Bab 17a
“Kenapa, Kak? Ada masalah apa? Tante Haniah sakit dan kamu seperti mayat berjalan. Pucat, berantakan, kurus pula!” Nerisa menatap Danial dengan heran. Mengamati laki-laki yang berdiri gamang di dekat jendela.
“Nerisa, aku sedang tidak ingin mengobrol,” jawab Danial datar. Matanya terpancang pada temaram senja. Ia masih memikirkan wajah mamanya saat pulang dari rumah Anyelir. Sang mama yang terlihat begitu terluka dan sedih, hingga menimbulkan rasa bersalah sekaligus kesal dengan Anyelir.
Nerisa mencebik. “Aku hanya tanya, ada apa? Kenapa galak sekali!”
“Karena waktumu tidak tepat!”
Danial meraih rokok di atas meja kecil, menyulut api dan mengisap dengan kuat. Pikirannya benar-benar kusut sekarang. Bukan hanya perihal Anyelir yang membebani pikirannya tapi juga pekerjaan.
Rasanya, ia ingin bunuh diri dan mati agar terbebas dari segala masalah. Namun, diingat lagi ada keluarga yang membutuhkannya.
Rasa sakit dan dikhianati juga ia rasakan terhadap Brian. Satu-satunya sahabatnya yang paling dekat. Ia merasa begitu terluka hingga mengabaikan fakta yang sebenarnya.
Danial mendesah, seandainya malam itu dirinya yang ada di apartemen dan bukan Brian, lalu apa yang akan terjadi? Apakah Anyelir masih menerimanya? Tapi, satu yang pasti kalau wanita itu tidak akan jatuh ke tangan Brian.
“Sial!”
Danial mengumpat dalam hati, mengingat kembali ke masa lalu. Memang, ia dan Brian adalah sahabat dekat tapi jauh di dalam hatinya ia menyimpan begitu banyak rasa iri pada sahabatnya itu. Brian yang bisa dikatakan lebih tampan, lebih disukai, lebih berkarisma darinya. Tanpa banyak usaha, Brian bisa mendapatkan perhatian siapa pun, berbeda dengan dirinya yang harus berusaha keras. Kini, satu-satunya wanita yang bisa ia banggakan di hadapan banyak orang, bahkan direbut oleh Brian.
“Kak … ada apa, sih?”
Nerisa yang tidak sabar, bangkit dari sofa dan menghampiri Danial. Tanpa malu, ia meraba tubuh laki-laki di depannya. Perlahan, dari pinggul, pinggang, lalu naik ke dada. “Apakah kamu tidak tertarik bermain sekarang? Untuk melupakan apa pun masalahmu?”
Danial menyingkirkan tangan Nerisa dari tubuhnya. “Jangan macam-macam kamu. Ingat, ini di mana?”
“Aku tahu ini di rumahmu. Hanya ada kita di sini. Tante sedang tidur dan Devira pergi. Ayo, nggak mau coba?”
Mendekatkan tubuh, Nerisa berbisik mesra, mengecup dagu Danial dan mengigit telinganya.
“Nerisa, jaga sikapmu!” Sekali sentak, Danial menjauhkan tubuh Nerisa dan menatap galak pada gadis di depannya. “Aku sedang tidak mood sekarang!”
“Munafik!” dengkus Nerisa dengan sikap geram. Sambil berkacak-pinggang ia menuding Danial. “Ingat dulu, Kak? Saat kamu membutuhkanku? Kamu yang datang dengan wajah memelas. Meminta pertolonganku. Sekarang, kamu menolakku?”
Danial mematikan rokok dan membuang putung, menatap Nerisa lalu menghimpit gadis itu ke kaca jendela. Tangannya terulur untuk mencengkeram leher Nerisa dan berkata mengancam.
“Bukan hanya aku saja yang mendapatkan keuntungan, kamu juga,” bisiknya geram. Tidak peduli meski napas Nerisa tersengal. “Kamu juga aku puaskan. Kita sama-sama pendosa, Nerisa. Jangan berpikir hanya kamu yang menolongku!”
“A-aku nggak bilang gitu,” ucap Nerisa gugup. Baru pertama kali ia melihat Danial seperti ini dan rasanya sangat menakutkan. “Aku hanya ingin menolongmu, Kak.”
“Menolongku? Terbukti nggak berguna bukan? Sudah berapa lama kita lakukan permainan ini? Tidak ada pengaruhnya untukku.”
Seperti awalnya tadi, secara mendadak Danial melepaskan cengkeramannya. Ia mengalihkan pandangannya ke pintu ruang tengah, sedikit takut kalau mamanya terbangun dan melihat mereka. Untunglah, tidak ada tanda-tanda itu.
“Tentu saja nggak ngaruh, Kak. Karena yang ada di otak dan hatimu hanya Anyelir. Tidak peduli bagaimana aku melayanimu dengan cumbuan atau sex oral, kamu tidak pernah puas.” Nerisa mendekat, mengusap bagian intim tubuh Danial. “Sayangnya, ini tidak pernah bangun, kenapa? Karena hanya Anyelir yang kamu mau. Tapi, kamu takut mengajaknya bukan? Hahaha.”
Danial menepis tangan Nerisa dari tubuhnya. Makin lama bicara dengan gadis di depannya, makin naik emosinya. Ia tahu, ada yang salah dengan dirinya.Yang tahu keadaannya hanya Nerisa. Itu pun karena kebetulan. Saat ia tertekan dan menangis, Nerisa memergokinya dan bersedia membantu. Siapa sangka, permainan yang awalnya panas dan menyenangkan, kini berubah menjadi membosankan karena gadis itu mulai posesif.
“Kenapa kamu tidak menemui Anyelir. Mengatakan yang sebenarnya. Dia gadis yang baik, pasti akan menerimamu. Kenapa? Takut ditolak?”
Mengembuskan napas panjang, Danial menggeleng. “Sudah nggak mungkin lagi. Anyelir, dia sudah memilih orang lain.”
Nerisa terperangah. “Apa?”
“Anyelir memilih orang lain,” ucap Danial dengan suara kecil.
“Siapa?”
Terdiam sesaat, Danial menghela napas panjang. “Brian, ayah dari anak yang dikandung Anyelir.”
“Tunggu. Maksudnya apa?” Nerisa menatap bingung pada Danial. “Anyelir hamil?”
Tanpa menjawab, Danial hanya mengangguk. “Iya.”
“Anak Brian?”
“Iya.”
Mengepalkan dua tangan, Nerisa berdiri gemetar. Berita yang baru ia dengar sungguh memukul perasaannya. Bagaimana mungkin, Anyelir yang ia kenal sebagai wanita baik-baik dan sopan, ternyata hamil dengan laki-laki lain.
“Munafik,” desis Nerisa kesal. “Kalian selalu menyanjungnya. Lalu, lihat apa yang telah dia lakukan.”
“Nerisa, jaga ucapanmu.”
“Masih membelanya? Dia jelas-jelas mengkhianatimu dan kamu masih membelanya?”
“Karena tidak semua adalah kesalahannya. Ada banyak juga karena aku.”
“Oh, bela terus, Kak. Kenapa kamu nggak ke sana, rayu dia, dan katakan tentang keadaanmu yang sesungguhnya. Lalu, lihat gimana reaksinya? Apakah dia bisa menerimu apa adanya seperti aku?”
“Ada apa ini?”
Percakapan keduanya terhenti oleh teguran dari arah pintu. Haniah menatap heran pada anak sulungnya dan Nerisa yang berdiri berhadapan dan bercakap dengan intim. Namun, keduanya seperti bertentangan satu sama lain.
“Ma, kenapa bangun?” tanya Danial. Ia meninggalkan Nerisa dan menghampiri mamanya. “Sudah baikkan? Masih sakit kepala?”
Haniah menggeleng. “Sudah baikkan. Kalian kenapa? Sedang bicara apa?”
Danial tersenyum. “Nggak ada apa-apa, Ma. Hanya bicara hal ringan saja.”
“Hal ringan seperti kehamilan Anyelir!” celetuk Nerisa tajam.
Perkataan Nerisa serta merta membuat Haniah dan Danial menoleh bersamaan.
“Kamu tahu?” tanya Haniah, mengabaikan ekpresi Danial yang melotot ke arah Nerisa.
“Tahu, Tante. Kak Danial baru saja cerita."
Menghela napas panjang, Haniah melangkah menuju sofa dan duduk lunglai. Ia mengusap wajah dan memijat pelipisnya.
“Maafkan aku, Danial. Mama ke sana untuk mencari tahu tapi malah memukul dan menyakiti Anyelir.”
“Apa? Mama memukulnya?” sergah Danial kaget.
“Iya, mama khilaf. Begitu dikuasai emosi. Anyelir sama sekali tidak membalas, hanya berucap maaf dan menangis.”
“Munafik,” dengkus Nerisa cukup keras untuk didengar.
Kali ini Haniah mengangguk. “Iya, munafik. Berpura-pura baik dan terluka tapi nyatanya, hamil dengan laki-laki lain.”
Sementara Haniah mencurahkan perasaannya pada Nerisa, Danial berdiri kaku di belakang sofa. Kepalanya berdentum menyakitkan dan rasanya seperti ingin pecah. Peristiwa demi peristiwa terjadi dan ia heran mendapati dirinya tidak jatuh dalam kegilaan. Sumber segala masalah ada pada Anyelir, pikirnya geram.
**
Adakah yang lebih indah dari dicintai oleh orang yang kita cintai? Bisa memiliki orang yang juga ingin bersama kita? Bukahkah bersatunya dua hati yang saling mengasihi adalah sumber kebahagiaan? Itu yang dirasakan Anyelir sekarang ini.Setelah kedatang Sinta yang memberikan penerimaan untuknya, ia merasa gerak hidupnya jadi lebih ringan. Meski jauh dari lubuk hatinya masih ada yang mengganjal, yaitu Haniah. Namun ia percaya, jika suatu saat wanita itu akan mengerti.
Brian datang hampir setiap hari, kalau bukan pagi maka pulang kerja diusahakan mampir. Laki-laki itu senang berbelanja kebutuhan bayi. Dari mulai pakaian sampai hal-hal kecil seperti mainan. Brian juga rajin mengingatkan Anyelir untuk menjaga kesehatan dan juga bayi dalam kandungan.
“Aku sudah menjual apartemen dan sedang mencari rumah untuk kita. Nanti, kalau sudah menikah kita akan pindah ke rumah baru.”
Anyelir tersenyum senang. “Kita tinggal terpisah dengan orang tuamu?”
Brian mengangguk. “Iya, kita bisa datang menemui mereka tiap akhir pekan atau sesekali menitipkan anak kita pada mereka.”
“Kenapa harus dititipkan?” tanya Anyelir heran.
Tersenyum penuh arti, Brina berbisik. “Sesekali kita membutuhkan waktu berdua. Misalnya untuk berkencan. Bayangkan kita bercumbu di bioskop atau dalam mobil tanpa anak-anak kita, pasti menggairahkan.”
“Kenapa kamu mesum sekali!”
“Sudah dari sananya, nggak bisa diubah.”
Rasanya memang begitu membahagiakan, bercengkrama berdua dan merencanakan masa depan. Anyelir merasa dirinya punya seorang suami, meski mereka belum menikah.
“Tunggu papaku kembali dari luar kota, kita akan menikah. Sekarang, papaku sedang dinas dan tidak enak merencanakan pernikahan tanpa beliau.”
Anyelir menyetujui apa pun yang dikatakan Brian, yang terpenting adalah mereka bersama. Ia bisa menunggu, sampai waktu yang tepat tiba untuk menikah.
Dengan rasa bahagia membuncah di dada, tidak ada satu pun yang bisa merusaknya. Hingga kedatangan Nerisa membuat Anyelir kaget. Terlebih saat gadis itu datang malam hari dan kedai sudah tutup.
“Boleh aku duduk? Lebih baik kalau kamu buatkan aku minum.”
Tidak berubah, masih bossy seperti dulu, pikir Anyelir masam pada gadis yang kini duduk di kedai. Ia menghela napas, melawan keengganan dan membuat teh susu untuk Nerisa.
“Teh susu? Ehm, terlalu manis,” ucap Nerisa saat meneguk minuman yang dibuatkan untuknya.
“Kalau nggak suka jangan diminum,” ucap Anyelir ketus.
“Eits, aku suka.”
Menyingkirkan tangan Anyelir yang hendak merenggut gelasnya, Nerisa minum dengan lahap. Bersikap seakan-akan, dirinya tidak minum sudah bertahun-tahun lamanya.
“Apa maumu datang kemari?” tanya Anyelir tidak sabar.
“Oh, hanya mau memastikan kalau kamu benar hamil.”
Ucapan Nerisa membuat Anyelir terdiam. “Kamu tahu aku hamil?”
“Hah, jadi benar? Kamu selingkuh dengan Brian?” Nerisa menunjuk Anyelir. Tak lama ia tertawa terbahak-bahak, seakan Anyelir adalah hal paling lucu untuknya. “Gila, ya. Si Nona Manis yang terkenal baik hati dan setia, ternyata doyan selingkuh.”
Anyelir mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak memukul meja. Dari dulu, Nerisa selalu bersikap menyebalkan padanya. Ia tidak pernah tahu apa yang telah ia lakukan pada gadis itu, seakan ada dendam yang tersembunyi di hati Nerisa untuknya.
“Aku tahu kamu senang aku hamil. Bukankah dengan begitu kamu bisa mendapatkan Danial?” ucap Anyelir tajam.
Nerisa terdiam, menyibakkan rambut ke belakang dan menatap Anyelir dengan sinis. “Memang, tapi aku wanita yang masih punya hati. Mana mungkin aku bisa bahagia bersama laki-laki yang memikirkan wanita lain?”
“Maksudmu apa?”
Melangkah perlahan, Nerisa mendekat ke arah Anyelir dan berbisik tajam. “Kamu berutang nyawa pada Danial, apa kamu lupa itu? Utang yang bahkan tidak mampu kamu bayar seumur hidup kecuali dengan nyawamu sendiri.”
Anyelir terdorong mundur dan duduk di kursi dengan mulut menganga. Sementara Nerisa kini bersedekap dan tersenyum sinis. “Lupa, Anyelir? Atau sengaja lupa?”
Anyelir memejamkan mata, mencoba menahan kilasan masa lalu yang kini menyeruak dari bawah alam sadarnya. Tentang kecelakaan beberapa tahun lalu yang melibatkan dirinya, sebuah mobil, dan Danial. Waktu itu, ia yang begitu ceroboh hampir saja menjadi korban tabrak lari sebuah mobil, jika bukan karena Danial yang datang tepat waktu untuk menyelamatkannya.
**
Penasaran?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro