujurnya pada Verona atau tidak. Namun, ia tidak sanggup menahan sendiri jadi lebih baik kalau sahabatnya tahu.

“Sebenarnya, ada satu cerita penting yang kamu nggak tahu.”

Verona mengernyit. “Ada apa? Hal penting apa?”

Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hari tersirat rasa malu. Namun, Anyelir berusaha mengabaikannya. Ia menoleh ke belakang. Sekadar mencari tahu kalau pegawainya tidak ada yang mendengar dia bicara. Terdiam sesaat, menatap wajah Verona yang tidak sabaran, akhirnya ia mulai bercerita.

“Malam itu, aku tidur bersama seseorang tapi bukan Danial.”

Selanjutnya, kata per kata ia ucapkan dengan hati-hati. Berusaha untuk mengesampingkan resah dan malu yang menggayut di hati. Saat kalimat terakhir selesai ia ucapkan, Verona melongo dan tak mampu berkata-kata.

“Tunggi, kamu tidur dengan sahabat tunanganmu sendiri?”

“Ssst!” Anyelir menempelkan jari di bibir. “Iyaa, jangan kenceng-kenceng ngomongnya.”

“Kok bisa, sih? Salah sasaran.”

“Huft, seandainya aku tahu. Nasi udah jadi bubur,’kan?”

“Bubur sih enak kalau pakai ayam dan sate, tapi dalam hal ini kok aku kasihan ama kamu, ya? Aduh, gimana ini?”

“Aku nggak tahu,” ucap Anyelir pasrah. “Yang aku pikirkan sekarang adalah, gimana nanti ke depannya kalau sampai aku--,”

“Hamil!”

Keduanya berpandangan dalam satu pemahaman yang sama. Memikirkan tentang kemungkinann terburuk yang akan terjadi. Anyelir memegang pelipis, memikirkan jalan keluar tentang ketakutannya. Ia berharap Verona akan membantunya mencari jalan keluar, nyatanya sahabatnya malah ikut bingung sepertinya.

Anyelir mendongak, langit sedikit mendung karena awan hitam yang menggantung. Ia berharap, awan itu pergi tersapu angin, atau malah menurunkan hujan untuk membuat bumi menjadi segar. Yang penting, awan itu tidak terus menerus menggantung di langit dan membuatnya sadar, jika hidupnya sedang tidak baik-baik saja.

“Kapan mau ke dokter?”

“Mau apa?” Anyelir menoleh cepat.

“Periksa, siapa tahu kamu--,”

“Belum waktunya haid. Aku masih ada harapan.”

Mengulurkan tangan dan meremas bahu Anyelir, Verona tersenyum tipis, “Semoga saja. Bagaimana tanggapan Brian? Apa kalian sudah bertemu?”

“Dia … baik. Menawarkanku tanggung jawab dan lainnya tapi kamu tahu,’kan itu nggak mungkin.”

“Karena Danial.”

“Salah satunya.”

Selesai bercakap dengan sahabatnya, Anyelir menerima laporan ada beberapa bahan masakan untuk kedai habis. Berkejaran dengan awan hitam yang berarak di langit, ia memacu motornya menuju supermarket besar yang letaknya agak jauh dari kedai. Ia terpaksa menempuh jarak lumayan jauh karena hanya di supermarket ini, apa yang ia butuhkan ada.

Mengambil troli, ia menyusuri lorong-lorong supermarket. Ponselnya berbunyi, Danial menelepon. Ia mengangkat dan menjepit ponsel di bahu kiri.

“Ya, Sayang.”

“Kamu di mana?” Suara Danial terdengar jauh.
“Supermarket.”

“Oh, sedang di luar.”

“Ada apa?”

“Nggak, tadinya mau minta tolong kamu, Sayang.”
Tangan Anyelir memeriksa lecil kalengan. “Bantuan apa?”

“Itu, Mama sedang sakit kepala. Kali aja kamu bisa tengok, bawa obat sekalian buatin dia makan?”

“Memangnya Davira nggak ada?” tanya Anyelir kaget.

“Adaa, tapi kamu tahu adikku itu nggak bisa apa-apa, kasihan Mama kalau nggak makan.”

“Nggak bisa pesan antar?”

Terdengar dengkusan napas kasar dari ujung telepon, tak lama suara Danial terdengar lebih tegas dari sebelumnya.

“Anyelir, kamu mau bantu atau nggak? Kalau nggak mau ya nggak apa-apa, tapi jangan banyak omong!”

Perasaan Anyelir bagai tertusuk sembilu saat mendengarnya. Ia terdiam, bersandar pad arak lalu berucap pelan. “Aku nggak tahu bisa datang atau nggak, tapi aku usahakan.”

“Oke, makasih. Kabari bisa atau nggak."

Setelah itu, sambungan tertutup tanpa salam apa pun. Saat menyusuri lorong minyak sayur, pikirannya dipenuhi tentang Danial dan keluarganya. Ia amat menyayangi mereka seolah keluarga sendiri, karena ia tidak pernah punya keluarga yang utuh semenjak neneknya meninggal. Meski ia merasa jika makin lama, ia seolah dimanfaatkan. Namun, ia mencoba untuk menyingkirkan perasaan itu karena bagaimana pun, kelak akan menikah dengan Danial. Anggap saja sekarang adalah penyesuaian.

Anyelir tergagap saat trolinya berbenturan dengan trolir orang lain. Ia mendongak saat serentetan kata maaf terdengar dari depan.

“Maaf, Anye. Nggak lihat tadi. Kamu nggak apa-apa?”

Pikiran Anyelir kosong, menatap seraut wajah tampan yang hari ini memakai kaos dan celana khaki sedengkul.Brian tersenyum dan menatap ramah.

“Kamu belanja jauh juga dari rumah,” ucap Brian.
Anyelir tersenyum, tersadar dari rasa kaget. “Di sini lebih lengkap.”

Brian mengamati barang-barang yang ada di dalam troli Anyelir. “Bahan-bahan untuk kedai pastamu?”

“Eh, kok tahu?”

“Jelaas.” Kali ini Brian tertawa kecil. “Bahan bahan yang aku lihat biasa untuk minuman kekinian.”
Kikuk, malu, dan tidak tahu harus bagaimana, Anyelir pamit ke kasir lebih lebih dulu. Ia sesekali melirik ke belakang hanya untuk memastikan Brian tidak berada di dekatnya.Entah kenapa, ia merasa amat gugup tiap kali bertemu Brian. Ada sesuatu dalam diri laki-laki itu yang membuat dirinya terusik. Menenteng tiga kantong berisi barang belanja, ia terdiam di teras supermarket. Menatap hujan yang turun deras. Akhirnya, ia menyingkir di sudut teras dan berharap hujan yang segera berhenti.

“Anye?”

Brian datang dari arah dalam dengan satu kantong belanjaan. Menatapnya heran.

“Aku bawa motor, jadi nggak bisa pulang,” ia berucap malu.

“Oh, mau aku antar pulang?”

Kali ini Anyelir menggeleng. “Nggak usah, aku bingung lagi ambil motornya nanti.”

“Iya juga.” Tanpa ada yang meminta, Brian mendekat. Kali ini berdiri di samping Anyelir.

“Kok nggak pulang?”

“Aku mau temani kamu dulu.”

“Tapi--,”

“Anye, jangan banyak protes.”

Menutup mulutnya, Anyelir mendesah. Membiarkan laki-laki tampan itu menemaninya. Mereka berdiri berdekatan dalam sudut yang agak tersembunyi dari pandangan orang-orang karena tertutup gerobak minuman yang sedang  tidak berdagang. Kesunyian meliputi mereka, sementara pandangan keduanya tertuju pada hujan yang turun deras.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Brian memecah kesunyian.

“Baik saja.”

“Syukurlah, semoga kamu selalu sehat, Anye.”

Tersentuh dengan ucapan Brian, tanpa sadar Anyelir mengulum senyum. Ini pertama kalinya, ada orang mendoakan kesehatannya.

“Bukannya kamu keliling jawa?” tanya Anyelir.

“Iya, baru pulang kemarin. Ada urusan mendadak.”
Petir menyambar, membuat Anyelir terkaget. Ia berjengit dan tanpa sadar merapat ke arah Brian.

“Takut petir?”

“Nggak, hanya kaget.”

Anyelir lebih kaget lagi saat Brian meletakkan kantong belanjaannya dan memeluk bahunya. Kehangatan seketika menyebar dari bahu dan turun ke hati.

“Kak ….”

“Sabarlah, Anye. Aku hanya ingin menemanimu.”
Keduanya terdiam, dengan tubuh menempel satu sama lain. Anyelir tanpa sadar beringsut mendekat dan membiarkan Brian kini memeluknya dari belakang. Dagu laki-laki itu menggesek pelan kepalanya dan membuat dadanya berdesir.

“Aku nggak pernah lupa malam itu, Anye. Meski aku sudah coba.”

Anyelir memejam, meresapi perkataan Brian. Karena sesungguhnya, ia pun tidak pernah lupa.

“Malam itu memang kesalahan, tapi apakah aku boleh mengatakan kalau itu kesalahan yang indah, Anye?”

Anyelir menggeleng. “Aku nggak tahu, Kak. Aku bingung.”

“Iya, aku paham ketakutanmu. Seandainya saja, kamu bukan milik Danial, sahabatku sendiri. Sekarang, saat ini juga aku akan membawamu pergi.”

Anyelir mengerjap, melepaskan diri dari pelukan Brian. Ia berbalik dan menatap wajah tampan yang menatapnya intens.

“Ma-maksudnya apa?”

Brian tersenyum, mengulurkan tangan untuk meraba wajah Anyelir. Ia mengabaikan Anyelir yang kaget dan menelusuri bibir wanita itu.

“Ini mungkin terdengar aneh, tapi aku ingin bersamamu.”

Anyelir menggeleng. “I-itu nggak mungkin, Kak. Ada--,”

“Danial dan keluarganya.”

“Iya ….”

Suara Anyelir hilang ditelan derasnya hujan. Guntur dan petir kini bahkan bersahutan. Brian mendesah, menyadari apa yang dikatakan Anyelir ada benarnya. Mereka bertatapan dalam diam, mencoba bertukar kata tanpa ucapan.

Tangan Brian terulur, meraba lembut  kepala, wajah, dan leher Anelir. Bisa dilihat wanita itu sesaat menengang sebelum terdiam dan hanya menatap sendu.

Dalam satu, titik entah siapa yang memulai, keduanya saling mendekatkan wajah dan Brian tanpa kata melumat mulut Anyelir.

Anyelir mengerang, mencoba mengelak tapi tubuhnya berkata lain. Ia membiarkan Brian mendekap dan mencium bibirnya. Ia mendesah, saat lidah laki-laki itu membelai lidahnya dan bibirnya dihisap kuat.

Brian mengangkat wajah dari bibir Anyelir, mengusap perlahan wajah wanita itu dan kini menghimpitnya ke tembok jauh dari pandangan orang-orang. Tangannya meraba sisi tubuh Anyelir dan melihat wanita itu mendesah. Jemari bergerak untuk mengelus pinggang, dada, berakhir di pinggul Anyelir.

“Aku merindukanmu, Anye,” bisiknya serak dengan tangan meraup pinggul Anyelir dan mendekatkan ke arah bukti gairahnya yang menegang.

Anyelir mengerang, menggerakan tubuh. Dan itu cukup membuat Brian gila. Jika tidak ingat tempat, ingin rasanya ia bercinta dengan Anyelir sekarang. Membenamkan kelelakiannya dalam kehangatan tubuh Anyelir.

Brian mencium dada Anyelir yang berbalut blus, tidak tahan ia menjulurkan tangan dari bawah dan meremas pelan.

“Kak ….” Anyelir mendesah.

Mulut Brian kembali menyergap mulutnya dengan tangan meraba dan meremas dadanya.  Kenangan malam itu kembali menyerbu ingat Anyelir. Tentang sentuhan, ciuman, dan gairah yang meletup-letup. Tanpa sadar, ia melengkungkan tubuh dan menginginkan Brian membelainya.

Mereka tidak tahu, sudah bermesraan untuk berapa lama. Saling mencium, meraba, dan mendekap hingga titik hujan terakhir usai. Saat berpisah, ada ribuan kata yang ingin diucapkan oleh Anyelir untuk laki-laki yang baru saja berbagi kehangatan bersamanya. Namun, hanya satu ucapan tercipta.

“Selamat tinggal.”

Dengan dingin dan angin menyelimuti tubuhnya yang membeku, Anyelir meninggalkan kehangatan tubuh Brian bersama kenangan yang coba ia lupakan. Saat kendaraannya menjejak jalanan basah, ia menguatkan diri.

“Aku nggak mau selingkuh.”

Satu jam kemudian, ia tiba di rumah Haniah. Ada Danial yang menunggunya tidak sabar di teras. Anyelir merasa heran, karena setahunya sang tunangan  ada di kantor.

“Kenapa kamu lama sekali?” Pertanyaan Danial diabaikan oleh Anyelir. Ia basah kuyup dan kedinginan, tapi malah dimarahi.

Tanpa bicara dengan Danial, ia langsung masuk ke dapur. Meletakkan bahan-bahan makanan yang baru saja ia beli dan menatanya di kulkas.

“Anyelir, kenapa kamu diam saja?”

Danial menyusulnya ke dapur. Anyelir memunggunginya, melepaskan jas hujan dan menyampirkannya ke kursi. Tanpa kata, ia mencuci beras dan mulai memasak bubur. Ia bersikap seolah-olah tidak ada Danial di sana. Beberapa menit kemudian, saat ia menoleh laki-laki itu sudah menghilang. Memejamkan mata, Anyelir menahan perih di dada.

Dengan pikiran bercabang pada Danial dan Brian, ia menyelesaikan masakan. Setelahnya membawa ke kamar Haniah dan menyuapi wanita itu.

“Maaf, sudah membuatmu repot. Tadi, mendadak demam dan sakit kepala.”

“Nggak apa-apa, Ma. Makan yang banyak lalu minum obat.”

Setelah minum obat, Haniah tertidur. Anyelir meninggalkannya untuk mencuci peralatan memasak. Ia tidak mendengar langkah kaki di belakangnya hingga sesosok tubuh yang kokoh memeluknya dari belakang.

“Maaf, aku tadi marah-marah, itu karena kuatir,” bisik Danial di atas kepala Anyelir.

Anyelir mengerjap, merasakan punggungnya yang menghangat karena dekapan Danial.

“Terima kasih, sudah mengurus keluargaku dengan baik.”

Tidak mengatakan apa pun, Anyelir membiarkan tubuhnya didekap oleh Danial. Jika ini terjadi bulan lalu, maka ia akan berbalik dan tersenyum cerah, mengatakan dengan nada menggoda bahwa ia siap menjadi istri. Meminta Danial agar segera menikahinya. Kini, keadaan sudah lain. Ia bahkan tidak tahu lagi, apakah masih memikirkan soal pernikahan atau tidak. Kehadiran Brian, seperti merusak segala rencana yang tersusun rapi di hidupnya.

“I love you.”

Ucapan cinta Danial, terdengar bagai gaung jauh di dalam kepalanya..
.
.
Tersedia versi buku dab google playbook

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro