Bab 18b
Di sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, seorang wanita yang berada di balik kemudi, mendengarkan dengan seksama ucapan laki-laki di sebelahnya. Sementara Lesli bicara, Megan menginjak rem dan membuat kendaraan berlari di jalan bebas hambatan.
“Vania dan Brian bertemu, sekitar dua jam yang lalu. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan tapi Vania terlihat sedih.”
“Terlihat sedih bagaimana?” tanya Megan tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Wanita itu menangis, di depan Brian.”
Megan mendengkus. “Dasar wanita tukang cari perhatian! Pasti Brian mengiburnya.”
“Iya, tentu saja. Dari foto-foto yang dikirimkan padaku, mereka terlihat duduk berdampingan dan Brian mendengarkan curahan hati wanita itu.”
“Wanita sialan!” teriak Megan keras. “Kita sudah memberinya kontrak. Membuatnya sibuk agar bisa melupakan Brian. Kenapa masih juga mengejar Brian? Apa dia kurang sibuk?”
Lesli tidak menjawab perkataan Megan. Karena menurutnya, ia sudah membuat begitu banyak kegiatan dan pekerjaan untuk dilakukan Vania. Membuat berbagai jadwal tapi menurutnya persoalan hati tidak dapat ditebak.
“Nona, kita sudah membuatnya sibuk.”
Megan memukul setirnya. “Itu dia, bahkan sangat sibuk tapi kenapa wanita sialan itu masih menganggu Brian? Kenapa dia tidak bisa menjauh dari Brian? Apa perlu kita cari laki-laki untuknya juga?”
“Itu bukan ide bagus, Nona.”
Mendengkus marah, Megan menginjak gas lebih kencang dan seakan tidak memedulikan keadaan sekelilingnya yang gelap. Ia masuk ke dalam rest area, memesan kopi dari layana drive thru dan memarkir mobilnya di bawah pohon.
“Lesli, ini pertama kalinya aku begitu menyukai laki-laki. Kenapa susah sekali mendapatkannya?” ucap Megan dengan tangan menangkup kopi panas.
Lesli menatap wanita yang sudah menjadi majikannya selama hampir sepuluh tahun ini. Ia sudah mengenal Megan dengan sangat baik. Mengerti kesedihan dan ketakutan wanita itu. Ia lebih menganggap Megan seperti adik perempuannya, dari pada majikan. Ia rela berbuat apa pun untuk membuat Megan bahagia.
“Mungkin, karena Nona kurang pendekatan pada Brian. Lebih berfokus untuk menyingkirkan orang-orang yang Nona anggap berbahaya.”
Megan menoleh cepat. “Benarkah? Apa menurutmu tindakanku salah?”
Lesli menelengkan wajah, menatap Megan tanpa senyum. “Sedikit banyak iya. Seandainya, Nona fokus mendekati Brian dan melupakan Vania, bisa jadi hasilnya lain.”
Megan tidak menjawab, sibuk memikirkan perkataan Lesli. Bisa jadi ia sudah salah langkah, tapi ia akan tetap berusaha untuk menjauhkan Vania dari Brian, entah bagaimana pun caranya.
Ia membuka tas dan mengeluarkan sepucuk pistol. Orang tuanya selalu mengajarinya untuk berjaga-jaga, karena ada banyak orang yang ingin mencelakakan mereka. Sebuah senjata api selalu berada di dalam tasnya.
“Lesli, aku memerlukan pemikiranmu yang cerdik itu,” ucap Megan dengan tangan menimang senjata.
“Untuk apa, Nona?”
“Membuat rencana agar Vania menjauh dari Brian.”
Lesli terdiam lalu tersenyum kecil. “Kita akan membuat satu gerakan, demi meruntuhkan dua orang sekaligus. Brian dan Vania.”
“Maksudmu apa?”
“Nona lihat saja besok di tayangan infotaimen.”
Megan sudah menjantuhkan perintah, Lesli hanya bisa menerima tanpa kata. Sementara mobil kembali melaju ke arah dalam kota, pikiran Lesli dipenuhi rencana. Brian dan Vania harus dipisahkan dan ia akan lakukan itu.
**
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Tentu saja.”
“Bisakah kamu bilang sejujurnya padaku, kalau ada masalah?”
“Baiklah, aku janji.”
“Seandainya tidak banyak masalah, aku tidak berniat pergi jauh dari kamu.”
Ucapan Brian yang sendu membuat Anyelir kuatir. “Apakah sesuatu yang buruk terjadi?”
Brian mengangguk. “Iya, ada masalah dengan pabrik dan harus aku yang menangani.”
“Apakah parah masalahnya?”
“Lumayan, tapi jangan kuatir. Aku pasti bisa menangani. Asalkan kamu janji, selama aku tidak ada harus menjaga diri.”
Brian mengucapkan kata-kata perpisahan saat berpamitan akan keluar kota selama beberapa hari. Laki-laki datang saat pagi-pagi buta, memberikan pelukan hangat dan kecupan di bibir Anyelir.
“Rasa-rasanya, aku sudah tidak sabar untuk menjadikanmu istriku. Bisakah kamu longgarkan jadwamu? Setelah aku kembali dari luar kota, kita fitting baju pengantin?”
Anyelir mengangguk, meski hatinya masih berat dengan permasalah Danial. Namun, ia tidak tega merusak kebahagiaan Brian.
“Apakah orang tuamu sudah menentukan tanggal pernikahan?”
Brian mengangguk. “Sudah, dalam sebulan ke depan."
“Cepat juga.”
Brian tersenyum. “Karena aku yang meminta. Tunggu aku pulang dari luar kota, aku akan membawamu menemui papaku dan sekalian kita fitting baju pengantin.”
“Ide bagus, Kak.”
Brian merengkuh Anyelir dalam pelukannya. Merasa bahagia, akhirnya wanita yang ia sayangi kelak akan menjadi miliknya. Mungkin awalnya ia melakukan itu untuk bayi dalam kandungan Anyelir. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaanya ikut berubah. Kini, ia benar-benar hanya ingin bersama Anyelir dan anak-anak mereka kelak.
“Aku bahagia, Anye.”
Anyelir pun merasa bahagia, bisa bersanding dengan Brian. Rasanya sungguh bagai mimpi, ia mendapatkan hati dan hidup Brian. Laki-laki yang menurutnya terlalu sempurna untuk menjadi pendampingnya. Yang lebih membahagiakan lagi adalah, orang tua Brian yang merestui hubungan mereka.
Setelah melepas kepergian Brian, Anyelir terpaku di depan pintu kedai. Menatap fajar yang bersinar terang. Ia memanjatkan doa melalui mentari pagi, agar Brian selamat sampai tujuan dan bisa menuntaskan segala masalah yang terjadi.
Samar-samar terdengar alunan musik, dari seorang penyanyi wanita kondang. Ia mengenali lagu itu adalah lagu kesukaan Danial. Ia mendesah sedih, mengingat laki-laki dengan harga diri tinggi seperti Danial, memohon padanya bahkan nyaris berlutut. Rasa bersalahnya pada laki-laki itu bahkan makin hari makin menjadi.
“Seandainya waktu itu Danial tidak menolongku, apakah aku kehilangan nyawa?” Anyelir mengigiti kukunya, bingung dengan pemikirannya. Ia tidak menjawab permintaan Danial tapi yakin kalau laki-laki itu tidak akan menyerah. Anyelir bimbang, berada dalam dilema antara membalas budi atau mencari kebahagiaannya. Perasaan berdosa dan belitan rasa bersalah, membuat Anyelir tertekan.
Ares datang pukul sepuluh pagi. Karena kondisi kehamilan Anyelir yang kurang stabil, kini laki-laki itu mengambil alih sebagian tugas Anuyelir. Dari mulia berbelanja, menentukan menu, hingga mengatur pekerja. Yang dilakukan Anyelir hanya berada di balik meja kasir.
“Apa kamu belum ada niat kembali ke Lombok?”
tanya Anyelir saat melihat Ares sibuk memasak. Butir-butir keringat membanjiri dahi laki-laki itu.
“Kenapa? Kamu mengusirku?” ucap Ares sambil tertawa.
“Nggaklah, hanya tanya. Karena seingatku dulu, kamu bilang hanya beberapa minggu di sini.”
Ares mengaduk nasi goreng di atas penggorengan besar. Mencicipi rasa dan menambahkan lada bubuk. Ia meraih piring, meletakkan nasi goreng dan melengkapinya dengan acar timun. Lalu, memberikan pada pelayan untuk diantarkan ke meja pelanggan.
“Tadinya memang aku berniat begitu, tapi ada banyak hal yang membuatku tertahan di sini.”
“Bagaimana restoranmu di sana?”
“Ada sepupuku yang mengurus. Segera setelah urusan di sini selesai aku pulang.” Ares melirik Anyelir dan mengerling. “Bilang saja kalau sudah bosan padaku.”
Anyelir tertawa lirih. Bagaimana mungkin ia bosan dengan kehadiran Ares di kedai ini. Laki-laki itu sudah banyak membantunya dan meringankan beban pekerjaannya. Ia senang dengan kehadiran laki-laki itu dengan kepribadiannya yang lembut dan baik hati.
“Aku senang kamu di sini. Hanya tidak enak hati karena tidak bisa memberikan gaji lebih.”
“Aku akan cari pekerjaan di hotel atau restoran mahal, kalau memang mencari uang. Yang aku butuhkan adalah pengalaman mengelola kedai kecil agar ramai pelanggan. Itu saja. Dan terima kasih sudah memberiku kesempatan.”
Merasa kalah berdebat dengan Ares, Anyelir meninggalkan laki-laki itu di dapur. Setidaknya, ia sudah mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Memang harus diakui kalau Ares adalah laki-laki yang baik, bahkan Brian pun memujinya. Setiap kali datang ke kedai dan ada kesempatan bicara, Brian mengobrol serius dengan Ares. Keduanya punya keinginan sama, punya usaha untuk membantu hidup orang banyak.
“Suatu saat, kalau modalku cukup, aku akan membantumu mengelola makanan instan. Dengan begitu, kita bisa memperkerjakan banyak orang,” ucap Brian pada Ares.
“Makanan instan seperti apa?”
“Entahlah, mungkin macam macaroni kering, bakso aci, atau apa pun itu yang dianggap enak, murah, dan digemari.”
Anyelir menduga, sedikit banyak Brian ikut berpengaruh pada keputusan Ares untuk memperpanjang masa tinggalnya di kedai. Ares ingin belajar banyak dari Brian dan menurutnya itu bagus. Bisa dikatakan, sebagai pengusaha kelas menengah, Brian cukup berhasil.
Perasaan bangga merayapi hatinya saat teringat Brian. Terkadang ia merasa tidak percaya, bisa diinginkan oleh laki-laki sehebat itu.
Untuk mengalihkan perhatiannya pada Brian, Anyelir membuka ponsel dan membaca berita. Hingga sebuah artikel menarik perhatiannya. Ia terdiam kaku, menatap tulisan yang memberitakan seorang selebgram ternama masuk ke dalam hotel bersamaan dengan seorang pengusaha. Wajah Brian dan Vania terpampang jelas dan hati Anyelir bagai dipilin. Rasanya tidak percaya kalau Brian melakukan itu tapi dari foto yang diambil diam-diam, memang terlihat bagaimana Vania bersandar di bahu laki-laki itu dan keduanya duduk berdampingan dengan mesra. Anyelir merasa dengkulnya lemas seketika.
“Anyelir, ada tamu untukmu.”
Panggilan Ares membuyarkan lamunan Anyelir. Ia menutup ponselnya dengan pikiran tak menentu. Bangkit dari kursi dengan sedikit susah payah karena kakinya kram, Anyelir melangkah tertatih ke depan. Penasaran dengan siapa yang mendatanginya siang-siang begini.
“Apa kabar, Anyelir.”
Seorang wanita amat cantik dengan tubuh tinggi langsing, berdiri tak jauh dari pintu kedai. Ia mengenali wanita itu meski jarang bertemu.
Namanya bahkan baru saja ia baca di layar ponsel.
“Vania.”
“Iya, masih ingat denganku bukan? Bisakah aku masuk?”
Anyelir tidak ada alasan untuk menolak. Meski hatinya bergemuruh karena rasa cemburu yang datang tiba-tiba. Ia mencoba tetap berpikir jernih, kalau Vania datang tanpa maksud yang buruk. Bisa jadi wanita itu tahu hubungannya dengan Brian, dan kini datang untuk menjelaskan. Semoga saja, pikir Anyelir saat melangkah perlahan, menggiring Vania ke teras belakang.
“Anyelir, aku datang untuk memintamu melepaskan Brian. Bisakah?”
Perkataan Vania yang sungguh di luar dugaan, membuat Anyelir mengerjap. Ia memandang wanita cantik yang kini berdiri kaku di depannya. Merasa bodoh dengan harapannya sendiri, Anyelir mengulum senyum pahit.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro