Bab 18a
“Kenapa Brian? Apa ada yang kurang denganku?”
Isak tangis Vania mereda. Wanita itu membersit hidung dengan tisu dan berusaha mengatur napasnya. Wajah memerah dengan mata sembab, Vania terlihat sangat sedih. Brian tersenyum sempul, menepuk pelan pundak Vania.
“Ini bukan perkara ada yang kurang atau lebih, Vania.”
“Lalu apa? Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku?”
“Vania …..”
“Anyelir bahkan sudah punya tunangan. Kamu dan Danial berebut satu wanita. Apa itu tidak memalukan?”
“Bukan seperti itu.”
“Tapi, dia sudah hamil. Anakmu?”
“Iya, anakku.”
Penegasan dari Brian membuat Vania memejam. Rasanya begitu menyakitkan saat mendengar ucapan dari laki-laki yang kita cintai, tentang wanita lain. Ia tidak pernah menduga kalau laki-laki sebaik Brian, akan meniduri wanita lain sampai hamil. Wanita itu bahkan sudah menjadi tunangan laki-laki lain.
Beberapa hari lalu, saat Sinta datang menemuinya sekaligus bicara dengan orang tuanya, menyangkut pembatalan perjodohan, ia masih bisa menerima dengan lapang dada. Berharap kalau Sinta bisa saja salah informasi. Wanita yang merupakan mamanya Brian itu, salah dengar atau pun tidak benar-benar memahami masalah. Kini, mendengar langsung dari mulut Brian perasaanya ternnyat jauh lebih sakit.
Berusaha menahan isak, Vania berucap lirih. “Kamu tahu kalau aku mencintaimu? Berharap kamu menerima perasaanku?”
“Maaf,” jawab Brian lirih.
“Bukan maaf yang aku mau dengar dari kamu, tapi hal lain.”
Menghela napas panjang, Brian meraih gelas berisi minuman dan meneguknya. Menyadari kalau pembicaraannya dengan Vania tidak akan berakhir dengan cepat. Ia tidak dapat menyalahkan segala prasangka wanita itu terhadapnya. Ia menyadari dirinya salah dan akan menghadapinya. Tapi, ia palingg enggan berhadapan dengan wanita yang sedang menangis.
“Vania, kamu masih muda dan cantik. Ada banyak kesempatan lain.”
Vania menggeleng, meraih tangan Brian dan meremas lembut jemari laki-laki itu. “Dari dulu aku selalu menyukaimu. Dari pertama kita berciuman, meski akhirnya tinggal berjauhan, aku tetap tidak bisa melupakanmu. Saat akhirnya kita bertemu, aku memberikan isyarat pada orang tuaku, ingin mengenalmu lebih jauh. Lalu, saat segalanya kupikr berjalan sempurna, kamu pergi. Lari dan menghindar, jatuh ke pelukan wanita lain. Why, Brian?”
“Nggak ada, Why. Aku dekat dengan Anyelir jauh sebelum ini.”
“Iya, aku tahu kalian dekat. Tapi dia tunangan laki-laki lain. Apa kamu tidak punya hati meniduri wanita milik sahabatmu!”
Brian menyentakkan tangan Vania hingga lepas. Menatap tak percaya pada wanita yang duduk di sampingnya. Ia pikir, selama ini Vania seorang wanita yang lemah lembut dan pengertian, tapi nyatanya begitu susah menjelaskan satu masalah padanya.
“Cukup Vania. Ada batas-batas yang tidak bisa kamu langgar. Ada masalah yang tidak semua harus kamu tahu. Ini antara aku dan Anyelir.”
Vania memejam, menahan gejolak perasaannya. Ingatannya tertuju pada Anyelir dan tidak menduga kalau wanita lemah lembut sepertinya, mampu memikat dua laki-laki. Apakah karena selama ini ia terlalu sibuk, hingga lupa memberi perhatian pada Brian? Lalu, Anyelir memanfaatkan keadaan dan akhirnya, Brian terjatuh. Vania tidak mengerti dengan begitu banyaknya teori-teori di pikirannya.
“Aku mencintamu, Brian. Bisakah kamu mempertimbangkan hubungan kita lagi?” Vania berucap lemah, memohon pada seorang laki-laki yang duduk kaku di sampingnya. Ia tahu, sudah kehilangan harga diri. Sedangkan ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Begitu banyak laki-laki di luar sana yang mengejarnya, tapi hatinya memilih Brian. “Bisakah kamu bertanggung jawab pada Anyelir hanya sampai anak itu lahir, lalu kembali padaku?”
Brian menelengkan kepala, mencabut dua lembar tisu dan membasuh air mata di mata Vania. Dengan berat hati, ia menggelengkan kepala. “Maaf, tidak bisa. Kami sudah membuat janji.”
Rasanya percuma, duduk di samping Brian dan memohon, karena laki-laki itu tetap teguh dengan pendiriannya. Vania membiarkan Brian menghapus air matanya, sementara ia memejam. Berusaha menekan sakit dan hatinya yang patah.
Musnah sudah mimpi-mimpi yang ia rajut selama ini. Khayalan tentang pernikahan yang indah dengan Brian. Ia kerja banting tulang, demi masa depan yang sudah ia rencanakan. Orang tua Brian pun mendukungnya, dan itu adalah sebuah harapan yang lain. Kini, yang menghancurkan harapan dan mimpinya, justru Brian sendiri.
“Apakah karena itu kamu memintaku menerima kontrak dua tahun?” tanya Vania sendu.
Brian menggeleng. “Tidak, aku memintamu menerima demi kemajuan karirmu.
Apa gunanya punya karir kalau ia kehilangan cinta, Vania merasa ironis dengan dirinya sendiri.
**
Anyelir menatap bangunan yang berdiri menjulang di depannya. Mengerjap sesaat untuk menjaga agar niatnya tidak goyah. Ia sudah membuat janji dengan Danial untuk bertemu dan laki-laki itu memintanya datang ke apartemen.
Kilasan memeori menghantam pikiran Anyelir, tentang masa-masa indah saat ia begitu tergila-gila dengan Danial. Ia suka datang ke apartemen ini untuk membersihkan, merapikan, dan memasak. Dalam benaknya saat itu adalah pekerjaan yang ia lakukan, demi belajar untuk menjadi seorang istri. Ia suka pekerjaan rumah tangga, dan tidak pernah menolak kalau Danial atau Haniah meminta bantuannya.
“Pekerjaanmu bersih, kamu hebat Anyelir.”
“Masakanmu enaaak sekali, Anyelir.”
Saat itu, pujian-pujian sederhana sudah membuat hatinya senang luar biasa. Kini diingat lagi, dirinya memang naif. Jatuh cinta begitu menggebu-gebu dengan laki-laki yang ternyata menyembunyikan begitu banyak luka masa lalu.
Mengepalkan tangan untuk menguatkan hati, Anyelir melangkah masuk ke lobi. Menukar KTP dengan kartu akses lift. Tiba di lantai tempat Danial tinggal, ia sempat ragu-ragu sesaat sebelum melangkah keluar.
Ia terbelalak, saat melihat unit Danial terbuka. Rupanya, laki-laki itu sudah menunggu kedatangannya. Dugaannya benar, karena Danial muncul dari pintu dan tersenyum ke arahnya.
“Anyelir, aku senang kamu datang.”
Untuk sesaat Anyelir ragu-ragu sebelum akhirnya melangkahi pintu dan masuk ke dalam unti Danial. Tidak banyak berubah dari terakhir ia datang. Hanya saja sekarang lebih berantakan dengan barang-barang berserakkan di sofa dan lantai.
“Maaf, berantakan.”
Agak gugup, Danial menyambar barang-barang dan membawanya masuk ke dalam kamar lalu menutupnya. Sementara Anyelir belum bergerak dari tempatnya berdiri.
“Duduk, Anyelir.”
“Kak, apa kabar?” sapa Anyelir pelan. Menatap Danial yang menurutnya makin lama makin kurus. Penampilan laki-laki itu cenderung berantakan dengan wajah kusut dan kantong mata menghitam yang terlihat seperti kurang tidur.
“Aku baik,” jawab Danial, menatap Anyelir lurus.
“Hatiku yang tidak. Tapi, aku senang kamu datang.”
Tersenyum simpul, Anyelir melangkah menuju jendela kaca. Ia membuka sedikit gordennya dan menampakkan pemandangan malam yang indah. Saat melihat lampu-lampu yang memberi penerangan pada kedai-kedai di seberang jalan, ia teringat kalau kedainya belum tutup. Untunglah sekarang ada Ares yang sudah begitu banyak membantunya.
“Anyelir, ada apa?”
“Kak, kenapa kamu nggak cerita tentang kecelakaan waktu dulu?”
Pertanyaan Anyelir membuat Danial tertegun.
“Kenapa mendadak kamu bicara begitu? Apa Nerisa datang padamu?”
Anyelir tersenyum kecil. “Jadi itu benar? Kamu terbuka pada Nerisa, menceritakan semua masalahmu dengannya tapi menutup mulut padaku. Kenapa?”
Danial menggeleng kecil. “Bukan begitu, Anyelir. Aku hanya … malu.”
Melihat Danial yang menunduk dan terlihat malu, Anyelir merasakan tusukan rasa kasihan. Benarkah, ia yang menyebabkan laki-laki itu kehilangan segalanya? Benarkah karena menolongnya Danial terluka? Beban rasa bersalah membuat hati Anyelir bagai dipilin.
“Seandainya kamu bicara jujur, Kak.”
“Semua salahku. Aku yang terlalu malu untuk mengatakan yang sesungguhnya padamu. Takut kalau kamu membenci dan membuangku. Takut kalau keadaanku justru membuatmu tidak ingin bersamaku. Ironisnya, kita tetap saja berpisah meski dengan cara yang berbeda.”
“Aku tidak pernah tahu, kalau kecelakaan itu melukaimu begitu dalam,” desah Anyelir dengan bibir bergetar. Rasa sedih yang ia tahan, perlahan mencair dan membawa tetesan air mata. “Aku tidak tahu kalau kamu kehilangan semuanya demi menyelamatkan aku.”
“Anyelir ….”
Danial menahan tangannya yang hendak terulur. Ia begitu ingin meraih pundak Anyelir untuk memeluknya. Menyandarkan beban berat yang selama ini menggayut di dada, pada diri Anyelir. Tapi, ia cukup tahu diri untuk tidak menyentuh wanita di depannya. Karena meski terlihat sedih dan bersalah, Anyelir menjaga jarak.
“Apakah Nerisa mengatakan semua padamu?”
Anyelir mengangguk tanpa kata.
“Dia menyalahkanmu atas kecelakaan itu?”
Kali ini Anyelir menggeleng. “Tidak, dia hanya bercerita dan aku merasa bodoh dan bersalah karena tidak tahu.”
“Sekarang, kamu sudah tahu. Lalu, kamu mau apa, Anyelir?”
Lagi-lagi Anyelir menggeleng, menatap gamang antara Danial dan kerlip cahaya dari kedai di bawah apartemen. Hatinya begitu bingung sekarang, tidak tahu harus bagaimana.
Ia datang kemari, berniat mencari tahu. Untuk meminta maaf agar hatinya lega. Tapi, semakin lama bicara dengan Danial, semakin besar beban rasa bersalahnya. Sampai-sampai ia bingung dengan hatinya sendiri.
“Aku tidak tahu mau apa, Kak. Meminta maaf yang tulus padamu pastinya. Karena menolongku telah membuatmu banyak kehilangan. Kalau saja aku lebih peka, mungkin aku bisa mengurusmu dulu.”
“Dulu?” tanya Danial bingung. “Kamu masih bisa mengurusku sekarang, Anyelir.”
Kali ini Anyelir tercengang, menatap Danial dengan pandangan tidak mengerti. “Maksudmu apa, Kak?”’
Danial merengsek maju, berusaha meraih tangan Anyelir tapi menahan kecewa karena wanita di depannya menolak untuk disentuh. Ia menarik napas pajang, menatap Anyelir tajam.
“Kamu masih bisa mengurusku sekarang, sampai nanti malah.”
Anyelir menggeleng. “Itu tidak mungkin, Kak. Keadaan kita sudah berbeda.”
“Apanya yang berbeda? Karena anak dalam kandunganmu itu?”
“Iya, salah satunya itu dan banyak hal lain.”
“Apa karena Brian?”
“Dia juga.”
“Shit!”
Danial mengumpat tajam, menyugar rambut dan menarik napas panjang. Nama Brian menimbulkan rasa marah dalam dadanya. Ada begitu banyak kesulitan dalam hidupnya, dan salah satu penyebab terbesar karena kehadiran Brian di antara dirinya dan Anyelir.
“Kamu memilih Brian dari pada aku, Anyelir.
“Kak, kamu tahu apa alasannya,” sergah Anyelir.
“Karena kamu mengandung anaknya?”
Anyelir mengangguk. “Juga hal lain.”
“Cinta, kamu mencintai Brian?”
Terlalu pribadi, jika Danial mempertanyakan perasaannya. Tidak ada orang lain yang boleh ikut campur dengan hatinya, termasuk Danial.
“Anyelir, bagaimana kalau aku mengalah. Apakah kamu masih bisa menerimaku kembali?”
“Maksudmu apa, Kak?”
Danial yang semula berdiri di dekat jendela, berpindah dan kini duduk di atas sofa. Mengusap wajahnya pelan, ia menunduk. Sementara Anyelir berdiri bingung menatapnya.
“Aku sudah memikirkan selama beberapa hari ini. Meredam semua marah dan emosi, berusaha berpikir jernih tentang semua masalah. Memang, yang terjadi antara kamu dan Brian, tidak sepenuhnya salahmu. Karena kemarahan dan cemburuku, yang membuat amarahku membabi buta.”
Mendongak dan tersenyum tipis, Danial melanjutkan ucapannya. “Bagaimana kalau kukatakan, aku bisa menerima keadaanmu, bahkan dengan kondisimu yang hamil?”
Anyelir menggeleng. “Kak, itu--,”
“Bagaimana kalau aku menurunkan egoku, mengemis padamu untuk kembali padaku? Asalkan kamu bisa menerimaku, aku juga sanggup menerimamu apa adanya. Termasuk, bayi dalam kandunganmu.”
Tidak ada yang lebih membingungkan dari Anyelir, selain ucapan Danial yang dirasa amat memaksakan keadaan. Ia datang untuk meminta maaf, meski ia tahu tidak akan sanggup menghapus rasa sakit dari diri Danila. Lalu, laki-laki itu menawarkan hal yang ia rasa sungguh tak masuk akal. Anyelir tidak tahu harus menjawab apa.
***
Untuk membaca spoiler kisah bisa follow IG saya : Nev Nov
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro