Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17b

Anyelir memejamkan mata, mencoba menahan kilasan masa lalu yang kini menyeruak dari bawah alam sadarnya. Tentang kecelakaan beberapa tahun lalu yang melibatkan dirinya, sebuah mobil, dan Danial. Waktu itu, ia yang begitu ceroboh hampir saja menjadi korban tabrak lari sebuah mobil, jika bukan karena Danial yang datang tepat waktu untuk menyelamatkannya.

Akibat dari kecelakaan itu, Anyelir dirawat hingga seminggu di rumah sakit dan mengalami gagar otak ringan. Sedangkan Danial, sempat mengalami mati rasa di bagian tubuh bagian bawah, sampai akhirnya sembuh karena pengobatan dan terapi hampir setahun lamanya.

Anyelir tidak pernah melupakan jasa Danial yang telah menyelamatkannya. Karena itulah, ia jatuh cinta dengan laki-laki itu yang menurutnya sangat gagah dan keren. Mencoba segala cara untuk mendapatkan Danial. Tidak patah semangat meski mengalami penolakan, hingga akhirnya Danial bisa menerima cintanya.

“Kak Danial sudah sembuh,” ucap Anyelir pelan. “Untuk apa kamu mengungkit itu lagi.”

“Oh, jadi karena dia tidak diperban, tidak ada bekas luka, makanya kamu katakan dia sembuh? Kamu salaaah!”

“Maksudmu apa?” Anyelir kebingungan dengan maksud dan ucapan Nerisa. “Kak Danial sudah sembuh total.”

“Hah, itu yang terlihat!”

Menarik napas panjang, Anyelir bertanya tegas. “Kamu katakan saja terus terang, ada apa? Jangan membuatku menduga-duga.”

“Memangnya kalau aku bongkar sekarang, bisa mengubah keadaan? Tetap saja kami hamil di luar nikah dengan sahabat dari orang yang sudah mengorbankan nyawanya untukmu.”

“To the poin, Nerisa,” tegur Anyelir. Ia sudah bosan mendengar ucapan Nerisa yang berputar-putar.

Nerisa mengangkat bahu, meneguk habis teh susunya yang tinggal sedikit dan berdehem. “Kamu ingat bukan kecelakaan waktu itu? Setelahnya Danial mati rasa?”

Anyelir mengangguk. “Iya, berobat panjang dan terapi.”

“Akibatnya sangat fatal. Setelah pulih, ternyata membuat Danial kehilangan hidupnya.”

“Maksudnya?”

Terdiam sesaat, menimbang-nimbang dengan mata menatap Anyelir tajam, Nerisa berucap dengan nada sedih. “Dia kehilangan satu-satunya kehidupan sebagai laki-laki. Harga diri, kehormatan, dan juga kejantanannya.”

Anyelir mengedip lalu berkata gagap. “Ma-maksudmu impoten?”

Dengan sedih Nerisa mengangguk. “Iya, bayangkan apa yang dia rasakan waktu itu, Anyelir. Dia mengorbankan hidupnya untuk menolongmu. Kehilangan inti kehidupannya, dan kini  bukan penghargaan yang ia dapatkan dari kamu tapi malah pengkhianatan. Ya Tuhan, Anyelir, kenapa jadi wanita kamu begitu kejam? Menginjak harga diri laki-laki yang sudah menolongmu?”

Rasanya bagai disambar petir, penjelasan Nerisa membuat hati Anyelir hancur. Ia sama sekali tidak pernah menduga, akan mengetahui keadaan Danial setelah sekian lama. Ia selalu berpikir kalau keadaan mereka baik-baik saja, hanya saja Danial tidak cukup mencintainya.

Dipikir lagi, sekarang ia paham kenapa Danial selalu mengundur rencana pernikahan. Rupanya, karena terkait masalah kejantanan.

Merebahkan kepala di atas meja, dengan air mata di pelupuk, Anyelir merasa dirinya amat berdosa. Sudah bersikap kejam pada Danial.

**

“Lesli, bagaimana dengan rencana kita. Sudah siap?”

“Sudah, Nona. Kapan Anda menginginkannya?”

Megan berputar di kursinya, menatap sang asisten yang berdiri penuh hornat tak jauh darinya. “Malam Minggu ini, bisa?”

Lesli mengangguk. “Bisa.”

“Bagaimana dengan selebgram itu?”

“Vania? Dia mengerjakan tugasnya dengan baik. Selain tidak menerima tawaran produk lain selama terikat dengan kita.”

“Pekerjaan lainnya?”

“Cukup sibuk dengan sejumlah photo shoot.”

“Bagus.” Megan mengacungkan jempolnya. “Secara perlahan kita menjauhkannya dari Brian. Akan lebih bagus lagi, kalau dia jatuh cinta dengan laki-laki lain. Jadi, aku bisa lebih leluasa mendekati Brian.”

Lesli terdiam, merogoh ponselnya dan menunjukkan pada Megan. “Silakan dibaca, Nona. Setahu saya, Vania belum bisa melupakan Brian.”

Penasaran dengan penjelasan asistennya, Megan menerima ponsel dan membaca berita yang tertera di layar. Di sana tertulis, Vania yang mengatakan masih menjalin hubungan baik dengan Brian. Hanya saja, karena kesibukan masing-masing membuat keduanya jarang bertemu.

Megan yang geram, menatap ponsel di tangannya lalu menghantamkannya ke dinding hingga pecah berkeping-keping. Tidak ada reaksi dari Lesli, seakaan sudah biasa baginya melihat Megan menghancurkan barang-barang.

“Dasar wanita gila! Bisa-bisanya dia mengatakan itu ke media!” Megan berteriak, bangkit dari kursi dan menunjuk Lesli dengan geram. “Bukannya kamu bilang mereka nggak pernah ketemu lagi?”

Lesli mengangguk. “Memang, Nona. Saya sudah pastikan itu. Saya menyuruh orang mengawasi Brian di apartemen dan kantor. Laki-laki itu datang ke kantor setiap hari dan pulang sendirian ke apartemen. Tidak pernah membawa Vania atau wanita lain.”

“Bagaimana dengan rumah orang tuanya?”

“Sama saja, Brian bahkan jarang pulang.”

Megan memejam, ia merasa ada yang luput dari pengamatannya. Hanya saja, ia tidak tahu apa. Lesli bahkan sudah menyuruh orang memata-matai Brian tapi semua mengatakan kalau laki-laki itu dan Vania jarang bertemu. Lalu, kenapa Vania masih berani mengatakan mereka berhubungan baik? Pikiran kalau Brian dan Vania bertemu diam-diam tanpa ia tahu, membuatnya bergidik marah.

“Lesli, kamu perketat pengawasanmu pada selebgram itu. Jangan sampai luput satu hal kecil sekali pun.”

“Baik, Nona.”

“Untuk Brian, biar aku yang mengawasi. Membuatnya tetap sibuk dengan pekerjaan hingga lupa dengan selebgram itu, adalah salah satu cara paling ampuh.”

Lesli menegakkan tubuh, menatap Megan tajam. “Nona ingin melakukan apa?”

Megan tersenyum kecil, mengetuk-ngetuk pelipis. Memikirkan kata-kata yang hendak ia ucapkan. Segala sesuatu yang menyangkut Brian membuat hatinya menjadi rumit. Dan ia berniat membagi kerumitan itu.

“Aku akan melakukan sesuatu yang menimbulkan kegaduhan di perusahaan Brian. Tidak cukup besar, tapi bisa membuat Brian terguncang. Satu-satunya jalan keluar adalah, laki-laki itu harus menemuiku. Saat itulah, aku akan melakukan penawaran.”

Licik, kejam, dan penuh perhitungan, itulah yang terlihat dalam diri Megan, setiap kali merencanakan sesuatu yang besar. Lesli paham sekali dengan karakter wanita di depannya. Yang ia lakukan hanya satu, menjaga agar nonanya bahagia. Meski harus menyingkirkan orang lain.

**

Brian menatap layar laptopnya dengan serius. Menatap beberapa design baru untuk produknya. Setelah sukses dengan kaos, celana, dan jaket, ia berniat merambah ke pakaian wanita. Beberapa investor menyarankan untuk membuka fashion anak muda. Bagi Brian, itu adalah ide yang jenius. Masalahnya, tidak mudah untuk mendapatkan design baju yang bagus, trendy dan tidak pasaran. Ia ingin produknya bisa dijangkau kalahan menengah ke bawah. Bisa dipakai oleh semua orang tanpa merogoh kocek yang berlebihan terutama anak muda yang masih kuliah atau berpenghasilan pas-pasan.

Kesibukan di kantor tidak lantas membuatnya lupa akan Anyelir. Di waktu senggang, ia akan merencanakan pernikahan dengan sang mama melalui pesan suara atau telepon. Mereka membicarakan kelengkapan dokumen, hingga detail acara nanti. Semua ia serahkan pada sang mama, dan Anyelir pun setuju tentang hal itu.

“Yang perlu kalian lakukan hanya fitting baju pengantin,” ucap Sinta pada Brian.

“Memangnya Papa sudah tahu, Ma?”

“Sudah. Dia menyerahkan segala sesuatunya pada kita.”

“Berarti Mama sudah bicara dengan keluarga Vania?”

“Sudah, dan mereka mengerti. Yang perlu kamu lakukan hanya memberi penjelasan pada Vania.”

Brian menegakkan tubuh, mengalihkan pandangan dari layar ke ponselnya. Ia sudah membuat janji untuk bertemu Vania selepas bekerja. Mereka pernah dekat, sebagai sahabat yang saling mendukung satu sama lain. Memang sudah selayaknya kalau ia memberi penjelasan pada Vania. Ia juga berharap, masalah mereka selesai tanpa adanya dendam.

Sore hari, datang berita tak disangka dari para petinggi di perusahaannya. Mereka mengatakan ada masalah di bahan baku dan beberapa toko menerima complain yang mengatakan kalau kualitas pakaian mereka menurun.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Brian pada para stafnya. “Kenapa bisa ada ratusan complain yang masuk secara bersamaan? Bukankah standar kualitas kita masih sama?”

“Tidak ada yang berubah, Pak. Malah sekarang, bahan baku yang kita perlukan kurang dari banyaknya kebutuhan. Tidak tahu ada apa, mendadak terjadi kelangkaan.”

Brian memijat pelipisnya dengan muram. Dua masalah terjadi secara bersamaan yang bisa berdampak buruk pada perusahaannya. Ia tidak tahu salahnya di mana, dan berniat akan turun tangan langsung untuk menyelesaikan.

Pukul tujuh malam, dengan tubuh letih dan pikiran terkuras untuk masalah yang terjadi bertubi-tubi, Brian mengarahkan kendaraannya ke sebuah lounge hotel bintang empat. Jika tidak ingat sudah membuat janji dengan Vania, ingin rasanya pulang ke rumah Anyelir dan menumpahkan lelahnya pada wanita itu. Namun, ia tidak mungkin menunda pembicaraan dengan Vania dan akhirnya membuat kesalahpahaman terjadi makin besar.

Vania terlihat cantik dalam balutan mini dress kuning gading. Sepintas, seperti ada bekas air mata di pipi wanita itu, tapi Brian tidak berniat menanyakannya. Bisa jadi, terjadi masalah dengan Vania, sebelum mereka bertemu.

“Vania, apa kabar?” sapa Brian ramah.

Vania tidak menjawab, mengerjap sebentar lalu tanpa diduga menyerbu masuk dalam pelukan Brian dan tersedu-sedu di dada laki-laki itu.

Brian yang kebingungan, berusaha menjauhkan tubuh Vania. “Ada apa? Kenapa mendadak menangis?”

Namun, Vania hanya menggeleng dan melanjutkan tangisannya. Dengan tak berdaya, Brian menuntun Vania ke sofa bundar dan menepuk-nepuk punggung Vania untuk memberikan dukungan.
“Sudah menangisnya. Ingat, ini di tempat umum,” bisik Brian padanya.

Seakan tidak peduli dengan ucapan Brian dan pandangan orang sekitarnya, Vania terus menangis. Menumpahkan segala kesedihan dan keresahan dalam dadanya. Ia menunduk, menyandarkan kepalanya pada bahu Brian, sementara laki-laki itu duduk tegak menghadap meja. 

Bisa ia rasakan perubahan sikap Brian yang begitu besar padanya. Brian yang dulu, saat melihatnya menangis akan mengulurkan tangan dan memeluknya. Sedangkan Brian yang sekarang, bersikap seadanya dan terlihat amat menjaga jarak. Hati Vania makin terpilin dibuatnya.

Sementara Vania menumpahkan rasa sedihnya di bahu Brian, dari sudut lounge sepasang mata mengawasi dalam diam. Mata itu, menatap dari balik gelas kristal yang berisi minuman yang berkilau tertimpa cahaya lampu. Tanpa senyum, tanpa gerakan berlebihan, laki-laki itu mengawasi dalam diam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro