Bab 19a
**
“Apakah Brian mengatakan padamu kalau aku hamil?”
Vania mengangguk tanpa kata, dengan mata menatap Anyelir tajam. Dalam hati ia berucap lantang, tidak akan goyah oleh rasa kasihan meski tahu keadaan wanita di depannya. Ia akan berusaha untuk merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
“Aku bersedia menerima keadaanya, meski dia harus bertanggung jawab pada anakmu.”
“Maksudnya?”
“Maksudku, dia tetap mengakui anakmu, tetap memberi nafkah tanpa harus ada pernikahan.”
Anyelir menarik napas, merasakan tusukan rasa nyeri di dada. Menatap tak percaya kalau wanita secantik Vania, dengan karir cemerlang bisa buta akan cinta. Ia tahu kalau Vania memuja Brian dan berharap bisa bersama laki-laki itu, tapi caranya yang ingin menyingkirkan kehadirannya, dirasa agak di luar batas.
“Apa menurutmu itu patut?” ucap Anyelir pelan.
“Bagaimana kalau posisi kita dibalik? Apa menurutmu itu hal yang baik untuk dilakukan?”
Vania tertawa lirih, mengangkat bahunya. Ia menatap teras belakang yang dipenuhi rumpun bunga. Tangannya menyusuri lekuk tiang kayu yang sudah agak rapuh. Ada debu di ujung jari dan ia menjentikkan dengan jengkel. Ia tidak pernah suka dengan hal-hal yang kotor, bahkan debu kecil pun.
“Anyelir, kamu merebut Brian dariku. Kamu berselingkuh dari Danial, apa kamu paham kalau kamu sudah melakukan dua dosa sekaligus?”
Anyelir tertawa lirih. Ia bertekad, tidak akan membiarkan Vania mengintimidasinya. “Oh, jadi semua hanya salahku? Ingat, anak dalam kandungan ini adalah hasil dua orang.”
Tawa keras keluar dari mulut Vania. Ia berbalik dan menuding dada Anyelir dengan telunjuknya. “Kamu pikir aku tidak tahu jalan cerita kalian? Kamu pikir aku tidak tahu kalau Brian melakukannya dalam keadaan tidak sadar?”
Anyelir menahan napas, merasakan pukulan telak di hatinya oleh perkataan Vania. Ia sama sekali tidak menyangka kalau wanita di depannya tahu tentang hal penting itu. Ia mengedip, berusaha mengatur perasaannya.
“Nasi sudah menjadi bubur,” jawab Anyelir tegas.
Vania berkacak pinggang dengan wajah menunjukkan mimik muak. “Bukan bubur tapi basi. Tega benar kamu memaksa Brian makan nasi basi? Bukankah begitu analoginya? Lalu, bagaimana dengan Danial? Apa kamu tega membuangnya begitu saja demi Brian, yang notabene adalah sahabatnya? Kamu wanita apa, Anyelir? Di mana hatimu, hah!”
Anyelir mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, berusaha menguatkan diri. Semenjak kehamilannya terkuak, ia seperti menerima hantaman bertubi-tubi dari segala sisi. Semua orang menyalahkannya dan ia takut akan gila kalau tekanan ini tidak berhenti.
Di mulai dengan kedatangan Haniah, tuduhan Danial yang berakhir dengan permohonan untuk mereka kembali, lalu Nerisa. Ia bersyukur orang tua Brian tidak menyalahkannya. Kini, Vania menambah daftar orang yang ingin menyalahkannya. Anyelir merasa dadanya sesak seketika.
“Anyelir, Brian itu laki-laki baik yang sedang membangun karir. Dia juga sudah lama bersahabat dengan Danial. Kehamilanmu itu, seperti menghancurkan setengah hidupnya. Apa kata relasinya nanti kalau ternyata dia menikahi wanita yang hamil di luar nikah. Lalu, gosip tentang hubungan kalian. Kamu paham apa imbasnya? Seorang pengusahan ternama, menghamili tunangan sahabatnya. Ckckck, kamu menghancurkan Brian! Apa kamu sudah pikirkan itu?”
Ucapan Vania yang tegas berapi-api membuat Anyelir terdiam. Ia menyadari kalau sebagian kata-kata Vania ada benarnya juga. Ia memang membuat keadaan Brian jadi serba salah. Belum lagi Danial yang hancur karenanya.
“Mungkin, awalnya akan sulit.” Anyelir mencoba berkata-kata setelah jeda waktu yang lama. “Tapi, aku yakin seiring berjalannya waktu, orang-orang akan pa--,”
“Munafik!” sergah Vania keras. “Aku pikir selama ini kamu wanita baik, lemah lembut, dan pengertian. Ternyata, kamu setega ini ya? Menghancurkan harapan dan masa depan dua laki-laki sekaligus. Oh Anyelir, kamu sangat egois! Mungkin, orang tua Brian bisa tertipu dengan tampang lugumu, tapi aku tidak!”
Mengangguk kecil, Anyelir merasa sabarnya sudah melebihi batas. Dengan gemetar ia menunjuk pintu keluar.
“Aku tidak membutuhkan pendapatmu. Silakan, keluar!”
Vania mengepalkan kedua tangan dengan wajah merah padam. Ia menatap Anyelir dengan pandangan berapi-api. Menelengkan kepala, ia menjatuhkan bom terakhir.
“Apakah kamu sudah mengecek infotaimen hari ini? Kamu pasti tahu kalau aku dan Brian kencan tadi malam? Hahaha. Lalu, kamu masih merasa kalau Brian menyukaimu? Mimpi! Dia berbuat baik hanya demi anak itu! Wanita murahan!”
Membalikkan tubuh, Vania berderap menuju pintu dan masuk ke dalam mobilnya. Ia menstarter dan melajukan kendaraannya tanpa menoleh lagi ke belakang. Saat mobil sudah melaju mulus di jalan raya, ia mencengkeram kemudi dan mengentakkan kaki ke karpet.
Sedikit banyak ia menyesali perbuatan dan perkataannya pada Anyelir. Ia mengakui sudah kehilangan kontrol dan didera amarah bertubi-tubi saat melihat Anyelir menentangnya. Padahal, ia tahu wanita itu sedang hamil.
“Ah, sial! Dasar sial!”
Di lampu merah tangisnya pecah. Vania tersedu-sedu, merasa kalau dirinya sudah kelewat batas. Ia sadar, rasa cintanya pada Brian membuat mata dan hatinya buta. Harusnya ia bisa menerima keputusan Brian dengan lapang dada tapi nyatanya tak semudah itu. Ia tidak sanggup menjadi begitu lapang dada karena laki-laki yang ia cintai, memilih wanita lain.
Vania menghentikan isaknya saat melihat ponsel di atas dashboard bergetar. Ia meraih dengan gemetar dan melihat nama manajernya. Berusaha mengendalikan suaranya, ia menerima panggilan.
“Hallo.”
“Vania, ada hal penting. Bagaimana ini bisa terjadi?”
Selanjutnya Vania hanya terdiam saat mendengarkan ucapan manajernya yang bertubi-tubi. Rupanya, ada masalah besar dengan pihak produsen dari produk yang menggunakan jasanya. Selesai berbicara di telepon, ia menepuk jidatnya dengan marah. Kini, situasi makin memburuk karena sikapnya yang pemarah. Perasaannya yang membabi-buta pada Brian, bisa berakibat fatal pada karirnya.
“Sial! Damn!” Ia mengumpat di dalam mobil, dengan pikiran tertuju pada Anyelir.
**
Di teras belakang, Anyelir tak beranjak dari tempat duduknya dari semenjak Vania meninggalkannya. Dengan mata tertuju pada gelap yang kini menyelubungi bumi, pikirannya kacau balau. Seperti ada batu besar menghimpit dadanya dan ia merasa, betapa sulit untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup.
Ia mengira-ngira, apa yang salah dengan dirinya, kenapa semua orang seolah memusuhinya. Menghela napas panjang, dan menjulurkan kakiknya yang terasa pegal, Anyelir menahan air mata yang hendak runtuh. Ia sudah terlalu sering menangis akhir-akhir ini dan tidak akan menangis lagi karena Vania.
Masih terngiang kata-kata wanita itu yang mengatakan soal Brian. Bagaimana mereka sering bertemu dan Brian yang mencurahkan semua masalahnya pada Vania. Ada perasaan cemburu yang diam-diam menyelimuti hatinya. Ada perasaan tidak suka tapi di lain sisi, ia tak berdaya.
“Anyelir, kamu belum makan. Ayo, coba ini.”
Ares datang menghampiri, mengulurkan sepiring spageti bawang putih dengan irisan daging. Anyelir menatapnya sesaat lalu menggeleng. “Aku belum lapar.”
“Nggak, kamu harus makan. Aku tidak sedang memberimu makan tapi anakmu. Ayo!”
Dengan enggan Anyelir menerima piring dari Ares. Mumutar spageti dengan garpu dan memasukkan ke dalam mulutnya. Rasa asin, gurih, dan sedikit pedas menyerbu lidahnya. Perpaduan yang sungguh nikmat.
Ares adalah orang pertama yang memasak untuknya setelah sang mama yang sudah meninggal. Belum pernah ada orang yang memasak, dan memaksanya makan selain sang mama. Kini, dengan makanan lezat yang dibuat Ares untuknya, Anyelir merasa sangat terharu. Tanpa terasa air matanya menetes tak terkendali.
“Anyelir, makan dulu. Jangan menangis terus.”
Ares duduk di sebelahnya dan menepuk pelan lengannya. Tindakan laki-laki itu yang memperlakukannya seperti saudara perempuan, membuat Anyelir merasa nyaman. Meletakkan piring dengan sisa makanan di atasnya, ia membasuh mata yang basah dengan punggung tangan.
“Maaf, aku cengeng,” ucapnya tersedu.
Ares tersenyum. “Tidak masalah. Kamu bisa cerita padaku apa saja. Anggap aku ini Verona.”
Anyelir tersenyum di sela tangisnya. “Kamu bukan Verona.”
“Memang bukan, tapi aku juga bisa merasakan sakit saat melihatmu terluka. Kamu pikir aku tidak memperhatikan Anyelir?”
Ucapan Ares yang penuh penegasan membuat Anyelir mendongak heran. “Ma-maksudmu apa?”
Untuk sesaat keduanya berpandangan, sebelum Ares akhirnya membuka suara. “Aku memperhatikan bagaimana orang-orang datang silih berganti memakimu. Aku juga melihat, bagaimana kamu hanya bisa pasrah dan menunduk saat melihat mereka mengamuk. Kenapa? Merasa bersalah karena kamu hamil?”
Kali ini Anyelir menggeleng. “Bukan itu.”
“Lalu?”
“Ada banyak hal.”
“Tahu tidak kenapa semua orang berhak memarahimu?”
“Karena aku bersalah?” jawab Anyelir.
Ares menggeleng tegas. “Tidak! Karena kamu merasa bersalah. Ingat, semua hal terjadi bukan semata salahmu tapi mereka menimpakan semua padamu dan itu membuatmu merasa bersalah. Padahal, ada andil Brian, Danial, dan orang-orang yang beberapa hari ini datang silih berganti untuk memaki. Mereka menyerang sisi hatimu yang paling rapuh yaitu, rasa bersalah.”
Anyelir terdiam, menghapus air mata di ujung pelupuk. Yang dikatakan Ares memang ada benarnya. Orang-orang itu mudah menghakiminya karena didorong rasa bersalah oleh dirinya sendiri.
“Aku harus bagaimana, Ares.” Ia berucap lirih dengan kepala menunduk.
Ares yang semula membuka mulut, menutupnya kembali. Ia berusaha menekan kata-kata yang hendak menyembur keluar. Keadaan Anyelir sedang rapuh sekarang dan membutuhkan orang untuk diajak bicara. Percuma ia berucap dan menasehati sekarang, justru akan membuat Anyelir makin tertekan.
“Saranku, beberapa hari ini jangan bertemu orang dulu. Siapa pun itu. Biarkan otakmu berpikir jernih, apa yang kamu mau.”
“Bagaimana kalau mereka datang?”
“Aku akan mengusir semua orang.”
Anyelir mengangguk tanpa kata, menelaah nasehat dari Ares. Yang dikatakan laki-laki itu ada benarnya, ia memang butuh waktu untuk berpikir.
Ponsel di dalam sakunya bergetar, ia membuka layar dan membaca pesan dari Danial yang membuat hatinya makin carut marut.
“Anyelir, bisakah kamu pikirkan permohonanku? Aku rela menerimamu apa adanya, asalkan kamu pun begitu. Semoga masih ada sisa cintamu untukku.”
Anyelir tidak membalas pesan itu, membiarkan otak kosong sementara waktu. Ada banyak hal yang ia pikirkan dan itu membuatnya sangat tertekan.
**
Berat kali nulis cerita ini, dada rasa sesaaak!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro