Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20a

#Anyelir_Tak_Layu
#Bab_20a

**

Dua laki-laki, berdiri berhadapan dengan sikap kaku, tanpa senyum di wajah keduanya. Dengan tangan memegang rokok yang menyala, Danial menatap sinis pada Brian yang terlihat tegang di depannya. Di lain pihak ia merasa ironis, dulu mereka adalah sahabat baik dan kini karena satu wanita, menjadi bermusuhan.

Bukan aku yang selingkuh dan meniduri tunangan sahabat sendiri, pikir Danial kesal. Mengisap rokok di tangan dengan kuat dan mengembuskan perlahan ke udara. Asap dan aroma tembakau menyelubungi udara.

“Aku datang untuk minta satu hal sama kamu, jauhi Anye!”

Ucapan Brian membuat Danial mengangkat sebelah alis lalu terbahak-bahak dan nyaris tersedak asap rokok. Ia batuk-batuk sesaat, mematikan rokok dan membuang putung di dalam asbak. Lalu, bertepuk tangan dengan wajah menyunggingkan senyum sinis.

“Hebaaat! Bravooo! Brian memintaku menjauhi Anyelir. Apa dia lupa, siapa sebenarnya wanita itu dulu?”

“Hubungan kalian sudah berakhir,” tukas Brian dingin. “Anye kini sedang mengandung anakku dan kami sedang mempersiapkan pernikahan. Kamu tidak berhak ikut campur lagi!”

Danial tergelak. Suara tawanya memenuhi ruang tamu apartemennya yang tidak terlalu besar. Menepuk dadanya, ia berucap dengan nada serius.

“Aku tunangan Anyelir tapi seorang laki-laki lain menidurinya. Bukannya minta maaf, laki-laki itu malah menyuruhku menjauh! Itu namanya brengsek!”

Umpatan Danial membuat Brian menahan marah. Ia tetap bersikap tenang dalam menghadapi masalah Danial. Posisinya tidak diuntungkan karena memang ia tertuduh dalam persoalan mereka.

“Aku tidak akan berdebat denganmu, hanya ingin mengatakan satu hal. Anyelir sedang hamil. Kondisi kandungannya tidak baik. Kalau memang kamu masih menganggapnya teman, atau apalah, jauhi dia. Dan juga, beritahu orang-orang di rumahmu untuk tidak lagi menemuinya!”

Wajah Danial merah padam. Ia berusaha menyembunyikan geram yang menggelegak dalam dada. Tidak habis pikir dengan perkataan Brian padanya. Bagaimana mungkin ia disuruh menjauhi Anyelir.

“Kamu nggak berhak mengaturku,” ucapnya geram.

“Termasuk juga apa yang harus dilakukan keluargaku. Sudah selayaknya kalau mamaku menemui Anyelir dan bertanya. Kenapa kamu harus emosi? Urusan di antara kami, terjalin jauh bahkan sebelum kamu datang dan merusak semuanya!”

“Menemui Anyelir silakan! Tapi, tidak dengan menyerang mentalnya!” bentak Brian tak kalah emosi. “Kalian menimpakan kesalahan padanya, bukankah kalian tahu kalau itu juga salahku. Kamu juga munafik, Danial! Dulu kamu menyia-nyiakannya. Kini, setelah Anye  dalam pelukanku, kamu menginginkannya kembali!”

Brian berdiri menatang, tidak ingin kalah dengan Danial yang ia anggap semena-mena. Dalam urusan Anyelir ini, ia sudah mencoba mengalah karena memandang status Danial sebagai seorang sahabat. Ia juga cukup tahu diri, sebagai orang yang bersalah dalam hal ini. Namun, dirasa-rasa makin hari perlakuan Danial dan keluarganya terhadap Anyelir, makin membuat geram.

“Aku tak peduli, kamu mau mengamuk, memukul, atau bahkan menghukumku. Tapi, jangan lakukan hal itu pada Anye. Dia sedang hamil. Apa perlu aku memohon Danial? Akan aku lakukan asal kalian menjauh darinya.”

Ucapan Brian membuat Danial terdiam. Ia menatap laki-laki di depannya, seakan-akan baru mengenal Brian. Sekian lama saling kenal, baru kali ini ia mendengar Brian memohon dan itu untuk wanita yang merupakan mantan tunangannya.

“Apa kamu ingat, dulu kita pernah punya janji. Tidak akan pernah berebut wanita yang sama?” bisik Danial.

Brian mengedip lalu mengangguk. “Iya, dan aku juga ingat kalau kita tidak akan saling menganggu hubungan masing-masing. Tapi, Anye ini berbeda.”

“Kamu merusak persahabatan kita.”

“Memang! Aku salah dan kamu boleh memukulku kalau kamu, tapi tolong. Jauhi Anye!”

Merasa geram karena ucapan Brian yang terus menerus memintanya menjauhi Anyelir, Danial berbalik dan menendang meja kecil hingga terbalik.

“Kamu bersikap sangat protektif, seakan-akan Anyelir adalah istrimu!”

“Sebentar lagi!” tukas Brian. “kami akan menikah tak lama lagi.”

Tersenyum simpul, Danial menunjuk dada Brian dan berucap serius. “Jangan harap akan semudah itu aku melepaskan Anyelir. Aku sudah pikirkan matang-matang, kalau memang dia masih mencintaiku, maka kami akan kembali bersama.”

Brian terperangah. “Maksudmu apa?”

“Kenapa? Kaget? Maksudku adalah, aku akan menerima dia apa adanya. Tidak peduli meskipun dia mengandung anakmu. Asalkan, dia masih mencintaiku. Kita lihat, siapa yang akan dipilih Anyelir!”

Brian keluar dari apartemen Danial dengan pikiran kacau. Ia sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran laki-laki itu. Seharusnya, saat tahu Anyelir hamil, Danial bersikap tahu diri dengan tidak lagi mendekat. Harusnya, Danial marah, membenci, asalkan tidak lagi punya keinginan untuk bersama Anyelir.

Menatap lampu merah di perempatan jalan, Brian mendesah. Ada rasa kuatir di hatinya, kalau Anyelir akan lebih memilih Danial dibanding dirinya. Bagaimana pun, ia hanya orang baru yang masuk di antara hubungan Anyelir dan Danial yang sudah terjalin lama. Dipenuhi kekuatira, ia melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi menuju kedai Anyelir.

Saat turun dari mobil, ia bergegas masuk dan mendapati Anyelir sedang menyiram bunga di teras belakang. Tanpa kata, ia memeluk wanita itu dari belakang dan berbisik mesra.

“Anye, aku kangen.”

Anyelir menegang, merasakan hangat pelukan dari laki-laki yang selama beberapa hari ini ia rindukan kehadirannya. Tersenyum simpul, ia berucap mesra.

“Selamat datang, Sayang.”

Rasanya membahagiakan, di antara semua masalah yang membebani, mereka bisa bersama dan saling memeluk.

Anyelir bisa melupakan tentang cacian, makian, dari orang-orang yang membencinya. Berada dalam pelukan Brian ternyata begitu menenangkan.
Begitu juga dengan apa yang dirasakan Brian. Ia bisa melupakan masalah-masalah yang membelenggunya dengan memeluk dan mengecup kening Anyelir.

“Apa kamu ada waktu besok?” bisik Brian.

“Mau ke mana?”

“Kita foto prewed.”

“Secepat ini?”

“Kenapa? Nggak bisa?”

Anyelir berbalik, merangkul leher Brian dan mengelus wajah laki-laki yang ia cintai. “Bisa tentu saja. Ayo, besok kita foto.”

Hari itu, mereka nikmati berdua. Brian sengaja tidak ke kantor, melainkan menemani Anyelir di kedai. Kemesraan mereka menularkan rasa iri sekaligus bahagia bagi para pegawai kedai. Ares bahkan mengatakan, siap menjadi pendamping pengantin saat mereka nanti menikah. Dunia yang sempurna, pikir Anyelir dengan bahagia saat Brian memeluknya.

Sesuai janji, keesokan harinya Brian membawa Anyelir ke studio foto. Mereka melakukan proses pemotretan selama satu hari penuh, dimulai dari foto di dalam studio sampai di luar ruangan.

Anyelir tersenyum berseri-seri dalam balutan gaun pengantin putih, sementara Brian terlihat tampan dalam tuxedo hitam. Photografer yang membantu mereka, mengatakan kalau keduanya terlihat sangat serasi.

“Aku mencintamu,” bisik Brian saat keduanya berpose sambil berpelukan.

“Aku juga mencintamu,” ucap Anyelir.

“Berapa banyak?”

“Sebanyak apa pun yang kamu mau.”

Selesai foto, Brian mengajak Anyelir makan malam bersama kedua orang tuanya. Pertama kalinya, Anyelir bertemu sang papa dan ia sangat gugup dibuatnya.

Mereka berempat, duduk di restoran dengan Anyelir terus menerus meremas tangan di atas pangkuan, untuk meredakan rasa malu dan gugupnya.

“Anyelir, jangan tegang,” ucap Sinta sambil tersenyum. “Tenang saja, kita toh akan menjadi keluarga.”

Anyelir mengangguk. “Iya, Ma.”

Arif yang sedari tadi terdiam, memandang wanita muda yang duduk di sebelah anaknya. Awalnya, sama seperti sang istri, mereka menolak kehadiran Anyelir, meskipun tahu kalau sedang mengandung. Semua karena mereka merasa tidak enak hati, sudah terlanjur membuat janji perjodohan dengan keluarga Rusliwan.

Sejak awal, Arif selalu berharap Brian akan menikah dengan Vania. Lalu, ia akan menajlin hubungan yang lebih akrab dengan Rusliwan. Namun, nasib berkata lain. Sebagai orang tua, ia tak punya kuasa untuk menentukan akan ke mana hati anaknya berlabuh.

“Kamu yatim piatu?” tanya Arif terus terang.

Anyelir mengangguk dengan bibir tersenyum. “Iya, Pak.”

“Kamu membuka kedai untuk menopang kehidupanmu?”

“Benar sekali.”

“Hebat!”

Pujian Arif membuat Anyelir kaget, begitu pula Brian. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau papanya akan menerima Anyelir semudah ini. Awalnya, ia menduga akan mendapatkan banyak tentangan, mengingat bagaimana kedua orang tuanya sangat ingin ia menikah dengan Vania. Brian menduga, bayi yang dikandung Anyelirlah yang membuat kedua orang tuanya melunak.

“Setelah menikah kalian akan tinggal di mana?” Kali ini Sinta yang bertanya.

Brian mengusap pundak Anyelir, lalu menatap sang mama dengan senyum terkulum. “Aku sedang mencari rumah baru, Ma.”

“Oh, bagus kalau begitu.”

“Semoga akan mendapatkan yang cocok segera.”

Arif meraih cangkir berisi kopi, meneguk perlahan. Menatap anak laki-lakinya yang terlihat bahagia. Kehadiran Anyelir yang tidak disangka-sangka, mampu membawa banyak perubahan dalam kehidupan mereka.  Terlebih dengan bayi kecil yang segera akan menjadi bagian dari keluarga mereka.
“Kami sudah mendapatkan tanggal yang pas, bulan depan kalian harus menikah.”

Baik Brian maupun Anyelir, menyambut gembira kabar dari Arif. Mereka bergenggaman tangan di bawah meja, mengulum senyum bahagia. Akhirnya, waktu untuk menyatukan hati mereka semakin dekat.

“Terima kasih, Ma, Pa,” ucap Brian tulus.

Setelah menerima cacian yang tanpa henti dari orang-orang dan membuat nyalinya menciut, kini Anyelir bisa bernapas lega sekaligus bahagia. Ia berjanji dalam hati, untuk tidak lagi memedulikan orang-orang yang mengusik kebahagiaanya. Tidak juga Danial, Haniah, maupun Vania. Selama Brian dan keluarga laki-laki itu menerimanya, ia sanggup menantang dunia. Semua ia lakukan, demi anak dalam kandungannya juga.

“Apa aku egois kalau aku bilang, sangat bahagia sekarang?” Anyelir berbisik pada Brian yang duduk di sampingnya.

Menatap Anyelir dengan senyum terkembang, Brian menggeleng. “Kamu nggak egois. Kamu berhak bahagia, Anye.”

Semoga saja, tidak ada aral melintang yang membuat rencana menikah mereka tertunda, itu harapan Anyelir saat memeluk Brian yang akan menjadi suaminya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro