Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Anyelir duduk dengan wajah ditekuk. Sisa air mata membias di wajahnya yang lebam. Ia berusaha menutupi tubuhnya dengan jubah yang semalam dipakai, tapi tetap terbuka di bagian paha. Di seberangnya, Brian menatap tanpa berkedip. Laki-laki itu hanya memakai celana panjang tanpa atasan. Setelah kekalutan dan kekagetan tadi, keduanya memutuskan untuk bicara.

“Kenapa kamu ada di apartemen Danial?” tanya Anyelir dengan suara serak.  Tangannya kini saling meremas, menahan emosi.

“Danial meminjamkan padaku. Apa kamu nggak dikasih tahu kalau dia keluar kota dua hari?”

Kaget dengan informasi yang baru didengar, Anyelir menggeleng. “Nggak sama sekali. Aku tahunya dia di sini.”

“Sayang sekali kamu salah, Anye.”

Anyelir membenci intonasi laki-laki itu saat menyebut namanya. Seperti seseorang yang sudah saling mengenal lama dan kini mereka bicara tentang perasaan dan rasa tersimpan, seakan-akan mereka adalah sepasang kekasih.

“Kenapa kamu menerima begitu saja, saat ada wanita me ….” Anyelir menghela napas lalu melanjutkan ucapannya. “Menyodorkan diri padamu.”

“Aku ada janji dengan teman kencan. Dia harusnya datang tadi malam.”

Jawaban Brian membungkam mulut Anyelir dan membuatnya makin merasa gugup. Cahaya matahari yang terbias dari jendela kaca di belakang Brian, membuat wajah laki-laki itu terlihat bersinar. Wajah tampan yang terlihat bingung dengan tubuh kaku duduk di atas sofa.

“Anye ….”

Anyelir mengangkat tangan. “Stop! Kita nggak usah bahas ini lagi. Jika bisa, aku mohon padamu untuk lupakan.”

“Lalu, apa yang akan kamu katakan pada Danial?”

“Aku tidak akan mengatakan apa pun.”

“Mau sampai kapan?”

“Entahlah.”

Tidak ada yang lebih canggung dari keadaan sekarang. Saat Anyelir harus berhadapan dengan laki-laki yang dia cumbu tadi malam. Mereka duduk berhadapan, dan membahas sex seolah-olah bukan hal besar. Sedangkan jauh di lubuk hati mereka tahu, apa yang mereka lakukan tadi malam itu tabu.

“Aku harus pulang.” Bangkit dari sofa, Anyelir meraih tas dan beranjak. Tidak sampai lima langkah, Brian menghadangnya. “Apa lagi?” tanyanya.

“Kalau aku nggak salah, kamu masih perawan,” ucap Brian lembut.

Anyelir mengigit bibir bawah lalu mengangguk.”Iya, sekarang nggak lagi.”

“Lalu, bagaimana kalau terjadi hal yang tidak diinginkan?”

Anyelir tahu arah pembicaraan Brian. Ia pun bukan tidak memikirkannya. Bagaimana kalau dengan kejadian ini dia hamil. Lalu, bagaimana dengan Danial, hidupnya, dan orang-orang di sekitar mereka? Membayangkan saja sudah membuat mual.

“Aku berharap itu tidak terjadi.” Ia menjawab pelan.
Brian menghela napas, dadanya terasa berat. Ia menatap wanita cantik yang terlihat rapuh. Wajah Anyelir pucat tanpa sapuan make-up. Sementara tubuh moleknya ditutupi jubah. Tidak dapat menahan perasaan, Brian berucap pelan.

“Seandainya terjadi sesuatu, bisakah kamu memberitahuku?”

Berat rasanya untuk menjawab’iya’ karena membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi sudah membuatnya takut. Namun, ia harus memberikan jawaban jika ingin keluar dari sini dengan tenang.

“Anye ….”

Dengan berat hati Anyelir mengangguk. “Tentu, aku akan memberitahumu.”

“Terima kasih.”

Tanpa berbasa-basi lebih lama, Anyelir melesat ke arah pintu. Inginnya hanya satu, pergi sejauh mungkin dari hadapan Brian. Saat ini, yang ia inginkan adalah menangis dan mengutuk ketololan dirinya. Ia membuka pintu dan menutup pelan.

Menggunakan tangga darurat, ia menuruni lantai. Di tengah tangga yang pengap, ia menyandarkan kepala pada tembok dan mulai terisak. Hidupnya berjalan tidak mudah karena hubungannya dengan Danial yang tak tentu arah. Kini, setelah ia tidur dengan laki-laki lain, Anyelir tak yakin jika dirinya layak untuk dinikahi. Merosot ke lantai, ia meletakkan kepala di antara lutut dan tergugu.

Brian mematung di ujung ranjang. Melihat  bagaimana berantakan kasur dan selimut bekas tidurnya semalam. Ia masih bisa merasakan kehangatan tubuh Anyelir tertinggal di antara serat kain. Ia mendesah, menarik turun selimut dan mendapati bercak darah di permukaan sprei.

Ia mengumpat, melemparkan selimut dan bantal ke lantai. Lalu menarik selimut hingga lepas. Ia harus bertindak, sebelum Danial pulang. Untuk saat ini, ia akan menjadi laki-laki pengecut tukang sandiwara. Namun yang pasti, ia tidak akan lepas tanggung jawab.
**
Kedai ramai oleh pembeli, tapi Anyelir sama sekali tidak berkonsentrasi. Pikirannya tidak fokus, dan banyak melakukan kesalahan yang membuat pegawainya bingung. Tidak biasanya ia bertindak sembrono dan semua terjadi karena Brian. Dua hari berlalu dan sama sekali tidak ada kabar apa pun dari Danial. Hal itu melegakan tapi sekaligus membuat kuatir.

“Kak, ada yang cari.” Suara teguran dari kasir membuyarkan lamunan.

“Siapa?”

“Itu, di pintu.”

Anyelir yang sedang duduk mengisi kotak tisu, mendongak. Mendapati tunangannya berdiri sambil tersenyum. Hatinya kacau seketika.

Danial memang tampan. Bahkan saat laki-laki itu melangkah penuh percaya diri melewati deretan kursi pengunjung, mata para wanita tak lepas memandangnya. Anyelir berdiri dengan senyum gemetar.

“Sayang, aku kangen.” Danial memutari meja dan memeluk Anyelir. “Berapa hari nggak ketemu?”

“Hampir seminggu,” jawab Anyelir. Mencoba meredakan rasa gugup dengan menyandarkan kepala ke dada Danial.

“Ayo, aku mau ajak kamu pergi.” Danial mengecup keningnya.

“Ke mana?”

“Ke rumah. Ada acara.”

Danial tidak berubah, pikir Anyelir suram. Bahkan setelah mereka tidak bertemu seminggu pun, bukannya menghabiskan waktu berdua tapi mengajaknya acara beramai-ramai.

“Oh, aku pikir kita bisa pergi makan atau nonton gitu.”

“Laik kali, Sayaang. Ayo, ambil tas-mu. Berikan kunci kedai pada salah pegawai. Biar malam nanti aku yang antar kamu pulang.”

Mau tidak mau Anyelir menurut, ia menitip pesan pada asisten yang sekaligus manajer restoran dan mengikuti Danial ke mobil.

“Ke mana saja kamu? Kenapa keluar kota nggak bilang?” tanya Anyelir saat mereka melaju di jalanan.

Danial tersenyum. “Maaf, Sayang. Dadakan perginya. Aku juga nggak nyangka.”

“Tapi,’kan bisa ngasih kabar?”

“Terlalu sibuk. Maaf, ya, Sayang.”

Anyelir menghela napas panjang, membuang wajah ke jendela. Sore ini, kendaraan ramai dan padat. Lalu lintas semrawut, persis hatinya. Ia yang merasa gamang dan mendadak aneh dengan tunangannya sendiri.

Beberapa hari berlalu semenjak peristiwan di apartemen, dan keadaan masih aman untuknya. Ia menduga, Brian menutup mulut sesuai kesepakatan mereka.Ia merasa lega sekaligus takut jika suatu saat akan terbuka yang terjadi antara dia dan Brian.

Haniah menyambutnya dengan senyum terkembang. Di sana sudah Nerisa dan Davira. Dua gadis itu sedang sibuk memulas wajah mereka dengan pelbagai peralatan kecantikan yang baru saja dibeli.

“Anyelir, bantu mama masak, Sayang,” ucap Haniah padanya.

Anyelir mengangguk, meletakkan tas di atas meja makan dan berkutat di dapur dengan Haniah.

“Kok, masaknya banyak banget, Ma?” tanya Anyelir heran, saat melihat berbagai bahan masakah terhampar di meja dapur.

“Loh, memangnya Danial nggak ngomong sama kamu kita mau menjamu tamu?”

Anyelir menggeleng. “Nggak ada ngomong apa-apa, cuma bilang ada acara.”

“Nah, itu dia. Acara keluarga dengan tamu kehormatan.”

Anyelir memperhatikan wajah calon mertuanya yang terlihat semringah. Ia tidak tahu siapa tamu yang akan datang, karena mereka tidak mengatakan padanya. Ia kemudian disibukkan dengan memasak pelbagai makanan, seperti sop iga, perkedel kentang, bebek goreng, dan beberapa macam tumis sayur. Kegiatan memasak hanya dilakukan oleh Anyelir dan Haniah. Sementara dua gadis di depan, tidak melakukan apa pun.

“Kamu jangan marah karena Davira nggak bantu kita, ya? Dia lagi siap-siap mau ketemu calon pujaannya.”

“Pujaannya?”

Haniah tersenyum gembira. Mengaduk panci berisi iga yang sudah direbus dan dibumbui. “Iya, Davira naksir laki-laki ini. Sengaja kami mengundangnya datang, biar mereka lebih akrab.” Ia berbalik ke arah Anyelir yang sedang mengelap piring. “Kalau mereka jadian, kamu harus hati-hati. Jangan sampai dilangkahi sama Davira. Kamu harus semangat.”

Mendesah sedih, Anyelir kembali merasakan beban di dada. Tidak cukup tentang Danial yang sering mengabaikannya, bahkan saat dia ada di rumah ini dan sedang sibuk memasak, laki-laki itu sama sekali tidak menyapa. Anyelir merasa, dirinya hanya diperalat untuk membantu memasak.

Menyingkirkan perasaan jengkel, ia meneruskan untuk mengelap peralatan memasak. Dari dulu, ia sudah terbiasa membantu Haniah. Bukan hanya masak, jadi kali ini pun bukan sesuatu yang besar. Seharusnya ia tidaj berpikir macam-macam.

“Wah, Sayang. Kamu hebaat,” puji Danial saat melihat Anyelir menatap di hidangan di atas meja bundar.

“Makasih, Sayang.”

Keduanya bertukar senyum. Danial meraih kepala Anyelir dan mengecupnya.

“Aih, mesranya. Kapan nikaaah?” Davira muncul dan mulai mengganggu.

“Hush, udah belum dandannya,” tanya Danial.

“Udah, dong. Cantik nggak aku.”

“Banget.”

Kakak beradik itu saling menggoda. Anyelir ikut tersenyum melihat keakraban mereka. Ia iri, seandainya punya saudara tentu tidak akan sendirian seperti sekarang.

“Danial, Sayang. Dapat titipanku?” Nerisa menghampiri Danial dan mengelus lengannya.

“Dapat, ingatkan aku ngambil kalau nanti mau pulang.”

“Baiklah. Kamu baik sekali. Tiap kali keluar kota selalu tanya aku mau dibawain apa.”

Percakapan antara Danial dan Nerisa membuat Anyelir mendongak kaget. Ia menatap wajah tunangannya dan laki-laki itu menghindari memandangnya. Ada apa ini? Pikir Anyelir suram. Tunangannya pergi bahkan tidak berpamitan dengannya, tapi mampu membeli oleh-oleh untuk wanita lain.

“Hei, semua. Tamunya sudah datang!” Haniah berteriak dari ruang tamu.

Semua beranjak ke ruang tamu untuk menyambut orang yang baru saja datang. Sementara Anyelir kembali ke dapur. Ia mengecek nasi, kelengkapan makanan seperti sambel dan lalapan dengan pikiran murung.

Entah kenapa, makin hari ia makin merasa tidak berharga sama sekali. Ia makin takut dan tidak percaya diri menghadapi orang.

“Anyelir, kok di sini. Ayo, keluar! Kenalan!”

Haniah berucap dari ambang pintu. Anyelir mengangguk dan mengikuti calon mertuanya keluar. Terdengar suara tawa berderai di ruang tamu dan saat ia mencapai kisi yang memisahkan ruang tengah dengan ruang depan, ia terhenti.
Ada Brian berdiri sopan di sana, sedang bertukar tawa dengan Danial. Sementara Nerisa dan Davira berdiri tak jauh dari mereka. Seketika, Anyelir meraba jantungnya yang berdetak tak karuan dan lutut yang gemetar. Ia mencoba menopang tubuh agar tidak ambruk. Bagaimana mungkin, ia bertemu laki-laki itu bahkan dalam keadaan tidak siap seperti sekarang.

“Anyelir, kamu kenal Brian,’kan?” Danial menyapanya.

Anyelir menghela napas panjang dan mengangguk.

“Apa kabar?” Itu yang ia ucapkan dengan langkah lambat mendekati mereka.

“Anye, kabar baik.”

Keduanya berpandang lalu saling mengangguk sopan. Sepertinya, Brian pun kaget melihat kehadirannya di rumah ini.

Acara makan didominasi oleh percakapan Danial dan Brian. Kedua laki-laki itu bicara tidak ada habisnya tentang bisnis, olah raga, dan topik terkini di headline berita. Sepanjang acara berlangsung, Anyelir lebih banyak terdiam. Berbeda dengan Nerisa dan Davira yang berusaha masuk dalam percakapan dua laki-laki di meja makan.

Dalam hati Anyelir merasa ironis. Tunangannya, tidak pernah terlihat segembira ini saat bersamanya. Seperti ada jarak dan sekat yang menghalangi. Danial yang sekarang sedang bicara berapi-api dengan Brian, bukanlah laki-laki sama yang selalu bersamanya dalam keadaan sopan, bahkan nyaris tanpa tawa. Anyelir menyeruput kuah sop iga, dan  berusaha menenangkan hatinya yang merana.

“Kak, ajari aku bisnis clothing,” ucap Davira pada Brian.

“Kamu mau bisnis clothing juga?”

“Iya, kalau memang nggak bikin repot.”

Brian tersenyum, menyeruput kuah sop-nya. “Bisnis apa pun itu, tetap merepotkan. Ehm, siapa yang memasak? Enaak sekali.”

“Mama,” ucap Davira spontan. “Semua hidangan di atas meja, Mama yang memasak.”

Anyelir makin menunduk. Sementara Brian memuji Haniah. Saat ia mengangkat wajah, tanpa sengaja matanya bersirobok dengan Brian dan seketika ia kembali menunduk. Ada debar yang terasa mengganggu di dadanya. Terlebih saat terlintas di pikiran tentang apa yang mereka alami minggu lalu.

Bisa jadi, bagi Brian sex bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Tapi, beda dengan Anyelir. Malam itu, pertama kalinya dalam hidup, ia menyentuh dan disentuh laki-laki. Ia bahkan meraba seluruh tubuh Brian, dan mencumbunya tanpa henti. Ia buta dan linglung karena alkohol, dan kini hanya bisa menyesalinya.

“Apa kamu sekarang tinggal di Jakarta?” tanya Haniah pada Brian.

“Nggak, Tante. Aku lebih banyak ke daerah mengurus bisnis. Kebetulan, restoran sei sapi yang aku rintis sedang berkembang dan kini aku mau buka cabang di beberapa daerah.”

“Wah, anak muda yang hebat,” puji Haniah terang-terangan. “Belum berniat cari pendamping?”

Pertanyaan Haniah membuat Brian terdiam. Tanpa sadar, matanya menatap Anyelir yang menunduk. Hampir sepanjang acara, wanita itu sama sekali tidak bicara. Lebih banyak sibuk menghidangkan makanan, dan mengatur peralatan. Seolah-olah, dialah nyonya rumah ini.

“Ma, Brian ini orangnya nggak mau terikat. Terlebih sekarang sedang membangun bisnis,” sela Danial.

“Yah, padahal aku mau loh jadi calonnya,” ucap Davira sambil mengedipkan mata.

Tawa Brian terdengar di seantero ruang makan saat menanggapi perkataan Davira.

“Besok jadi pergi,” tanya Danial padanya.

“Besok aku harus ke Surabaya, lanjut Semarang, dan beberapa kota di Jawa Timur dan Tengah. Mungkin, sebulan lagi baru kembali kemari.”

Haniah tersenyum, mengelus lengan Anyelir. “Ayo, hidangkan pudding dan buah.”

Anyelir mengangguk, beranjak dari kursinya. Ia meraih pudding dari dalam  kulkas. Memotongnya dan meletakkan di atas piring kecil. Setelah menyiram dengan saos susu, ia bawa ke ruang tamu. Satu per satu, piring kecil ia letakkan di masing-masing orang. Hingga sampai di tempat Brian, karena rasa gugup membuatnya hampir menyenggol gelas milik laki-laki itu.

“Maaf,” ucapnya terbata.

“Santai, Anye,” jawan Brian. Tanpa sadar, mereka memegang gelas yang sama dengan telapak tangan bersentuhan. Seketika, Anyelir mengangkat tangan dan membuat gelas terguling. Air di dalamnya tumpah mengenai paha Brian.

“Anyelir, kok ceroboh gitu!” ucap Danial.

“Ma-maaf.” Sekali lagi Anyelir meminta maaf. Reflek tangannya mengambil tisu dan mengelap paha Brian. Tidak menyadari pandangan orang-orang yang mencemooh padanya. Danial bangkit dari kursi sambil mengomel dan berniat mencari  kain bersih untuk mengelap celana sahabatnya. Davira yang berada di samping Brian, bangkit untuk mengambil pel lantai.

Tanpa suara, Anyelir terus mengelap paha Brian. Hingga dia sadar, kalau tangan laki-laki itu menangkap tangannya di bawah meja. Ia menyadari sesuatu, bukti hasrat laki-laki itu yang tergugah saat tanpa sengaja tersapu tangannya. Ia mendongak, dan menatap wajah Brian  yang menggelap. Akhirnya, ia menyadari satu hal, tidak pernah melupakan ekpresi laki-laki itu saat sedang bergairah.

***
Tayang setiap hari Minggu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro